Minggu, 17 Februari 2013

Kupu-Kupu Irina



Irina termenung sendiri di kamarnya, memutar-mutar pulpennya ke kanan dan ke kiri, sesekali melirik ke arah handphone di samping buku tulisnya yg terbuka lebar, tidak, bukan sesekali, tetapi ratusan kali, berharap layar hitam yang tampak bergores-gores karena pemiliknya selalu membukanya dengan tidak sabar itu, akan menyala. Ia mendesah lelah, menunjukan keputus asaannya atas harapan bahwa touchscreen itu akan menyala, dan menunjukan masuknya pesan singkat atau apalah yang menunjukan kepedulian sosok itu akan dirinya. Namun hingga 30 menit kemudian layar itu tetap mati, diam tak bergerak di sudut mejanya yang penuh oleh benda-benda berdebu tipis. Ia melirik bingkai foto yang berdiri tepat di depan loker kosmetiknya, kemudian membalikannya dengan kesal. Hilang sudah mood mambaca bukunya.



Irina merangkak ke ranjangnya yang berjarak hanya dua langkah dari meja belajarnya, lagi-lagi sambil membawa ponsel itu bersamanya, memutar-mutar sisinya dan berharap (bahkan berdoa sepenuh hati) jika sosok itu akan menghubunginya. 

Ya tuhan, jika seperti ini resahnya mencintai seseorang itu, ia tidak akan pernah ingin jatuh cinta. Akan ia bakar semua kupu-kupu yang semakin hari semakin bertambah di perutnya, seakan melahirkan 1000 anakan per setiap detiknya. Ia hampir mual dengan kupu-kupu itu, perutnya sudah seperti taman lavender atau mawar yang di penuhi kupu-kupu berjuta warna dan bentuk. Dan sialnya tidak ada satupun yg terbang menjauh atau mati. Mereka malah bertambah banyak dan banyak dan banyak. Hingga kini memenuhi perutnya bagai toples beling dengan ribuan kupu di dalamnya, berdesak-desakan memperebutkan udara, namun mereka hidup.


Irina menatap jam bulat di dinding kamarnya, memicingkan matanya agar bisa melihat dengan jelas di balik kegelapan.


Pukul 22:22
Dan 'masih' tidak ada tanda-tanda layar ponselnya akan menyala. 
"Ah! Peduli setan denganya!" runtuknya kesal, menyerah pada harapan mustahil itu. Ia merebakan kepalanya di atas bantal, mencoba menciptakan posisi senyaman mungkin, berguling sedikit ke kanan, menarik ujung bantalnya, menepuk-nepuk pelan, merebahkan lagi kepalanya, menarik bantal kecil untuk menutupi matanya, menggeser-geser kakinya, dan beribu cara lain terus ia lakukan untuk mencapai kata 'nyaman' itu.


Namun hingga pukul 00.51 ia nasih terjaga, tidak peduli berapa domba yang sudah ia hitung.
Dasar bodoh! Makinya dalam gelap, kemudian mengeser sedikit tubuhnya ke sisi kiri ranjang, meraih remote tv dan mengarahkannya kedepan, ketempat tv plasma itu di tempelkan dengan apik, namun lagi-lagi berselimutkan debu tipis. 

Ia menyalakannya dengan sekali tekan, mencari-cari acara malam yang mungkin layak untuk di tonton, menuju saluran paling jauh, hingga kembali lagi pada saluran di urutan pertama. 1 jam berlalu dan ia masih tidak menemukan sesuatu yang layak di lihat, dan tentunya bisa mengalihkan pikirannya atas pemuda itu.

Ah lagi-lagi kupu-kupu dalam perutnya berterbangan kesana-kemari, seakan menari riang untuk merayakan sebuah hal tak kasat mata namun jelas terasa. Semakin sering mereka berputar, semakin mual irina dibuatnya.

