Kamis, 18 Juli 2013

PELANGI HITAM PUTIH EPILOG



Aku mengernyitkan hidungku ketika mencium aroma yang sangat tajam, seperti aroma cairan alkohol, namun dengan kadar yang sangat tinggi. Ketika sudah bisa sedikit menyesuaikan diri, aku bisa mencium aroma lain, lebih manis dan lembut. Mungkin aroma bunga, tapi aku belum pernah mencium bunga ini sebelumnya. Namun aroma yang kini menarik perhatianku adalah aroma tanah yang terguyur hujan. Begitu menenangkan, begitu kaya. Suara tetesan hujan yang mengenai berbagai benda di bawahnya terasa seperti alunan music konstan yang membuatku merasa begitu nyaman, merasa aman dari ancaman kesepian.
Aku ingin tersenyum ketika mendengar suara tetesan hujan yang semakin deras, namun wajahku terasa sangat kaku. Aku mengernyit, mencoba meraih kontrol akan diriku sendiri. Tapi semuanya di luar kendaliku. Selain suara-suara hujan yang ku dengar, dan aroma-aroma itu, aku tidak bisa meraskan hal lain. Aku bahkan tidak bisa merasakan jemariku. Semuanya tampak hilang, tampak tak tersentuh.
Tiba-tiba hujan mendadak berhenti, aku ingin meneriakinya untuk terus menetes, namun suaraku pun menghilang. Tidak ada yang keluar dari kerongkonganku, kecuali erangan-erangan aneh yang tidak bisa dimengerti.
“Zahra… Zahra… bertahanlah!!!” suara itu terdengar samar-samar di telingaku. Aku ingin menjawabnya, memintanya untuk berbicara pada hujan agar terus turun menemaniku. Tapi aku tidak bisa melakukan apapun.
“Kau harus kuat!!!” kini suara seorang wanita.
Aku tidak ingin apapun! Aku hanya ingin hujan! Katakan pada langit untuk terus membiarkan hujan itu turun!!! Ku mohon…
Jiwaku meronta-ronta mengharapkan hujan, namun sedetik kemudian aku meraskaan sesuatu meraup seluruh kesadaranku. Tiba-tiba aku merasa sangat mengantuk, merasa begitu lelah. Aku ingin terus terjaga, tapi kabut itu menyelimutiku sedemikian tebalnya, membuatku menyerah pada ketidak sadaran, tepat ketika aku mendengar tetesan hujan itu kembali hadir.
***
“Kau sudah koma selama satu minggu,” ujar  gadis cantik berpakaian putih yang kini tengah sibuk membereskan barang-barang di meja kecil samping ranjangku. Aku memandang langit yang sedikit mendung dari balik jendela kamar rawat inapku tanpa berkata apapun. “Semua orang sangat mengkhawatirkanmu. Aku senang kau akhirnya sadar…” ia menoleh dan tersenyum ramah kepadaku. “Yang lainnya sedang dalam perjalanan ke sini. Apa kau butuh sesuatu?” tanyanya lembut.
Aku menatap wajahnya yang cantik dengan pandangan nanar. Aku masih harus menyesuaikan mataku dengan cahaya yang terasa sangat menyilaukan di sekelilingku. Otakku masih terlalu lemah untuk sekedar memikirkan apa yang ku inginkan saat ini. Aku masih bingung dengan apa yang sebenarnya terjadi. Mengapa aku bisa berada di tempat ini? dengan tangan yang dibalut perban, terpasang infus, bahkan elektrokardiograf. Aku ingin terus terjaga, namun aku merasakan lelah itu kembali menghampiriku.
“Zahra!” panggilan itu sedikit mengejutkanku, dengan lemah aku menolehkan kepalaku keasal suara itu, kemudian tersenyum pada mereka yang berdiri di ambang pintu, meski aku sama sekali tidak tau kepada siapa seharusnya senyuman itu ditujukan.
“Alhamdulillah Zahra…”
Alhamdulillah… untuk apa… Batinku sebelum kembali tenggelam dalam kegelapan.
***
“Dia akan baik-baik saja, dia sudah stabil.” Aku mengernyit ketika mendengar penuturan suara asing itu.
“Tapi mengapa dia berkali-kali pingsan seperti ini dok?”
“Ia kelelahan,” jawab orang yang mungkin mereka panggil dokter.
