Sabtu, 15 Juni 2013

PELANGI HITAM PUTIH -10-

RAIHAN


“Bangun!”
“Aku sudah bangun.”
“Tapi kau masih memejamkan matamu!” aku mendesah pelan kemudian membuka sebelah mataku, mengintip wajah cantiknya yang tampak lebih segar pagi ini. “Aku bilang bangun!” teriaknya lebih kencang.
“Tapi ini masih terlalu pagi…” gerutuku sungguh-sungguh. “Dan aku kurang tidur semalam.” tambahku, mencoba memberikan alibi agar aku memiliki kesempatan untuk bisa memejamkan mataku lagi.
“Kau seharusnya menerima sebuah hukuman karena perkataanmu! Kau sakit dan malah sengaja tidur larut malam. Sekarang aku tidak ingin mendengar alasan apapun. Kau harus bangun dan menghabiskan sarapanmu sekarang juga, lalu minum obat-obatan ini.” Tutur Zahra dalam satu tarikan nafas sambil membuka bungkusan obat-obatan bertuliskan namaku. Aku meringis lelah melihat butiran kapsul yang cukup besar itu.
“Kau berlebihan, kemarin obat ku tidak sebanyak itu. kau pasti salah.” Bisikku lemah. Sedetik kemudian aku menyesali perkataanku, karena tatapan yang ku terima selanjutnya sangatlah meresahkan jiwa. Mata bulat Zahra menyipit, bibir tipisnya membentuk sebuah garis lurus yang tampak sangat kokoh, dagunya sedikit terangkat, dengan sebelah alisnya naik. Benar-benar wajah sinis yang sempurna.
“Aku yang merawatmu. Apa kau meragukanku?!”
“Tidak, tentu saja tidak. Tapi kau benar-benar berlebihan. Bahkan perawat biasa pun akan membiarkan pasiennya beristirahat sebanyak mungkin,” untuk pertama kalinya aku benar-benar merasa gugup. Dan ini sungguh menggelikan, mengingat aku tidak pernah merasakan semua rasa ini sebelumnya.
“Oh,” ujarnya datar. “Asal kau tau, aku ingin agar kau segera sembuh. Karena aku juga masih banyak pekerjaan selain merawatmu di sini! aku harus mengajar ke panti, menyelesaikan kuliahku. Dan banyak hal lain yang lebih penting yang harus ku lakukan dari pada hanya sekedar merawatmu!” tuturnya geram.
“Kalau begitu berhenti merawatku!”
“Oh, tentu. Dengan senang hati. Lagi pula sepertinya kau lebih nyaman dirawat oleh perawat biasa!” bentak gadis itu sambil meletakan bungkusan obat yang tengah di bukanya. Kemdian meraih tas tangannya yang tergeletak di atas lemari es. Aku terbelalak tidak percaya ketika gadis itu benar-benar membuka pintu dan berlalu pergi.
Ya Tuhan!!!
Lagi-lagi aku menyesali perkataanku beberapa saat yang lalu. Tapi, jika dia memang tidak pernah ingin benar-benar merawatku, untuk apa ia mencegahku pergi beberapa hari yang lalu?!
Aku mengacak rambutku dengan frustasi ketika otakku tidak bisa menemukan titik temu tentang gadis itu.
“Nasi sudah menjadi bubur, kau tidak perlu menyesalinya, karena tidak ada yang bisa kau lakukan untuk mengubahnya lagi menjadi nasi.” Aku menoleh kearah pintu, kakek berdiri di sana dengan senyuman tuanya yang menunjukan sosok sok tahunya. Kedua tangannya tersembunyi di balik saku celananya. Perut buncitnya menyembul sedikit di balik jas hitam yang ia kenakan. “Tadi kakek lihat Zahra di tempat parkir.”
“Jadi dia benar-benar pergi?!” tanyaku frustasi. Kakek terkekeh dan mengangguk.
