Rabu, 19 Juni 2013

BINTANG RAMADHAN





Pernikahan…
Betapa indahnya kata itu ketika terdengar, betapa bahagianya bagi kedua mempelai, betapa sempurnanya perjalanan akhir cinta mereka…
Tapi mengapa kau memberikanku luka ini dalam pernikahanku ya Allah? Mengapa kau memberikan perih ini??





20 desember 2004

Tepuk tangan langsung menggema ketika akhirnya aku menganggukan kepalaku. Sosok tampan yang tengah berlutut di hadapanku langsung mengangkat wajahnya, mata coklat indahnya menatapku dengan pandangan tidak percaya.
“Aku tidak bisa mengatakan ‘tidak’ pada seorang pangeran sepertimu.” Bisikku lembut. Dan senyuman itu mengembang tanpa ragu-ragu lagi. Ia menggenggam tanganku dengan sangat erat, matanya berbinar penuh kebahagiaan. Membuatku tak kuasa menahan air mata haru itu lagi.
“Alhamdulillah…” bisiknya penuh haru. Ia kembali berdiri di hadapanku, matanya mengunci mataku, membuatku bisa menyelami kebahagian yang tulus dari dalam dirinya. “Terima kasih Sarah. Terima kasih banyak…” bisiknya begitu lembut, begitu tulus. Aku tidak sanggup berkata-kata lagi, air mataku terlalu banyak menetes, hingga hatiku mulai terasa perih karena tangis haru itu. orang-orang di sekeliling kami turut tersenyum penuh haru, mengucapkan hamdalah dengan tulus atas apa yang mereka lihat.
“Kalian pasti akan menjadi pasangan yang sempurna,” bisik Mia, sahabat baikku. Aku tersenyum penuh terima kasih padanya.
Ya Allah…
Terima kasih, terima kasih atas segala nikmat yang telah Engkau berikan pada hamba-Mu ini. Terima kasih banyak karena telah menciptakan sosok baik hati ini untuk hamba… terima kasih…

***
Agustus 2013

“Sarah…” panggilan itu mengejutkanku. Dengan cepat aku menyeka genangan air mata yang mengalir di pipiku. “Apa yang sedang kau lakukan?” tanyanya lembut seraya menyentuh pundakku dengan perlahan. Aku tersenyum tipis dan menyentuh sebuah foto dari dalam album di hadapanku. Foto kami berdua yang tengah tersenyum penuh haru, saling berpegangan tangan, saling menatap seakan baru menemukan cahaya kehidupan kami masing-masing. “Hari itu… aku sangat bahagia,” bisiknya di belakangku. Aku kembali tersenyum, namun entah mengapa mataku terasa perih menahan tangis. “Aku tidak akan pernah bisa melupakannya, anggukan lembutmu sebagai jawaban dari pinanganku adalah hal terindah dalam hidupku.” Ujarnya penuh kasih. Aku terkekeh pelan di tengah tangisku. Tiba-tiba ia memelukku dari belakang; meletakan kepalanya di atas bahuku, kedua tanganya mendekap erat tubuhku yang mulai bergetar karena isak tangis. “Tenanglah Sarah, Insya Allah kita bisa melewati semua ini. Insya Allah kita bisa… kita bisa…” ujarnya menguatkan. Tapi hatiku terlalu lelah, benar-benar lelah, hingga rasanya aku hampir saja menyerah.

“Tapi dia putriku…” bisikku perih. Sosok di belakangku tak lagi berkata apapun, ia hanya mendekapku semakin erat, menawarkan ketenangan yang mustahil tercipta, kemudian aku bisa merasakan tetesan air matanya di atas bahuku.

***

“Hai orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan salat; sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.” (Al baqarah: 153)

***

Untuk kelima belas kalinya aku membaca surat al fatihah pagi itu sambil menunggu dokter selesai memeriksa putriku. Dokter paruh baya yang tetap tampak cantik itu mendesah pelan, kemudian melirik kantung infuse di sampingnya. Ia mengernyit untuk sesaat kemudian menuliskan sesuatu di buku catatannya.”Berikan terapi triparen lagi,” kata dokter Hana pada perawat yang berdiri di sampingnya. Perawat itu mengangguk, dengan sigap ia mencatat apa yang di katakana dokter itu padanya.