“Kelelahan?! Yang benar saja. Dia sudah hampir dua minggu tidak sadar, dan sekarang dia kelelahan?!” omel suara yang cukup familiar ditelingaku. Suara sahabatku, Andhini.
“Banyak yang harus ia sesuaikan setelah kejadian itu. Kita benar-benar harus bersyukur karena ledakan itu tidak sampai menyebabkan kerusakan fatal pada organ-organ tubuhnya.”
Ledakan?
Aku kembali mengernyit bingung, mulai merasa sesak karena rasa ingin tahuku. Tapi aku masih tidak ingin membuka mataku, aku masih ingin tertidur, seakan yang dikatakan dokter itu memang benar adanya, bahwa aku memang lelah, sangat lelah.
Seseorang menyentuh ujung kaki kiriku, kemudian memijitnya dengan lembut. “Ia memberikan sedikit waktu lebih pada polisi untuk menjinakan beberapa bomnya. Tapi sayangnya, bom yang di kakinya terlalu sulit untuk diraih.”
Bom?! Apa-apaan ini?? mengapa aku harus berhubungan dengan bom dan ledakan?!
“Ya, itu menyebabkan sebuah kejutan untuk tendon-tendon kaki kanannya. Kami masih melakukan beberapa uji coba untuk melihat tingkat kerusakannya. Tapi selama ia masih belum sadar, kita masih belum bisa menentukan dengan pasti.”
Kakiku mati rasa….
Aku tidak bisa merasakannya. Aku tidak bisa merasakannya!!!
Tiba-tiba ketakutan menyelimuti jiwaku. Aku mulai kebingungan mencari kontrol atas kakiku, mencoba merasakannya. Namun nihil, aku sama sekali tidak bisa merasakan kakiku. Ya Allah….
“Aku harap kalian bisa menyembunyikan prilah Raihan dulu darinya.”
Deg.
Ketakutanku akan kakiku mendadak sirna, tergantikan oleh seluruh kepingan memori tentang nama yang baru saja ku dengar entah dari mulut siapa. Raihan… Raihan… Raihan… berkali-kali otakku mengulang-ngulang itu. Mencoba meraih seluruh lembaran kenangan tentang nama itu.
Raihan…. Jantungku tersentak ketika akhirnya menemukan buku besar dalam otaku yang berisi penuh dengan namanya. Raihan, dimana dia? Apa dia baik-baik saja? Bagaimana keadaannya? Mengapa mereka ingin menyembunyikannya dariku?? Dimana dia??!! Dimana Raihanku?!!!
Tubuhku mengejang hebat begitu saja, membuat semua orang di ruangan itu mendadak panik. Aku mulai bisa mengenali seluruh suara penuh cemas mereka satu persatu. Bibi, Raka, Anna, Arya, Amy, Andhini, Risa, kakek Darmawan, dan bahkan tante Luna. Tapi lagi-lagi kegelapan itu menarikku, menyeretku masuk ke bagian yang lebih pekat dari pada sebelumnya. Kemudian mengunciku di sana selama beberapa saat. Memastikanku mati dengan sendirinya.
***
“Dimana Raihan?” tanyaku suatu hari. Namun tidak ada satupun dari mereka yang menjawab pertanyaanku. Belakangan aku mulai sadar, pertanyaan itu adalah pertanyaan yang tidak akan pernah mendapatkan jawaban, sekeras apapun aku meneriakinya.
Aku menghela nafas panjang, mencoba mengusir rasa perih yang mendadak menyelimuti hatiku. Ada begitu banyak pertanyaan yang ingin ku utarakan pada mereka semua yang hadir mengelilingiku, namun pada akhirnya aku hanya terdiam. Menjawab pertanyaan seperlunya dari dokter paruh baya itu. Mencoba menerka sejauh mana Tuhan mengujiku.
Sudah seminggu sejak kesadaran totalku, kini aku sudah bisa berbincang dengan lebih normal. Beberapa alat berat bahkan sudah dilepaskan. Namun dokter masih belum mau membiarkanku pulang. Meskipun aku sudah benar-benar bosan berada di rumah sakit itu.
“Kata dokter kalau hasil test nya sudah keluar sore ini kau bisa pulang.” Ujar bibi dengan sangat lembut. Ia membelai kepalaku penuh kasih, membuatku merasa sangat bersalah.
