Minggu, 16 Juni 2013

PELANGI HITAM PUTIH -11-

ZAHRA

Aku menghela nafas panjang ketika melihat langit kembali terang setelah beberapa saat yang lalu mendung sempat menyelimuti langit pagi itu. Aku tidak pernah menyukai hujan, tidak sama sekali. Hujan selalu meninggalkan jejak lumpur yang menjengkelkan. Namun aku menyukai pelangi, dan aku sadar pelangi itu tidak akan pernah hadir tanpa hujan. Hujan dan pelangi, ah kata klise yang terdengar manis, hujan dengan kekelaman dan lukanya, pelangi dengan warna dan keceriannya.
“Zahra!!!” aku menutup telingaku ketika mendengar teriakan itu. Baru saja aku akan membaca kitab yang sedari tadi memang sudah terbuka lebar di hadapanku, namun teman ‘sepuluh’ ku, andhini dan Hanna, sudah merusak segalanya. Mereka berlari menerubus keramaian kelas kami, dan langsung menjatuhkan diri mereka masing-masing di kursi kosong sekitar kursiku. Aku mengernyit sambil menatap mereka.
“Apa?” tudingku kesal. Hanna memegang dadanya yang tampak masih kesulitan bernafas setelah berlari dari lift sampai ke kelas. Andhini menyeringai lebar sambil menatap wajahku lekat-lekat.
“Mengapa kau tidak pernah mengatakan bahwa dia adalah pangeran kaya raya?!!!” pekik Andhini sambil mengangkat majalah yang ia bawa. Aku mengerutkan keningku tidak mengerti. Siapa yang sedang mereka maksudkan?
“Astaga!! Dia benar-benar sempurna… tampan, dan kaya raya! Kau benar-benar beruntung.” Hanna turut menimpali dengan mata berbinar.
“Tunggu, siapa yang kalian maksud?” tanyaku bingung. Seringaian Andhini mencibir kemudian menunjukan majalah yang di bawanya ke hadapanku.
“Reynaldi dia pangeran yang selalu memaksamu untuk pulang bersamamu kan?!” Andhini menunjuk-nunjuk sebuah foto besar di halaman muka majalah itu. Aku mengernyit dan memalingkan wajahku, merasa jengah dengan apa yang ada di hadapanku. “Kau sangat beruntung…” desisnya tanpa sekalipun mengalihkan pandangannya dari majalah itu.
Aku tersenyum sarkastis. “Yang beruntung itu adalah orang-orang yang bisa bersama dengan orang yang dicintainya.” Gumamku pelan, mataku nanar menatap lapangan parkir dari balik jendela kelasku di lantai lima. Andhini memalingkan wajahnya kemudian menarik kursi di sampingku tanpa berkata-kata lagi. Ia mendesah lelah kemudian menyibukan diri dengan majalah yang di bawanya. Gadis yang begitu mudah terpengaruh keadaan.
Hanna meringis menatapku dan Andhini. Ia menarik sebuah kursi di dekatnya dan membalikannya hingga menghadap kami. “Kalau begitu cobalah mencintainya Zahra! Ia adalah pangeran modern, pria yang digila-gilai banyak wanita. Dan hebatnya dia malah MENCINTAIMU!!” tutur Hanna dengan mata berbinar.
“Dia tidak mencintaiku-“
“Hanya orang bodoh yang tidak melihat cintanya kepadamu.” Andhini menimpali dengan gemas. Aku mendengus tak percaya. “Dan mungkin kau memang satu-satunya orang bodoh di sini. Kau pikir untuk apa dia melakukan perjalanan sejauh itu untuk hanya menjemputmu selama ini?!”
“Oke. Oke! Mungkin aku memang bodoh. Mungkin kalian benar, dia mungkin memiliki rasa untukku. Tapi aku sama sekali tidak mencintainya!”
“Zahra, bisakah kau tidak menyia-nyiakan orang yang mencintaimu?!” bentak Andhini, ia menutup majalahnya dengan keras. Kedua mata indahnya menatap tajam mataku.
“Aku…”
“Ini seperti kau harus memilih antara mencintai dan dicintai.” Tutur Hanna lebih lembut. Ia menggenggam tanganku dengan perlahan. Kata-katanya membuatku berpikir sejenak, dan anganku langsung menghampiri sosok yang paling ku cintai. “Tapi akan lebih mudah jika kau hidup dengan orang yang mencintaimu,” tambahnya.
