Senin, 18 Februari 2013

CAHAYA CINTA -11-



Pagi itu begitu dingin, seusai shalat subuh berjamaah di masjid rumah sakit Raka berjalan perlahan menuju kamar Anna. Telepon Zahra malam itu masih menari-nari di pikirannya. Rasa bersalahnya pada gadis itu semakin menjadi-jadi. Terlebih ketika ia menyadari perasaannya pada Anna tidak pernah bisa berubah.
“Kau bisa pulang dulu, ibu akan menjaganya,” ujar Luna saat Raka berdiri di ambang pintu kamar Anna. “Kau sudah menjaganya semalaman. Kau pasti lelah,” tambahnya lembut. Wanita paruh baya itu menatap Anna penuh kasih, ia membelai kepala Anna. “Dia juga sepertinya sangat kelelahan…” bisiknya pelan. Raka mengangguk.
“Aku akan segera kembali lagi,” ujarnya pelan. Luna mengangguk pelan dan menjawab salam pemuda itu. Dengan perih ia kembali menatap sosok cantik yang masih tertidur pulas itu.
Raka tidak tau apa yang akan ia lakukan, namun hati kecilnya memintanya untuk segera menemui Zahra, ibunya dan ummi. Ia harus mengatakan pada mereka apa yang terjadi. Ia tidak ingin melukai siapapun. Ia tidak ingin mengecewakan gadis itu.
***
Hembusan angin pagi itu cukup kencang, hingga membuat anak-anak panti itu sedikit menggigil. Zahra memandang langit yang mendung dari balik jendela kelas tiga yang tengah diajarnya. Ia mendesah pelan sebelum akhirnya berjalan mendekati anak muridnya yang masih sibuk mengerjakan tugas sederhana. Hingga akhirnya jam pelajaran kedua itu usai, anak-anak itu langsung berhamburan keluar kelas. Beberapa dari mereka langsung memasuki perpustakaan mini milik panti, yang lainnya tampak bermain di halaman panti. Zahra berjalan perlahan di belakang mereka, ia mendekap bukunya di dadanya. Bibirnya tersenyum tipis ketika melihat senyuman bocah-bocah yang tengah bermain di halaman panti. Ada beribu cara yang membuat mereka disini, dari dibuang sejak bayi, hingga ditelantarkan ketika mereka pertama kali bisa mengucapkan kata pertamanya. Begitu menyakitkan jalan-jalan itu, namun saat ini, mereka masih tetap bisa tersenyum lebar, seakan tidak terganggu sama sekali dengan masa lalu mereka.
Namun tidak untuk Zahra. Ia sudah melakukan banyak kesalahan di masa lalunya, hingga rasanya ia tidak bisa memaafkan dirinya sendiri. Sekali lagi ia menyesali seluruh kebodohannya yang menyia-nyiakan saat-saat keberadaan orang tuanya, dan kini menyesalinya bagai orang idiot ketika mereka sudah tiada.
Zahra pribadi yang angkuh dan pemberontak. Dan kehilangan orang tuanya adalah salah satu pukulan terberat untuk gadis manja sepertinya. Ia masih bisa merasakan perihnya ketika harus berdiri diambang pintu kamar mayat rumah sakit dan memastikan bahwa kedua jasad kaku itu adalah orang tuanya. Saat itu Zahra tidak bisa berkata apa-apa. Hatinya memberontak, otaknya terus mengingkari kebenaran bahwa mereka adalah kedua orang tuanya. Berbulan-bulan lamanya ia tenggelam dalam kesedihan itu, terpuruk dalan luka dan penyesalan.