Irina duduk di ranjangnya, lelah berbaring karena hanya akan membuat kupu-kupu itu semakin leluasa menarikan tarian konyol mereka. Mengitari sesuatu yang mereka anggap api unggun, dengan bongkahan berwarna merah kekuningan sebagai pusatnya. Saling berdansa berpasangan, membentuk sebuah gerakan acak namun teratur. Diluarnya, irina mulai nerasakan lututnya gemetar, ia merasakan hatinya terjepit resah dan kesal. Dengan perlahan di tekuknya kedua lututnya hingga ia bisa memeluk keduanya erat-erat, menahan nafasnya sesekali, kemudian.menghembuskannya dengan segera.

Ia sudah lelah dengan semua rasa ini, ia sudah muak. Sosok ringkih Irina berjalan perlahan ke sudut kanannya, tempat lemari pintu gesernya diletakan, ia menggeser pintu sebelah kirinya dengan perlahan. Tidak mau mengganggu orang lain di malam selarut ini. Kemudian jari kecilnya merogoh kedalam lemari, wajahnya menghadap kesamping karena terhalang baju yang di gantung. Baunya tampak penuh oleh kamper pengharum pakaian, membuatnya terpaksa mengernyitkan hidung sambil tangannya terus merogoh ke dalam.
"Nah dapat!" pekiknya, kemudian menarik sebuah kantong plastik berwarna pink pucat tanpa label toko atau apapun di kedua sisinya, pegangannya berwarna lebih gelap, namun jelas cocok untuk menjadi tempat kado valentine beberapa hari kedepan.

Irina tersenyum sendiri dalam kegelapan, kaki kirinya mendorong pintu lemari itu kembali menutup, kemudian ia berjalan kembali ke ranjang dengan senyuman dan mata yang tidak pernah lepas dari bungkusan berwarna pink itu. Ia duduk di sisi ranjangnya, menghadap cermin panjang sekaki yang terpasang di pintu lemarinya. Ia tersenyum pada bayangannya, kemudian melihat gadis di cermin itu mengangguk, maka hatinya semakin riang.

Bagi orang lain, mungkin kantung itu akan seperti bungkus coklat, permen, jepit atau kosmetik terbaru. Dengan warna pink feminim dan bahan yang berkualitas baik. Gemersiknya menimbulkan ide lain, mungkin botol parfum isi ulang, atau botol lotion untuk tubuh, atau mungkin krim wajah pemutih. Tapi jika melihat seringaian gadis itu siapapun akan berpikiran jika benda di dalam sana adalah sebuah berlian indah, cincin bermahkota mutiara besar, atau giwang berwarna keperakan. Apapun itu jelas membuat sang gadis tersenyum lebar penuh kemenangan dan kebahagiaan.

Ia sudah muak dengan tingkah kupu-kupu aneh di dalam perutnya, dan tadi, sepulang sekolah ia mampir kesebuah toko hewan kecil di ujung blok perumahannya. Seorang wanita berumur sekitar 23 tahun berdiri di belakang meja kasir, menyapanya dengan ramah, namun segera kembali sibuk menghitung receh untuk kembalian pembeli selanjutnya. Irina tidak peduli juga, langkah kakinya menelusuri lorong-lorong yang dibatasi oleh rak rak tinggi menjulang, tempat makanan berbagai macam binatang di tumpuk dalam berbagai ukuran dan rasa. Ada juga benda-benda mungil berwarna warni dengan label mainan hamster. Irina tersenyum geli ketika melihat jungkat-jungkit kecil yang juga di peruntukan bagi para hamster gendut yang kebanyakan makan kuaci bergaram, dan jelas menjadi bulan-bulanan pemiliknya. Lagi pula mana ada permainan jungkat-jungkit di kehidupan asli para hamster itu?!

Irina meneruskan langkahnya, menatap rak memancing dengan tak acuh, pancingan berbagai jenis dengan kail dan benang aneh yang akan menyayat kulit jika tidak hati-hati, penyerok ikan dari ukuran teri hingga tuna besar, atau bahkan umpan ikan-ikanan imitasi yang sangat-teramat-tidak menyerupai ikan sungguhan, Apa yang pemancing itu harapkan dengan mengumpan ikan imitasi berwarna mencolok ini? Batinnya penuh keraguan.

