Senin, 15 Juli 2013

PELANGI HITAM PUTIH -25-

ZAHRA


“Bibi tidak akan mengizinkanmu pergi jika itu karena masalah Raihan.” Aku menghentikan gerakan memasukan barang ke dalam tasku untuk sejenak. Mencoba berpikir lebih matang sebelum akhirnya berbalik memandang bibi yang berdiri di ambang pintu kamarku.
“Bagiku, Raihan bukanlah sebuah masalah bibi. Aku baik-baik saja. Aku hanya ingin sejenak memfokuskan diri untuk berkuliah. Sebentar lagi akan masuk ke ujian akhir semester. Aku tidak ingin mengecewakan bibi atau ayah dan bunda. Aku sudah terlalu banyak melakukan kesalahan, jadi sekarang aku ingin melakukan yang terbaik. Berubah menjadi pribadi yang pantas.”
“Kau sudah sangat baik Zahra…” ujar bibi, terdengar tulus namun aku mengabaikannya dengan angkuh.
“Bi, seseorang pernah berkata kepadaku. Tentang baik dan buruk prilakumu, kau hanya perlu mempertanyakannya pada dirimu sendiri. Mengalisanya dengan benar. Dan saat ini, ketika aku mencoba bertanya pada diriku sendiri, hal yang justru ingin ku lakukan adalah terjun dari ketinggian. Menghempaskan jiwa ragaku sedemikian rupa, hingga hilang dan tak kembali. Aku adalah gadis yang terlalu ahli dalam memutar balikkan fakta. Memperparah keadaan, dan menghancurkan setiap harap. Bahkan harapanku sendiri…
“Aku ingin berubah, sedikit demi sedikit. Menjadi gadis yang lebih baik, mungkin dengan begitu Tuhan akan berbaik hati kepadaku, dan membiarkanku memiliki setitik cinta itu.”
Bibi memandangku dengan pandangan iba yang membuatku semakin muak pada diriku sendiri, “Zahra… bibi memang bukan bibi kandungmu. Tapi bibi mencintaimu seperti putri bibi sendiri!”
“Apakah bibi mengatakan hal yang sama seperti itu kepada seluruh anak panti? kepada semua yatim piatu sepertiku? Apakah bibi pada akhirnya juga akan menyakitiku?” bibi tersentak mendengar perkataanku, dan aku menyesal ketika meliat goresan luka di mata tuanya. “Maafkan aku bi… aku hanya sedikit lelah dipermainkan oleh takdir.”
“Zahra, Kau harus bersabar…”
“Aku sudah sangat bersabar bi. Kulewati seluruh hari berhujan itu, ku lalui semuanya meski pahit dan perih. Namun ketika pelangi itu perlahan mulai muncul, Tuhan menariknya kembali. Dan menghempaskanku dengan seluruh harap dan asaku ke dalam jurang tergelap. Aku lelah bi… aku hanya ingin pergi sejenak.”
“Tapi kau akan pergi kemana?” tanya bibi cemas.
“Bibi betul juga. Aku tidak memiliki siapapun lagi. Aku sebatang kara di sini. Kemana aku harus pergi? Mungkin pertama-tama aku akan mengunjungi ayah dan bunda, menyapa mereka. Mengatakan pada mereka untuk bersiap menerimaku kembali.”
“Zahra…”
“Tenang saja bi, sejauh apapun usahaku untuk membunuh diriku sendiri, Tuhan masih belum puas menyakitiku. Bibi tenang saja, ia tidak akan membiarkanku mati semudah itu tanpa air mata. Kita lihat saja sejauh apa aku bisa bertahan di sini, hingga akhirnya ia menyerah dan mencabut nyawaku lebih dini dari pada perjanjian kami yang semula.”
Bibi terdiam mendengar kata-kataku, sesekali ia menyeka air matanya, kemudian setelah merasa lebih tenang, ia kembali menatapku, “Apa kau akan kembali?” tanyanya pelan.
“Kepada sang khalik?” ujarku balas bertanya. “Secepat yang aku bisa bi…” jawabku sebelum mengucapkan salam dan berlalu pergi meninggalkan bibi yang masih mematung di sebelah pintu kamarku. Mata indahnya sedikit berair, namun ia tidak lagi menahanku, mungkin ia juga merasa lelah kepada diriku, tepat seperti yang tengah ku rasakan saat ini.