“Dokter, apa aku akan di suntik lagi?” Tanya putri kecilku tiba-tiba. Dokter Hana menatap lembut gadis kecilku, ia membelai kepalanya dengan sangat perlahan, seakan ia memang diciptakan untuk memberikan ketenangan pada mahluk-mahluk kecil yang malang ini. Aku menggigit bibir bawahku keras-keras untuk menahan lonjakan rasa perih di dalam dadaku. Aku harus tegar, aku harus kuat untuk putriku. Putri kecilku yang baik hati. Putri Salsabila Ramadhani.

“Tidak sayang,” ujar dokter Hana lembut. Putriku tesenyum tipis kemudian menoleh kepadaku, tangan kecilnya terulur, ingin menggapaiku. Dengan cepat aku langsung menghampirinya, menggenggam tangan mungilnya dan tersenyum menenangkan. “Baiklah, dokter pergi dulu yah sayang,” ujar dokter Hana.

“Terima kasih dokter,” bisikku tulus. Dokter Hana mengangguk dan berlalu pergi bersama dua perawat lain di belakangnya. Meninggalkan aku dengan gadis kecilku berdua lagi. Aku menatap kedua mata indah putriku dalam-dalam, berusaha untuk menyelami seluruh rasa yang dialaminya beberapa hari belakangan ini. “Apa ada yang sakit sayang?” tanyaku pelan. Gadis kecil itu menggeleng.

“Maafkan Bila mama, gara-gara Bila mama harus tidur di sofa rumah sakit…” bisiknya pelan, aku tercekat mendengar kata-katanya. Ya Allah… gadis ini, ia malah mengkhawatirkan tidurku, saat sakit yang dirasakannya terkadang sampai membuatnya kehilangan kesadarannya.

Aku menggeleng perlahan dan membelai kepalanya, “Mama baik-baik saja sayang, kamu tidak perlu mengkhawatirkan apapun.” Balasku seraya mengecup keningnya, mengujaninya dengan tetesan air mataku yang jatuh begitu saja.

***

Pernikahanku adalah pernikahan terindah pada tahun itu, semua orang yang hadir selalu memuji kami sebagai pasangan yang paling serasi. Aku tidak bisa berhenti tersenyum kala itu, hingga keesokan harinya aku merasa wajahku keram karena terlalu banyak tersenyum. Sebelumnya, aku pernah merasakan perih yang teramat dalam ketika mengalami kegagalan bahkan sebelum pernikahan itu diadakan. Ya, sosok yang ku anggap sebagai kekasih hatiku selama 3 tahun lamanya ternyata menghianatiku dengan wanita lain, dan semua itu terbongkar satu bulan sebelum pernikahan kami. Aku tidak tau harus menganggap itu sebuah keberuntungan atau kepedihan. Mereka selalu mengatakan, ini lebih baik dari pada aku mengetahuinya setelah kami sah menjadi suami istri. Dan aku tidak bisa menyalahkan pendapat itu, hanya saja aku tidak tau bagaimana cara agar bisa kembali berdiri setelah itu. Luka yang tertinggal begitu dalam dan pedih, hingga akhirnya aku menyerah pada kata klise bernama cinta itu.

Pertemuanku dengan sosok Adrian bukanlah sebuah kebetulan, kami bukan secara tidak sengaja bertabrakan di lorong-lorong perpustakaan seperti yang diputar di film-film romansa itu. Tapi pertemuanku dengannya sudah diatur sedemikian rupa oleh Mia, sahabatku. Aku, yang lelah kepada cinta, hanya mengangguk pelan ketika Ia mengenalkan seorang pria yang mengatakan ingin melakukan taaruf denganku.

