Sabtu, 02 Februari 2013

TANIA



Mentari itu begitu indah, berwarna jingga dengan latar biru langit yang mempesona. Beberapa saat yang lalu baru saja hujan berhenti turun menyerbu bumi, menyisakan kesejukan yang menenangkan beberapa hati. Namun tidak untuk beberapa hati yang lainnya, hati dari orang-orang yang tengah menunduk di depan ruang ICCU. Mereka terdiam, namun hati mereka terus berteriak, memberontak, menuntut keadilan untuk setetes kehidupan putri yang mereka sayangi.
Seorang ibu paruh baya menangis di rangkulan suaminya. Ia terisak perih memikirkan nasib putrinya. Gadis itu bukanlah gadis penurut seperti yang diharapkannya ketika mengandung, namun gadis itu adalah pelita pertamanya, penghias harinya ketika ia gundah, pengukir tawanya.
Sudah lima jam mereka di duduk di tempat yang sama, hingga akhirnya ketika dokter itu keluar, mereka langsung terjaga dari kebisuan yang memilukan itu.
“Masa kritisnya sudah berlalu,” bisik dokter itu. desahan nafas lega langsung terbebas keluar dari dada orang tua sang putri. “Tapi, virus ini sudah menggeroroti persendiannya, ia terancam lumpuh, terutama bagian kakinya. Kami sudah berusaha sebaik mungkin. Namun sampai sekarang kami belum bisa menghentikan virus itu.” ujar sang dokter pelan, dan lagi-lagi air mata itu mengalir.
Warna senja itu begitu indah, begitu lembut dan mempesona, begitu kontras dengan warna sendu yang terbiaskan dari air mata seorang ibu untuk putrinya.
***
Tania mengerjapkan matanya beberapa kali. Sudah seminggu ia terbaring di rumah sakit itu. Tubuh yang sebelumnya sehat kini mulai tampak kurus tak bertenaga. Ia begitu lemah hingga tidak bisa menggerakan jemarinya. Namun entah mengapa matanya tidak pernah lelah meneteskan air mata.
Hari itu, 10 januari 2012, Tania mengernyit ketika melihat sosok lain dari keluarganya memasuki kamar rawat inapnya. Sosok itu mengenakan pakaian kasual, jeans dan t-shirt. Jaket hitam berada di genggaman tangan kananya. Ia mengenakan ransel besar, dengan sepatu kets yang tampak sedikit lusuh.
“Siapa kau?” Tanya Tania lemah. Sosok itu mendekatinya perlahan, menjatuhkan jaketnya begitu saja, kemudian mengulurkan tangannya pada Tania.
“Aku Reza,” bisiknya. Nafas Tania tercekat ketika mendengar nama itu. Nama yang selama ini selalu ingin di dengarnya, nama yang selama ini menghiasi mimpi-mimpi semunya. Nama sahabat kecilnya yang pergi bertahun-tahun lamanya.
“Terima kasih sudah datang,” bisik Tania pada pemuda itu, ia memejamkan matanya dan membiarkan setetes air mata mengalir dari matanya.
***
Tidak pernah ada yang tau apa yang terjadi pada hembusan angin itu, seakan rahasia yang tertutup rapat, namun jelas mempesona. Seperti cinta aneh yang mengalir pada mereka yang tidak pernah bertemu bertahun-tahun lamanya. Namun jelas terikat pada seutas benang yang tak terputuskan. Semenjak hari itu, Reza tidak pernah meninggalkan sosok Tania barang sejenak pun, bagai magnet yang saling menarik. Tania bergerak, ia akan turut bergerak.
“Kau harus pulang,” bisik Tania di minggu kedua ia dirawat. Sore itu begitu hening, hingga rasanya Reza bisa mendengar berbagai gurat perih dari kata-kata Tania. Ia masih berdiri di samping jendela, kedua tangannya tersembunyi di balik kantong jeansnya. “Kau punya pekerjaan di Makasar,” tambah Tania mencoba terdengar logis. Pemuda itu menoleh, matanya mengunci mata Tania, kemudian berjalan mendekat, dan duduk di kursi samping ranjangnya.
“Aku tau,” bisiknya perih. “Tapi aku akan segera kembali.”