Lagi-lagi aku melakukan kesalahan, aku menghancurkan seluruh cahaya yang ku miliki. Bahkan meski sebenarnya aku tau, mungkin itu adalah lentera terakhirku untuk kembali. Aku tidak pernah ingin menyakiti siapapun, terlebih bibi. Ia sudah sangat banyak membantuku melewati seluruh lumpur yang tersisa dari hujan kemarin. Membantuku berdiri sedemikian tegarnya. Namun yang kini ku lakukan malah menyakitinya, menusuk sisi perihnya denga kata-kataku yang tidak pantas. Tapi aku tidak bisa kembali. Bukan tidak ingin. Luka itu sudah menutup semua jalan kembaliku pada sang lentera.
***
Aku menghela nafas panjang ketika akhirnya bisa membuka pintu rumah sewaanku dengan Hanna dan Andhini  di bilangan Ciputat-Tangerang. Pertengkaranku dengan Hanna pagi itu kembali menggelitikku. Aku baru saja akan berangkat ke tempat mengajar ketika Hanna menanyakan sampai kapan aku akan berada di rumah ini. Aku tidak memiliki jawaban yang pasti, atau memang aku sengaja menyembunyikan jawabannya. Sudah satu bulan aku tidak pernah kembali, menutup diri sedemikian rupa dari seluruh masa laluku. Berniat untuk menjadi pribadi yang lain, tanpa masa lalu dan kenangan menyakitkan itu.
Bunyi gemerincing dari kunci ditanganku kembali menyadarkanku dari lamunan sesaatku. Aku menggeleng pada pemikiranku sendiri, kemudian berusaha mengabaikan segalanya. Baru pukul lima sore, namun mendung diluar sana membuat semuanya tampak lebih gelap. Aku berjalan perlahan untuk menyalakan lampu ruang tamu dan kamarku. Ketika melihat ruang gelap di dapur, aku beranjak kesana, menyalakan lampu dapur, kamar mandi, kamar Hanna dan Andhini, bahkan lampu depan. Kini semua lampu di rumah itu sudah sepenuhnya menyala, namun aku masih merasakan kegelapan di mataku. Membuatku mulai frustasi ketika kehilangan akal untuk menghilangkannya.
Aku sendirian, Hanna dan Andhini sudah kembali pulang ke rumah mereka. Hal yang dulu tidak pernah ku lewatkan, pulang kembali kepanti. Pulang kembali…
Tapi aku tidak memiliki tempat tuk kembali, dan aku mulai lelah untuk mencari hal yang hanya menyisakan perih. Mungkin begini lebih baik. Lagi pula aku adalah gadis yang kuat. Aku akan baik-baik saja. Sedikit rindu kepada mereka adalah hal yang wajar. Namun dengan segudang kesibukanku saat ini, aku pasti bisa melewatinya. Aku pasti akan bahagia.
“Kau akan mati membusuk kalau terus seperti ini.” aku tersentak kaget ketika mendengar suara itu. Hanna berdiri di ambang pintu dengan kantung makanan di tangannya.
“Aku pikir kau sudah pulang ke rumah.”
“Aku sudah pulang tadi pagi, dan sekarang aku kembali.” Ujarnya seraya berjalan melewatiku menuju dapur. Ia meletakan kantung pelastik bawaannya diatas konter dapur, mencari-cari piring kemudian mengeluarkan isi kantung itu. Ayam bakar madu, menu kesukaanku setiap kali kami berempat makan di rumah makan tradisional di kawasan depok. “Aku mampir sebentar untuk membeli ini, aku tidak tau kau sudah makan atau belum, atau apakah kau mau memakannya atau tidak. Aku tidak peduli.” Ujarnya sambil terus menyibukan diri dengan piring di hadapannya.
“Aku belum makan apapun,” bisikku, entah mengapa tiba-tiba saja aku merasakan sesak di dadaku.
