Rabu, 20 Februari 2013

CAHAYA CINTA -12-




Langkah Anna terhenti, bukan karena memang ia harus berhenti di sana, namun tubuhnya mendadak kaku, hatinya sedikit bergetar, dan entah sadar atau tidak ia tampak kehilangan jiwanya untuk sesaat, melanyang begitu saja, kemudian kembali hadir dalam sosok yang berbeda.
“Assalamu’alaikum,” bisik Anna pelan, membuat orang-orang yang ada di dalam ruangan itu langsung menoleh kepadanya. Bagai slow motion dalam film-film aksi, detik-detik setelah itu tampak begitu lambat, seakan Tuhan sengaja meminta mereka kembali memikirkan apa yang akan mereka lakukan setelah ini.
“Walaikum salam,” Aisah yang pertama kali tersadar dari keterkejutannya, namun tidak seperti biasanya, kini wajah tenangnya sedikit menghilang.
“Anna…” Amy yang sedari tadi mengamit lengan Zahra melepaskannya begitu saja, matanya terpaku menatap sahabat baiknya yang tengah berdiri di ambang pintu. Ia berjalan tertatih melewati sofa-sofa di ruang tamu, matanya mulai berair karena kerinduannya pada sang rembulan selama ini. “Ya Allah Anna…” bisiknya tidak percaya. Ditatapnya lekat-lekat sosok cantik berjilbab biru muda itu penuh kasih.
Anna masih mematung di sana, berdiri-diam tak bergerak, meski hatinya tentu saja memberontak, meneriakan berbagai kata asing untuknya. Ia mulai merasa lelah, namun ia ingin berlari, meninggalkan seluruh kisah ini, meninggalkan kenyataan yang tidak sesuai dengan keinginannya, berpura-pura tidak pernah mendengar kata-kata itu, namun tubuhnya membeku.
Ia mendengar suara sahabatnya, ia tau Amy sudah berada tepat di hadapannya, namun mata indahnya sama sekali tidak bisa terlepas dari sosok itu, sosok jangkung yang berdiri tepat di tengah ruang tamu, wajah tampannya begitu sulit terbaca, namun dengan jelas menampakan perasaan lega yang luar biasa. Di sampingnya Arya masih ternganga tidak percaya jika akhirnya ia bisa kembali melihat sosok indah itu menginjakan kakinya lagi di panti ini.
Anna merasakan dadanya mulai sesak, tatapan hangat pemuda itu entah bagaimana mampu membius dirinya untuk semakin tenggelam dalam jurang yang tidak pernah ia ingin sentuh lagi. Namun ia juga tidak ingin meninggalkan jurang itu, terlalu banyak harta karun yang tersimpan di sana, dan ia tidak ingin meninggalkannya, ia tidak ingin membaginya. Tatapan mata Raka mulai melembut, kemudian menyiratkan sebuah kepedihan yang tak terucap, begitu rapuh dan tak berdaya. Hati kecil Anna memberontak, ia ingin menenangkannya, ia ingin mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Ia terhenyak ketika merasakan hatinya jatuh begitu saja dari tubuhnya, berlari mendahului raganya untuk memeluk Raka. Namun selangkah lagi hati itu sampai di tempatnya berdiri, sebuah batu runcing menghancurkannya, meremukannya dalam sekali gerakan. Seorang gadis cantik entah sejak kapan, berdiri di belakang Raka. Dengan perlahan ia menggenggam tangan kanan Raka yang membeku di sisi tubuhnya. Membuat Raka tersentak, dan langsung menoleh pada gadis itu.