“Bibi… maafkan aku…” bisikku tulus. Bibi merengkuh wajahku dengan kedua telapak tangannya, memberikan kehangatan yang begitu nyaman. “Aku sudah melukai perasaan bibi. Aku sudah berbuat jahat pada bibi…”
“Sstt… tidak, kau tidak boleh menangis. Tidak boleh lagi ada air mata. Kau harus tersenyum anakku.  Kau harus tersenyum,” bibi mengusap air mataku dengan perlahan, “Dengarkan bibi, sampai kapanpun bibi adalah keluargamu. Ingat itu! Bibi sangat menyayangimu Zahra… kau tidak pernah tau betapa takutnya bibi kehilanganmu…”
Aku memeluk bibi dengan sangat erat, menangis tersedu di balik pundaknya, membiarkan air mataku membuat bulatan-bulatan kecil pada kerudung biru tuanya. Ia membelai-belai lembut punggungku, menenangkanku.
Ya Allah… hamba benar-benar minta maaf… bagaimana mungkin hamba bisa menutup mata dari seluruh kasih sayang yang Kau tunjukan selama ini, melalui tangan-tangan lembut mereka… melalui hati-hati tulus mereka…
Pintu kamarku perlahan terbuka. Anna, Aisyah dan Anisa langsung berjalan mendekati ranjangku, disusul oleh Raka tepat di belakang mereka. Anna menggenggam tanganku dengan lembut, membuatku tak bisa menahan senyuman haru yang muncul tulus dari dalam dadaku. Raka menggendong Anisa dan Aisah hingga bisa duduk di atas ranjang. Aku bahkan sangat merindukan celoteh kedua mahluk kecil yang teramat manis ini.
“Ini untuk kak Zahra.” kata Aisyah sambil menyerahkan setangkai bunga lavender. Aku mengernyit dan melirik vas Kristal di atas meja kecil di sampingku. Bunga-bunga lavender di sana masih begitu segar, namun kini Aisyah membawakanku setangkai lagi.
“Terima kasih…” balasku dengan lembut.
“Kak Zahra tau apa arti bunga lavender?” tanya Anisa dengan wajah lugunya. Aku mengernyit dan menggeleng.
“Bunga Lavender itu artinya penantian cinta.” Kini Aisyah yang berkata. Aku tersenyum geli menatap mereka, kemudian melirik Anna yang juga menatap bingung putrinya.
“Sejak kapan kalian mengenal masalah cinta?” tanya Anna lembut. Kedua gadis itu saling berpandangan sambil tersenyum geli penuh rahasia. Raka terkekeh dan menggeleng-geleng melihat tingkah putri-putri kecil itu.
Raka merangkul Anisa dan Aisyah secara bersamaan, “Kalian memang harus mengenal masalah cinta itu. Tapi yang harus kalian ingat adalah, Cinta pertama kalian harus-hanya-kepada Allah.” Ujar Raka dengan penuh penekanan di setiap kata-katanya. Kedua gadis itu mengangguk penuh semangat.
“Iya… yang pertama itu Allah… lalu bunda Anna, lalu ummi Aisyah, lalu kak Zahra, ayah Raka, Kak Amy, Kak Arya, Ayah Alan, eyang, nenek Luna dan kak Raihan!” ujar Aisyah seraya menghitung dengan jemari kecilnya. Ada sentakan aneh di dadaku ketika mendengar nama itu, namun sebisa mungkin aku menyembunyikannya, mencoba tetap bersikap normal. Bibi membelai lembut buku-buku jemariku, dan tersenyum menenangkan.
“Bibi akan menemui dokter dulu,”
“Biar aku temani ummi,” ujar Anna. Namun bibi menggeleng, membuat Anna kembali duduk di kursinya, di sampingku.
Hanya berselang lima menit dari kepergian bibi, pintu kamarku kembali terbuka. Kakek Darmawan mendorong kursi roda tante Luna masuk, mereka tampak sehat, dan aku bersyukur karenanya. Kakek Darmawan mencium puncak kepalaku dengan penuh kasih, sedangkan tante Luna mencium kedua pipiku. Mata indahnya tampak sedikit berkaca-kaca ketika memandangku, dan entah bagaimana itu membuatku merasa begitu nyaman, begitu dicintai.