Hanya berselang 3 bulan, dan ketika Adrian meminangku di hadapan seluruh teman-teman kantorku, aku mengangguk dengan sepenuh hati. Seakan aku sudah mengenalnya selama tiga tahun lamanya, bukan tiga bulan; seakan kami memang sudah dekat sejak kecil bukan karena taaruf yang direncanakan oleh Mia dan suaminya. Tapi aku mengangguk, aku mengangguk dengan keyakinan yang bahkan tidak pernah ku dapatkan dari siapapun sebelumnya. Sosok itu, sosok rupawan bermata coklat itu mampu membiusku sedemikian rupa, ia mengajarkanku untuk kembali menemukan sisi lain dari balik kata cinta itu, ia membantuku kembali menemukan tujuan hidup yang lebih mulia; membangun sebuah mahligai rumah tangga yang indah, membangun sebuah keluarga yang insya Allah akan menjadi bekal kami di akhirat kelak.

Aku mencintai Adrian, seperti bintang mencintai Rembulan, seperti ombak mencintai lautan, aku mencintainya karena Allah, karena aku yakin di sanalah jalan menuju surgaku akan terbuka, kepadanyalah aku akan mengabdikan sisa hidupku untuk meraih ridho sang Khalik.

Hingga tiga tahun kemudian akhirnya Allah mempercayakan seorang putri mungil kepada kami, seorang putri yang menjadi jawaban dari do’a-do’aku di setiap sepertiga malam. Putri Salsabila Ramadhani. Putri kecil yang lahir tepat di malam penuh bintang, malam indah di hari terakhir ramadhan datang, malam menuju hari fitri yang penuh berkah.





“Aku ingin menjadi bintang…” rengeknya suatu malam, ketika hanya ada kami berdua di rumah. Aku mengerutkan keningku tidak mengerti. Ku pikir ia sudah terlelap sejak sepuluh menit yang lalu, ketika aku memutuskan menghentikan ceritaku tentang nabi Musa karena merasakan nafasnya sudah bergerak teratur, menandakan ia sudah terlelap tidur. Dengan perlahan aku membalikan tubuhnya hingga menghadapku, aku menatap wajah mungilnya dengan penuh kasih. Ia baru berumur 6 tahun saat itu, namun ia sudah sangat ahli dalam menggambar benda lima sudut yang disebut bintang.

“Kau adalah bintang hati mama,” bisikku penuh kasih. Namun wajah mungil putriku tidak tersenyum sama sekali, matanya nanar menatap langit-langit kamarnya yang gelap.

“”Tapi aku ingin menjadi bintang di langit.” Ujarnya pelan. Aku terdiam sejenak, bingung harus menjawab apa.

“Kau akan menjadi bintang terindah.” Ujarku akhirnya, kemudian memeluk tubuh mungilnya lebih erat lagi.





Jika tau malam itu adalah sebuah pertanda darinya, mungkin aku tidak akan pernah melepaskan pelukanku darinya. Aku akan terus memeluknya sepanjang malam, hingga pagi menjelang, hingga jika ia membuka mata keesokan paginya, ia akan tetap merasa tenang melihatku di sampingnya. Namun semua itu hanya perandaian. Pada kenyataannya, aku pergi meninggalkannya, berangkat pagi-pagi buta karena alasan meeting di kantor, lalu menitipkan gadis kecilku pada pembantu rumah tangga kami.

Hari itu berjalan normal seperti hari-hari biasanya, hingga aku mendapatkan sebuah telepon dari sekolah Salsabila tepat pada pukul sepuluh pagi. Salsabila muntah hebat, hingga membuat guru-guru panic dan membawanya ke rumah sakit. Aku menghubungi Adrian saat itu juga, kemudian melenggang pergi dari kantor, melupakan seluruh jadwal meeting lainnya pada hari itu. pikiranku mulai di penuhi oleh hal-hal yang berkaitan dengan putriku. Apa yang ia makan kemarin, apa yang ia kenakan saat tidur semalam, apa dia masuk angin? Apa aku telat memberikan obat cacing padanya? Apa aku lupa memeriksa tanggal kadarluasa pada masakan yang ku masak kemarin? Apa dia jajan sembarangan di sekolahnya? Apa ia terasa panas kemarin? Dan masih banyak apa-apa lain dalam benakku. Menghantuiku bagai kunang-kunang bercahaya terlalu terang.