“Aku ingin hubungan yang saling mencintai, bukan dicintai atau mencintai secara sepihak.” Bisikku perih.
“Sakit bukan?!” Tanya Andhini sinis. Aku menatap tidak mengerti kepadanya. “Sakit bukan, ketika kau mencintai seseorang secara sepihak?” ia tersenyum tipis, nada ketus dan mencibir dari suaranya membuatku curiga. “Kau sudah merasakannya bagaimana sakitnya, lalu mengapa sekarang kau malah membiarkan orang lain merasakan sakit itu?!”
“Apa maksudmu?!”
“Jangan berpura-pura Zahra. Kami semua tau apa yang terjadi padamu. Aku hanya tidak habis pikir bagaiamana mungkin kau bisa menutupi cintamu pada Reynaldi selama itu?”
“Aku tidak mencintainya!” bentakku kesal. Lagi-lagi gadis itu memberikan senyuman sinis penuh cibiran.
“Kalau begitu cobalah untuk mencintainya…” ujar Hanna menenangkan.
“Aku tidak bisa mencintainya!” ujarku tegas.
“Lalu mengapa kau menahannya pergi saat itu?” tanya Andhini. Aku mengernyit ketika mendengar pertanyaannya. Dari mana ia mengetahui semua itu.
“Aku tidak tau. Tapi yang ku tau, aku tidak akan pernah mencintainya.”
“Itu karena kau tidak pernah membuka hatimu! Kau selalu menutup seluruh indramu akan cintanya! Kau sengaja membutakan matamu sendiri dari kisah itu!” tuding Andhini. Wajah cantiknya memerah kesal. Nafasnya tersenggal-senggal karena teriakan itu, dan aku sendiri sudah tidak bisa membalasnya. Kemarahanku sendiri sudah sampai ke puncak kepalaku dengan alasan yang sama sekali tidak ku mengerti.
Dengan cepat  aku memalingkan wajahku, meraup seluruh barangku yang tergeletak di atas meja, memasukannya dengan kasar ke dalam tas lalu berlalu pergi dari hadapan mereka. Aku tidak peduli dengan tatapan heran dari orang-orang di dalam kelas itu, aku sudah tidak peduli pada teriakan Hanna yang terus memanggilku, bahkan hingga akhirnya suaranya menghilang ketika pintu lift di hadapanku tertutup rapat.
Aku menghela nafas panjang ketika sampai di lantai dasar gedung fakultasku. Mulai merasa lelah pada diriku sendiri, kemudian tangis itu pun pecah untuk kesekian kalinya.
***
Jam tanganku baru menunjukan pukul satu siang ketika akhirnya aku sampai di gerbang panti. Aku berjalan lesu menuju gedung utama. Yang kini ada di pikiranku adalah kamarku yang gelap, ranjangku yang nyaman, dimana aku bisa merebahkan tubuh lelahku, menumpahkan seluruh air mataku ke atas bantal hati yang selalu menjadi sahabat tidurku.
Aku mengernyit ketika mendengar suara tawa yang cukup ramai dari dalam kantor. Tasku jatuh begitu saja dari pundakku ketika aku sampai di ambang pintu. Sosok-sosok di ruang tamu itu langsung menoleh dan tersenyum ramah, menyapaku. Aku ingin membalas sapaan ramah mereka, namun melihat sosok itu di tengah-tengah mereka, hatiku mulai terasa kebas karena kelelahan yang teramat sangat.
Apa tidak bisa sejenak saja aku terbebas dari sosok itu?!
“Untuk sementara Raihan akan tinggal di sini.” Ujar ummi. Aku menatap sosok berjilbab coklat itu dengan tatapan tidak percaya.
“Well, ini memang tempat penampungan, tentu saja setiap orang bisa tinggal di sini.” Ujarku ketus. Ummi menegurku dengan tatapannya.
“Aku hanya ingin mempermudahmu untuk merawatku.” Ujar Raihan angkuh. Aku mencibir sarkastis.
“Lakukan sesukamu tuan hebat!” ujarku lelah kemudian melenggang masuk ke dalam kamarku. Aku bahkan tidak menyapa kakek Darmawan atau tante Luna yang duduk di sana, bahkan Anna dan Raka pun hanya seperti angin lalu bagiku. Aku hanya benar-benar merasa lelah saat ini.