“Gadis itu tidak pernah main-main dengan perkataannya.” Ujar kakek sambil berjalan mengitari kamar rawat inapku. Ia berdiri sejenak di samping meja kecil di depan sofa, sudah ada vas baru di sana dengan buket mawar merah yang sangat cantik. “Ia benari mengambil keputusan, bahkan yang terekstrim sekalipun.” Tambahnya, dengan perlahan ia memetik daun yang mulai menguning pada salah satu tangkai mawar itu. “Tapi di balik itu semua, ia juga seorang gadis biasa. Yang begitu rapuh… dan butuh perlindungan. Ia hanya terlalu angkuh untuk sekedar menyadari kerapuhan dirinya sendiri.”
Aku terdiam sejenak, mencoba meresapi seluruh kata-kata pria tua yang biasanya selalu menjadi sainganku dalam setiap hal itu. “Hanya pria bermental baja yang akan bisa bertahan dengannya.” Ujar kakek dengan senyuman miringnya yang bijaksana. “Kalau saja kakek tidak mencintai almarhumah nenekmu sedalam ini, mungkin kakek sudah mendekatinya.”
Aku terkekeh sarkastis. “Jadi kakek merasa memiliki mental yang kuat?” ejekku.
“Wah, nenekmu tidak jauh berbeda dengannya. Dia juga seorang wanita yang sangat keras kepala. Tapi dia adalah wanita yang paling berharga.” Mata tua kakek menerawang jauh ke luar jendela. Senyuamannya mengembang dengan mimic yang begitu tenang, mimic yang selalu muncul ketika ia mengingat tentang nenekku yang sudah berpuluh-puluh tahun yang lalu pergi dari muka bumi ini. Aku termenung sejenak, jika suatu saat nanti Tuhan mengambil gadis itu dari muka bumi ini, bisakah aku tersenyum tenang seperti yang kakek lakukan saat ini? Bisakah aku merelakannya?
Pemikiran itu langsung mengubah suasana hatiku. Ketakutanku akan kehilangannya membuat seluruh tubuhku menggigil. Tidak, aku bukan kakek, aku tidak mungkin bisa dengan tenang melewati kelamnya malam tanpa sosok gadis itu. Jadi mungkin aku memang bukan pria bermental kuat seperti yang dimaksudkan kakek.
“Apa yang seharusnya ku lakukan?” bisikku pada akhirnya, mulai menyerah pada egoku yang biasanya ku junjung tinggi. Namun ketakutanku akan kehilangannya membuat jiwaku menciut ketakutan.
Sampai kapanpun aku tidak akan pernah bisa hidup tanpanya. Sedang dia adalah gadis yang sangat kuat, dan aku bersyukur karenanya. Karena jika pada akhirnya waktuku habis, dia pasti akan tetap kuat menjalani hidupnya. Ya, dia harus kuat.
“Perjuangkan cintamu.” Ujar kakek dengan tatapan penuh semangat. “Kau pasti bisa meluluhkan hatinya.”
“Bukankah kakek tau sendiri jika ia adalah gadis yang sangat keras.” keluhku, kakek tertawa hambar sambil menggaruk kepalanya yang hampir botak dengan perlahan.
“Kau benar juga…” ujarnya miris.
“Lalu bagaimana?!” tanyaku frustasi.
“Cari tau titik lemahnya, masuki zona nyamannya.”
“Kakek tau?” tanyaku mulai menemukan secercah harapan. Namun ketika kakek menyeringai sambil mengangkat bahu, aku menyerah.
Aku berpikir sejenak sambil menatap buket mawar merah itu. “Ah! Aku tau…” ujarku berapi-api.
***

1 komentar:

Fathy mengatakan...

Gak terima cuma dikit, Zia tanggung jawab.. Hëhëhëhë  piss beblau (⌒˛⌒)

Beb nda ksh tau aku, ini kan yg kutunggu2
ƪ‎​​‎​(-̩̩̩-̩̩̩-̩̩̩__-̩̩̩-̩̩̩-̩̩̩)ʃ


Btw °·♡·♥τнänkчöü♥·♡·° ya beb... Even berasa ngeganjel gimana gitu ƪ‎​​‎​(-̩̩̩-̩̩̩-̩̩̩__-̩̩̩-̩̩̩-̩̩̩)ʃ