Zahra tersenyum tipis, namun jelas matanya menyiratkan lebih dari hanya sekedar senyuman simpul yang sopan. Genggamannya semakin erat di jemari Raka, seakan menyentaknya untuk kembali ke dunia nyata, menghadapi kenyataan dan melupakan semua mimpi semunya.
“Anna…” bisik Amy pelan seraya menyentuh lengan atas gadis itu. Bagaikan robot, Anna menoleh dengan kikuk padanya. Amy menggigit bibir bawahnya untuk menahan tangis ketika melihat luka yang telukis jelas di kedua mata Anna.
“Maaf.” Bisik Anna pelan, kemudian dengan wajah dinginnya ia menatap ke arah Raka, lalu berpaling lagi ke arah Aisah. “Ummi maaf, ada yang ingin aku bicarakan,” ujarnya pada wanita tua itu.
“Ya Anna, kita bisa bicara di ruangan ummi,” ujar Aisah lembut, Anna tersenyum sopan dan mengangguk.
“Maaf mengganggu kalian,” bisik Anna, entah mengapa hatinya merasa sakit. Seakan merasa terhianati. Raka masih mematung dengan tangan Zahra di genggamannya. Matanya menatap sosok Anna yang berjalan pelan melewati ruang tamu, melewati mereka tanpa menoleh.
“Anna…” panggil Raka sesaat sebelum Anna masuk ke dalam ruangan Aisah di sayap kiri gedung tua itu. Anna terdiam sejenak. Hatinya benar-benar terasa sakit, ia ingin menoleh untuk melihat sosok pemilik suara itu, namun ia tidak yakin apakah ia bisa menahan sakit melihat sosok gadis lain di sisi Raka. Mampukah ia?
***
“Anna…” Hati kecil Raka langsung bersorak ketika panggilannya menghentikan gerakan Anna membuka pintu ruangan Aisah. Ia sudah tidak bisa menahan dirinya untuk tetap berdiri di sana, berdiri beberapa meter dari sosok yang sangat dikhawatirkannya. Ia hanya ingin memastikan Anna sudah benar-benar merasa lebih baik. Tubuh kokohnya mulai bergerak maju, namun remasan pelan dari jemari yang untuk sesaat ia lupakan ada di genggamannya, seakan menjatuhkan tubuhnya, menariknya bagai jangkar kecil yang memiliki kekuatan super, mengembalikannya pada kenyataan yang ada di depan matanya.
“Raka,” bisik Zahra di sampingnya, wajahnya sedikit pucat dengan tatapan mata yang memperlihatkan ketakutan dan jelas terluka, membuat Raka meringis pilu dan memaki dirinya sendiri. Sosok itu begitu ringkih, begitu rapuh di balik pribadinya yang pemberontak dan keras kepala, begitu butuh perlindungan. Dan jiwa Raka ingin melindunginya, ia ingin membimbing gadis itu menemukan cahayanya kembali, mengembalikan kepercayaan gadis itu sepenuhnya.
Remasan tangan Zahra kembali menyadarkannya dari segala pemikiran semu yang memenuhi otakknya, kemudian dengan perlahan ia kembali menatap sosok Anna yang kini sudah berbalik menghadap mereka, membelakangi pintu ruangan Aisah yang terbuka sedikit.
“Aku senang kau sudah lebih baik,” ujar Raka dengan senyuman tipis di wajahnya yang sendu. Anna membalas senyuman Raka dan mengangguk sopan, kemudian berbalik masuk ke ruangan Aisah. Hatinya benar-benar terpilin perih ketika melihat sorotan mata ketakutan dari gadis itu, gadis yang pernah ditemuinya beberapa waktu yang lalu, gadis yang memintanya meninggalkan Raka-nya.