Hanna mengangguk pelan, “Aku tau.” Ujarnya. “Aku hanya tidak tau bagaimana kau bisa menahan rasa lapar itu. Aku sudah mencoba untuk menjadi sahabatmu, mengerti keadaanmu. Namun aku masih belum mengerti. Hingga akhirnya aku memutuskan untuk mengikuti alur hidupmu. Kau sudah tidak makan sejak kemarin, aku mengikutinya. Kau sudah satu bulan ini tidak pulang, akupun mencoba untuk mengikutinya. Tapi pada akhirnya yang ku rasakan hanya luka dan perih. Apa itu juga yang kau rasakan selama ini?” tanya gadis berbadan tambun itu dengan mata berkaca-kaca.
Aku memalingkan wajahku kearah lain, berusaha menghindari tatapan sendunya. “Aku baik-baik saja…” jawabku mencoba tenang. Ia menggeleng perlahan.
“Aku juga mengikutimu dalam hal itu. Mengatakan pada diriku sendiri bahwa aku baik-baik saja. Bahwa aku bahagia. Tapi semakin sering aku mengatakannya, maka jiwaku akan semakin terluka. Aku justru merasa kesepian ketika mengatakan aku bahagia. Aku justru merasa perih ketika mengatakan aku baik-baik saja…” air mata gadis itu mulai menetes, membuatku merasakan guncangan yang familiar dari dalam dadaku.
“Aku sudah mati rasa Hanna, aku sudah tidak memiliki hati untuk merasakan perih.” jawabku. Ia menunduk dalam, menyembunyikan tangisnya. “Sudahlah, tidak bisakah kita menghentikan perbincangan ini. Aku sudah benar-benar lapar….” Ujarku mencoba mengalihkan perhatiannya. Ia mengangkat wajahnya yang basah oleh air mata, kemudian mengangguk perlahan. Membawa piring berisi ayam bakar itu ke ruang tamu. Untuk sejenak, aku hanya bisa berdiri terpaku di sana. Ketika akhirnya aku merasakan sesak aneh itu lagi dari dalam dadaku. Namun aku mengabaikannya, seperti biasa.
***
Aku sedang duduk-duduk di koridor kampus yang sepi ketika hujan tiba-tiba turun siang itu. aku mengernyit dan memandang langit yang terang menderang, ada apa ini? tidak biasanya langit memisahkan antara mendung dan hujannya.
“Zahra!” panggilan Risa langsung mengalihkan fokusku dari hujan dan mendung. Aku memandangnya dengan tatapan penuh tanya. “Ada yang mencarimu,” ujarnya, dari nada suaranya aku bisa merasakan ia sedikit meragu dengan kata-katanya.  
“Kau Zahra?!” tanya seorang pria yang berada di sampingnya. Aku mengangguk pelan. Pria itu tampak begitu familiar di mataku, namun aku sama sekali tidak bisa mengingat siapa dia. Dengan cepat ia berjalan kearahku, mencengkram pergelangan tanganku dengan sangat kuat. Risa yang sedari tadi hanya berdiri memandangku langsung bergerak maju, mencoba melepaskan cengkramannya ketika aku mulai meringis kesakitan. “Kau harus ikut denganku!” ujarnya tegas, dan kurasa penuh dengan amarah.
“Siapa anda?” tanyaku bingung sambil berusaha terus melepaskan cengkramannya. “Ikut kemana?? Ada apa sebenarnya??” aku mulai merasa kalut dan risih.
“Dengar! Hari ini adalah hari pernikahan Aldi dan Christine…”
Deg.
Jantungku tersentak. Satu hentakan lalu berhenti sama sekali. Pandanganku kabur, dan seluruh isi kepalaku melayang jauh. Aku hampir saja ambruk, tapi aku tidak pingsan, aku hanya kehilangan jiwaku.
Samar-samar aku mendengar Risa meneriaki namaku, dan pria itu masih terus melanjutkan kata-katanya. Mengatakan hal-hal yang tidak bisa ku tangkap sepernuhnya. Tidak bisa ku mengerti. Hanya beberapa kata yang bisa ku raih, tentang pernikahan, Aldi, Christine, adik, kesalahan, tanggung jawab dan mati. Lalu semuanya semakin gelap dan samar. Pandanganku semakin kabur tepat ketika aku mendengar Risa meneriaki nama Raka dengan ponsel di telinganya.
