Senin, 25 Maret 2013

PELANGI HITAM PUTIH -01-


ZAHRA

“Hujan lagi…” keluh seorang gadis di sampingku sambil terus menepis-nepiskan air yang menetes dari sebagian rambut hitamnya. Tetesan hujan itu juga menyisakan jejak bulat-bulat kecilnya di blus hijau toska wanita itu. aku tersenyum tipis dan mengulurkan sekotak tisu kepadanya. Untuk sejenak wanita itu terdiam, ia langsung menatapku dengan kedua mata abu-abunya. Meneliti wajahku. Aku mengangguk santun dan kembali tersenyum.
“Ini,” bisikku sambil memberikan tisu itu kepadanya. Dan tepat pada saat itu, bis yang ku nanti datang, dengan cepat aku mengucapkan selamat tinggal pada wanita itu dan berlalu menaiki bis. Ia masih terbengong-bengong dengan tangan yang memegang tisu yang ku berikan. Aku sudah tidak memiliki waktu untuk berbasa-basi lagi. Aku sudah harus segera berangkat ke kampus, atau aku akan kehilangan jam kelasku yang berharga.
Aku tidak mengenal wanita itu sama sekali, dan mungkin ini adalah kala pertama dan terakhir kalinya aku akan melihat sosok wanita berblus hijau toska itu. tapi aku tau, ada satu hal yang membuatku terpaku melihatnya sejak pertama kali ia berlari-lari kecil ke halte tempat ku berdiri menunggu bis datang, hingga akhirnya hujan itu turun mengguyur raya.
Tapi, aku tidak tau apa.
***
“Zahra!!!” teriak seorang gadis berjilbab hijau muda sambil menubruk tubuhku. Kemudian di susul oleh dua gadis lain di belakangnya. Aku mendesis jengah sambil mendorong tubuh tambunnya menjauh.
“Apa?!” tudingku sambil meletakan tanganku sebagai batasan buku yang tengah ku baca.
“Ada yang mencarimu.” Ujar Hana, gadis sebayaku yang memiliki hobi makan dan makan, hingga tidak heran rasanya jika melihat sosoknya tumbuh subur seperti ini.
“Siapa?” tanyaku pada Risa, satu-satunya sosok yang paling dewasa di antara dua sahabatku yang lainnya.
“Pangeran tampan itu lagi.” Goda Andhini sambil menyenggol bahuku. Aku meringis, menatap sosok Risa meminta bantuan.
“Sepertinya kau harus menemuinya, kau tau… kedatangannya selalu mengundang perhatian banyak orang.” Ujar Risa. Aku melongo, bahkan sosok Risa pun menyuruhku untuk menemuinya!!!