Aisah sudah duduk di belakang meja tuanya ketika Anna mengambil kursinya, duduk dengan wajah tertunduk menatapi tautan jemarinya di atas pangkuannya, bagai bocah kelas lima yang ketahuan menyontek di ruang ujian. Hening untuk beberapa saat. Hingga akhirnya di menit ke-7, Anna mengangkat wajahnya ketika Aisah berdeham pelan.
“Ummi pikir kau ingin mengatakan sesuatu,” ujarnya lembut. Anna mengedarkan pandangannya ke sisi lain meja tua Aisah, dan mendapati sebuah undangan berwarna biru berada di tumpukan teratas kertas-kertas lainnya. Secepat kilat Anna menutup matanya, dan berusaha keras menjaga emosinya, melenyapkan seluruh pemikirannya tentang semua hal itu.
“Iya ummi, aku kesini untuk meminta Aisah. Aku bermaksud untuk mengadopsinya ummi.” Tutur Anna ketika bisa mengendalikan gemuruh jantungnya. Ummi tersenyum lembut penuh kasih. “Aku ingin menjaganya,” tambahnya pelan, dan ia tau itu adalah sebuah kebohongan. Bukan ia yang akan menjaga gadis kecil itu, tapi Aisah kecil lah yang akan menjaganya tetap berdiri di atas semua luka ini.
“Anna… Allah menciptakan makhluknya dengan sangat sempurna, begitu adil dan bijaksana dalam penempatan bagian-bagiannya. Begitu pula mata indahmu, mereka terlalu indah nak, terlalu jernih, hingga rasanya ummi bisa melihat segores luka yang kau sembunyikan dari setiap kata-katamu,” Anna terhenyak di kursinya. Kedua tangannya meremas bahan yang membungkus tubuh indahnya. “Ummi tau kita sudah lama tidak bertemu, tapi kau tetaplah putri ummi, gadis kesayangan ummi. Kau sudah banyak membantu panti ini, membantu bintang-bintang kecil itu. Ummi sangat mengenalmu Zainna. Ummi tidak memaksamu untuk bercerita pada ummi, mungkin itu adalah sebuah ketidak sopanan, tapi ummi sudah menganggapmu sebagai putri ummi sendiri, ummi menyayangimu, dan ummi juga terluka saat kau terluka—“
Tanpa berkata-kata lagi Anna langsung berlari memeluk sosok ummi, menumpahkan seluruh luka yang selama ini dipendamnya. Ia membenamkan wajahnya di atas pangkuan Aisah. Aisah tersenyum perih sambil terus membelai kepala gadis cantik itu, mata tuanya menerawang jauh menatap kelamnya malam yang tak berhias cahaya rembulan sama sekali. Pikirannya melayang, membuka kembali memori lamanya ketika ia menangis perih di balik pintu kamarnya, begitu terluka ketika melihat orang-orang itu membawa jasad suaminya yang sudah tak bernyawa.
“Ummi akan memanggilkan Aisah,” bisiknya pelan seraya terus membelai kepala gadis itu, membuat tangannya terlalu sibuk, bahkan hingga tidak bisa menghapus tetesan air mata yang mengalir dari mata tuanya.
***
Aisah kecil berjalan perlahan ke kantor Panti, sesekali ia memainkan ujung-ujung kerudungnya, bersenandung pelan sambil menghentak-hentakkan langkahnya, mengingat-ngingat nada yang tadi ia nyanyikan bersama Anisa di dalam kelas mereka. Ia tampak terlalu sibuk dengan lagu itu, hingga ia tidak menyadari wajah sendu ibu guru baiknya, ibu Amy yang terkenal tidak pernah bisa berhenti tersenyum ramah, yang kini tengah berjalan sambil menangis di sampingnya.
Ketika sandalnya menapaki lantai ruang tamu gedung kantor panti itu barulah ia tersadar, suasana tegang di dalam sana sampai membuat sosok gadis 8 tahun itu merinding tanpa alasan yang dapat ia mengerti. Aisah mendongkak menatap Amy yang masih mematung di sampingnya, dan betapa terkejutnya ia ketika melihat mata cantik itu tampak basah. Baru saja Aisah ingin menyentuh tangan Amy, namun panggilan lain langsung mengalihkan fokusnya.
“Aisah,” Aisah menoleh pada asal suara itu, matanya menyipit untuk memastikan siapa yang memanggilnya, kemudian senyumannya langsung mengembang ketika mengenali sosok cantik berbusana biru itu, dengan cepat ia berlari memeluk Anna yang duduk di samping ummi Aisah di ruang tamu bersama Arya, Zahra dan Raka.
