Rabu, 19 Juni 2013

PELANGI HITAM PUTIH -13-

ZAHRA


           
“Zahra ada apa?” Tanya bibi ketika melihatku berjalan mengitari ruang tamu untuk yang kesekian kalinya. Aku memutar-mutar ponsel di tanganku dengan perasaan tidak sabar. Kemudian setelah lelah berseteru dengan perasaan bingung itu, aku duduk di samping bibi. Bibi menatapku dengan kening berkerut, menungguku berbicara.
“Pak Surya tidak bisa datang hari ini. Padahal beliau sudah menjanjikan tanaman baru pada anak-anak.” Keluhku. Bibi termenung sejenak, mencoba memikirkan solusi untuk keluhanku. “Aku sudah kehabisan ide tentang apa yang akan kami lakukan hari ini bi…”
“Bagaimana kalau kau memutarkan film documenter itu lagi?”
“Kami sudah menontonnya minggu kemarin,”
“Membuat kerajinan dari flannel?”
“Anak putra selalu mengeluh, ini pekerjaan putri, dan mereka enggan melakukannya.”
Bibi kembali terdiam sejenak. “Bagaimana kalau kau menyuruh anak putra untuk membuat kerajian dari bubur kertas. Kita memiliki banyak Koran tidak terpakai.” Usul bibi. Aku mengerutkan keningku, bingung. Biasanya kerajian tangan adalah keahlian Amy, dan kini gadis itu belum juga kembali. Hm… aku mulai merindukan keberadaannya. “Sepertinya Amy menyimpan buku tentang pembuatan bubur kertas di kamarnya.” Ujar bibi. akhirnya aku mengangguk setuju kemudian beranjak ke kamar gadis itu. Sebelum memasuki kamar Amy, aku sempat melihat sosok Raihan yang tengah memandangku dengan kening yang berkerut. Aku memalingkan wajahku, tidak memperdulikannya.


