Rabu, 22 Juli 2015

SHADE - 3

Aku bertanya kepada Tuhan,

Apa yang sebenarnya ia persiapkan untukku?

Mengapa sangat sulit menemui kebahagiaan itu?

“Ka, kamu belum siap? Kita berangkat jam 12 loh, kamu mau ikut nggak sih?” tanya mama ketika melihatku masih terduduk dengan kaos belel dan celana tanggung di depan laptop. Dan belum mandi sama sekali, bahkan aku belum menggosok gigiku dari pagi.

Bibirku masih terkatup rapat. Kalut. Ketakutan kehabisan waktu.

Dengan langkah gontai aku berjalan ke lemari, mengambil beberapa potong kaos dan celana, lalu memasukannya ke dalam tas. Sesekali aku melempar pandang ke luar jendela, menatap cahaya matahari, menyusun kepingan kekuatan.

Apa aku kalah?

Aku masih belum bisa menangis. Mulutku masih terkatup, tak bisa bicara atau tersenyum, seakan seluruh perasaan itu membungkam mulutku. Aku pasti sangat terpukul. Tidak pernah aku merasakan perasaan ini sebelumnya. berkejaran dengan waktu.

Lagi-lagi aku melirik jam dinding, lalu ponselku yang masih mati. Tidak ada tanda-tanda ia akan segera menghubungiku. Bodoh, aku gadis terbodoh. Dengan hati kebas aku mengambil ponselku, menghapus nomornya untuk keseian kalinya, agar aku bisa berhenti mengirimi pesan konyol kepadanya. Agar aku bisa melupakannya, atau setidaknya itu adalah harapan terbesarku.

Pukul 11 siang, aku sudah siap dengan barang bawaanku, meskipun aku tidak tau apa yang sudah aku masukan ke dalam koper. Aku sama sekali tidak bisa berpikir jernih. Otakku terbelah dalam kegalauan.

Muhammad Rayyan : Maaf yang, aku baru bangun.
Muhammad Rayyan : Kamu mau anter aku ke bandara? Aku sampai sana jam 4.
Muhammad Rayyan : Aku buatin lagu buat kamu, buat kita, semoga kamu suka yah…
Muhammad Rayyan : Audio

Aku memutar lagu itu, rasanya seperti meminum air yang sangat sejuk di tengah kemarau panjang.

Jam 4? Aku berangkat jam 12 siang!

Untuk pertama kalinya setelah 48 jam aku menangis. Aku jatuh terduduk di samping ranjang sambil menggenggam erat ponselku, rasanya sangat menyakitkan. Seperti aku akan mati. Air mataku tidak bisa berhenti menetes, melodi yang ia buat begitu indah, dan sangat menyakitkan di hatiku.

Aku kehilangan arah. Emosiku pecah berantakan. Bendungan rasa sakit itu terurai tanpa diminta.  

Sabilla Amira : Aku suka lagunya.
Sabilla Amira : Aku mau banget anter kamu ke bandara, tapi aku berangkat jam 12 yang. Maaf.

Muhammad Rayyan : Maafin aku yah yang, aku banyak salah banget sama kamu. Tapi aku pulang lagi bulan agustus ada tugas dinas ke Jakarta, dan lebaran iedul Adha juga aku pulang.

Aku tidak yakin apakah aku bisa berharap lagi.

Aku kehilangan seluruh mimpi dan kepercayaanku, meskipun tentu saja sosok bodoh di dalam diriku tidak akan pernah membiarkan dongeng padam di dalam benakku.


Entah lihat saja nanti sejauh apa angin akan menerbangkan lukaku. 


0 komentar: