Pagi itu begitu dingin, seusai shalat subuh berjamaah
di masjid rumah sakit Raka berjalan perlahan menuju kamar Anna. Telepon Zahra
malam itu masih menari-nari di pikirannya. Rasa bersalahnya pada gadis itu
semakin menjadi-jadi. Terlebih ketika ia menyadari perasaannya pada Anna tidak
pernah bisa berubah.
“Kau bisa pulang dulu, ibu akan menjaganya,” ujar Luna
saat Raka berdiri di ambang pintu kamar Anna. “Kau sudah menjaganya semalaman.
Kau pasti lelah,” tambahnya lembut. Wanita paruh baya itu menatap Anna penuh
kasih, ia membelai kepala Anna. “Dia juga sepertinya sangat kelelahan…”
bisiknya pelan. Raka mengangguk.
“Aku akan segera kembali lagi,” ujarnya pelan. Luna
mengangguk pelan dan menjawab salam pemuda itu. Dengan perih ia kembali menatap
sosok cantik yang masih tertidur pulas itu.
Raka tidak tau apa yang akan ia lakukan, namun hati
kecilnya memintanya untuk segera menemui Zahra, ibunya dan ummi. Ia harus
mengatakan pada mereka apa yang terjadi. Ia tidak ingin melukai siapapun. Ia
tidak ingin mengecewakan gadis itu.
***
Hembusan angin pagi itu cukup kencang, hingga membuat
anak-anak panti itu sedikit menggigil. Zahra memandang langit yang mendung dari
balik jendela kelas tiga yang tengah diajarnya. Ia mendesah pelan sebelum
akhirnya berjalan mendekati anak muridnya yang masih sibuk mengerjakan tugas
sederhana. Hingga akhirnya jam pelajaran kedua itu usai, anak-anak itu langsung
berhamburan keluar kelas. Beberapa dari mereka langsung memasuki perpustakaan
mini milik panti, yang lainnya tampak bermain di halaman panti. Zahra berjalan
perlahan di belakang mereka, ia mendekap bukunya di dadanya. Bibirnya tersenyum
tipis ketika melihat senyuman bocah-bocah yang tengah bermain di halaman panti.
Ada beribu cara yang membuat mereka disini, dari dibuang sejak bayi, hingga ditelantarkan
ketika mereka pertama kali bisa mengucapkan kata pertamanya. Begitu menyakitkan
jalan-jalan itu, namun saat ini, mereka masih tetap bisa tersenyum lebar,
seakan tidak terganggu sama sekali dengan masa lalu mereka.
Namun tidak untuk Zahra. Ia sudah melakukan banyak
kesalahan di masa lalunya, hingga rasanya ia tidak bisa memaafkan dirinya
sendiri. Sekali lagi ia menyesali seluruh kebodohannya yang menyia-nyiakan
saat-saat keberadaan orang tuanya, dan kini menyesalinya bagai orang idiot
ketika mereka sudah tiada.
Zahra pribadi yang angkuh dan pemberontak. Dan
kehilangan orang tuanya adalah salah satu pukulan terberat untuk gadis manja
sepertinya. Ia masih bisa merasakan perihnya ketika harus berdiri diambang
pintu kamar mayat rumah sakit dan memastikan bahwa kedua jasad kaku itu adalah
orang tuanya. Saat itu Zahra tidak bisa berkata apa-apa. Hatinya memberontak,
otaknya terus mengingkari kebenaran bahwa mereka adalah kedua orang tuanya.
Berbulan-bulan lamanya ia tenggelam dalam kesedihan itu, terpuruk dalan luka
dan penyesalan.
“Zahra…” panggil Aisah pelan. Zahra terkesiap, dan
buru-buru menyeka air matanya yang entah sejak kapan mengalir. Hembusan angin
pagi itu kembali menyadarkannya tentang keberadaannya di koridor utama panti.
Ia tersenyum tipis pada bibinya. “Ada apa?” Tanya Aisah sedikit cemas.
“Tidak apa bi… aku hanya merindukan ayah dan bunda,”
bisiknya pelan. Aisah meremas pelan lengan Zahra. “Andai aku tau mereka akan
pergi secepat itu mungkin aku tidak akan menyia-nyiakan mereka bi, aku tidak
akan membantah mereka. Akan ku lakuakan apapun untuk membuat mereka bahagia dan
bangga padaku,” tutur Zahra perih.