Salsabila masih berada di ruang IGD ketika aku sampai, dokter memberikan cairan infusan sebagai pengganti cairannya yang hilang. Hatiku langsung jatuh begitu saja ketika melihat wajah pucatnya, kepanikan langsung menghujamku. Melisa, wali kelasnya, langsung menceritakan kronologi dari sudut pandangnya. Tapi aku tidak benar-benar mendengarkan. Otakku terlalu sibuk memikirkan sosok putriku yang tampak begitu lemah di atas ranjang dorong rumah sakit ternama itu. kemudian seorang dokter yang bertugas hari itu menghampiriku dengan catatan di tangannya. Ia mendesah pelan, kemudian sekali lagi memeriksa mata putriku yang masih terpejam dengan senter kecilnya.

“Bagaimana keadaan putri saya dok?” tanyaku. Pertanyaan yang sama dengan pertanyaan yang dilontarkan berjuta ibu-ibu lainnya ketika cemas melihat buah hatinya terbujur lemah di hadapan mereka, pertanyaan yang sudah berjuta kali terucap, pertanyaan yang seharusnya sudah familiar di telinga setiap dokter di rumah sakit, pertanyaan yang seharusnya dengan mudah di jawab oleh setiap dokter.

Tapi dokter itu malah terdiam cukup lama, seakan meragu pada analisanya sendiri. Sebenarnya aku tidak butuh jawaban apapun, aku hanya ingin mendengar dokter itu berkata bahwa putriku baik-baik saja. Bahwa ini hanya masalah spele yang berkaitan dengan makanan yang di makan oleh putriku. Setengah jam lagi, setelah cairan observasi itu habis maka putriku akan kembali baik-baik saja. Aku akan bisa membawanya kembali pulang bersamaku. Aku akan bisa kembali memeluknya dengan tenang. Putri kecilku… pelita hidupku…

“Kami masih belum bisa mendiagnosa penyakit putri anda, tapi kami menyarankan agar ia dirawat. Kami menemukan edema pada pupilnya, mungkin ia harus melakukan beberapa tes,”

Kepalaku pening ketika mendengar penuturan dokter itu. Aku benar-benar ingin focus mendengar apa yang di katakannya, tapi entah bagaimana istilah-istilah itu membuatku bingung karena perasaan cemas yang mulai bertambah kuat. “Tes?” tanyaku berusaha setenang mungkin.

Dokter itu mengangguk, “Ya, tes darah dan urin. Dan… MRI scan,” tambahnya. “Kami khawatir ada perkembangan sel abnormal di dalam dirinya.” Aku tercekat. Tepat pada saat itu pintu ruang IGD terbuka, dan Adrian berdiri di sana. Tepat ketika aku merasakan jantungku berhenti berdetak untuk beberapa saat.

***

            Ketika duduk di sekolah SD, pelajaran yang paling ku sukai adalah pelajaran IPA dan Bahasa Inggris. Pelajaran yang sahabatku bilang paling membosankan dan sulit. Aku tidak pernah mengingkari bahwa kedua pelajaran itu memang sulit. Sering kali aku hanya mendengarkan penjelasan guru tanpa mengerti dengan apa yang tengah ia katakan. Tapi aku menyukainya, terlebih tentang tata surya di dalam IPA. Aku menyukai penjelasan pak Denias tentang perputaran matahari, bulan dan bumi. Aku menyukai semua kisahnya, seperti aku menyukai ayat-ayat indah yang kerap dibacakan oleh ibuku di malam hari.

“Demi matahari dan cahayanya di pagi hari (1). Dan bulan apabila mengiringinya (2). Dan siang apabila menampakkannya (3). Dan malam apabila menutupinya (4). Dan langit serta pembinaannya (5). Dan bumi serta penghamparannya (6). Dan jiwa serta penyempurnaan (penciptaannya) (7). Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya (8). Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang menyucikan jiwa itu. (9). Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya (10).” (As syams : 1-10)

Bukankah itu sebuah janji yang indah. Janji yang tidak akan pernah teringkari, satu-satunya janji yang membuat hatiku selalu tenang. Janji bahwa Allah akan memberikan kebahagiaan bagi orang-orang yang berbuat baik.