“Kau tidak perlu kembali.” Ujar Tania lembut. Reza menatap Tania tak berkedip. “Aku ingin kau pergi dengan kenangan indah ini. Dengan keadaan aku yang masih hidup. Aku tidak ingin kau pergi ketika akhirnya aku mati kelak.”
Reza mengepalkan tangannya diatas pangkuannya, wajah tampannya berpaling begitu saja.
“Kau memiliki kehidupanmu sendiri, pekerjaanmu, kekasihmu—“
“Dari mana kau tau tentang itu?” potong Reza. Dengan lemah Tania tersenyum.
“Aku hanya menebak, dan jika itu benar, ia pasti sangat mengkhawtirkanmu. Kau sudah 7 malam bersamaku, pergilah. Aku tidak ingin kau melihatku mati.” Suara itu begitu lemah, begitu pelan. Hingga walaupun Reza marah dengan perkataannya, ia hanya bisa terdiam memendam amarahnya sendiri.
Reza bangkit dari kursinya ketika gadis itu memejamkan matanya kembali, bergerak ke sofa yang berada tidak jauh dari ranjang Tania, memasukan barang-barangnya kedalam ransel dan meraih jaketnya.
“Kak Reza mau pergi?” Tanya seorang gadis kecil yang baru saja membuka pintu. Wajahnya mendadak diliputi kesedihan. “Jangan pergi…” rengeknya pelan, tampak jelas menahan isakan yang mungkin bisa membangunkan kakaknya jika mendengarnya.
Reza berjalan perlahan ke arah gadis berumur 9 tahun itu, ia membungkuk dan mengecup keningnya perlahan. “Tenanglah Elena, jaga kakakmu baik-baik.” Bisik Reza sebelum berlalu pergi. Gadis kecil itu menggigit bibir bawahnya keras-keras, jemarinya memilin ujung bajunya, mencoba menahan tangis itu lagi. Namun ketika ia melihat mata yang tengah terpejam itu meneteskan air mata, isakkannya pun pecah.
***
Tania memandang hujan dari balik jendela kamarnya, entah sudah berapa banyak hujan itu turun, namun tampaknya tidak setara dengan deraian air matanya. Setiap hari, setiap detik hatinya akan terus terpilin perih ketika melihat sorot ketakutan dari orang-orang di sekitarnya. Mereka mencoba mengabadikan setiap detik dengan berbagai kamera, mereka datang mengelilingi Tania dan menceritakan kisah konyol yang membuat mereka semua tergelak, tenggelam dalam tawa palsu yang mereka harap bisa menyembunyikan keperihan itu. Namun Tania sangat menghargai semua uasaha itu, ia terus tersenyum manis ketika mereka datang satu persatu, ia tau, ini adalah kesempatannya meminta maaf atas semua kesalahannya sebelum akhirnya virus mematikan itu merenggut kehidupannya.
Kini, setelah dua minggu berlalu sejak kepergian Reza, dua lembayung hitam tampak menghiasi mata cekung Tania. Ia hampir tidak bisa beristirahat, matanya akan terus terjaga untuk menatap pintu kamar itu, berharap jika suatu saat sosok itu akan kembali membuka pintu kamarnya, dan hadir kembali untuknya. Namun ia tau, hidupnya tidak akan lama lagi. Virus yang dideritanya masih menjadi bahan penelitian di berbagai tempat. Virus mematikan yang baru saja dialami beberapa orang di seluruh belahan dunia.
Tania sudah menyerah, ia menyerah pada pengobatan itu. Ia mulai lelah berharap. Karena baginya, semua harapan itu sia-sia belaka, seperti usahanya menghitung tetesan hujan.
***
“Tania… Tania…” suara itu menggelitik kesadaran Tania. Kemudian terdengar petir dan derasnya hujan. Tania tersenyum miris dalam kegelapan, bahkan kini hujan menggodanya dengan menirukan suara yang paling dirindukannya. “Tania, aku datang,” suara itu begitu lembut, begitu tenang. Membuat hati Tania yang membeku pun mulai kembali mencair. Dan kemudian, kecupan lembut di keningnya mengetuk hati Tania, setetes air mata mengalir dari sudut matanya yang terpejam, perlahan bibirnya membentuk goresan senyum tipis, ia tau, pangerannya sudah kembali, tepat di hari berhujan ke tiga belas.