“Zahra…” panggil Aisah pelan. Zahra terkesiap, dan buru-buru menyeka air matanya yang entah sejak kapan mengalir. Hembusan angin pagi itu kembali menyadarkannya tentang keberadaannya di koridor utama panti. Ia tersenyum tipis pada bibinya. “Ada apa?” Tanya Aisah sedikit cemas.
“Tidak apa bi… aku hanya merindukan ayah dan bunda,” bisiknya pelan. Aisah meremas pelan lengan Zahra. “Andai aku tau mereka akan pergi secepat itu mungkin aku tidak akan menyia-nyiakan mereka bi, aku tidak akan membantah mereka. Akan ku lakuakan apapun untuk membuat mereka bahagia dan bangga padaku,” tutur Zahra perih.
“Sstt…. Itu adalah takdir Zahra,”
“Tapi bi, aku hanya ingin mereka berada di sisiku ketika aku menikah, mendampingiku.” Tetesan air mata Zahra kembali hadir. “Aku ingin mereka menemaniku, setidaknya menyaksikan tangisan bahagiaku karena cinta itu bi…”
Lagi-lagi sosok tua Aisah terdiam. Cinta itu… betapa indahnya kata itu. Andai semua cinta itu menggoreskan senyuman bagi para pencintanya.
***
Raka menghentikan langkahnya, matanya menatap nanar sosok yang tengah berdiri di koridor utama gedung panti itu. Wajahnya yang cantik tampak sendu berhiaskan genangan air mata di kedua pelupuk matanya. Raka berjalan perlahan mendekati Zahra dan Aisah. Wajah tampannya melembut ketika gadis itu menyadari keberadaannya. Wajahnya yang tampak rapuh membuat Raka ingin merengkuhnya, menenangkannya, menghapus seluruh kesedihan di mata indahnya.
Aisah tersenyum tipis di samping Zahra. Hatinya begitu tenang ketika melihat sorot hangat dari mata Raka. Pemuda itu sudah kembali hidup, pemuda itu sudah kembali menemukan jiwanya.
“Aku pikir kau masih sibuk…” ujar Zahra dengan wajahnya bersemu merah. Raka menggeleng.
“Ya, tapi aku juga masih memiliki sebuah tugas penting di sini.” Ujarnya. Zahra tampak salah tingkah, ia memalingkan wajahnya yang merona. “Ah tapi bukan di sini,” ralat Raka membuat gadis itu mengernyit. “Bisakah kau ikut aku sebentar Zahra?”
“Kemana?” Tanya Zahra.
“Ummi, aku akan membawa Zahra sebentar,” ujar Raka seraya menggenggam erat jemari Zahra. Zahra langsung ternganga menatap sosok jangkung di hadapannya. Wajahnya langsung memucat-kemudian bersemu merah-kemudian memucat lagi karena tegang. Aisah sampai harus meyakinkan dirinya sendiri bahwa hormon muda Zahra lah yang membuat gadis itu tampak sepucat mayat.
“Ya kalian berhati-hatilah,” ujar Aisah ketika mampu mengatur keterkejutannya. Zahra menatap bibinya dengan wajahnya yang masih ternganga.
“Ki…kita mau kemana?” tanyanya terbata. Raka tersenyum tipis.
“Aku rasa, jika ingin menikahi putrinya, aku harus meminta izin dulu pada orang tuanya.” Jawab Raka tenang. Mata Zahra langsung melebar, ia kembali melirik bibinya yang tersenyum lebar.
“Ki…Kita… mau menemui ayah… dan bunda?” tanyanya ragu. Raka mengernyit dan mengangguk.
“Apa kau tidak mau?” tanyanya heran.