Aku mengernyit ketika tidak lama kemudian Arya dan Amy memasuki kamarku. Seorang pria seumuran kakek tampak berjalan mengikuti mereka. Aku tidak tau bagaimana harus bersikap kepada Amy, ada banyak hal yang ingin ku jelaskan kepadanya, namun aku masih belum memiliki kesempatan untuk berbicara empat mata dengannya. Bahkan kini rasanya kamarku mulai penuh sesak oleh orang-orang yang datang mengunjungiku.
Amy tersenyum tipis seraya menggenggam jemariku. Begitu banyak hal yang ingin ku katakan padanya, begitu banyak ungkapan maaf yang perlu ku sampaikan.
“Maafkan aku…” bisikku tulus. Gadis itu menggeleng perlahan.
“Aku yang seharusnya mengatakan itu. Maafkan aku Zahra, aku tidak tau jika kau dan Raihan saling mencintai. Hampir saja aku menghancurkan cinta itu.”
“Kau tidak salah sama sekali…” ujarku perih.
Amy menyeka air mataku dengan lembut, “Tapi semuanya bukan masalah lagi sekarang, kau bisa tenang karena kami sudah menikah.” bisik Amy ditelingaku. Mataku langsung terbelalak lebar mendengarnya. “Aku memang mencintai Raihan, tapi bukan ia pria yang ku yakini akan menjadi imam terbaikku. Pria inilah orangnya.” Amy tersenyum manis penuh kebahagiaan seraya melirik sosok Arya yang berdiri di sampingnya. Aku sama sekali tidak bisa menahan air mata haru yang perlahan membanjiri pelupuk mataku.
“Tapi bagaimana dengan masalah ibunya?” tanyaku ngeri.
“Masalah wanita itu, hanya sebuah kesalah pahaman.” Ujar Arya menambahkan.
“Wanita itu?” tanyaku bingung. Arya mendesah lelah kemudian melirik bapak tua yang berdiri di sampingnya.
“Hahahaha… maaf sudah membuat keributan sebelumnya.” Ujar bapak itu, nada suaranya yang ramah benar-benar mengingatkanku pada sosok Arya. “Aku ayah Arya. Wanita yang datang menemuimu dan menantuku adalah istri ketigaku.” Ujarnya tanpa malu-malu, membuatku spontan ternganga mendengarnya. “Aku juga ingin meminta maaf sekali lagi padamu,” ia memandang Amy dengan penuh kasih. “Ayah tidak tau kalau kau banyak terluka karena Keke,”
“Aku baik-baik saja ayah.”
“Ah… kau begitu lembut… kau sangat mirip dengan almarhumah ibu Arya…”
“Ayah! Dia istriku,” tegur Arya kesal. Bapak itu tertawa lebar sambil menggaruk bagian belakang kepalanya. Tapi aku masih tidak mengerti dengan apa yang terjadi. Aku melirik Amy meminta penjelasan lebih. Dan bagaimana mungkin mereka bisa tega-teganya menikah tanpa menungguku?!
Beberapa hari kemudian saat aku akhirnya memiliki kesempatan berbincang berdua dengan Amy, barulah ia menjelaskan segalanya. Tentang almarhumah ibunda Arya yang dikuburkan di Mekah, tentang ayahnya yang kesepian, tentang ibu mertuanya yang pencemburu, yang ternyata istri ketiga dari ayah mertuanya, tentang kebenciannya akan poligami yang dilakukan suaminya sendiri hingga tega-teganya berkata demikian kepada Amy, menolaknya dengan menggunakan masa lalunya sebagai senjata.
“Aku tidak pernah bermasalah dengan poligami. Tidak sama sekali, dan masalah anakmu. Kau tenang saja, aku bahkan tidak ingat menemukan Arya dimana…” seloroh bapak tua itu. spontan kami semua tertawa mendengarnya. Namun aku mengerti maksudnya, aku mengerti betapa ia berjiwa besar dan penyayang, sama seperti putranya. Betapa ia mencintai istri pertamanya, bahkan meski kini ia sudah tidak ada. “Bagaimana dengan keadaanmu, nak?” tanya bapak itu seraya memandangku. Aku tersenyum santun dan mengucapkan Alhamdulillah atas keadaanku saat ini. “Ah… kau sangat cantik, sangat mirip dengan almarhumah ibunda Arya, mungkin kau bisa…”
“Ayah!” potong Arya gemas. Aku terkekeh geli ketika menyadari maksud perkataan bapak yang begitu ramah itu.