Aku tidak yakin dengan apa yang ku lakukan. Tapi akhirnya aku tetap berjalan menuju lift, turun ke lantai bawah, menelusuri lorong panjang yang memberikan pandangan monoton; pintu kelas berjajar dan sebuah taman di tengah-tengah gedung fakultasku. Ketika mataku sudah bisa menatap sosok itu dengan jelas, aku menghentikan langkahku. Tampaknya dia tengah berbincang dengan seorang bapak paruh baya. Seorang dosen mungkin, aku tidak yakin, aku belum pernah melihatnya sebelum ini, atau mungkin karena jam kelasku yang masih terbilang baru.
Ia berdiri dengan tegap, rambut hitamnya tersisir rapih, namun tidak selicin bapak tua di hadapannya. Dengan anak jenggot yang mungkin ia sengaja biarkan tumbuh, ia memang terlihat cukup seksi. Apalagi, dengan senyuman menawannya, jadi tentu saja sangat tidak mungkin jika kedatangannya tidak mengundang berjuta perhatian.
Aku mendesah ketika menyadari bahwa bukan hanya aku yang tengah menatap kearahnya, secara sembunyi-sembunyi atau bahkan terang-terangan. Mereka masih berbincang, tampak jelas kalau bapak itu benar-benar kagum kepadanya, aku bisa melihat pancaran matanya. Dan, meski aku sangat yakin ia merasa bosan, tapi anehnya ia tetap terlihat nyaman. Hingga akhirnya ia melihatku berdiri di balik tiang besar yang menopang bagian depan gedung berlantai lima, gedung kelasku sejak dua minggu yang lalu.
Di depan gedung yang biasa ini, di parkiran yang biasa juga, sosok itu tersenyum padaku, melambaikan tangannya dengan wajah yang sepertinya terlihat lega. Tanpa sadar aku menaikan sebelah alisku, dan membentuk wajahku untuk menunjukan rasa malas yang muncul dari hatiku ketika melihatnya. Tapi entah mengapa ego ku merasa sedikit senang ketika melihat beberapa mahasiswi menatapku tidak percaya, kemudian jelas mereka kecewa karena pemuda itu ternyata mengenalku, dan memang datang untukku. Hilang sudah harapan mereka untuk sekedar berkenalan dengannya.
Untuk sesaat aku tersenyum licik.
“Astagfirullah…” bisikku pelan. Apa yang sudah ku lakukan, bagaimana mungkin aku bisa memiliki pemikiran seperti ini. Apa yang akan di katakan bibi jika beliau sampai tau tingkahku.
Aku berjalan melewati lima atau enam anak tangga, hingga berada di parkiran yang berjarak dua meter dari anak tangga terkahir. Ada tiga mobil di sana, dan mobil hitamnya yang paling mencolok, atau sebenarnya tidak juga. Tapi sosok itulah yang membuat mobilnya tampak paling terlihat di antara dua mobil lainnya. Sebuah pohon besar tumbuh di rerumputan tepat di depan gedung fakultasku. Memayungi sebagian besar area parkir dan taman buatan di sekelilingnya. Sepoi angin yang lembut mengibarkan ujung-ujung jilbabku ketika akhirnya aku sampai di depan mereka.
Bapak paruh baya itu langsung menoleh padaku dengan tatapan tidak suka, namun mulutnya tetap menyunggingkan senyuman palsu yang menunjukan seakan-akan ia begitu senang melihatku.
Aku membalasnya dengan senyuman simpul dan mengangguk santun setengah hati.
“Ini pak Rudi, salah satu dosen di fakultasmu.” Tuturnya. Aku langsung menaikan sebelah alisku dengan pandangan ‘oh ya?’,  yang jelas meragukannya.
“Ah mungkin dik Zahra tidak mengenal bapak. Bapak mengajar anak-anak S1 semester awal.” Ujarnya menjawab tatapan meragukanku. Lagi-lagi aku tersenyum simpul, menjaga kesopananku sebisa mungkin.
Tunggu, tadi apa katanya? Dik Zahra?! Dia bahkan sudah mengetahui namaku!
Aku melirik sinis pemuda di sampingku yang masih tersenyum maklum pada bapak itu. “Tapi bapak yakin kita akan sering bertemu.” Ujar pak Rudi, dan kini aku benar-benar tidak bisa menyembunyikan rasa raguku lagi.
“Terima kasih pak, mohon bimbingannya, dia adalah mahasiswi baru di sini.” Tuturnya. Aku melotot kepadanya, aku tidak butuh bantuan siapapun! Aku bisa melakukannya sendiri!
Kemudian sambil tersenyum lebar-aneh, ia sedikit membungkuk dan berlalu pergi dari hadapan kami. Aku menjawab salamnya perlahan, dan berbalik untuk menghadapi langsung sosok yang membuatku terpakasa turun dari lantai 4 kelasku hingga ke parkiran.
“Ada apa?” tanyaku ketus.
“Tidak apa-apa, aku hanya ingin menemuimu.” Ujarnya santai, semilir angin yang menerpa tubuh kami, menebarkan aroma maskulinnya yang membuatku menutup hidungku rapat-rapat. Aku pernah hampir dimabukan oleh aromanya, dan untuk saat ini, aku tidak ingin terpeleset lagi. Aku masih membencinya dengan berjuta alasan, yang sepertinya bisa ku mengerti, namun ketika ingin menuliskannya aku merasa otakku kosong.
Aku menaikan sebelah alisku, “Aku sedang di kampus, dan aku ada kelas!” ujarku datar. Ia tersenyum tipis. Telingaku mulai gatal ketika mendengar suara bisikan dari sekelilingku. Bukan… bukan suara bisikkan setan atau apapun yang tak kasat mata. Tapi suara bisikkan mahasiswi yang menonton kami. Menonton kami!! Astaga!
Ya Allah…