“Aku mau.” Jawab Zahra cepat, bahkan tampak terlalu cepat hingga membuat Raka dan Aisah terkekeh pelan. Zahra meringis malu, namun genggaman tangan Raka membuat hatinya tegang dan tenang dalam waktu yang sama. Dengan malu-malu ia melirik sosok tampan Raka dari balik bulu matanya yang lentik, dan membalas genggamannya.
***
Luna berdiri diambang pintu kamar rawat inap putranya. Kebahagiaannya karena kesadaran Alan yang singkat itu mendadak sirna. Ia tau apa yang akan terjadi, hanya saja ia tidak pernah berpikir jika akan seperih ini. Sejak awal Luna tidak pernah ingin merelakan putranya, lagi pula ibu mana yang akan merelakan putranya pergi begitu saja. Ia sangat mencintai Alan, sosok baik hati yang menjadi lenteranya ketika suaminya meninggal dunia karena penyakit jantung pada usianya yang masih cukup muda.
Lagi-lagi Luna menggeleng pada dokter tua yang berdiri di sampingnya. Ia mendesah lelah penuh kegetiran.
“Luna, tim dokter sudah menyerah. Kalau bukan karena alat-alat pembantu itu, kita tidak tau apakah dia masih akan bisa bertahan atau tidak.”
“Kalau begitu kita akan terus memasang semua alat bantu itu dan menunggu.”
“Sampai kapan?”
Luna terdiam. Sudah dua tahun ia menunggu kesadaran putranya, namun semuanya masih tetap sama. Keheningan dan wajah kaku itu masih seperti dua tahun yang lalu, ketika putranya mengalami kecelakaan di jalan tol bersama Anna. “Kalau memang dia ingin pergi, dia pasti sudah pergi sejak dulu dok,” bisik Luna pelan. Air matanya mulai kembali tergenang. “Tapi nyatanya dia masih bertahan. Dia masih ingin hidup, ia masih ingin menemani kami semua.” Jemari Luna mengepal di kedua sisi tubuhnya ketika ia mulai meracau tentang kehidupan putra tercintanya.
“Ya, dia masih belum tenang Luna, itulah mengapa dia masih di sini. Tapi aku khawatir semua itu akan menyakitinya. Aku khawatir ketakutan kita akan kehilangannya akan menahannya, dan menyakitinya.” Dokter tua itu menatap sosok cantik di sampingnya dengan sedih. Sosok putrid yang tengah ketakutan kehilangan lenteranya, sosok ibu yang tengah ketakutan kehilangan putranya.
“Ibu…”
Luna dan Harun menoleh dengan cepat ketika mendengar suara lembut di belakang mereka.
“Anna kau sudah siuman?” Tanya Luna seraya menyeka air mata yang menetes perlahan. Anna tersenyum tipis, mata indahnya tampak sayu, namun wajahnya terlihat tenang. Ia menghela nafas panjang untuk kembali menenangkan hatinya, kemudian berjalan menghampiri ibu mertua dan dokter pribadi suaminya.
“Aku sudah memutuskan,” bisiknya pelan. Langkahnya terhenti dua kaki dari ranjang Alan. “Aku akan mengadopsi anak,” tambahnya. Baik Luna maupun Harun langsung menatapnya tidak percaya. “Kalau aku memiliki anak, mungkin ia memiliki alasan yang lebih besar untuk tetap bertahan…”
“Anna…” Harun mengulurkan tangannya pada sosok gadis itu, namun ia tidak menyentuhnya, ia malah menarik tangannya kembali, menyembunyikannya di balik saku jas putih yang dulu selalu menjadi kebanggaannya. Tubuhnya tegang, matanya berpaling pada fokus lain.
“Anna,” Luna berjalan perlahan mendekati gadis itu. “Tapi…”
“Ku mohon bu…”