“Kau lihat, aku sudah memakai jas.” Kata Reza keesokan paginya. Tania mengernyit. “Aku masih ingat kau pernah menuliskan kalau kau menyukai pria ber-jas di emailmu.” Ujarnya, Tania mendesah geli. Selama ini, selama bertahun-tahun lamanya mereka berdua memang terus berhubungan dengan segala macam tekhnologi terbaru. Belanda-Indonesia. Hingga akhirnya, hubungan indah itu terputus, ketika Tania didiagnosa mengalami kelumpuhan. “Aku mendapatkan pekerjaan di sini. Kau tidak bisa mengusirku, aku adalah seorang direktur baru perusahaan elektronik di kota ini.”
Lagi-lagi Tania tersenyum lemah padanya. “Kau pantas mendapatkannya,” bisik Tania lemah. Ia tau pemuda di hadapannya memang pemuda luar biasa, ia bahkan bisa menyelesaikan S2nya dengan begitu cepat di Belanda.
“Sekarang kau tidak bisa memintaku pergi lagi. Aku sudah memiliki pekerjaanku di sini, aku sudah membeli sebuah apartemen, dan aku juga sedang membangun rumah. Kehidupanku di sini Tania, kehidupanku adalah dirimu.” Tania tercekat mendengar kata-kata pemuda itu, ia sempat melihat sosok orang tuanya yang tersenyum dan menangis secara bersamaan di balik pintu kamarnya, sebelum akhirnya mereka kembali berlalu meninggalkannya bersama Reza.
“Tapi aku bukanlah gadis yang sempurna. Aku bahkan belum menyelesaikan tugas akhir perkuliahanku, aku belum bekerja.”
“Ssst…” Reza meletakan jari telunjuknya di sisi bibir Tania. “Aku akan membantumu menyelesaikannya. Kau tau, aku adalah murid yang pintar.” Tania menatap geli sekaligus perih padanya. “Dan kau mendapatkan undangan wawancara dari lamaranmu, kau akan menjadi editor di sebuah perusahaan penerbitan sesuai keinginanmu.” Ujar Reza dengan binar penuh harapan di matanya.
“Tapi aku sakit. Aku bisa mati kapan saja. Aku hanya akan mengecewakanmu, aku hanya akan menyulitkan kehidupanmu…”
Reza terdiam. Ia menggenggam erat jemari gadis yang paling dicintainya. “Aku adalah pria yang tangguh Na, aku pintar, aku sukses. Namun aku tidak akan berarti tanpamu. Kita akan kuat jika terus bersama. Tidakkah kau mengerti itu?” tanyanya perih. Tania tidak menjawab. Ia tau Reza adalah pria terbaik yang pernah di temuinya. Ia tidak mengingkari hal itu, namun ia meragukan dirinya sendiri, pantaskah ia untuk pria terbaik itu.
“Kalau begitu, cium aku.” Bisik Tania. Reza hampir saja tersentak karena terkejut. Ia masih menggenggam jemari Tania. Wajahnya yang tampan mendadak linglung, khawatir jika dirinya salah mendengar. “Apa kau tidak—“
Kata-kata Tania terpotong ketika Reza mendekatkan wajahnya, dan mencium kening gadis itu, kemudian mencium kedua matanya yang terpejam, dan berakhir di bibirnya yang lembut.
“Tapi aku ingin memiliki suami seorang mentri.” Ujar Tania pelan.
“Kau akan mendapatkannya.” Bisik Reza penuh janji.
***
16 February 2012.
“Kakak!!” teriak Elena ketika memasuki kamar rawat inap Tania. Wajahnya yang cantik tampak berseri-seri, tangan kanannya mengangkat sebuah benda kotak bersampul kuning. Tania yang tengah menyantap makan siangnya langsung mendelik. “Lihat, aku di belikan Barbie yang baru… lihat… lihat… dia bisa menari, rambutnya panjang seperti kakak,” ujarnya riang. Ia memainkan boneka itu, menggoyangkannya ke kanan dan ke kiri. Tania melirik sosok ibunya penuh Tanya.
“Itu dibelikan oleh Reza. Bahkah Riana juga di belikan handphone terbaru. Tapi layarnya terlalu besar,” ujar ibu paruh baya itu. Tania mengernyit, apa yang dilakukan Reza?
“Aku juga sekarang diantar kesekolah pakai mobil baru kak Riana!” sorak Elena lagi. Kerutan di dahi Tania semakin dalam, ia menatap kesal pada ibunya.
“Belakangan kan sering hujan, Reza mengajari Riana mengendarai mobil. Dan ketika dia bisa, Reza membelikannya mobil berwarna pink itu. jangan salahkan ibu. Ibu sudah menolaknya, tapi Reza seakan-akan tidak mendengar kata-kata ibu.” Ujar ibu itu lagi. Tania mendesah pelan, mencoba meredam kemarahannya untuk sementara.

