Jumat, 14 Juni 2013

REMBULAN MARYLIN



Hembusan angin malam itu tampak begitu asing, tidak seperti malam-malam sebelumnya yang berhembus lembut di antara dedaunan yang terdiam sunyi menunggu fajar. Seakan menunggu akan datangnya sebuah keajaiban, malam pun turut membeku. Jangkrik-jangkrik yang biasanya bersuara nyaring kini bersembunyi di balik bebatuan, bahkan nyamuk-nyamuk pun lebih memiliki berkumpul dengan kelompoknya dari pada harus keluar persembunyian mereka. Bukan, bukan karena mereka tidak lapar, tapi mungkin mereka hanya enggan melihat gadis itu lagi, melihat air mata itu lagi, melihat kekecewaan itu lagi.
Setetes air mata mengiringi setiap kedipan gadis itu, sayangnya, sebanyak apapun ia sudah menangis, air matanya takkan pernah mengering, dan lukanya tidak pernah terobati. Rindu yang takkan pernah bertepi.
Sekali lagi Mary menyeka air matanya, mengukir sebuah senyuman simpul di wajah manisnya, dan memantapkan hatinya, bahwa masih ada purnama-purnama yang selanjutnya, malam purnama di mana rindunya akan terobati. Ia meraih tasnya yang tergeletak di kursi sebelahnya, kemudian bangun dari duduknya, bersiap untuk meninggalkan taman yang sunyi.
Keningnya sedikit berkerut ketika merasakan ponsel di saku jeansnya bergetar. Telepon dari Rama, sahabatnya.
“Dimana kau?” Tanya Rama sebelum Mary sempat mengucapkan kata Halo.
“Di rumah.” Jawab Mary pelan.
“Bohong. Aku di rumahmu sekarang, dan kau tidak ada.” Tukasnya geram. Mary mendesah lelah dan menutup teleponnya. Ia menjejalkan ponselnya kembali ke dalam saku jeans, berpura-pura tidak peduli pada getaran-getaran yang disebabkan oleh telepon Rama yang selanjutnya.
***
“Kau sudah dewasa, kau tidak bisa terus-terusan seperti ini. Rama mencintaimu, dan kau tau itu, kita semua tau.” Ujar Ny. Lisa pagi itu. Mary yang tengah menyiangi tanaman mawar kesayangannya terdiam sejenak, namun tidak menoleh. “Ibu tidak pernah memaksamu untuk menikah. Ibu percaya padamu, ibu hanya ingin kau memberi kesempatan pada Rama.” Tambah wanita berumur 56 tahun itu. Mary mendesah pelan kemudian kembali menyibukkan dirinya dengan mawar-mawar itu. Ia memotong setangkai mawar yang melayu, dan setangkai yang masih begitu segar. Namun keduanya ia buang begitu saja di tempat sampah bersamaan dengan daun-daun kering lainnya.
“Kenapa kakak membuang mawar itu?!” Tanya Nila adiknya.
“Karena mawar itu rusak,”
“Tapi dia masih segar.”
“Tapi dia rusak. Kalau dibiarkan dia akan merusak yang lainnya.” Ujar Mary sebelum berlalu pergi ke kamarnya. Nila tertegun mendengar perkataan kakaknya. kemudian merapihkan rok abu-abunya dalam diam, berusaha menutupi kegalauannya akan sikap kakaknya yang tidak lagi bersahabat.
Baginya Mary adalah kakak yang sangat sempurna, ia baik hati, pintar dan cantik. Sikapnya yang lemah lembut membuatnya selalu merasa tenang, meski begitu ketegarannya yang tak tergoyahkan juga berhasil membantu mereka semua keluar dari keterpurukan ketika ayah mereka meninggal. Hingga hari itu tiba, ketika tanpa sengaja malam bulan purnama berubah menjadi malam berhujan yang begitu kelam. Mary yang dikenalnya pun menghilang, seperti rembulan yang ditelan kelabu malam itu.