“Sstt…. Itu adalah takdir Zahra,”
“Tapi bi, aku hanya ingin mereka berada di sisiku
ketika aku menikah, mendampingiku.” Tetesan air mata Zahra kembali hadir. “Aku
ingin mereka menemaniku, setidaknya menyaksikan tangisan bahagiaku karena cinta
itu bi…”
Lagi-lagi sosok tua Aisah terdiam. Cinta itu… betapa
indahnya kata itu. Andai semua cinta itu menggoreskan senyuman bagi para
pencintanya.
***
Raka menghentikan langkahnya, matanya menatap nanar
sosok yang tengah berdiri di koridor utama gedung panti itu. Wajahnya yang
cantik tampak sendu berhiaskan genangan air mata di kedua pelupuk matanya. Raka
berjalan perlahan mendekati Zahra dan Aisah. Wajah tampannya melembut ketika
gadis itu menyadari keberadaannya. Wajahnya yang tampak rapuh membuat Raka
ingin merengkuhnya, menenangkannya, menghapus seluruh kesedihan di mata
indahnya.
Aisah tersenyum tipis di samping Zahra. Hatinya begitu
tenang ketika melihat sorot hangat dari mata Raka. Pemuda itu sudah kembali
hidup, pemuda itu sudah kembali menemukan jiwanya.
“Aku pikir kau masih sibuk…” ujar Zahra dengan wajahnya
bersemu merah. Raka menggeleng.
“Ya, tapi aku juga masih memiliki sebuah tugas penting
di sini.” Ujarnya. Zahra tampak salah tingkah, ia memalingkan wajahnya yang
merona. “Ah tapi bukan di sini,” ralat Raka membuat gadis itu mengernyit.
“Bisakah kau ikut aku sebentar Zahra?”
“Kemana?” Tanya Zahra.
“Ummi, aku akan membawa Zahra sebentar,” ujar Raka seraya
menggenggam erat jemari Zahra. Zahra langsung ternganga menatap sosok jangkung
di hadapannya. Wajahnya langsung memucat-kemudian bersemu merah-kemudian
memucat lagi karena tegang. Aisah sampai harus meyakinkan dirinya sendiri bahwa
hormon muda Zahra lah yang membuat gadis itu tampak sepucat mayat.
“Ya kalian berhati-hatilah,” ujar Aisah ketika mampu
mengatur keterkejutannya. Zahra menatap bibinya dengan wajahnya yang masih
ternganga.
“Ki…kita mau kemana?” tanyanya terbata. Raka tersenyum
tipis.
“Aku rasa, jika ingin menikahi putrinya, aku harus
meminta izin dulu pada orang tuanya.” Jawab Raka tenang. Mata Zahra langsung
melebar, ia kembali melirik bibinya yang tersenyum lebar.
“Ki…Kita… mau menemui ayah… dan bunda?” tanyanya ragu.
Raka mengernyit dan mengangguk.
“Apa kau tidak mau?” tanyanya heran.
“Aku mau.” Jawab Zahra cepat, bahkan tampak terlalu
cepat hingga membuat Raka dan Aisah terkekeh pelan. Zahra meringis malu, namun
genggaman tangan Raka membuat hatinya tegang dan tenang dalam waktu yang sama.
Dengan malu-malu ia melirik sosok tampan Raka dari balik bulu matanya yang lentik,
dan membalas genggamannya.
***
Luna berdiri diambang pintu kamar rawat inap putranya.
Kebahagiaannya karena kesadaran Alan yang singkat itu mendadak sirna. Ia tau
apa yang akan terjadi, hanya saja ia tidak pernah berpikir jika akan seperih
ini. Sejak awal Luna tidak pernah ingin merelakan putranya, lagi pula ibu mana
yang akan merelakan putranya pergi begitu saja. Ia sangat mencintai Alan, sosok
baik hati yang menjadi lenteranya ketika suaminya meninggal dunia karena
penyakit jantung pada usianya yang masih cukup muda.