“Apa yang kau lakukan?” tuding Tania ketika Reza datang sore harinya. Ia melepaskan dasi dan jasnya, kemudian duduk di samping Tania. “Apa yang kau lakukan pada keluargaku?” Tanya Tania lagi. Seakan baru mendengar perkataan Tania, wajah Reza mendadak membeku. “Apa kau pikir aku adalah wanita murahan, hah?” Tanya Tania marah. Tangannya yang sejak lima hari yang lalu sudah bisa di gerakan terkepal di kedua sisi tubuhnya.
“Tidak Tania, tidak seperti itu.”
“Lalu apa?”
“Kau justru adalah wanita yang sangat mahal, hingga kalaupun aku mempertaruhkan hidupku untuk dapat bersamamu, itu tidaklah cukup. Aku hanya ingin mereka bahagia, aku ingin kau melihat orang-orang disekelilingmu bahagia.” Bisiknya perih, amarah Tania yang sebelumnya menggebu-gebu mendadak surut. Wajah tampan itu begitu lelah, begitu perih.
“Maafkan aku,” bisik Tania, ia membelai wajah pemuda itu dengan perlahan.
“Kau tidak perlu minta maaf,” ujar Reza, matanya menatap penuh kasih gadis yang terpaut 8 tahun itu dengannya. “Lagi pula, itu memang sebuah sogokan agar mereka mau mengizinkanku membawamu malam ini.” Sebuah kilatan geli terlihat dari tatapan Reza. Tania mengerutkan keningnya penuh curiga. “Aku ingin membawamu ke suatu tempat,” ujarnya seraya berdiri dari kursinya, ia meraih kursi roda di sudut kamar Tania, mengambil ponsel dan kunci mobilnya, kemudian menggendong Tania ke kursi rodanya.
***
Tania mendelikan matanya tidak percaya. Ia terus menatap hamparan indah lampu-lampu yang berkelap kelip di bawah mereka. “Belakangan ini, sangat sulit menemukan bintang karena mendung yang selalu datang. Dan aku tau kau sangat ingin melihat bintang. Ku rasa, meski tidak seindah bintang asli, tapi kelipan lampu itu—“
“Ini sangat indah.” potong Tania cepat. Mereka ada di ketinggian atap gedung pencakar langit di kawasan Jakarta pusat, memandang kemilau indah lampu-lampu kota metropolitan yang seakan tidak pernah mati.
“Aku senang kau menyukainya.” Reza membungkukan tubuhnya hingga bisa mengecup pipi kiri Tania. “Dan… um… satu lagi…” bisiknya. Tania menoleh padanya, kemudian langsung menoleh kebelakang ketika Reza berbalik.
“HAPPY BIRTHDAY!!!” sorak sorai itu membekukan Tania, mendadak suasana malam itu langsung ramai dan terang menderang oleh lilin dari kue yang mereka bawa. Tania ternganga tak percaya. Seluruh keluarganya, sahabatnya, semuanya menyatu di hadapannya.
“Selamat ulang Tahun yang ke dua puluh satu, Tania,” bisik Reza lembut di telinga Tania. Tania menatap sosok tampan itu dengan pandangan tidak percaya. Tiba-tiba Reza berlutut di hadapan kursi roda Tania, tangannya membuka sebuah kotak hitam kecil berisi cincin berlian yang begitu indah.
“Tania, hari ini, di hadapan semua orang. Aku ingin memintamu menjadi pendamping hidupku. Memintamu menjadi satu-satunya wanita teristimewa dalam hidupku. Memintamu untuk bersamaku menghadapi apapun yang terjadi di masa depan, memintamu untuk menjadi istriku.”
Hening.
Tania terdiam cukup lama, namun ketika air mata itu menetes, ia menganggukan kepalanya pada pemuda itu. “Ya,” ujar Tania lantang.

