Rabu, 27 Februari 2013

MR. RIGHT



Aku tidak pernah percaya pada kekuatan cinta. Toh kata-kata itu akan kehilangan kekuatannya cepat atau lambat. Lihat betapa banyaknya perceraian dari pernikahan-pernikahan berasaskan cinta. Lucu bukan? Bukankah dulu mereka saling mencintai? Lalu mengapa mereka berpisah saat ini?
Ups, jangan lupa, lihat kata ‘dulu’ di sana. J
Ya, aku masih tidak mempercayai kekuatan cinta itu hingga akhirnya aku bertemu dengannya. Dengan sosok tampan berkemeja biru yang memiliki senyum paling menawan di muka bumi ini, senyum yang ramah dan menenangkan. Aku bahkan langsung jatuh cinta ketika pertama kali tatapan mata kami bertemu. Dia bukanlah seorang pangeran, nope. Dia tidak memiliki kastil dengan prajurit berkudanya. Ia tidak menunggangi kuda putih yang berbulu indah, ia hanya pria biasa yang bekerja di kedutaan besar Indonesia. Ia memiliki punggung yang tegap dengan gaya berwibawa yang sangat membuatku tidak bisa lepas darinya.
Dan kisah cinta itu tidak berhenti di sana. Kami berkencan, setelah perkenalan yang sedikit memalukan. Tapi setidaknya kami bersama, berbagi canda dan cinta yang terasa begitu manis, berbagi luka dan perih yang menguras persediaan air mataku.
Aku mencintainya, dan mulai yakin atas kekuatan cinta itu. Aku menyayanginya bagai pantai menyayangi lautan. Aku membutuhkannya untuk membuatku tetap utuh dan hidup dalam suka duka di dunia ini. Aku sudah menetapkan sebuah keputusan besar dalam hatiku, bahwa dengannya lah aku akan menghabiskan sisa hidupku. Mencintainya sampa aku tidak bisa bernafas lagi.
Itu kisah tentang pangeran dalam versiku, pangeran tampan dalam mimpiku. Cinta pertama dan terakhirku. Namun ini bukan kisah dongeng, aku bukan seorang putri. Kisah hidupku pun memiliki berbagai liku yang menyayat hati. Seperti ketika akhirnya aku kehilangannya di hari itu… di hari berhujan yang begitu gelap…


Aku tersenyum manis dan mengecup sayang nisan tua di hadapanku.
“Moma, ayo pulang. Sebentar lagi hujan,” aku menoleh dan tersenyum pada putri cantikku. Tubuh tuaku bergetar ketika aku bergerak. “Lihat, moma terlalu lama berjongkok,” katanya lembut sambil membantuku berdiri. Aku kembali tersenyum.
“Tapi mom masih ingin berbicara dengan mantan kekasih mom,“ kataku pelan.
“Moma, kita masih bisa menemui ayah besok, sekarang ayo pulang.” Clara membimbing tubuhku melewati barisan makam-makam yang tampak sunyi. Aku tak kuasa menolak, hingga akhirnya aku hanya bisa mengucapkan selamat tinggal ‘sementara’ kepada pangeran hatiku, mantan kekasih terindahku, suamiku, ayah dari putri-putriku, kekuatan cintaku.
Kini aku benar-benar mempercayainya. Ya… kekuatan cinta itu, toh hingga saat ini, ketika tubuhku mulai ringkih karena usia, aku tidak pernah kehilangan cinta itu, bahkan hingga akhirnya ia meninggalakanku sepuluh tahun yang lalu.
Aku masih mencintainya, masih sangat mencintainya, dan akan terus mencintainya, selamanya. Pria terbaikku. 

3 komentar:

lovelywoman1 mengatakan...

this is really nice story.. Hanya terpisah oleh maut ;(

Unknown mengatakan...

iya mba sila.. mudah2an kita menemukan mr.right kita yah.. *secepatnya* maksa.. hihihi

Fathy mengatakan...

(-̩̩̩-̩̩̩-̩̩̩-̩̩̩-̩̩̩___-̩̩̩-̩̩̩-̩̩̩-̩̩̩-̩̩̩) (-̩̩̩-̩̩̩-̩̩̩-̩̩̩-̩̩̩___-̩̩̩-̩̩̩-̩̩̩-̩̩̩-̩̩̩)

Aamiinnnnnnn u doa'a zia n sila...