Selasa, 18 Juni 2013

PELANGI HITAM PUTIH -12-

RAIHAN

Aku tersenyum puas pada bayangan di cermin itu. Ia memiliki struktur wajah yang begitu kokoh, yang selalu mendapat julukan tampan dari orang-orang yang melihatnya. Matanya berwarna coklat cemerlang, terbingkai indah dengan sepasang alis yang tebal, namun yang membuat kedua mata itu menarik bukanlah hal itu. Cahaya kehidupan yang kini terpancar dari balik iris coklatnya lah yang membuat semua tampak begitu mempesona. Binar indah yang sudah lama menghilang, binar indah yang ia dapatkan setiap kali tatapannya menangkap sosok cantik itu.
Berhasil, ya aku berhasil memasuki gerbang pertahanannya yang pertama. Dan selama ini aku memang tidak pernah gagal, seakan kegagalan tidak pernah termasuk dalam kamus kehidupanku. Aku adalah seorang pejuang. Sosok yang tidak akan pernah menyerah ketika menginginkan sesuatu. Terlebih gadis itu.
Ide tinggal di panti ini adalah ide yang paling cemerlang yang pernah ku dapatkan. Di tambah lagi dengan kelakuan-kelakuan bodoh wartawan itu, semuanya seakan menyatu bagai pelengkap kamuflaseku untuk mendekatinya. Aku tau Zahra akan sangat marah, namun ia tidak akan mengusirku. Ia tidak akan pernah membiarkanku terpuruk dalam kelumpuhan ini sendirian.
Lumpuh.
Wajah di cermin itu menarik sebelah bibirnya hingga membentuk sebuah senyuman sarkastis. Kedua tanganku terulur untuk menyentuh lututku di balik selimut tebal berwarna coklat. Aku benar-benar bangga kepada diriku sendiri yang ternyata bisa bertahan sedemikian rupa. Saat itu, aku memang sengaja memisahkan diri dari kelompokku ketika kami sudah menemukan Raka. Sedikit naïf memang, tapi aku bersyukur ia baik-baik saja, dan saat itulah aku memutuskan untuk memberikan apa yang gadis itu inginkan. Kematianku. Untuk kali pertamanya aku merasa begitu terguncang atas penolakan sosok indah itu. kata-katanya tersengar seperti sebuah tantangan dalam benakku, memintaku menjemput kematianku sendiri. Dan aku melakukannya.
Meski pada akhirnya Tuhan berkata lain.
Malam itu, ketika pertama kalinya aku menemukan sosok lain dari gadis itu, aku tau aku sudah melukainya. Aku hampir saja menyerah, karena aku tau segala sesuatu tentang diriku hanya akan membuatnya terluka, hingga aku memutuskan untuk pergi. Ketika ia menahanku, aku tau jika aku masih memiliki sebuah kesempatan. Zahra memang gadis yang keras kepala, ia adalah gadis terangkuh yang pernah ku temui, namun di balik semua itu ia adalah gadis biasa yang begitu rapuh. Seperti yang kakek tua itu katakan. Aku hanya perlu sedikit bersabar, dan tetap berada di sampingnya. Aku akan meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia memang mencintaiku.
Ketukan dipintu kamarku sontak membuyarkan sleuruh lamunanku. Aku berbalik dan mendorong kursi rodaku menuju pintu. Anna tersenyum manis ketika melihatku, aku tau ia sudah berusaha keras menyembunyikan tatapan iba yang paling ku benci, namun aku tetap bisa melihat goresan perih di mataku setiap kali ia memandangku. Seakan-akan ia merasa bersalah atas apa yang terjadi pada diriku saat ini.
“Aku dan Raka akan pulang dulu, kami masih harus membereskan kepindahan kami,” ujarnya, suaranya terlalu lembut hingga membuatku merasa muak.
“Ibu akan membantumu.” Ujar ibu yang entah sejak kapan berdiri di belakang Anna.
“Tidak ibu. Aku dan Raka bisa menyelesaikan semuanya, ibu tinggalah di sini bersama Raihan.” Ujarnya. Aku mendengus kesal, apa aku tampak selemah itu? mengapa semuanya tampak begitu memuakan dengan tatapan iba mereka. Seakan aku adalah seorang pria yang tak berguna, yang tidak bisa melakukan apapun.
“Kalian berdua tenanglah. Aku tidak selemah itu. Aku akan baik-baik saja dengan atau tanpa kalian.” Tuturku kesal. Anna tersenyum tipis, namun ibu masih menatapku dengan tatapan khawatirnya.