Lagi-lagi Luna menggeleng pada dokter tua yang berdiri
di sampingnya. Ia mendesah lelah penuh kegetiran.
“Luna, tim dokter sudah menyerah. Kalau bukan karena
alat-alat pembantu itu, kita tidak tau apakah dia masih akan bisa bertahan atau
tidak.”
“Kalau begitu kita akan terus memasang semua alat
bantu itu dan menunggu.”
“Sampai kapan?”
Luna terdiam. Sudah dua tahun ia menunggu kesadaran
putranya, namun semuanya masih tetap sama. Keheningan dan wajah kaku itu masih
seperti dua tahun yang lalu, ketika putranya mengalami kecelakaan di jalan tol
bersama Anna. “Kalau memang dia ingin pergi, dia pasti sudah pergi sejak dulu
dok,” bisik Luna pelan. Air matanya mulai kembali tergenang. “Tapi nyatanya dia
masih bertahan. Dia masih ingin hidup, ia masih ingin menemani kami semua.”
Jemari Luna mengepal di kedua sisi tubuhnya ketika ia mulai meracau tentang
kehidupan putra tercintanya.
“Ya, dia masih belum tenang Luna, itulah mengapa dia
masih di sini. Tapi aku khawatir semua itu akan menyakitinya. Aku khawatir
ketakutan kita akan kehilangannya akan menahannya, dan menyakitinya.” Dokter tua
itu menatap sosok cantik di sampingnya dengan sedih. Sosok putrid yang tengah
ketakutan kehilangan lenteranya, sosok ibu yang tengah ketakutan kehilangan
putranya.
“Ibu…”
Luna dan Harun menoleh dengan cepat ketika mendengar
suara lembut di belakang mereka.
“Anna kau sudah siuman?” Tanya Luna seraya menyeka air
mata yang menetes perlahan. Anna tersenyum tipis, mata indahnya tampak sayu,
namun wajahnya terlihat tenang. Ia menghela nafas panjang untuk kembali
menenangkan hatinya, kemudian berjalan menghampiri ibu mertua dan dokter
pribadi suaminya.
“Aku sudah memutuskan,” bisiknya pelan. Langkahnya terhenti
dua kaki dari ranjang Alan. “Aku akan mengadopsi anak,” tambahnya. Baik Luna
maupun Harun langsung menatapnya tidak percaya. “Kalau aku memiliki anak,
mungkin ia memiliki alasan yang lebih besar untuk tetap bertahan…”
“Anna…” Harun mengulurkan tangannya pada sosok gadis
itu, namun ia tidak menyentuhnya, ia malah menarik tangannya kembali,
menyembunyikannya di balik saku jas putih yang dulu selalu menjadi
kebanggaannya. Tubuhnya tegang, matanya berpaling pada fokus lain.
“Anna,” Luna berjalan perlahan mendekati gadis itu. “Tapi…”
“Ku mohon bu…”
***
“Amy!!!!”
Amy mengernyitkan keningnya ketika mendengar teriakan
yang menyebutkan namanya, ia baru saja selesai melipat mukenanya selepas shalat
magrib. Dengan perlahan diletakannya tumpukan mukena itu di sisi kanan
ranjangnya, kemudian kembali mengenakan hijabnya dan berjalan ke pintu.
“Masya Allah Zahra ada apa?” Tanya Amy ketika melihat
sosok cantik itu berlari-lari ke kamarnya.
“Kau tau aku pergi dengan siapa hari ini?”
Aku tau. “Dengan siapa?”
“Raka!!! Dan coba tebak kemana dia membawaku?”
Ke makam orang
tuamu. “Kemana?”
“Ke makam orang tuaku!” pekik Zahra. Amy tersenyum
lembut. Mata gadis itu begitu indah dengan binar yang sangat menawan, membuat
Amy tidak bisa berkata apapun selain turut tersenyum akan kebahagiaan
sahabatnya. “Aku tidak percaya dia membawaku kesana. Kau tau, aku pikir dia
tidak mencintaiku.”
“Kau terlalu berlebihan Zahra, Raka bukanlah pemuda
seperti itu.” Ujar Amy dengan senyuman tulus. “Oya, tadi ummi bilang gaun
pengantinmu sudah datang. Ayo kita lihat.”