“Kak Anna, aku kangen!!!!” teriaknya penuh kerinduan, sedih sekaligus senang. Anna memeluk sosok mungil itu dengan sangat erat, ia baru tersadar betapa ia sangat merindukan anak-anak itu, bintang-bintang kecil terindahnya. Namun ia sudah menumpahkan seluruh air matanya di ruangan Aisah beberapa saat yang lalu, hingga kini ia hanya bisa memeluk erat sang gadis kecil.
“Kakak juga sangat merindukanmu sayang,” bisiknya lembut. Aisah melepaskan pelukannya dan menatap lekat-lekat wajah cantik Anna. Ia membelai lembut pipi Anna, mata jernihnya menyiratkan cinta dan kerinduan yang luar biasa, membuat Anna merasa sangat menyesal karena telah meninggalkannya selama ini.
“Kakak kembali?” tanyanya lembut. Anna menggeleng perlahan.
“Kakak kesini untuk menjemputmu. Kakak ingin kau ikut pulang bersama kakak.” Belaian tangan Aisah langsung berhenti di kedua sisi wajah Anna, matanya membulat menatap Anna, merasa tidak percaya dengan apa yang ia dengar. “Apa kau mau sayang?” Tanya Anna lembut. Aisah memundurkan langkahnya beberapa senti, dengan kikuk melirik sosok ummi yang menatapnya penuh harap.
“Kau tidak bisa membawanya,” ujar Zahra tiba-tiba. Semua mata langsung tertuju padanya, menatap heran dan penuh Tanya. “Dia memiliki sahabat disini, Anisa.” Ujarnya lagi. Aisah kecil menundukan wajahnya, menatap lantai putih tak bernoda di bawah kaki kecilnya. Menghitung suara detakan jarum jam sebelum air matanya menetes.
Aisah menatap keponankannya dengan pandangan tidak percaya, bagaimana mungkin Zahra bisa berkata seperti itu. Tapi ia sendiri tidak bisa menyalahkan diri Zahra secara keseluruhan, gadis itu mengalami semacam kerusakan emosi yang tidak disadarinya. “Zahra kau tidak bisa berkata seperti itu,” tegur Aisah.
“Tapi itu benar adanya bi. Aisah dan Anisa bersahabat, ia tidak bisa datang begitu saja merebut salah satu dari mereka dan menghancurkan persahabatan mereka!” tutur Zahra tegas. “Sampai kapanpun mereka akan terus bersahabat.”
Tiba-tiba hujan turun cukup deras di luar sana, hingga membagikan sedikit aroma tanah yang begitu menyejukan.  Seorang bocah berlari tertatih melewati pekarangan yang menghubungkan kantor panti dan asrama putri. Nafasnya tersenggal-senggal ketika ia sampai di ambang pintu, kerudungnya sedikit basah karena menerobos hujan.
“Aisah, aku dapat ini…” ujarnya riang, matanya terfokus pada sosok Aisah yang masih mematung di depan Anna. Tangan kecilnya mengangkat sebuah buku kecil berwarna ungu muda. “Kak Anna?” tanyanya tidak percaya ketika melihat sosok cantik itu. Anna tersenyum ramah dan membuka lebar kedua tangannya untuk menyambut pelukan gadis berkerudung jingga itu. Ia tidak seantusias Aisah, namun tetap menyiratkan kerinduan yang sama dalamnya. “Kakak kembali?” tanyanya riang.
“Kak Anna kesini untuk menjemput Aisah,” ujar ummi pelan. Anisa langsung melepaskan pelukannya. Ia mengerutkan keningnya, menatap Aisah dan Anna dengan bingung. Kemudian wajahnya memerah menahan tangis, menunduk menatap ujung-ujung jari kakinya yang kotor terkena lumpur. Ia tidak berani menatap sahabat kecilnya yang berdiri hanya sejengkal di sampingnya.
“Oh, ya sudah kalau begitu aku pergi ke kamar dulu.” Ujar Anisa pelan, kemudian tubuh kecilnya berbalik menuju pintu.
“Anisa…” panggil Raka pelan. Anisa tidak mengentikan langkahnya hingga akhirnya Raka terpaksa menahan pergelangan tangannya. Ia menggeleng pada gadis kecil itu.
“Anisa sayang, tenanglah… kakak rasa, keputusan kakak kali ini tidak benar, kakak tidak bisa memisahkan kalian. Dan kakak memang tidak pernah berniat untuk memisahkan kalian, kakak menyayangi kalian berdua,” Anna tersenyum tipis, kemudian menghela nafas panjang. “Ummi,” katanya kepada Aisah. “Aku rasa sebaiknya aku pergi, Assalamu’alaikum, terima kasih untuk nasihat ummi.” Ujarnya seraya beranjak dari kursinya, dan berpamitan pada Arya, Zahra, Raka dan Amy yang masih membeku dan berkutat dengan segala pemikiran mereka masing-masing.