“Dia akan baik-baik saja,” ujar Kakek tiba-tiba. Wajah tuanya tersenyum penuh arti kepadaku, mau tidak mau itu membuatku tersenyum geli.
“Kami akan menemani paman Raihan di sini…” tiba-tiba segerombolan bocah kecil menghampiriku. Ya Tuhan! Bahkan kini anak-anak kecil itu pun turut menganggap remeh diriku.
“Paman Raihan tidak akan kesepian.” Ujar gadis kecil berjilbab kuning yang ku kenal sebagai sahabat dekat Aisah.
Aisah yang berdiri di tengah-tengah rombongan cilik itu tersenyum ramah padaku. Ia menyentuh pergelangan tanganku dengan lembut. “Aisah sudah menitipkan paman Raihan pada teman-teman Aisah di sini, mereka akan menemani paman selama Aisah tidak ada. Sekarang Aisah harus pulang dulu untuk membereskan kamar Aisah. Besok Aisah pasti kemari lagi.” Ujarnya dengan senyuman manisnya, wajah lugunya membuat kemarahanku terkubur begitu saja. Semenyebalkan apapun kata-kata gadis kecil itu, aku tidak akan pernah bisa marah kepadanya. Pada akhirnya aku malah mengangguk pelan dan membelai kepalanya.
“Cepat kembali lagi,” aku tidak pernah berniat merajuk kepada siapapun. Tidak pernah!! Tapi entah mengapa nada suaraku malah terdengar begitu lemah. Dan itu membuatku muak pada diriku sendiri. Namun lagi-lagi senyuman tulus dan anggukan penuh semangat gadis itu mampu mengusir rasa muakku. Ia mengulurkan tangan kecilnya dan memelukku, kemudian berbalik kepada rombongan kecil sahabatnya.
“Aku titip paman Raihan yah teman-teman.” Ujarnya sungguh-sungguh. Dan sontak saja itu membuatku tersenyum geli.
Anna berlutut di samping putrinya, dan tersenyum. “Sekarang sebaiknya kita segera pulang, ayah sudah menunggu di mobil.” Ujarnya lembut.
“Ya!” pekik Aisah penuh semangat. “Eyang, Nenek… Aisah pulang dulu, nanti kalau rumah baru Aisah sudah rapih, eyang dan nenek harus main dan menginap di rumah Aisah.” Kakek menggendong sosok kecil itu penuh sayang dan mengecup pipi kirinya.
“Tentu sayang.” Ujarnya penuh semangat. Aisah terkikik pelan ketika akhirnya kakek menurunkannya, ia mencium punggung tanganku, ibu dan kakek, melambai pada sahabat-sahabat kecilnya yang kini berdiri berbaris di belakang kursi rodaku. Ya Tuhan…
“Astaga Aisah lupa!!” pekik gadis kecil itu. kami langsung menatap waspada kepadanya. “Aisah belum menitipkan paman Raihan pada kak Zahra.” Ujarnya dengan mimic serius. Mau tidak mau itu membuatku dan semua yang berada di sana terkikik geli, namun tidak dengan gerombolan kecil sahabatnya tentu saja. Wajah mereka sama seriusnya dengan wajah lugu Aisah. Membuatku tidak bisa menahan tawaku.
“Aisah, tenang saja, walaupun kau tidak menitipkan paman pada kak Zahra secara langsung, ia pasti akan menjaga kakak dengan dangat baik.” Bisikku menenangkannya.
“Kau pasti bercanda.” Dengus seseorang di ambang pintu. Kami semua menoleh dan mendapati sosok cantik bungaku bersidekap di sana, ia menatapku dengan pandangan kesal yang aneh.
“Lihat kan, dia sudah berada di sini.” Bisikku lagi pada Aisah. Gadis kecil itu terkikik pelan.
“Dengar! Aku di sini untuk menyuruh anak-anak pergi tidur, sudah jam 8, dan mereka harus beristirahat.” Tutur gadis itu, wajah cantiknya sedikit memerah karena kesal. Begitu lucu dan menggemaskan.
“Tapi kak…” protes gerombolan kecil di belakangku.
Aku tersnyum tipis dan menatapnya, “Ah, alibi.” Desisku santai. “Bilang saja kau ingin mengusir sahabat-sahabat kecilku agar kau bisa berduaan denganku, bukan?” tudingku. Mata Zahra langsung membulat, ia mendengus tidak percaya, kemudian rahangnya mengeras, bahkan rasanya aku bisa mendengar suara gemeretuk giginya yang menyatu dalam kemarahannya.
“Kalian punya waktu hingga pukul 9!” ujar gadis itu pada gerombolan kecil di belakangku sebelum berlalu pergi begitu saja. Kakek terkekeh-kekeh pelan, dan aku tersenyum puas.