Pagi itu, setelah sarapan aku mengumpulkan seluruh penghuni panti, dan membicarakan rencana kami di hari libur kali ini. “Tapi pak Surya bilang kita akan menanam tumbuhan baru hari ini…” protes Angga, bocah kritis yang duduk di kelas 6 ketika aku mengatakan pada mereka bahwa kami akan membuat kerajian tangan hari ini. Aku tersenyum kikuk dan melirik bibi, memohon bantuan.
“Assalamualaikum!” salam lantang Aisah sontak mengalihkan focus anak-anak itu untuk sesaat, dan aku benar-benar merasa bersyukur karenanya.
“Walaikum salam Aisah,” balasku sambil tersenyum tulus. Gadis kecil itu mencium punggung tanganku kemudian berjalan memasuki ruang kelas yang sudah beberapa bulan terakhir kami alih fungsikan menjadi ruang pertemuan. Ruangan itu kosong, dengan hanya sebuah papan tulis yang tertempel di belakangku. Seluruh penghuni panti duduk bersila di atas lantai, bahkan ummi pun ada di sana. Raihan duduk tidak jauh dari pintu masuk. Ia tersenyum lebar ketika Aisah menghampirinya dengan sekantung apel.
“Ini untuk paman,” ujarnya riang.
“Terima kasih,” balas Raihan.
Tak lama kemudian Raka menyusul masuk dengan membawa sepeti apel dan meletakannya di bagian depan kelas. Aku melongo menatapnya, samar-samar aku bisa mendengar decakan tidak percaya dari sosok-sosok kecil di hadapanku.
“Assalamualaikum semuanya, ini kakak bawakan apel untuk kalian semua.” Ujar Raka. Ruangan itu langsung di penuhi sorak sorai. Aku merasa hatiku mulai meleleh ketika melihat sosok tampan Raka yang tengah tersenyum pada sosok-sosok riang di hadapan kami. Pandangannya yang menyejukan mampu kembali membuaiku untuk berlama-lama berada di dalam bayang-bayang pandangannya.
Dengan santai Raka membagi-bagikan buah apel itu ke semua orang di bantu oleh Aisah dan Anisa. Aku tidak bisa menggambarkannya dengan kata-kata, namun pemandangan itu benar-benar membuat tubuhku membeku, terpesona dalam keindahan ciptaan Tuhan. Dengan perlahan aku mengulurkan tanganku, ingin menyentuh sosok tampannya. Menyentuh wajah kokohnya. Merasakan kehangatan dan kebaikannya.
“kak Zahra…” panggilan itu mengejutkanku, menarikku kembali ke dunia nyata yang sejenak ingin ku hindari. Aku mengerjap beberapa kali untuk mengembalikan fokusku. Sosok mungil Aisah sudah berdiri di hadapanku. Tangan mungilnya membawa sebuah apel berwarna merah sempurna. Wajahnya sedikit berkerut keheranan.
“Ah iya,” jawabku seraya tersenyum manis kepadanya.
“Ini apel untuk kak Zahra, aku pilihkan yang paling merah.” Ujarnya riang. Hilang sudah wajah cemasnya. Aku tersenyum tipis dan meraih apel pemberiannya, diam-diam aku melirik sosok Raka dari balik pundak gadis itu, kemudian tersenyum mengejek pada diriku sendiri ketika lagi-lagi aku merasakan perih saat melihat tawanya yang tergores indah bukan karena diriku.
“Terima kasih sayang, kakak harus pergi dulu.” Ujarku seraya beranjak dan berlalu begitu saja dari ruangan itu tanpa memperdulikan tatapan heran dari beberapa pasang mata. Konyol memang, tapi entah mengapa aku masih belum bisa menahan gemuruh hatiku.
STOP IT ZAHRA! Hentikan semua kegilaan ini! Dia tidak mencintaimu! Kalau dia mencintaimu dia pasti tidak pernah meninggalkanmu. Teriak sebuah suara dari dalam benakku.
Tapi aku yang memintanya pergi.
Tapi jika dia benar-benar mencintaimu, dia tidak akan melakukannya! Tidakkah kau mengerti itu?!! Dia mencintai wanita lain, dan mereka sudah menikah. Mereka sudah bahagia. Tidak bisakah kau menyadari itu?! tidak bisakah kau berhenti mencintai pria yang tidak mencintaimu?!!!
Tiba-tiba aku menutup telingaku dengan kedua tanganku, merasa muak dengan seluruh pemikiran yang memenuhi benakku kala itu.