***
“Apa yang sebenarnya terjadi?” tanyaku ketika tiba-tiba saja mampu meraih kesadaranku. Aku tidak tau sudah berapa lama kami berkendara. Aku bahkan tidak tau kemana ia akan membawaku pergi. Aku meliriknya dengan sedikit perasaan takut. Caranya memegang kemudi mengingatkanku pada sosok Raihan, caranya menatap jalanan yang berdebu, caranya menahan amarah…
Namun sebisa mungkin aku menahan air mata itu, aku tidak boleh menunjukan tangisku. Aku sudah merelakan Raihan untuk Amy, aku pasti akan baik-baik saja.
“Aldi dan Christine diculik…”
“Apa?!”  pekikku tak percaya. “Bagaimana mungkin?”
“Apa tadi kau tidak mendengarkanku bicara?!” tanyanya kesal. Namun aku sama sekali tidak memiliki kekuatan untuk menjawabnya. Ketakutan mulai menyelimutiku. “Aldi melakukan sebuah perjanjian dengan kelompok mafia ketika ia masih tinggal di Belanda untuk menghancurkan kakeknya sendiri. Aldi berjanji untuk membantu mereka melakukan kristenisasi di Indonesia, itulah mengapa ia mendirikan sekolah internasional.”
Aku menggeleng tidak percaya, air mataku jatuh begitu saja, mengiringi rasa perih yang teramat dalam dari hatiku.
“Ia sengaja mengadakan perlombaan-perlombaan untuk mencari bibit unggul, tapi ketika akhirnya waktu untuknya menyerahkan anak-anak terpilih itu datang… ia menolak.”
“Aisyah…” bisikku perih. Ingatanku langsung meraih sosok gadis kecil itu, tawanya, candanya, keluguannya… bagaimana mungkin ia setega itu. Anna… Raka…
“Aku tidak bisa melarangnya. Aku tidak ingin berbuat apapun, lebih tepatnya. Tapi saat ini, ketika mereka melibatkan adikku, aku tidak bisa berdiam diri lagi. Terlebih ketika aku tau, kau lah yang seharusnya berada di tempatnya saat ini. Aldi tidak lagi mencintai Christine, tidak seperti dulu.”
“Tapi dia ingin menikahinya! Atau mungkin sudah…” gumamku perih.
“Apa kau bodoh?! Dia melakukannya hanya untuk melindungimu, dan menjadikan adikku sebagai tumbal.” Pria itu mendesis geram, kemudian tertawa sinis kepada dirinya sendiri. “Brengsek!” teriaknya marah, ia meninju kemudinya dengan keras.
Aku tidak tau apa lagi yang harus ku pikirkan, semua kisah ini terlalu sulit untuk ku pahami. Terlalu banyak hal yang tidak bisa ku sentuh dengan jemariku. Dan itu membuatku sangat lelah.
“Pria itu, dia bahkan tega membunuh putra dan menantunya. Tentu membunuh orang lain bukanlah sebuah masalah besar untuknya,” ujarnya lebih pelan, seakan bergumam pada dirinya sendiri.
Aku mematung disampingnya, mencoba membuka seluruh memoar lama tentang orang-orang terkasihku, tentang Raihan, Amy, Aisyah, Bibi, Hanna, Risa, Andhini, Anna, tante Luna, kakek Darmawan, Arya… bahkan Raka…
Mungkin hari ini aku akan mati, mungkin inilah waktunya. Jawaban Tuhan akan seluruh do’aku. Tapi entah bagaimana, saat ini aku sangat merindukan mereka semua, aku ingin bertemu mereka, untuk sekedar mengucapkan maaf dan mengatakan betapa aku sangat mencintai mereka semua, betapa berartinya mereka untukku.


4 komentar:

isna mengatakan...

seperti biasa selalu mengharu biru, cher kapan ya zahra bisa bahagia walaupun tidak harus bersama raihan....thanks ya

Unknown mengatakan...

:'(

Fathy mengatakan...

Cherry sayang °·♡·♥τнänkчöü♥·♡·° ya non... Entah mau komen apalagi yg jelas pengen zahra sama raihan trus amy sama arya...

Cherry (˘⌣˘)ε˘`)

Unknown mengatakan...

Gtw mau komen aplgi..:'(
Ksian bgt si Zahra