Anna mengeluarkan kunci mobilnya dari dalam tas, matanya menatap hujan dari ambang pintu. Sosok-sosok di dalam ruangan itu masih terdiam. Hingga akhirnya seseorang merebut kunci mobil dari tangannya dengan perlahan. Anna tersentak kaget dan langsung menatap sosok tampan Raka yang berdiri di sampingnya.
“Aku akan mengantarmu, sudah terlalu larut. Kau tidak baik berkendara sendiri.” Tuturnya seraya terus menatap hujan, rahangnya yang keras tampak semakin kaku, menatap lurus pada tetesan air yang kian membesar itu.
“Kau tidak perlu mengantarku,” ujar Anna kikuk seraya melirik sedikit kebelakang, melihat Zahra yang berdiri dari sofanya. “Sudahlah, aku bukan gadis sembrono seperti dulu Raka,” ujar Anna seraya hendak merebut kembali kunci mobilnya.
“Tidak. Biarkan aku yang mengantarmu, aku bisa pulang menggunakan bis,” ujarnya begitu dingin dan angkuh. Anna langsung terdiam ketika mendengar nada suara Raka yang begitu dingin kepadanya.
“Biarkan dia mengantarmu Anna.” Tambah Aisah.
“Bibi…” desis Zahra, tampak tidak terima.
“Sudahlah, aku bisa pulang sendiri.” Ujar Anna mulai tidak tahan dengan seluruh scenario itu.
“Diam, dan masuk mobil. Aku akan mengantarmu pulang.” Raka mencengkram pergelangan tangan kiri Anna, menatapnya lekat-lekat, menegaskan seluruh makna kata-katanya. Membuat Anna kembali merasakan mual dari dalam perutnya.
“Tunggu kakak,” panggil Aisah. “Apa kakak bisa menunggu sebentar? Aku harus mengambil beberapa barangku di asrama.” Ujarnya dengan senyuman tipis di wajahnya yang cantik. Anna menatap sosok itu tidak percaya.
“Tapi… kau dan Anisa…”
“Kakak, kami akan tetap bersahabat. Ya walaupun kami tidak lagi tinggal sekamar,” ujar Anisa pelan, ia menyeringai pada sahabatnya.
“Ayo kakak bantu membereskan barang-barangmu,” ujar Anna setelah diam sejenak. Aisah tersneyum dan mengangguk senang.
***
Sudah sampai pertengahan jalan, dan suasana di dalam mobil itu masih tetap sama, tetap bersikukuh dengan kesunyiannya yang menyisakan kecanggungan. Aisah sudah tertidur di pangkuan Anna di samping kursi kemudi. Bocah 8 tahun itu meringkuk, menyandarkan kepalanya di leher Anna, menikmati kelembutan dan aroma sang rembulan. Anna sendiri tidak pernah mengalihkan pandangannya dari jalanan yang gelap dan basah. Tangannya memeluk erat sosok mungil di pangkuannya.
Raka menghela nafas panjang untuk kesekian kalinya, ia benar-benar tidak bisa menahan gemuruh hatinya. Menatap sosok mungil Aisah yang tengah tertidur di pangkuan Anna membuatnya mulai merasa frustasi. Selama ini, sejak kecil, ia selalu mengagumi sahabat kecilnya itu. Sosok Anna yang lembut yang baik hati jelas memikat hatinya. Namun selama ini ia tidak pernah ingin merusak persahabatan mereka. Ia hanya ingin melindungi Anna, memastikan ia akan tetap tersenyum, dan bahagia bagaimanapun caranya.
Kemudian, ketika akhirnya mereka sudah sampai ke saat-saat menuju kedewasaan mereka, Raka mulai tersadar jika ia memang tidak akan bisa hidup tanpa Anna. Namun saat itu, ia begitu munafik hingga menolak cinta Anna. Tapi sejujurnya, ia memang tidak memiliki pilihan lain. Ia hanyalah pria buta yang tidak bisa melakukan apapun. Ia hanya pria biasa, begitu berbeda dengan calon suami yang sudah dipersiapkan untuk Anna oleh bibinya.
Impian Raka tidak pernah berubah; membahagiakan ibundanya dan menjadi orang yang berguna. Dan ketika ia tau jika ibunya sangat menyayangi Anna, ia sudah bersumpah untuk menjaga Anna. Ia bahkan pernah bermimpi memiliki keluarga kecil yang manis bersama Anna, duduk memegang kemudi, melewati jalanan gelap yang basah diserbu hujan, dengan Anna duduk di sampingnya, memeluk erat putra atau putri mereka, hanya seperti yang sedang mereka lakukan saat ini.