Menginjak masa-masa SMP dan SMA, kecintaanku pada bidang biologi semakin mendalam, aku menyukai bab anatomi tubuh manusia, meskipun karena masalah lemahnya ingatanku, aku tidak pernah bisa menghafal istilah-istilah ilmiah itu dengan benar. Ketika umurku 8 tahun, ibu mengatakan bahwa aku sempat demam hingga kejang, yang akhirnya kini menyebabkan ingatanku melemah, membuatku harus belajar sepuluh kali lebih giat agar bisa menyamakan taraf pemahamanku dengan siswa-siswa lain pada umumnya.

ketika sampai ke tahap perguruan tinggi, aku berhasil masuk ke jurusan Biologi Sains di sebuah perguruan tinggi negri di Jakarta melalui jalur PMDK. Namun sayangnya takdir berkata lain, entah bagaimana akhirnya aku malah terjebak disana, di tengah-tengah sekelompok mahasiswa yang mendalami masalah advokat, hingga akhirnya kini aku malah menjadi konsultan hukum, bukan seorang ahli biologi.

Belakangan aku mulai berpikir, apakah jika dulu aku tetap mengambil jurusan biologi, maka aku tidak akan mengalami ini? Aku tidak akan menjadi seorang konsultan hukum; aku tidak akan pernah bertemu dengan sosok manis sahabatku, Mia; aku tidak akan pernah melakukan taaruf dengan Adrian; aku tidak akan pernah memiliki Salsabila; dan gadis kecil itu tidak akan pernah sakit?

***

Aku tersentak bangun dari tidurku dalam sekali tarikan nafas. Tubuhku tegang, penuh oleh keringat dingin. Untuk beberapa detik pertama otakku masih kosong, meski jelas terasa dadaku di penuhi kesesakan rasa takut yang menggebu-gebu. Detik kedua, aku baru menyadari apa yang terjadi. Aku menoleh pada Adrian yang sedari tadi sudah berdiri waspada menatapku. Kedua tangannya mencengkram lengan atasku, matanya menyiratkan kekhawatiran yang teramat sangat. Bahkan rasa aman yang biasanya ku lihat di matanya pun menghilang, terkubur oleh kabut ketakutan itu. Aku tidak yakin sudah berapa kali ia meneriaki namaku, namun ketika aku kembali mendapatkan kesadaranku ia langsung mendesah lega.

“Alhamdulillah Sarah… syukurlah…” ujarnya seraya memeluk tubuhku yang masih membeku. “Kau membuatku cemas.”

“Dimana Salsabila?” tanyaku perih. Mataku menatap langit-langit putih di atas ku dengan pandangan kabur karena genangan air mataku sendiri. Adrian melepaskan pelukannya dan menatap wajahku.

“Dia sudah dipindahkan ke ruangan biasa.” Ujar Adrian.

“Mengapa kau tidak menemaninya?” tanyaku seraya beranjak bangun, namun tangan kekar Adrian menahanku. Ia menatapku dengan pandangan khawatirnya.

“Kau tenanglah dulu. Ibu dan ayah sudah menemaninya. Sekarang lebih baik kau menghabiskan infuse ini dulu, baru kita pergi bersama-sama ke kamarnya.” Aku meringis ketika melirik tangan kiriku yang terpasang jarum infuse. Aku memang memiliki fobia terhadap rasa sakit, bahkan meski itu hanya tertusuk sebuah jarum kecil sekalipun. Mendadak kepalaku kembali terasa pusing, mual langsung menghujam tubuhku. Aku mendengar Adrian meneriaki suster dan dokter di ruangan IGD itu, kemudian aku mendengar suara tirai-tirai ditarik, dentingan-dentingan peralatan rumah sakit, lalu sunyi.

***

Banyak hal yang terlewatkan oleh memoriku, bukan oleh diriku. Aku melewati seluruhnya, namun memoriku tidak bisa menyimpan keseluruhannya, bahkan mungkin hanya seperenam dari rentetan-rentetan kejadian itu. Aku lupa berapa banyak rumah sakit yang kami datangi hanya sekedar untuk memastikan bahwa yang diderita putriku adalah kanker otak. Aku lupa berapa banyak dokter yang mengatakan bahwa kami masih memiliki harapan. Aku juga lupa berapa banyak dokter yang pada akhirnya menggeleng lemah, menyerah pada takdir, tanpa merasa malu pada gelar yang mereka miliki. Aku melupakan hampir semua kejadian itu. Kecuali satu hal, hal kecil yang selalu membuatku kuat, senyuman gadis kecilku yang mengembang ketika yang dirasakannya saat itu adalah sakit yang teramat sangat.