Kata-kata Andhini dan Hana mulai kembali terngiang-ngiang di telingaku. Ketika mereka membicarakan perih. Ketika mereka memintaku memilih untuk dicintai dan mencintai, ketika aku sadar itu bukanlah sebuah pilihan, ketika pada akhirnya aku menyerah pada luka itu.
***
Setelah tiga puluh menit menenangkan diri, aku mulai kembali berjalan menuju aula. Aku sudah mempersiapkan sebuah senyuman normal sebelumnya, berdiri dua puluh di depan cermin di kamarku. Lima belas menit menangis sambil memaki diriku sendiri, lima menit kemudian ku gunakan untuk membuat wajahku senormal mungkin. Menarik ujung-ujung bibirku untuk membentuk sebuah lengkungan yang mereka sebut dengan senyuman.
Mataku terbelalak kaget ketika tanpa sengaja beradu pandang dengan kedua mata elang Raihan yang tengah duduk dikelilingi oleh bocah yang tengah memakan apel.  Kejadian itu begitu cepat, hingga aku tidak sempat membaca sorot matanya. Hanya saja, aku sempat melihat kekesalan di balik tatapannya. Seakan ia tengah marah pada seseorang, tapi pada siapa? Dan mengapa?
Koko menarik tubuhku mendekat, dan memintaku duduk di sampingnya, tepat di sebelah pintu masuk. Ia memberikanku sebuah apel. Aku mengerutkan keningku ketika menyadari kejadian aneh yang tengah berlangsung di aula. Semua orang tampak sibuk mengunyah apel mereka, menggigit-gigitnya dengan penuh semangat. Aku mulai berpikir apakah sedang diadakan kontes memakan apel tercepat di sini?
“Nah kalau sudah, bijinya letakan di sini.” Ujar Raihan sambil menunjuk pelastik putih di hadapannya. Anak-anak itu menurut, kemudian meletakan biji apel yang mereka makan ke dalam plastik. “Pastikan bijinya benar-benar bersih, paman tidak mau kalau biji ini harus di cuci lagi. Karena kelembapannya akan bertambah parah.” Tuturnya. Anak-anak itu menyimak dan mengangguk. Setelah mendapat cukup banyak, dan tampaknya semua orang mulai kewalahan menggigit apel-apel itu, Raihan meminta seorang anak untuk menjemurnya di luar. “Kita akan menjemurnya di terik matahari selama tiga hari. Setelah itu kita akan memasukannya ke dalam lemari pendingin selama seminggu.”
“Selama itu?” keluh Tia, remaja yang duduk di kelas 1 SMP. Raihan mengangguk mantap.
“Ya, setelah itu kita baru bisa memindahkan bibitnya ke lahan tanah yang sudah di beri pupuk.” Tutur Raihan.
“Lalu kita akan mempunyai kebun apel! Bukan hanya kebuh cabai milik ibu Diah.” Sorak Koko riang, seraya melirik takut pada ibu Diah, sosok paruh baya yang selama ini membantu bibi mengurus panti dan urusan dapur. Sontak seloroh bocah kecil itu membangkitkan tawa orang-orang di sekelilingnya. Aku tersenyum tipis menanggapi tawa mereka. Setelah keadaan mulai tenang barulah aku sadar bahwa sosok Raka dan Anna sudah tidak ada lagi di tempat itu.
“Kemana ayah dan bunda?” tanyaku pada Aisah yang tengah asyik berbincang dengan sahabat karibnya. Bahkan bibi pun menghilang.
“Ayah, bunda dan Ummi sedang pergi. Tadi ayah bilang, ayah mendapat telepon mendadak. Tapi sebentar lagi bunda akan kembali lagi.” Ujar Aisah, wajahnya begitu polos dan lugu. Sama sekali tanpa emosi, namun entah mengapa aku merasa sedikit cemas, kalau-kalau terjadi sesuatu pada Raka.
Raihan memalingkan wajahnya ketika aku melirik kearahnya, memergokinya tengah memandangku. “Baiklah, sekarang kalian bisa menanyakan apapun pada paman.” Ujar Raihan tiba-tiba. Anak-anak yang rata-rata berusia lima sampai dua belas tahun itu langsung bersorak riang. Aku memutar bola mataku pada tuan sok pintar itu dengan kesal.
“Mengenai apapun?” Tanya Mimi, gadis manis bergamis kuning dengan mata berbinar. Raihan mengangguk mantap.