Raka menggeleng perlahan, menertawakan pemikiran konyolnya. Ia memarkirkan mobil Anna di depan rumahnya. Hujan sudah lama berhenti, hingga hanya menyisakan tanah yang basah. Raka bergegas keluar dari pintunya, kemudian membukakan pintu Anna. Gadis cantik itu menggeleng perlahan ketika Raka berniat menggendong Aisah yang masih tertidur. Akhirnya ia hanya membawakan tas-tas berisikan pakaian Aisah.
Anna langsung membawa Aisah ke kamar yang sudah di persiapkannya. Merebahkan tubuhnya dengan perlahan, dan mendaratkan kecupan lembut di keningnya. Kemudian kembali ke ruang tamu untu mengambil tas Aisah yang ada bersama Raka. Namun langkahnya terhenti di ujung anak tangga teratas ketika ia mendengar keributan dari lantai bawah, dengan perlahan ia menjulurkan lehernya untuk melihat apa yang terjadi di sana. 
PRANG.
Anna terhenyak ketika mendengar suara barang pecah, yang ia yakini adalah guci besar di ruang tamu. Kemudian di susul suara-suara aneh lainnya, suara pukulan, terjatuh, tendangan, suara perkelahian. Matanya mendelik ketika melihat Raihan melemparkan tendangan telak kepada Raka.
“Raihan hentikan!” teriak Darmawan. “Kau tidak bisa melakukan ini kepadanya!” tambah kakek tua itu.
“Hah?! Bukan kepadanya? Lalu kepada siapa? Kepada tubuh tuamu itu, hah?!” tuding Raihan. Kemarahannya tampak begitu jelas dari nada suaranya. “Dengar kakek tua! Kau tidak akan pernah bisa melakukannya! Kau tidak akan pernah bisa menggantikan kak Alan dengan siapapun! Kau tau itu?!! Kau bukan Tuhan. Kau tidak bisa menentukan kapan kak Alan akan mati!!” teriaknya lagi. “Dan sampai kapanpun aku tidak akan membiarkanmu melakukan hal buruk padanya!”
“Kau tidak mengerti.”
“Apa yang aku tidak mengerti hah?!!!” Tanya Raihan penuh emosi. “Oh, benar juga. Aku memang tidak pernah mengerti cara pikir orang busuk sepertimu. Kau bahkan tega mempersiapkan pengganti cucumu yang belum meninggal. Demi Tuhan, kau benar-benar brengsek.”
“RAIHAN!”
“Jangan kau anggap aku tidak mengetahui apapun tentang rencana busukmu, kakek tua. Kau sengaja memilih pemuda itu sebagai mengganti Alan di perusahaan dan sekaligus mewakili sekolah itu. Sebuah jabatan yang hanya bisa diberikan pada keluargamua, bukan orang asing sepertinya. Dan lucunya lagi, kau juga mempersiapkannya untuk menjadi pengganti suami Anna. Cih!”
Anna merasakan hatinya remuk. Kepalanya mulai berdenyut-denyut penuh duri dari kenyataan itu.
“Bahkan kak Alan belum mati… belum mati… belum…” Raihan menggeleng-geleng sambil jalan mundur perlahan.
Anna menggenggam erat pembatas tangga yang terbuat dari kuningan untuk menyeimbangkan tubuhnya yang mendadak lemah tak berdaya. Ia menatap tiga pria yang masih tersulut emosi itu dengan pandangan nanar penuh luka, merasa sepenuhnya terhianati.
“Pergi.” Desis Darmawan. Raihan tertawa keras dan mengangkat kedua tangannya.