Berkali-kali aku menitikan air mata ketika melihat berbagai treatment yang dokter-dokter itu lakukan pada tubuh lemah putriku, dan berkali-kali juga aku kembali dikuatkan oleh senyumannya. Ia tau aku fobia rasa sakit, ia mengerti, hingga dengan tegarnya bocah berumur 7 tahun itu memintaku keluar dari ruangan tempatnya diperiksa. Aku masih merasa pusing satu dua kali, tapi beberapa bulan belakangan ini aku tidak pernah lagi ingin meninggalkannya sendiri. Aku selalu ingin bersamanya di setiap kesempatan, di setiap kemungkinan yang ada.

6 bulan berlalu, kini aku hanya tidak bisa mengingat berapa banyak dokter yang menggeleng, menyerah pada nasib putri kecilku. Aku mulai merasa lelah, tapi aku tidak ingin menyerah. Tidak peduli pada kenyataan memilukan yang tidak bisa lagi ku ingkari. Putriku mengidap kanker otak stadium akhir.




Malam itu, malam ke 25 bulan ramadhan, aku bisa bernafas sedikit lebih lega ketika melihat senyuman putriku yang mengembang dengan indahnya. Seluruh saudarinya datang berkunjung, bahkan teman-temannya juga, awalnya aku merasa hatiku terpilin amat perih ketika melihat kedatangan mereka. Seakan mereka tau jika hidup putriku tidak lagi lama, hingga mereka datang berbondong-bondong untuk mengucapkan selamat tinggal.

Aku tau, aku salah. Persepsiku pada mereka salah. Orang-orang itu sungguh baik hati hingga bersedia menjenguk putriku, mengukir segores senyuman yang jarang sekali terlihat karena keperihannya menghadapi sel-sel kanker yang semakin mengganas itu.

Rambut Salsabila sudah rontok sepenuhnya karena beberapa kali melakukan kemoterapi. Namun wajah mungilnya tetap terlihat cantik di balik kerudung pemberian ibu mertuaku. Paman dan bibinya pun turut datang membawakan baju baru untuk lebarannya kali ini. Aku menatap perih baju-baju cantik itu, entah kapan putriku bisa kembali mengenakan busana muslimah yang manis itu, bukan hanya piyama rumah sakit lagi dan lagi.


“Mengapa mama tidak memberi tahu Bila kalau sebentar lagi idul fitri?!” tudingnya marah dimalam terakhir bulan ramadhan. Aku yang saat itu tengah mengupas sebuah jeruk untuknya hanya mampu tersenyum.

“Kamu kan sudah mendapatkan banyak baju baru. Apa masih kurang? Kalau begitu nanti akan mama belikan lagi yah sayang.” Bisikku lembut. Salsabila menyilangkan kedua tangannya di dada, wajahnya merengut kesal.

“Bukan masalah baju baru! Bila nggak mau baju baru. Bila mau puasa!” ujarnya lantang. Aku tersentak kaget mendengar kata-katanya. “Kata ibu guru, orang muslim itu harus puasa di bulan ramadhan, itu hukumnya wajib Ma. Kalau kita nggak puasa, nanti dikasih dosa sama Allah. Bila nggak mau masuk neraka…” ujarnya dengan suara bergetar. Aku merasa air mataku kembali tergenang.

“Tapi Bila sakit, Allah pasti ngerti.” Bujukku. Namun gadis kecil itu masih dengan kekeras kepalaannya. Hingga beberapa saat kemudian Adrian memasuki kamar rawat inap putri kami. Ia mengecup kening Salsabila dengan sayang.

“Loh, ada apa ini putri papa kok cemberut?” goda Adrian. Salsabila memalingkan wajahnya tak acuh, membuat Adrian menatapku penuh Tanya.