“Tapi kakak sarankan, kalian menanyakan hal yang tidak biasa. Sepertinya paman Raihan ini sangat ahli dalam segala hal.” Sindirku sinis. Raihan terkekeh pelan dan mengangguk.
“Kita lihat saja.” Ujarnya santai.
“Mm… paman, apa guna dari bulu hidung kita?” Tanya koko sambil memasukan salah satu jari telunjuknya ke dalam hidung. Sontak beberapa anak langsung tertawa mengejek. Aku tersenyum tipis dan menggeleng-geleng, betapa menakjubkannya anak-anak ini. Betapa mudahnya cara pikir mereka. Mereka mengutarakan apa yang ada di benak mereka. Itulah yang aku sukai dari anak-anak, tidak ada kemunafikan.
“Bulu hidung itu sebagai penyaring.” Jawab Raihan setelah tawa yang membuat wajah Koko sedikit memerah itu berhenti. “Bulu-bulu halus di dalam hidung itu berfungsi untuk menyaring debu dan kotoran yang masuk ke dalam hidung ketika kita bernafas.” Raihan menarik nafas panjang sebagai contoh.
“Bagaimana jika kita bernafas menggunakan mulut?” kini Anisa yang bertanya.
Aku tersentak ketika melihat sosok itu tersenyum begitu ramah pada Anisa. “Itu tidak baik.” Ujarnya lembut. “Itu akan membuat debu dan kotoran dengan mudahnya memasuki rongga paru-paru kita, lalu semuanya akan menumpuk dan menyebabkan penyakit sesak atau batuk.” Tanpa sadar senyumku sedikit terukir ketika mendengar penjelasannya. Bukan, bukan karena apa yang ia jelaskan. Namun caranya menyampaikan semua itu kepada anak-anak di hadapannya memperlihatkan sisi lain dalam dirinya. Sisi yang selama ini selalu tersembunyi di balik sosok angkuhnya.
“Bagaimana kalau yang sedang ingusan paman?!” Tanya seorang bocah lain, ia duduk di barisan yang paling belakang, hingga ketika bertanya ia harus menegakan tubuhnya agar bisa terlihat oleh Raihan dari atas kursi rodanya. Bocah itu mengangkat jari telunjuknya yang basah oleh ingus. Mendadak suasana ruangan itu langsung dipenuhi oleh desisan jijik. Dan aku tidak bisa menahan kegelianku atas kepolosannya.
Raihan meraih sebuah kertas kosong di sampingnya, dan mengeluarkan sebuah pulpen dari dalam sakunya. Ia menggambar sesuatu, seperti jalanan menurun, dengan sebuah rongga lain di dalamnya. Aku meringis geli ketika menyadari bahwa gambar jelek yang dibuatnya adalah bentuk hidung dalam versinya.
“Itu apa?” Tanya Melani. Bocah 7 tahun yang duduk di barisan terdepan. Raihan mengerutkan keningnya dan menatap gambarnya sekali lagi.
“Ini hidung.” Jawabnya.
“Tapi tidak seperti hidung.” Tutur bocah yang lainnya.
Aku terkikik geli. Lihatkan, betapa mudahnya anak-anak itu mengutarakan apa yang ada dipikiran mereka. Ah… aku mulai merindukan masa kecilku…
Raihan menggeram pelan, kemudian dengan huruf capital ia menulis kata hidung di bagian atas kertasnya. “Intinya ini hidung.” Ujar Raihan bersikeras.
“Untung hidungku tidak sejelek itu,” bisik Aisah seraya meraba hidungnya.
Aku tersenyum geli. “Untung punyaku juga tidak.” Bisikku di telinganya. Dan gadis itu tertawa pelan. Raihan melirik sinis kearah kami, kemudian dengan angkuh ia kembali mengangkat kertasnya, tampak sudah tidak peduli dengan cemoohan kami akan gambarnya.
“Ini adalah rongga hidung. Di dalam hidung kita itu dilapisi oleh selaput lendir, yang akan di basahi oleh air dalam hidung ketika kita pilek. Itu adalah cara tubuh untuk menyembuhkan jaringan-jaringannya.” Tutur Raihan.
“Tapi di hidungku ingusnya berwarna gelap.” Seloroh seorang bocah 11 tahun berkepala botak sambil menyeringai dan menunjukan telunjuknya yang di penuhi oleh kotoran hidungnya.
Aisah meringis jijik, “Itu namanya upil, Dion!” ujarnya risih.
Dan aku tertawa.