“Kau lihat itu Anna?! Lelaki tua ini sudah merencanakan semuanya, ia bahkan menyiapkan pengganti kak Alan sebagai suamimu.” Teriak Raihan lagi.
BUG.
Raka melayangkan sebuah tinju tepat di pelipis Raihan, membuat pemuda itu tersungkur jatuh. Raihan menatapnya jijik seraya kembali berdiri.
“Cukup! Ku mohon, hentikan semua ini. Ku mohon…” pinta Anna, mulai terisak. Ia sudah muak melihat tetesan darah yang muncul dari setiap luka. Tatapan mata Raihan melembut menuh rasa bersalah ketika matanya bertemu mata Anna. “Pergilah…” bisik Anna penuh keperihan.  Dan tanpa mengatakan apapun Raihan berlalu pergi.
Anna menyeka air matanya, dan dengan cepat berlalu untuk mengambil kotak obat. Luka di pipi dan bibir Raka harus segera di bersihkan atau itu akan menyebabkan infeksi. Anna menarik tubuh Raka agar mau duduk di hadapannya, dengan telaten ia membersihkan luka Raka dan mengobatinya. Ia tau Darmawan duduk di sofa tidak jauh dari sofa mereka.
“Apakah yang dikatakan Raihan itu benar kek?” Tanya Anna seraya mengoleskan obat pada luka terakhir Raka. Darmawan terdiam, tampak bingung dengan jawabannya sendiri. “Kakek…” bisik Anna tanpa melihat sosok kakeknya di belakang. “Apa benar kek?” Tanya Anna.
“Anna kakek hanya ingin kau bahagia. Maafkan kakek sebelumnya karena tidak memeberi tahukan hal ini kepadamu,” suara tenang Darmawan mendadak hilang, ia terdengar begitu gugup dan takut. Anna menutup kotak obatnya dan membereskan seluruh peralatannya, berjalan perlahan ke rak berpintu kaca di dinding sebelah kiri ruang tamu, meletakan kotak obatnya di sana. Kemudian terdiam sejenak.
“Kakek tidak suka meliatmu selalu bersedih, dan kakek tau kau juga mencintai Raka, kakek ingin kalian bersama.”
Setetes air mata menghiasi sudut-sudut mata indah Anna.
“Kakek,” bisiknya pelan. “Raihan benar, kakek bukan Tuhan. Kakek tidak bisa membuat scenario dalam kehidupan ini, dalam kehidupanku dan kak Alan.” Ujarnya lembut, kemudian berpaling menatap Raka yang masih membisu. “Terima kasih sudah mengantarku.” Ujarnya sambil mengangguk santun, kemudian berjalan menaiki tangga.
“Tapi kalian saling mencintai.” Ujar Darmawan ketika Anna menapaki anak tangga ke tiga.
“Aku tidak mungkin jatuh cinta pada pria yang akan menikah dengan gadis lain kek,” Bisik Anna. “Assalamu’alaikum.”
 ***

4 komentar:

all about life mengatakan...

Aaaaa....kasihan anna

amanda qadira mengatakan...

aku tidak bs berkata apa2 cuma bisa nangis..hiks..hiks..hiks..sedih ambil tissu buat nglap air mata...
*

Fathy mengatakan...

Cherrryyyy sayaaaannnnngggggg
º°˚˚°º♏:)ª:)K:)ª:)§:)Ǐ:)♓º°˚˚°º Ɣª...
Cherry plis biarkan alan sadar. Jadi alan bs sama anna. Kshn zahra, gmnapun dia berhak bahagia, hiksss :(

Gmna kalo Anna ~ Alan
Zahra ~ Raihan
Abis kesel sama Raka ƍäªk bs menghargai perasaan'a Zahra...
Piss Zia... Pliss lanjutin yah
Peluk cium u Zia...

Unknown mengatakan...

tisu tisuuu...
*jualan lagi*
hehehehe

apa mba thy??? *siyokk*
trus aa Raka nya sama siapa dong???