Kamudian langkahnya terhenti saat melewati rak penuh bungkusan pembasmi hama. Ah... Ya, rak pembunuh, rak racun. Irina berdiri di depan rak itu selama sepuluh menit, mulai ragu dengan apa yang hendak ia lakukan. Jantungnya berdegub kencang, namun matanya terus mempelajari setiap bungkusan itu dengan teliti. Mencoba mencari sesuatu yang sesuai dengan yang di butuhkannya.

"Mencari sesuatu?" Irina tersentak ketika mendengar suara itu, ia menyingkir selangkah ke belakang, dengan mata yang masih terbelalak pada sosok di hadapannya. Sosok itu tersenyum ramah, namun Irina yakin itu hanya topeng yang di gunakannya pada setiap pengunjung. Kemudian ekor matanya menyapu tubuh sang pemilik suara merdu itu. Tubuhnya tegap dengan tinggi 170-180 -mungkin, rambut hitam sedikit berantakan, tangannya terpaut di belakang punggungnya, dengan kaos merah hitam ciri pekerja di toko hewan itu.

Bukannya tidak tau kalau pemuda itu bekerja di sini, namun tetap saja setiap kali melihat sosok itu ia akan terperangah seperti idiot melihat keajaiban. Dan kupu-kupu itu akan kembali beranak pinak kemudian menari riang di perutnya.

Hatinya terasa perih, terlebih ketika menyadari senyuman itu bukan dikhususkan untuknya, tapi untuk seluruh mahluk yang melewati pintu kaca toko ini, dan mendentingkan loncengnya, terlebih jika sampai membuat laci kasir bergemerincing tanda selembar rupiah berpindah tangan.

Ada kurungan-kurungan besi di sisi kanan toko itu, tepat bersebrangan dengan kasir, hingga sang penjaga kasir bisa memperhatikan hewan-hewan kecil yang menjadi bahan dagangannya. Seekor kucing mengeong-ngeong kelaparan, bau pesing hamster tercium dimana-mana meski mereka sudah memasangkan berbagai pewangi ruangan di setiap sudut, bahkan seekor kelinci tampak mengendus-endus makanannya bagai anjing pelacak mencari buruannya. Semuanya berkaki, tapi tidak ada yg bersayap. Toko ini tidak menjual burung atau apapun yang memiliki sayap, kecuali jangkrik kecil untuk pakan -jika sayap kecilnya di perhitungkan.

"itu," katanya sambil menunjuk kotak kayu di sudut ruangan, tertutup dengan lubang-lubang kecil untuk udara. Wajah pemuda di hadapannya menoleh, mengikuti arah telunjuknya berhenti. Ia mengernyit menatap kotak tempat jangkrik hidup itu disemayamkan.

"kau mau jangkrik?" tanyanya sedikit ragu, tautan jemarinya sudah jatuh di kedua sisi tubuhnya. Menggantung seperti jambu monyet di pohonnya yang kekar.

Kepala cantik Irina menggeleng, membuat kerutan di kening pemuda itu semakin dalam. Tidak ada benda lain di pojok itu, selain dua peti jangkrik hidup dan bebatuan untuk akuarium yang disimpan dengan apik di dalam akuarium pecah tak terpakai.

"Racun, Racun seranggga," ujar Irina pelan, tubuhnya kaku bagai robot, kembali menghadap rak berisi bungkusan yang memiliki isian berbau aneh di dalamnya.

"Untuk apa?" itu bukan pertanyaan yang pantas dilontarkan pada pembeli manapun kecuali bocah di bawah sepuluh tahun yang membeli racun serangga atau alat-alat tajam. Itu pun mereka akan berpikiran jika bocah itu ditugasi oleh ayahnya dengan upah seperak dua perak. Namun tatapan aneh gadis itu membuatnya ingin bertanya.

"membunuh kupu-kupu," jawab Irina masih sekaku tadi. Wajah pemuda itu kembali menampakan mimik heran.

Bukan kah wanita menyukai kupu-kupu? Batinnya penuh tanya. Namun tangan panjangnya tetap meraih bungkusan berwarna gelap bergambar serangga di bahian teratas rak. Dengan ragu-ragu ia menyerahkannya pada Irina, dan gadis itu langsung berjalan ke kasir, menghampiri wanita yang sedari tadi sudah menyelesaikan tugas menghitung koinnya.