“Bila mau puasa!” ujarnya ketus. “Bila nggak mau masuk neraka!” rengeknya, kemudian ia menangis. Aku sendiri sudah tidak kuasa menahan air mataku. “Bila sebentar lagi dipanggil Allah papa, kalau Bila nggak puasa, nanti Allah marah dan Bila pasti masuk neraka.” Ujarnya penuh ketakutan. Aku menggeleng dan langsung memeluknya.

“Bila nggak akan kemana-mana sayang… kamu akan tetap ada bersama papa dan mama.” Ujarku sungguh-sungguh. Aku memeluk erat tubuh mungil itu, mencoba menenangkannya, mencoba meyakinkannya bahwa aku sangat mencintainya.

“Bila putri papa yang solehah, kalaupun Allah mau mengambil Bila, Allah pasti menempatkan Bila di surga.” Ujar Adrian pelan. Tubuhku menegang kaku ketika mendengar ucapannya, merasa tidak terima akan kepasrahan yang tersirat dari kata-katanya.

“Mah…” rintih Salsabila di pelukanku. Aku langsung terjaga, dengan seksama aku meneliti wajahnya. Mencari tau dimana letak sakitnya. Putri kecilku meringis perih sambil mencengkram kepalanya.

“Pah, panggil dokter Hana!” teriakku kalut. Adrian mengangguk dan berlalu pergi.

Aku menangis sesenggukan di samping tubuh mungilnya, menggenggam erat tangannya yang bebas. “Mama Bila nggak apa-apa. Ini nggak terlalu sakit, sebentar lagi pasti hilang.” Ujarnya sambil tersenyum tipis, tapi aku bisa melihat cengkraman tangan kecilnya menguat, ia meringis kesakitan. Dan kini malah tersenyum menenangkanku yang kalut. “Bila sayang mama…” bisiknya lemah.

Dan ketika dokter Hanna datang, putriku tak lagi bergerak.

***

“Putriku…” aku membulatkan mataku ketika melihat seorang gadis kecil yang sangat ku rindukan. Putri kecilku, bintang kehidupanku…
Tangan mungilnya terulur kepadaku, senyumannya begitu lembut dengan binar mata yang begitu indah. aku merasakan keperihan yang teramat sangat karena rasa rinduku kepadanya. Gadis kecilku yang sempat bersemayam dalam rahimku selama 9 bulan, dan memberikan cahayanya selama 7 tahun lamanya kepadaku.  Gadis kecil yang begitu berarti dalam hidupku, yang membuatku percaya atas keberadaan Tuhan. Buah cintaku dengan kekasih hatiku.
“Sayang… mama sangat merindukanmu,” bisikku dengan deraian air mata. Gadis kecil itu mengangguk dan menatapku, menunjukan kerinduannya pada diriku.
“Aku juga rindu mama,” balasnya dengan suara seorang bocah yang begitu lucu.
“Kemarilah nak…” bisikku, dan ia menghampiriku dengan perlahan. aku memeluknya erat-erat, khawatir ia akan kembali menghilang.
“Ma…” bisiknya seraya menyentuh kedua pipiku yang basah dengan jemari kecilnya. “Jangan bersedih, aku baik-baik saja di sini,” ujarnya, namun air mataku tidak bisa berhenti menetes. Kerinduanku pada sosok mungil ini membuat jiwaku terguncang sedemikian dalamnya. Aku mencintainya, aku bersedia untuk melakukan apapun agar memiliki kesempatan kedua bersamanya… bersama bintang kecilku…
“Maafkan mama, tapi mama tidak bisa berhenti menangis ketika mengingatmu yang menutup mata ini,” aku menyentuh sisi mata kanannya dengan ibu jariku. Mencoba merasakan guratan-guratan lembut kulitnya. Kemudian dengan perlahan ku kecup keningnya, mencoba merasakan dirinya dalam diriku.
“Mama… aku bahagia disini. Dan justru dengan mata tertutup itulah aku bisa melihat surga,” ujarnya pelan. Tubuhku tersentak sesaat, air mataku terus menetes ketika aku mengangguk kepadanya.
“Iya sayang, mama tau…” ujarku seraya membelai kepalanya dengan perlahan. “Titipkan salam mama kepada Allah, sampaikan rasa terima kasih mama kepada –Nya karena sudah menitipkan permata seindah dirimu ke dalam kehidupan mama…”
“Allah menyayangi mama…” bisiknya perlahan. Aku memeluk tubuh mungilnya erat-erat. Mencoba kembali meraih sisi logisku.
Ya Allah… terima kasih karena anugrah terbesar yang telah Kau berikan pada diriku yang lemah ini… terima kasih
Aku tau, ia sudah bahagia bersamamu. Ia sudah terbebas dari perihnya kanker yang menggerogoti tubuh kecilnya, dan dia sudah bisa melihat surgamu, terima kasih…
Aku terus memeluk putri kecilku. Menghirup aromanya yang lembut sebelum akhirnya aku merasakan kehampaan dalam diriku. “Mama menyayangimu Nak…” bisikku sebelum semuanya menghilang.
***
“Sarah… sst…. Tenanglah,” aku masih memejamkan mataku ketika sepasang tangan itu memelukku dalam kegelapan malam. Tubuhku menggigil karena tangis yang begitu menyesakan dada. Mimpi itu terasa sangat nyata, hingga aku masih bisa merasakan kerinduanku kepadanya.
“Putriku…” isakku parau. “Dia sudah bisa melihat surga,” tambahku. Sosok di hadapanku mendekapku semakin erat, menawarkan kehangatan di dadanya, memberikan ketenangan yang susah payah ia pertahankan.
“Iya sayang… aku tau, dia juga sudah mengatakannya padaku,” ujar Adrian. Aku tersenyum di dadanya. Mencoba menenangkan gemuruh hatiku, meyakinkan diriku bahwa ia sudah bahagia di sana. Bintang kecilku… putri terkasihku… mama mencintaimu nak…