Ibu menyentuh pundakku, memberikanku pandangan menegur. “Kau tidak seharusnya berbuat seperti itu!” ujarnya memarahiku. Namun aku sama sekali tidak peduli. Aku mencintai gadis itu, dan aku akan selalu mencintainya.
***
Keesokan paginya aku bangun dengan perasaan tenang yang luar biasa. Aku sendiri sempat merasa aneh dengan apa yang ku rasakan saat ini. Kamar ini bukanlah kamar mewah yang biasanya ku tempati dimanapun aku berada, kamar ini bahkan tidak pernah masuk ke dalam kategori kamar yang akan ku tempati. Hanya terdapat sebuah tempat tidur single, sebuah lemari kayu yang cukup besar, dan meja kayu jati lengkap dengan tumpukan buku-bukunya. Ada sebuah jendela kecil di bagian depan kamar itu, yang menghadap langsung ke halaman panti. Dari sana aku bisa melihat seluruh keramaian yang berada di halaman panti.
Ramai?
Aku mengernyit dan melirik jam tanganku. Pukul berapa sekarang? Mengapa anak-anak itu sudah melakukan kegiatan ini itu?
Jam tanganku masih menunjukan pukul 6 pagi. Bahkan mentaripun masih bersinar malu-malu di balik kabut fajar, tapi anak-anak panti itu sudah siap dengan pakaian olah raga mereka. Beberapa anak tampak tengah melakukan pemanasan, berlari-lari kecil di tempat, seorang anak berumur 14 tahun tampak asik menirukan gerakan taekwondo, menendang ke sembarang arah dengan penuh semangat. Aku tersenyum tipis, merasa gemas untuk mengajarinya gerakan yang benar.
Gadis-gadis yang lebih dewasa tampak lebih asyik berbincang-bincang sambil membentuk lingkaran di atas rumput hijau yang sedikit berembun. Sebuah tepukan tangan membuatku terkesiap dari lamunanku. Sosok cantik Zahra sudah siap dengan seragam training berwarna birunya, tampak begitu sesuai dengan kulitnya yang putih halus.
“Ayo semuanya berkumpul, kita akan bersiap-siap untuk melakukan lari pagi hari ini.” Ujarnya penuh semangat. Mataku membulat, dan langsung mendorong kursi rodaku keluar  kamarku, melewati ruang tamu panti yang sepi hingga sampai di pintu kaca ganda itu. terkunci? Aku melirik ke kanan dan kiri untuk mencari sebuah kunci yang mungkin tergantung entah dimana, namun aku tidak menemukan apapun. Dengan panic aku menggetuk-ngetuk pintu kaca itu ketika rombongan anak-anak panti mulai bergerak ke luar gebrang. Kemudian ummi menoleh, dan mengernyit ketika melihatku di balik pintu.
“Zahra, mengapa kau mengunci pintunya?” tegur ummi. Gadis jangkung itu berbalik dan menatapku, sebelah alisnya naik, membentuk wajah kejam yang begitu cantik.
“Aku pikir kita akan meninggalkannya, jadi lebih aman jika ia tetap terkunci dari luar, tidak akan ada yang bisa melukainya.” Ujar gadis itu sinis. Aku mendengus kesal. ummi meraih kuci dari tangan gadis itu sambil menggeleng-geleng, kemudian membukakan pintu untukku.
“Tapi kau tidak sepatutnya menguncinya seperti ini.” Tegur ummi.
“Aku hanya ingin melindunginya.” Ujar gadis itu tak acuh.
“Terima kasih atas perhatianmu.” Sindirku dengan senyuman sarkastis. Ia mengangkat bahunya.
“Anytime.” Ujarnya sebelum kembali berlari menuju rombongan yang menunggunya di balik gerbang panti.
“Maaf, terkadang Zahra memang sedikit keterlaluan.” Ujar ummi dengan nada suara yang sangat keibuan. Aku tersenyum mengerti.
“Bukankah itu berarti ia memikirkanku…” gumamku dengan sebuah senyuman manis penuh arti. Ya, aku memang selalu berada dalam benaknya, ia hanya tidak menyadari hal itu, namun aku akan membuatnya menyadari semua itu, secepatnya…


6 komentar:

Unknown mengatakan...

aih bikin penasaran.. ^^
thanx uda posting :D

Unknown mengatakan...

zia mksh...

Unknown mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Unknown mengatakan...

yang semangat raihan....
ayoo kamu pasti bisa membuat Zahra jatuh cinta,,,

Unknown mengatakan...

makasiii semuanya yg udh mau baca tulisan ngawur ku... :)))
ayo semangat Raihan!!!!

isna mengatakan...

ayo semangat nulisnya ya cher...