Seperti biasa ia tidak memperdulikan apa yang pengunjung itu beli, baginya asal semuanya sesuai aturan, maka ia tidak akan mengusik sama sekali. Wanita itu menekankan sisi belakang bungkusan racun serangga itu ke mesin berlampu merah di hadapannya, matanya terfokus ke layar komputer untuk memastikan entrinya masuk dengan jelas, kemudian menyebutkan harganya, dan memasukan bungkusan itu ke kantung plastik pink pucat tak berlabel.

Irina mendesah lega ketika akhirnya transaksi itu selesai, buru-buru ia menyerahkan uangnya kemudian berbalik ke arah pintu, berharap segera terlepas dari tatapan aneh pemuda yang kini berdiri di samping rak majalah hewan dan tumbuhan di samping meja kasir.


Teng.
Satu dentingan lonceng terdengar ketika Irina membuka pintu kaca itu, matanya sedikit awas dengan jantung yg masih berdetak kencang.


"Irina,tunggu!" Irina terpaku tepat di ambang pintu, matanya menatap lalu lintas di depan toko, tangan kirinya menggenggam handle pintu dengan erat, menyeimbangkan detak jantungnya yang semakin tak menentu. "Aku akan membantumu mengusir kupu-kupu itu, tanpa menggunakan racun," tambahnya.

Irina sedikit melirik kebelakang, dan meski hatinya memberontak, ia tetap mengangguk. "Aku akan meneleponmu nanti sore," ujarnya, dan Irina pun berlalu pergi dengan mencengkram erat-erat bungkusan berwarna pink pucat itu. Segores senyum bahagia terpampang jelas di wajahnya yang polos. Dan untuk pertama kalinya ia turut menari dengan jutaan kupu-kupu di perutnya.

Ia merasakan kebahagiaan yang teramat sangat ketika pemuda itu menanggil namanya, merdu, santai dan indah. Ia bahkan berkata hendak meneleponnya tanpa sebelumnya meminta nomer ponselnya terlebih dahulu, bukankah itu berarti pemuda tampan itu sudah memiliki nomornya? ah pemikiran yang sangat indah. Membuatnya tersenyum begitu lebarnya. Ia benar-benar tidak menyangka jika pemuda tampan yang sudah menjadi teman sekelasnya selama 3 tahun di bangku SMP ini mengetahui namanya, bahkan nomor ponselnya!

Dan begitulah, hingga akhirnya hari itu berganti, tepat pukul 1.26 WIB, Irina sudah melahap habis isi bungkusan berwarna pink pucat itu, menyiram jutaan kupu-kupu yang bersemayam dalam perutnya, menyerah pada harapan semu akan kepedulian sang pemuda tampan itu kepadanya. Dan di detik ketiga cairan panas itu menuruni tenggorokannya, ia bisa melihat jutaan kupu itu melayu, sayap mereka perlahan menciut, melemas bagai kain tak bertopang, hingga akhirnya berubah warna dari terang ke merah, merah ke biru, biru ke hitam, dan semakin gelap dan gelap setiap detiknya, segelap pandangannya sebelum akhirnya hilang sama sekali. dan mati.



-the end-
C.A

5 komentar:

lovelywoman1 mengatakan...

Ya ampuuuuun :o
Irina'y bnuh diri ya? Kasian.. akbat janji yg tak di tepati :'(

Bagus crta'y cher!

Unknown mengatakan...

Makasiii mba sila... :) :)

Unknown mengatakan...

Astagaa~
Kasiian :'( kenapa musti bunuh diri
Keren ceritanya :D

Unknown mengatakan...

mati donk si Irinanya??
Aah,,, Ziaaa,,
Knpa bisa sad ending???
Hadewh,,,
Tapi,,keren ceritany,,,sukaaa,,,

Unknown mengatakan...

iya yah... kenapa mesti bunuh diri?? *mikir serius*
kayaknya dia ababil parah deh... hihihihi

makasi mba Herlina Santi..
makasii mba Riss... :)

kalo ada inspirasi nanti aku buat lanjutannya... hihihi