Sorak sorai itu kembali terdengar dan pesta itu pun dimulai. Begitu banyak orang yang tidak ia ingat namanya, namun jelas ia kenali. Bahkan ada sahabat-sahabat taman kanak-kanaknya dulu. Selama pesta itu berlangsung tidak sedetikpun Reza melepas rangkulannya dari sosok lemah Tania, membuat beberapa gadis berdecak iri padanya. 
“Jadi kau dengan dia?” cibir Tika salah satu teman masa kecilnya. Tania melirik sosok Reza malu-malu. “Aku pikir kau sangat membencinya,” ujar Tika lagi. Tania tersenyum tipis, dulu ia memang sangat membencinya. Ketika ia duduk di kelas nol kecil bersama teman-teman barunya, dan bertemu bocah angkuh yang super menyebalkan yang ternyata adalah putra tunggal pemilik yayasan taman kanak-kanak itu. Bocah itu selalu mengganggu kelasnya, bahkan hingga akhirnya ia sekolah SD dan bocah itu memasuki masa SMPnya, ia terus mengganggu Tania. “Dia tidak pernah berhenti mengganggumu,” ujar Tika dengan senyuman penuh arti. Tania terkekeh dan menggeleng, diremasnya jemari Reza yang berada di pangkuannya, hingga pemuda itu menoleh.
“Kau mau berdansa?” Tanya Reza. Tania langsung menggeleng, namun sosok itu tidak memperdulikannya, ia mengangkat tubuh Tania dengan begitu mudah, menggendongnya bagai benda tak bermassa. Tania terpekik dan langsung melingkarkan tangannya di leher Reza.
“Turunkan aku,” pinta Tania, malu sekaligus takut.
“Hus. Diamlah, atau kau akan jatuh. Ayo kita berdansa.” Ujar Reza seraya terus menggendong Tania menuju sisi yang sudah di hias seperti lantai dansa darurat yang manis. Sedetik kemudian Tania menyerah dalam dekapan Reza, ia menyandarkan kepalanya pada dada bidang Reza, tangannya masih melingkari leher pemuda itu, meski ia tau ia tidak akan terjatuh. Dengan perlahan Tania mengangkat wajahnya dan mencium leher Reza.
Tubuh Reza mendadak membeku. Matanya melebar dengan sorot aneh yang belum pernah dilihat Tania sebelumnya.
“Apa?” Tanya Tania cemas.
“Itu adalah bagian sensitifku,” ujar Reza dengan seringai lebar. Matanya menatap dalam mata Tania. Wajah cantik itu langsung bersemu merah.
“Sudah ku catat.” Bisik Tania pelan seraya kembali menyandarkan kepalanya di dada Reza. Ia tersenyum manis kemudian memejamkan matanya, mencoba merasakan irama jantung Reza yang berirama.
Reza mengecup kepala gadis itu penuh kasih, ia masih bergerak perlahan dengan Tania dalam dekapannya. Sudah setengah jam mereka seperti itu, namun ia sama sekali tidak lelah, kehangatan tubuh Tania menenangkan batinnya. Hingga akhirnya hujan itu datang dan menawarkan berjuta hawa dingin, Reza hanya terdiam. Ia menghela nafas panjang kemudian mempererat dekapannya.
“Terima kasih untuk pesta yang dimajukan 10 hari ini.” Bisik Tania pelan, Reza bisa merasakan senyuman gadis itu. Dan mau tidak mau ia pun turut tersenyum meski akhirnya air matanya menetes ketika rangkulan tangan gadis itu dilehernya terlepas begitu saja.