***

“Amy!!!!”
Amy mengernyitkan keningnya ketika mendengar teriakan yang menyebutkan namanya, ia baru saja selesai melipat mukenanya selepas shalat magrib. Dengan perlahan diletakannya tumpukan mukena itu di sisi kanan ranjangnya, kemudian kembali mengenakan hijabnya dan berjalan ke pintu.
“Masya Allah Zahra ada apa?” Tanya Amy ketika melihat sosok cantik itu berlari-lari ke kamarnya.
“Kau tau aku pergi dengan siapa hari ini?”
Aku tau.  “Dengan siapa?”
“Raka!!! Dan coba tebak kemana dia membawaku?”
Ke makam orang tuamu.  “Kemana?”
“Ke makam orang tuaku!” pekik Zahra. Amy tersenyum lembut. Mata gadis itu begitu indah dengan binar yang sangat menawan, membuat Amy tidak bisa berkata apapun selain turut tersenyum akan kebahagiaan sahabatnya. “Aku tidak percaya dia membawaku kesana. Kau tau, aku pikir dia tidak mencintaiku.”
“Kau terlalu berlebihan Zahra, Raka bukanlah pemuda seperti itu.” Ujar Amy dengan senyuman tulus. “Oya, tadi ummi bilang gaun pengantinmu sudah datang. Ayo kita lihat.”
“Astaga,” Zahra membulatkan matanya, mulutnya ternganga lebar. “Secepat itu?” tanyanya tidak percaya. Amy terkikik pelan melihat ekspresi Zahra yang lucu. Ia mengangguk dan mengamit sikut gadis yang masih terbengong-bengong itu; berjalan menuruni tangga, menuju lantai bawah, ke kamar ummi yang menjadi tempat penyimpanan kebaya putih nan indah itu untuk sementara.
Raka tengah berbincang serius dengan Arya ketika Amy dan Zahra menuruni tangga. Keningnya sedikit berkerut ketika melihat wajah Zahra yang masih tampak tidak percaya dengan apa yang dikatakan Amy. Amy tersenyum kikuk pada Raka dan Arya sambil terus menyeret lengan Zahra menuju kamar ummi Aisah.
“Amy, ada apa?” Tanya Raka, ia menjulurkan lehernya untuk melihat kedua gadis itu di balik pundak Arya. Amy tersenyum kikuk dan menggeleng.
“Ga… Gaun…”
“Ssttt…” dengan cepat Amy menutup mulut gadis itu. “Bukan apa-apa.” Ujarnya gugup. Arya ikut mengernyitkan keningnya, sepenuhnya teralihkan dari topik pembahasannya bersama Raka petang itu.
Zahra menatap Amy dengan tatapan –mengapa dia tidak boleh tau?-. kerutan di antara kedua matanya semakin dalam. Amy memutar matanya pada gadis itu. “Zahra kau tentu tidak ingin dia mengetahuinya sebelum waktunya kan?” Tanya Amy gemas, namun gadis itu masih menatapnya dengan pandangan penuh Tanya.
“Mengetahui apa?” Tanya Raka yang kini berdiri dari sofa yang didudukinya. Tiba-tiba pintu kamar Aisah terbuka.
“Ah Zahra, bibi sudah menunggumu. Ayo cepat kau harus mencoba kebaya untuk pernikahanmu nanti. Baru saja datang setengah jam yang lalu,”
Amy meringis mendengar kata-kata wanita tua itu, dengan kikuk ia menyeringai bodoh pada Arya dan Raka yang melongo menatapnya. Aisah tidak tau apa yang terjadi, namun yang ia lihat saat ini adalah wajah pucat-ternganga-tak percaya di hadapannya. Membuatnya kembali memikirkan apa yang salah dengan perkataannya.
“Assalamu’alaikum,” keheningan yang kikuk itu sontak saja terpecahkan ketika terdengar salam dari ambang pintu. Ke lima pasang mata itu langsung menoleh kearah pintu utama rumah-kantor panti. Dan tatapan mereka terpaku pada sosok itu, untuk pertama kalinya Aisah -tanpa alasan yang bisa ia mengerti- merasa ingin memutar kembali waktu, hingga ia bisa menarik lagi kata-katanya.

5 komentar:

lovelywoman1 mengatakan...

cherry... Knp Raka mau nikahin Zahra???
Kasian Anna :'(
Bner2 dch.. Pnsran ma next chap n the ending!
Di tunggu cher... :)
Thanks... *hug

Fathy mengatakan...

Lbh kasihan lagi kalo raka ƍäªk nikahin zahra... Kasihan alan n zahra nanti'a...

Please biarkan ana n alan bersatu Ɣª zia....
Rak biar sama zahra. Ana n zahra sama kok, cantik dua2'a...
​​​☂♓ÅNK•̃ Ɣ☺ΰ zia... Muachhhh :*

all about life mengatakan...

menanti bab selanjutnya. aq setuju aja mau ana sama alan-raka sama zahra-ana sama raka, tapi lebih berharap ana sama raka aja, kasihan ana, si zahra agak judes sih

Unknown mengatakan...

ziaaaa,,,,sapa yang mengucapkan salam itu???
Aiih,,keponya keluar,,,

Anna ama adikny Alan aja,,
Trus Raka ama Zahra,,

Zia saiank,,maakaasiih,,,,

Unknown mengatakan...

wahhh,,, maap yah saudari-saudari sekalian aku sudah membuat kepop, *toyor kepala sendiri*

hehehehe insya allah kisah ini akan segera selesai. ganbate... *tarik selimut lagi*

makasih juga semuanya... :*