“Astaga,” Zahra membulatkan matanya, mulutnya
ternganga lebar. “Secepat itu?” tanyanya tidak percaya. Amy terkikik pelan
melihat ekspresi Zahra yang lucu. Ia mengangguk dan mengamit sikut gadis yang
masih terbengong-bengong itu; berjalan menuruni tangga, menuju lantai bawah, ke
kamar ummi yang menjadi tempat penyimpanan kebaya putih nan indah itu untuk
sementara.
Raka tengah berbincang serius dengan Arya ketika Amy
dan Zahra menuruni tangga. Keningnya sedikit berkerut ketika melihat wajah
Zahra yang masih tampak tidak percaya dengan apa yang dikatakan Amy. Amy tersenyum
kikuk pada Raka dan Arya sambil terus menyeret lengan Zahra menuju kamar ummi
Aisah.
“Amy, ada apa?” Tanya Raka, ia menjulurkan lehernya
untuk melihat kedua gadis itu di balik pundak Arya. Amy tersenyum kikuk dan
menggeleng.
“Ga… Gaun…”
“Ssttt…” dengan cepat Amy menutup mulut gadis itu. “Bukan
apa-apa.” Ujarnya gugup. Arya ikut mengernyitkan keningnya, sepenuhnya
teralihkan dari topik pembahasannya bersama Raka petang itu.
Zahra menatap Amy dengan tatapan –mengapa dia tidak
boleh tau?-. kerutan di antara kedua matanya semakin dalam. Amy memutar matanya
pada gadis itu. “Zahra kau tentu tidak ingin dia mengetahuinya sebelum waktunya
kan?” Tanya Amy gemas, namun gadis itu masih menatapnya dengan pandangan penuh Tanya.
“Mengetahui apa?” Tanya Raka yang kini berdiri dari
sofa yang didudukinya. Tiba-tiba pintu kamar Aisah terbuka.
“Ah Zahra, bibi sudah menunggumu. Ayo cepat kau harus
mencoba kebaya untuk pernikahanmu nanti. Baru saja datang setengah jam yang
lalu,”
Amy meringis mendengar kata-kata wanita tua itu,
dengan kikuk ia menyeringai bodoh pada Arya dan Raka yang melongo menatapnya. Aisah
tidak tau apa yang terjadi, namun yang ia lihat saat ini adalah wajah
pucat-ternganga-tak percaya di hadapannya. Membuatnya kembali memikirkan apa
yang salah dengan perkataannya.
“Assalamu’alaikum,” keheningan yang kikuk itu sontak
saja terpecahkan ketika terdengar salam dari ambang pintu. Ke lima pasang mata
itu langsung menoleh kearah pintu utama rumah-kantor panti. Dan tatapan mereka
terpaku pada sosok itu, untuk pertama kalinya Aisah -tanpa alasan yang bisa ia mengerti- merasa ingin memutar kembali waktu, hingga ia bisa menarik lagi kata-katanya.
5 komentar:
cherry... Knp Raka mau nikahin Zahra???
Kasian Anna :'(
Bner2 dch.. Pnsran ma next chap n the ending!
Di tunggu cher... :)
Thanks... *hug
Lbh kasihan lagi kalo raka ƍäªk nikahin zahra... Kasihan alan n zahra nanti'a...
Please biarkan ana n alan bersatu Ɣª zia....
Rak biar sama zahra. Ana n zahra sama kok, cantik dua2'a...
☂♓ÅNK•̃ Ɣ☺ΰ zia... Muachhhh :*
menanti bab selanjutnya. aq setuju aja mau ana sama alan-raka sama zahra-ana sama raka, tapi lebih berharap ana sama raka aja, kasihan ana, si zahra agak judes sih
ziaaaa,,,,sapa yang mengucapkan salam itu???
Aiih,,keponya keluar,,,
Anna ama adikny Alan aja,,
Trus Raka ama Zahra,,
Zia saiank,,maakaasiih,,,,
wahhh,,, maap yah saudari-saudari sekalian aku sudah membuat kepop, *toyor kepala sendiri*
hehehehe insya allah kisah ini akan segera selesai. ganbate... *tarik selimut lagi*
makasih juga semuanya... :*
Posting Komentar