***
“Wartawan mulai mengetahui keberadaannya,” ujar Anna seakan menjelaskan kepadaku. Aku tidak menanggapinya, ingin menunjukan ketidak pedulianku terhadap apapun yang terjadi pada sosok itu. “Kakek pikir, mungkin di sini ia akan lebih tenang menjalani masa pemulihannya. Lagi pula sampai saat ini mereka masih belum tau jika Raihan mengalami kelumpuhan.”
Kelumpuhan,
Ya kata itu entah bagaimana menohok dadaku sedemikian rupa, hingga untuk sesaat aku sempat lupa bagaimana caranya bernafas. Aku membalik lembaran buku tentang pembudidayaan bunga mawar itu dengan perlahan. Tatapanku mulai tidak focus, pikirannku berkelana entah kemana.
“Raihan bisa menggunakan kamar Raka.” Tambah Anna lagi. Saat itu sudah menjelang magrib, dan hanya ada kami di perpustakaan kecil itu. Karena hampir seluruh penghuni panti sudah berada di mushola Al Ikhlas untuk shalat magrib berjamaah. Aku mengedarkan pandanganku pada sekeliling perpustakaan itu. Hanya ada tiga rak besar di dalam ruangan itu, semuanya menutupi dinding bercat biru muda di baliknya, menyimpan buku-buku yang sudah terlampau tua untuk menjadi bahan bacaan bagi anak-anak. Dua buah meja besar terdapat di tengah-tengah ruangan, tidak ada kursi sama sekali di sana, hanya beralaskan sebuah karpet biru muda yang kasar sebagai alas duduk. Sebuah loker kayu Sembilan pintu berada tepat di bawah jendela perpustakaan tempat kami menyimpan alat-alat tulis dan kartu-kartu perpustakaan yang tidak pernah terpakai.
Aku tersenyum sarkastis pada diriku sendiri ketika menyadari sebuah kenyataan pahit, walau bagaimanapun mungkin hidupku sudah terikat kepadanya. Karena entah bagaimana aku merasa sedikit bertanggung jawab atas apa yang terjadi pada kedua kakinya. Konyol memang, tapi itulah yang kurasakan saat ini. Sebesar apapun keinginanku untuk menghindarinya, aku tidak akan pernah bisa.
“Zahra…” aku tersentak kaget ketika Anna menyentuh pundakku. “Sudah magrib, tidak baik kau melamun sendiri di sini,” ujarnya lembut. Aku mengangguk pelan dan beranjak untuk mengembalikan buku di pangkuanku ke rak buku-buku umum. Kemudian melangkah keluar perpus mengikutinya.
“Kau akan menginap?”
Anna menghentikan langkahnya dan menoleh kepadaku, “Tidak, seusai Raka dan Aisah shalat kami akan segera pulang.” Ujarnya masih dengan suara lembut yang begitu menenangkan. Aku terpaku menatap wajah cantik di hadapanku. Beberapa hari yang lalu mata indahnya masih meneteskan air mata yang sama denganku, air mata ketakutan. Dan kini, mata indah itu sudah kembali berbinar. Anna begitu cantik, dan ssangat mudah dicintai. Meski aku pun menyayanginya, namun sisi lain dalam diriku jelas merasa iri dengan apa yang ia miliki dan aku tidak. Ia terlalu sempurna untuk menjadi nyata.
“Zahra…” lagi-lagi Anna memanggilku dengan suara lembutnya, segores guratan cemas menghiasi kedua matanya. Aku tersenyum simpul dan mengangkat bahuku tak acuh.
“Hati-hati kalau begitu,” ujarku sebelum berlalu meninggalkannya di koridor gedung panti yang sunyi.




2 komentar:

Fathy mengatakan...

Horeeee akhir'a Raihan berani juga...
Ayo Raihan perjuangkan cintamu hingga titik darah penghabisan!!! #uppsss ky lgi perang :)
Zahra tinggalkan ego mu, buka hati n pkrnmu
Mencintai tak selalu mendatangkn kebhagiaan tpi dicintai itu sangat menyenangkan.#uppsss jdi curcol, drtd error trs ya Hëhëhëhë 

°·♡·♥τнänkчöü♥·♡·° ya zia sayang... Big kiss&hug 4 you...

aradhya fatimah mengatakan...

hujan dengan kekelaman dan lukanya, pelangi dengan warna dan keceriannya <== suka kata2nya ...

Ohhh Zahra hubungan saling mencintai itu akan ada setelah kau menerima cinta yang datang kepadamu ...

Thanks cherry :)