***
10 tahun kemudian.
Seorang gadis cantik mendesah lelah seraya menyeka peluhnya yang memenuhi setiap sudut tubuhnya. Ia benar-benar lelah berorasi di tengah hari seterik ini, namun sebagai mahasiswi yang menjungjung keadilan, ia tidak akan pernah menyerah untuk memperjuangkan kehidupan orang-orang yang terbelakang di sekelilingnya.
“Ada bapak Reza Chairil!” pekik gadis berambut kriting di sampingnya. Gadis itu langsung menoleh, dan saat itu pula tatapannya bertemu dengan tatapan bapak mentri pendidikan itu. "Beliau kan mentri pendidikan," gumam gadis itu.
"Beliau memang mentri pendidikan, namun beliau juga manusia yang hatinya turut terpilin ketika melihat ketidak adilan di negara kita," 
“Kau kenal beliau Elena?” Tanya Sonia sahabatnya, ketika melihat sosok berwibawa itu mengangguk pada Tania.
“Dia mantan kekasih kakakku,” jawab Tania pelan.
“Mentri itu?! mantan kakakmu! Maksudmu kak Riana?” tanyanya takjub. Elena memutar bola matanya kepada gadis itu.
“Bukan.” Ujar Elena gemas. Namun ia tidak bisa menyalahkan ketidak tahuan gadis yang baru menjadi sahabatnya selama beberapa bulan itu. “Dia mantan kekasih kak Tania,”
“Tapi aku dengar dia belum menikah,”
“Dia sudah hampir menikah dengan kak Tania.” Ujar Elena, matanya menerawang jauh ke langit yang tak berhujan. Sedetik kemudian hujan itu turun, mengguyur raya yang gersang, mengguyur emosi yang memenuhi setiap senti kota Jakarta itu.
“Hampir?” Tanya Sonia penuh rasa ingin tau. Elena memutar matanya pada gadis itu.
“Ya. Hampir, sebelum akhirnya kak Tiana meninggal di hari ulang tahunnya yang ke duapuluh satu kurang sepuluh hari.” Tuturnya gemas. Sonia ternganga menatapnya, namun gadis itu sudah tidak peduli.
Lagi-lagi Elena tersenyum pada sosok paruh baya itu. Ia mengangguk santun dengan senyuman lebarnya. Reza memabalas anggukannya, kemudian turut berorasi untuk memberantas ketidak adilan yang berada di sekelilingnya. Menemani sahabat mahasiswanya menuntut hak-hak bagi mereka yang tertindas.
Sekali lagi Elena tersenyum, namun kini bukan pada siapapun di sekelilingnya, tapi pada hujan itu, pada sosok kakaknya yang tak kasat mata. “Kau lihat kak, kak Reza sudah menjadi mentri. Kau harus bangga memiliki mantan kekasih seperti dia, kau harus bangga menjadi istrinya. Ia mentri yang bijaksana dan jujur, berbahagialah kau di sana.” bisiknya penuh kasih.
 _the end_

3 komentar:

Unknown mengatakan...

good .salam kenal

Unknown mengatakan...

Ziaaaaaaaaa,,,,,
Betapa mengharukanny kisah nie,,,
Ziaaaa,,,makaaaaasssiiiihhhh,,,,

Unknown mengatakan...

salam kenal juga mba Nira Lovesket... :) aku cherry dr kebun sebelah...

makasii mba Riskaa.... :) :)