***
Mary tersentak kaget dari lamunannya ketika ia mendengar pintu ruangannya dibanting dengan keras. Seakan baru tersadar dari lamunannya, ia merasa tubuhnya mendadak bergetar, menggigil kedinginan meski ac di ruangannya sudah dimatikan. Kata-kata pria itu kembali terngiang di telinganya. Kata-kata yang entah bagaimana mampu membius sosok muda Mary.
“Tunggu, tunggu aku. Aku pasti akan segera kembali. Tepat di malam bulan purnama yang selanjutnya, aku akan menemuimu. Di tempat ini, di taman ini. Tunggu aku, karena aku mencintaimu.”
Ia memejamkan matanya dengan perlahan, mencoba mengingat seluruh rentetan kejadian yang manis itu. menjoba mengingat 7 menit yang paling indah dalam hidupnya, 7 menit yang paling berharga untuknya. Kemudian ketika kenyataan itu menghampiri, ia akan jatuh menangid si depan meja nya, menutup matanya untuk menyembunyikan air matanya yang tidak pernah mengering.
Entah sudah kali keberapanya ia menangis di dalam ruangan kantornya yang sunyi, untuk sesaat semuanya akan tampak bagai malam yang kelam, melengkapi sosok cantik Mary dengan segenggam lukanya.
Mary menyeka air matanya ketika mendengar sebuah ketukan di pintunya, seorang gadis sebayanya tersenyum kikuk ketika muncul dari balik pintu itu, sadar bahwa atasannya baru saja menangis. “Maaf Mar, ada telepon di line satu dari orang yang bernama Hana,” ujarnya. Mary mengangguk dan langsung menyibukan dirinya dengan gagang telepon di mejanya.
“MARRY!!!”
“Hai Han…” sapa Mary lesu.
“Kau kenapa?! Kau sakit? Atau habis menangis.”
“Jangan bodoh, mana mungkin aku menangis.”
“Jangan membodohiku Mary, aku sahabatmu!”
“Sahabat yang tidak pernah bertemu.” Ralat Mary. Hanna meringis pelan.
“Tapi aku tetap sahabatmu, meski kita sudah sepuluh tahun tidak pernah bertemu. Aku masih menyayangimu, seperti ketika kita masih SD.” Tutur Hanna lirih. Mary terkekeh pelan mendengar nada suara Hanna. “Dan sebentar lagi kita juga akan bertemu,” ujarnya. Mary tersenyum tipis dan mengangguk, meski ia sadar Hanna tidak akan melihat anggukannya.
“Iya aku tau.” Ujarnya dengan sebuah senyuman simpul.
“Aku menyayangimu Mary,”
“Sudahlah Hanna, kita bukan pasangan lesbi, oke?!”
“Hahahaha, kau benar. Kalau saja aku belum menerima pinangan pangeranku, aku pasti akan menjadi pasangan lesbi terbaikmu.”
“Bodoh!” desis Mary sambil tersenyum tipis.
“Aku hanya ingin mengingatkanmu tentang hari pernikahanku!”
“Aku tidak pernah lupa, kau meneleponku lima kali sehari untuk mengabari hal ini. Ku harap pangeranmu itu benar-benar setampan yang kau ceritakan itu, ratu dongeng!”
“Hey! Kau akan melihatnya sendiri. Kau juga pasti akan terpesona! Dia itu sangat teramat menawan!!!” teriak Hanna bersemangat. Mary tersenyum tipis dan mengangguk pelan. “Jangan lupa bawa pangeran Rama-mu!” tambahnya. Kening gadis itu berkerut, bagaimana mungkin Hanna mengetahui tentang Rama? “Jangan mengelak, Nila sudah menceritakannya padaku. Aku tidak habis pikir bagaimana mungkin kau bisa menyembunyikan ini dariku?!” tudingnya geram.
“Aku tidak ada hubungan apapun dengannya.” Ujar Mary perlahan.
“Ah, berhenti berpura-pura. Bawa dia ke pernikahanku, aku tidak ingin sahabatku datang sendiri di acara spesialku.” Tutur Hanna sebelum menutup teleponnya. Mary mendesah lelah dan melirik kotak kecil hitam di atas mejanya dengan perih. Kotak yang berisikan cincin yang tidak pernah bisa ia terima.