***
Hari itu berlalu dengan keceriaan aneh yang belum pernah ku temui sebelumnya. Setelah diselang shalat zuhur, anak-anak itu kembali mengitari Raihan dan menyerbunya dengan berbagai pertanyaan aneh yang benar-benar membuatku geli. Kebanyakan yang mereka tanyakan seputar tubuh mereka, atau hal-hal yang tanpa sengaja mereka lihat di hadapan mereka. Salah satu hal yang membuatku tersenyum geli penuh rasa kagum adalah ketika Raihan menanyakan pada mereka apa fungsi tanah, seorang bocah di antara mereka menjawab. “Untuk kuburan,” jawabnya. Lalu semua orang menertawakannya. Tapi aku tidak bisa.
Jawabannya memang tidak biasa, tapi bukan berarti itu salah. Padahal semua orang juga tau bahwa yang ia katakan itu benar. Tanah juga memang di pakai untuk pemakaman. Tapi mengapa jawabannya mengundang tawa. Apa melakukan sesuatu yang tidak biasa itu selalu di masukan dalam kategori salah, dan di permasalahkan, lalu di tertawakan?
“Apa yang sedang kau pikirkan?” hampir saja aku meloncat dari kursiku karena terkejut. “Rileks Zahra…” ujarnya. Aku mendengus dan berusaha untuk kembali tenang. “Kau benar-benar tampak sibuk kalau sedang melamun.” Ujarnya dengan senyuman miringnya. Aku memalingkan wajahku, merasa kesal karena kalah pada segores pesona yang terpancar dari wajahnya.
Pesona?!
Astaga apa-apaan aku ini. Pria ini tidak lebih dari sekedar pria sombong yang luar biasa menyebalkan. Makiku dalam hati.
“Melamun lagi.” Gumam Raihan.
“Apa pedulimu.” Ujarku ketus. Kemudian sosok itu kembali tersenyum, sebuah senyuman miring yang menyebalkan, merendahkan namun tampak menawan.
“Bagaimana aku tidak peduli jika yang menjadi bahan lamunanmu adalah diriku.” Ujarnya santai. Aku membulatkan mataku tidak percaya. Pria ini benar-benar membuat kekesalanku memuncak. Hingga rasanya saat ini aku benar-benar ingin mencincang-cincang tubuhnya.
“Kau terlalu besar kepala tuan!” desisku sinis.
“Kalau aku salah, mengapa sampai sekarang kau terus menggenggam gambarku?” tanyanya seraya melirik kertas yang berada di atas pangkuanku. Aku mengikuti arah pandangannya dan memekik kesal dalam hati. Memaki kebodohanku. Aku yakin wajahku sudah memerah tomat terlalu masak saat ini.
“Well…” ujarku tenang. “Aku hanya bertanya-tanya sebenarnya kau ini seorang dokter atau guru biologi?” tanyaku seraya menilai gambarnya dengan mimik mencibir. Ia tertawa pelan. Tawa sombong yang super menyebalkan.
“Kenapa? Kau pasti terpesona melihat aksiku hari ini. Ada banyak hal yang belum kau ketahui tentangku nona manis…” tuturnya santai. Aku mendesis geram, tingkat kesombongan pria itu sudah benar-benar melambung tinggi rupanya.
“Lagi-lagi kau terlalu besar kepala. Aku hanya tidak habis pikir bagaimana kau bisa bersikap sepercaya diri itu, padahal menggambar hidung pun kau tidak bisa.” Tuturku seraya meletakan gambarnya di atas meja. Raihan terdiam, dan aku bersumpah, aku sempat melihat kibekuan di matanya. Aku yakin ia tidak pernah menyangka aku akan mengatakan hal ini. Ia sudah terlalu besar kepala. Dan aku membencinya! Apa lagi yang ia harap untuk ku katakan?
“Karena aku mampu.” Ujarnya setelah kembali bisa memasang topeng ‘wajah sempurna’nya. Aku mendengus dan tersenyum sarkastis padanya. “Kau hanya belum mengenalku…” bisiknya. “Aku yakin, ketika kau akhirnya mengenalku lebih jauh lagi, kau pasti akan jatuh cinta kepadaku.”
“Ah! Lagi-lagi kau bermimpi. Ini masih terlalu sore untuk sekedar memejamkan matamu dan mengucapkan selamat malam kepada langit.” Ujarku sinis seraya beranjak dari kursiku, meraih ponselku di atas meja, dan berlalu pergi.

***

2 komentar:

Fathy mengatakan...

Ziiiaaaaa kurangggg...
Raihan and zahra sama-sama keras kepala aaarrrrgggghhhh rasanya mau jitakin aja mrka berdua ni....

°·♡·♥τнänkчöü♥·♡·° ya non dh di post zahran n raihan'a...

Unknown mengatakan...

zia lgi dunk