Aku mengedarkan pandanganku ke sekeliling lapangan parkir itu. Ada dua gadis yang tengah berdiri di parkiran motor tidak jauh dari tempat kami berdiri, mereka berpura-pura menyibukan dengan motor mereka ketika aku melirik kearah mereka. Dan sekelompok mahasiswi yang duduk di kursi-kursi beton di tengah taman juga tampak terang-terangan menonton kami. Jantungku mencelos, aku tidak berani berbalik ke belakang, ke arah gedung fakultasku yang sudah barang tentu tengah rama oleh para penonton. Bahkan rasanya aku bisa mendengar suara melengkin Andhini dari jendela kelas kami.
Aku tidak melebih-lebihkan. Sama sekali tidak, dan aku sudah sangat bersyukur karena tidak ada mahasiswi bodoh yang menghampiri kami untuk sekedar meminta foto bersamanya atau mungkin tanda tangannya. Masya Allah, aku menggeleng-geleng pada pemikiran konyol itu. setidaknya beberapa menit yang lalu, dosen yang katanya mengajar juga di fakultasku menghampirinya terlebih dahulu.
“Aku akan menunggumu, dan mengantarmu pulang.”
Aku mendengus kesal. “Kau bukan supirku.”
“Aku tidak mengatakan kalau aku supirmu.” Ujarnya dengan wajah datar.
Aku menggertakan gigiku ketika melihat wajahnya. “Kalau begitu kau tidak perlu menungguku di sini!” pekikku kesal.
“Kau bukan ibuku.” Ujarnya masih dengan wajah tenang. Namun aku bisa melihat kilatan geli di matanya.
“Aku tidak pernah mengatakan bahwa aku adalah ibumu.” Ujarku sengit. Ia menunjukan senyuman miringnya dan mengangguk.
“Kalau begitu kau tidak bisa menentukan apa yang boleh dan tidak aku lakukan.” Ujarnya, kini mimic gelinya tampak jelas. Aku melongo menatapnya, berjuta sial! Berani-beraninya dia.
“Terserah!” desisku sinis, kemudian berbalik untuk berlalu pergi. “Tapi kalau kau ingin mengganggku dengan melakukan semua hal konyol ini, kau tidak akan pernah bisa.” Tuturku sebelum melangkah.
“Aku melakukannya karena aku mencintaimu.”
Langkahku berhenti sejenak, namun sedetik kemudian aku meneruskannya, berlalu menaiki anak tangga, melewati lorong-lorong kelas, masuk ke dalam lift, dan kembali berjalan ke dalam kelasku dengan hati hancur.
Kata cinta itu begitu menyakitkan. Masih terasa meremukan hatiku, meski aku sudah berusaha berdiri setegar mungkin. Dan tidakkah ia mengerti itu?! apa selama ini aku terlihat begitu bahagia, tertawa terbahak hingga hampir menangis?! Apakah aku terlihat baik-baik saja?! Hingga tidak ada sebuah rangkulan datang, yang sebenarnya paling ku butuhkan saat ini.
Tapi pada akhirnya aku malah menemukan sosok yang siap menumpahkan air garam pada lukaku yang bahkan belum pernah mengering sama sekali.
***
Tetesan hujan itu turun dengan perlahan. Aku masih mengikuti kelas bu Aini yang terkenal membosankan, namun menurutku cukup penting. Keningku berkerut sambil menatap gumpalan awan kelabu yang menjadi pemandangan utama jendela di sampingku. Padahal beberapa saat yang lalu matahari masih bersinar dengan sangat terang, memberikan panas yang membuat orang-orang membuat kipas dadakan dengan kertas, buku, atau apapun yang mereka pikir bisa menghilangkan panas itu.
Aku mencibir pada diriku sendiri ketika pikiranku melayang kepada sosok pemuda yang ku temui dua jam yang lalu di parkiran. Ah bodoh, dia pasti sudah pergi. Lagi pula, ini bukan serial FTV, tidak ada mahluk berjenis kelamin laki-laki yang bersedia menunggu di bawah guyuran hujan. Ini adalah kehidupan nyata, dimana kaum pria lebih takut pada air dari pada berharap mendapatkan decakan kagum penuh kasih dari pasangan mereka ketika melihat bahwa prianya rela menunggu di tengah guyuran hujan.
Ini kehidupan nyata. Aku mendesah pasrah pada pemikiran itu. kehidupan nyata yang kini terasa sedikit membuatku lemah. Tidak. Aku sudah berjanji pada bibi untuk bertahan. Aku adalah Zahra, aku bukan gadis lemah, aku akan baik-baik saja meski mungkin akan menangis sekali atau dua kali. Tapi aku akan baik-baik saja. Harus.
Hanya saja aku tidak yakin, akankah pintu hatiku kembali terbuka dan menerima sekelebat bayangan cinta yang mungkin suatu hari nanti hadir di dalam hidupku. Tapi aku meragukannya. Karena rasanya sampai saat ini, aku sudah kehilangan hati itu. Gumpalan daging itu sudah membusuk karena di banjiri air mata duka, jadi bagaimana cinta itu akan tumbuh jika tidak ada tempat untuknya? Hanya seperti bagiamana mungkin janin akan tumbuh jika wanita itu tidak memiliki rahim.
Aku selalu merasa ingin menangis, dan muak pada diriku sendiri yang masih tidak bisa menahan gemuruh hatiku. Bukankah ini adalah keputusanku? Ini adalah hal yang ku inginkan. Lalu mengapa aku masih belum bisa mengikhlaskannya?
Ikhlas…
Ya, ratusan kali aku mengucapkan kata itu, namun satu titik pada diriku. Titik yang mungkin tersisa dari daging busuk yang mereka bilang hati itu, memaksaku untuk memberontak.
Tapi bagaimanapun caranya, aku akan tetap bertahan. Aku akan bertahan, aku harus.

3 komentar:

Unknown mengatakan...

hmm... ini ceritanya si Zahra yah setelah ditinggal Raka sepertinya ... lam kenal yah semua

Unknown mengatakan...

Senang dech.. Ada lanjutan cerita cinta Zahra. ✽̶┉♏∂ƙ∂șîħ┈⌣̊┈̥-̶̯͡♈̷̴.. Cherry.

Unknown mengatakan...

@ rafa sazkia : hehe ceritanya sih begitu...
salam kenal juga, :) terima kasih sudah mampir...

@mba nira : makasi juga mba nira... :) :) selamat menikmati... :*