***
“Kau tidak mengenaliku?” pertanyaan itu menghentakan jiwa gadis yang tengah membeku itu. Matanya nanar menatap sosok tampan yang berdiri di hadapannya. Perlahan segores senyuman terukir samar di wajah cantiknya. Ia menatap wajah di hadapannya dengan penuh rindu. Kedua mata itu masih begitu indah dengan warna coklatnya yang sangat cemerlang, rambutnya yang hitam tersisir rapih dengan gaya yang elegan, membingkai apik wajah tampannya.
Tidak, tidak ada yang berkurang dari pria itu. bahkan ia tampak bertambah tampan, dengan stelan jas kasualnya, dengan senyuman hangatnya, dengan tatapan menyejukannya.
“Aku sahabatmu, kau ingat? Kita pernah satu kelas dua tahun di SMA.” Ujarnya. Namun Mary hanya terdiam. “Hm… kita pernah dihukum bersama-sama membersihkan gudang karena bertengkar di perpustakaan.” Ujarnya mengingat-ngingat. Ia memijat pangkal hidungnya sambil memejamkan matanya, mencoba mengorek memori lama yang tampaknya sudah terlupakan. “Oya, ketika kelas satu kita juga pernah bertengkar di lapangan basket. Ketika itu kau meminta timku untuk pergi karena ingin menggunakan lapangan basket sebagai tempat penelitian kelompok kimia-mu.” Pria itu tersenyum geli ketika mengingat masa lalunya. Ia berbalik ke arah pantai di sampingnya, kedua tangannya tersembunyi di balik saku celananya.
“Kita bahkan pernah tertinggal bus pariwisata ketika liburan kelas dua, hingga kita harus berjalan lima kilometer untuk menyusul bis yang tengah beristirahat di pom bensin terdekat. Dan sialnya tidak ada yang menyadari ketidak beradaan kita hingga kita datang,” ia menggeleng-geleng pelan sambil terus tersenyum. “Oya, kita pernah menanam pohon apel bersama. Hm… entah bagaimana kabarnya sekarang. Aku ingat kau selalu bersikeras bahwa pohon itu akan mati karena suhunya tidak sesuai. Tapi akhirnya kau tetap membantuku untuk menanamnya juga.”
“Kau adalah murid teladan, dan semenjak kita bersahabat di kelas tiga, kau selalu terlambat karena aku telat menjemputmu berangkat ke sekolah, maaf soal itu,” pria itu mendesah pelan. Tampak tulus dengan permintaan maafnya. “Aku ingat ketika kita menggabungkan perayaan hari ulang tahun kita di taman. Walaupun sedikit tidak adil untukku, karena hari ulang tahunku masih berselang dua bulan lagi. tapi itu adalah perayaan terindah yang pernah ku alami.”
Mary menghela nafas panjang dan membungkuk untuk mengambil segenggam pasir. Matanya nanar menatap birunya lautan di hadapan mereka.
“Sepertinya kau mengingat hampir semuanya…” bisik Mary pelan.
“Ya, dan sayangnya tidak ada satu hal pun yang kau ingat tentang kita.”
“Tentang kita…” Mary tersenyum sinis. Ia mengulurkan tangannya yang menggenggam pasir, kemudian membuka genggamannya dengan perlahan, hingga angin pantai sore itu menerbangkan butiran pasir di genggamannya. “Kenangan itu… akan seperti ini… menguap sedikit demi sedikit, hingga akhirnya hilang sama sekali…” bisiknya sambil membuka jemarinya lebih lebar lagi, hingga butiran pasir itu menghilang seluruhnya dari genggamannya.
Hembusan angin bertambah kencang kala itu, menjemput pasang air yang mulai naik, menjemput malam dengan segala kekelamannya. Mary berdiri di sana, dengan gaun terindahnya, dengan penampilannya yang paling teristimewa, seakan ia sudah tau jika ia akan menemui sosok sempurna itu hari ini. Ia tersenyum tipis melihat warna senja yang perlahan menghilang, tergantikan oleh kemilau cahaya rembulan.