***
Itu putriku. Pelita kecilku, hadiah terindah dalam kehidupan kecilku. Kau tidak perlu menanyakan sebesar apa cintaku padanya. Karena kau tau, tidak ada yang bisa mengukurnya, begitu pula aku sendiri.
Itu putriku. Gadis mungil bermata indah seperti ayahnya. Kami menantinya selama bertahun-tahun, jadi kau tidak perlu meragukan kerinduan kami akan kehadiran sosok mungilnya.
Itu putriku. Ia penyuka benda langit bernama bintang. Awalnya aku tidak sadar jika coretan yang ia buat ketika mulai bisa memegang pensil adalah cikal bakal sketsa bintang yang begitu indah. Tapi kemudian waktu menunjukannya padaku. Ketika teman-temannya menggambar gunung dengan sekotak sawah dan jalanan panjang, ia tetap bersikukuh dengan bintang-bintang cantiknya.
Itu putriku. Bintang hatiku. namun ia ingin menjadi bintang di langit. Untuk pertama kalinya aku tidak menuruti permintaannya. Ia sudah bersinar, ia tidak perlu menjadi bintang di langit itu.
Namun ketika malam menjemput, hembusan angin membisikan sebuah kisah padaku. Kisah putri dan bintang, bulan dan bintang, atau bahkan hanya bintang itu saja. Putriku semakin mengaguminya, dan aku tidak kuasa menahannya ketika binar bahagia terpancar dari matanya setiap kali menyebutkan nama benda berkilauan itu. Aku hanya mengangguk dan menyembunyikan air mataku darinya. Menjanjikannya bahwa ia akan segera menjadi bintang di langit. Merelakannya…
Tapi aku tidak pernah memperkirakan jika perihnya sedalam ini. Aku tidak pernah tau, karena memang tidak ingin tau.
Itu putriku. Bintang terindah di langit yang kelam. Berkilauan bagai berlian, bersinar bagai pelita. Bintang paling rupawan yang pergi di malam terakhir ramadhan tahun itu.
***
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kemudian hanyalah kepada kami kamu dikembalikan.” (al ankabut : 57)
***



2 komentar:

Unknown mengatakan...

aduh jadi nangis lagi, lagi sedih baca ini cerita.
menyentuh hatiku..

Nunaalia mengatakan...

bagus bgt Cherry, tapi ga tahan sedihnya hiks hiks....

*btw kenapa cerit2 Cherry kebanyakan sedih semua???? bikin galau