“Tentang kita…” bisik pria itu pelan.
“Tentang kita…” potong Mary cepat. “Aku hanya bisa mengingat 7 menit terindah dalam hidupku. 7 menit teristimewa dalam hatiku. Sekaligus menjadi 7 menit kenangan terbaikku. Dan kini terasa seperti 7 menit yang begitu menyakitiku.” Ia tersenyum pahit pada malam yang menyapa dalam diam. “Kau lihat rembulan itu. hampir bulat sempurna, namun belum sepenuhnya bulat. Ada sisi sisi yang masih belum terlihat. Dan aku sangat mengharapkan jika suatu hari nanti aku bisa melihat bulan dengan bulatan yang sempurna. Tapi nyatanya aku tidak pernah bisa, sebulat apapun ia, ia akan selalu memiliki bagian yang terpotong oleh kelamnya malam. Ia tidak pernah menjadi purnama di mataku.”
“Mary…”
“Purnama di mataku.” Mary mengulangi kata-katanya dengan senyuman meremehkan. “Dan bodohnya, meski aku tau rembulan itu tidak pernah menjadi purnama, aku tetap menanti. Aku tetap duduk bodoh di sana, menanti sang rembulan memberikan cahayanya sepenuhnya kepadaku.”
“Mary…”
“Kau… ingatkah janji itu? janji manis yang kau ucap dengan sepenuh hati… janji bahwa kau akan kembali… janji untuk menemuiku di malam indah ketika purnama hadir, janji yang tidak pernah kau tepati..
“Kau mengingat banyak hal, namun tidak dengan janji itu, karena kau memang sengaja melupakannya. Melupakan 7 menit kenangan yang selalu ku ingat di sepanjang hidupku. Melupakannya karena kau tidak benar-benar ingin kembali.”
“Mary… aku…”
“Sudahlah. Itu hanya sebuah kisah kelam seorang gadis bodoh dengan rembulan di matanya. Hanya sebuah kisah klise tentang cinta dan kenangan yang mengundang perih jika dikenang. Kau tidak perlu merasa bersalah. Aku terluka karena kebodohanku sendiri. Dan maaf, kau memang kenangan terindah dalam hidupku, tapi aku tidak bisa terus mengingatmu, karena itu hanya menaburkan luka ketika akhirnya aku sadar bahwa kisah kita hanya sebuah kenangan yang takkan pernah terulang. Maaf, tapi aku harus melupakanmu…” Mary membalikan tubuhnya, bersiap pergi meninggalkan pantai, meninggalkan rembulan, meninggalkan pangerannya.
“Aku tidak bisa kembali… bukan tidak ingin…”
Setetes air mata mengalir begitu saja ketika Mary mendengar kata-kata pria itu. ia menghela nafas panjang dan tersenyum tipis, menertawakan dirinya yang begitu lemah di hadapan kata cinta itu.
“Dan Adit, aku ingin mengucapkan selamat untuk pernikahanmu dan Hanna besok. Sampaikan maafku pada Hanna karena tidak bisa menghadiri pernikahan kalian.” Mary menyeka air matanya perlahan. “Karena rasanya aku tidak sekuat itu…” bisiknya sebelum berlalu pergi menuju hotel tempat pernikahan sahabatnya akan diadakan esok hari.

The end

3 komentar:

Unknown mengatakan...

Huwwaaaa.. Sdih bgtt..:'(
Ckckck
Awalny ak bingung.. Tpi stelah tw...:'(
Oia mbak, ni critany ttg si cwok yg d jodohin ato si cwok yg pngkhianat? Ak bingung.. Soalny dia blg dia tdk bsa kmbali bkanny tdk ingin..

Fathy mengatakan...

CherrrryYyyyyy....
Tanggung jawab!!!!!!
Membuat pagi butaku menangis....

ƪ‎​​‎​(-̩̩̩-̩̩̩-̩̩̩__-̩̩̩-̩̩̩-̩̩̩)ʃ

aradhya fatimah mengatakan...

Huaaa kenapa mesti begitu :'(