“Maaf pak, tapi gadis itu sudah memiliki kekasih.”
Aku tersentak kaget ketika mendengar suara itu. Kami semua langsung menoleh ke arah asal suara itu. Jantungku terasa berhenti begitu saja ketika melihatnya berdiri disana, begitu tampan dan mempesona. Sosok itu tersenyum angkuh seperti biasa, namun aku bisa merasakan tatapan penuh cintanya yang mampu membuatku terbuai sedemikian rupa.
Aku tidak tau sudah berapa lama aku tidak pernah melihatnya, namun rasanya rindu itu sudah menggunung di dadaku. Membuatku ingin menangis karena kebahagiaan yang tiba-tiba muncul di hadapanku. Ia berjalan perlahan tanpa mengalihkan pandangannya dari mataku. Ditangannya sebuket bunga lavender tampak berseri indah.
“Selamat pagi cantik,” bisiknya di telingaku. “Assalamualaikum…” tambahnya. Dan aku benar-benar tidak bisa menyembunyikan tangis bahagiaku.
“Kemana saja kau?” tanyaku terbata-bata.
“Mencari penghulu.” Ujarnya dengan tatapan geli. Aku mengernyit bingung ketika ia berbalik, memanggil seorang pria berjas hitam.
“Apa-apaan ini?” tanyaku bingung. Bahkan tiba-tiba saja Hanna, Andhini, Risa berserta Damar sudah berada di kamarku. Ummi datang bersama dokter dan beberapa suster, membuat kamar rawat inapku benar-benar penuh oleh semua orang. Raka menggendong Aisyah, sedang Arya menggendong Anisa dari ranjangku, memberikan akses yang lebih luas pada Raihan dan orang yang ia sebut sebagai penghulu.
“Kita akan menikah,” ujar Raihan, kini suaranya terdengar sedikit gugup. Aku membulatkan mataku tidak percaya. Dengan kikuk aku menatap satu persatu wajah di sekeliling kami. Semuanya, tanpa terkecuali, tampak memasang satu senyuman yang sama, satu jenis tatapan yang sama pula. Tatapan kebahagiaan.
Jadi ini adalah rencana kejutan mereka??? Rasanya aku ingin memeluk semua orang saat itu juga. Aku ingin mengucapkan seluruh kata terima kasih atas air mata haru penuh keindahan itu.
Tiba-tiba mataku menyipit ketika melihat sosok di sampingku tersenyum lebar penuh kebanggaan. “Tapi aku belum mengatakan iya kepadamu.” tudingku kesal. Raihan menyisir rambutnya dengan jemarinya, wajahnya tampak gemas pada sikapku.
“Dengar nona Zahra, aku tidak pernah menanyakan apakah kau mau atau tidak menikah denganku, jadi aku tidak perlu menunggu jawabanmu.” Ujarnya sombong. Aku menatapnya tidak percaya. Apa-apaan dia?!!
“Bagaimana kalau aku tidak mau menikah denganmu.”
“Aku tidak peduli.” Ujarnya. “Mau ataupun tidak, kau akan tetap menikah denganku!” ujarnya tegas. Aku melirik Ummi meminta bantuan, namun tampaknya saat ini semua orang lebih mendukung sosok angkuh di sampingku. “Ayo pak, segera dimulai.” Ujarnya tak sabar.
“Tunggu.” Potongku cepat. Raihan mendengus kesal kemudian menoleh kepadaku. “Apa kau benar-benar ingin menikahi seorang wanita yang lumpuh sepertiku?” tanyaku pelan. Wajah angkuhnya perlahan mencair, melembut dan penuh kasih.
“Kau akan sembuh.” Bisiknya begitu lembut. “Dan kalaupun kau kehilangan sebagian organ tubuhmu, kalaupun kau lumpuh selamanya, aku akan tetap mencintaimu. Aku akan tetap menikahimu. Karena aku sadar, hanya denganmu lah aku bisa menemukan kebahagiaan itu. Kau yang sudah membawaku kembali untuk menemukan cahaya kebenaran itu, kaulah wanita yang ku cari selama ini, jodoh yang dituliskan Tuhan untukku.” Air mataku menetes perlahan ketika mendengar kata-kata indahnya.
Subhanallah, aku sangat mencintainya ya Allah… sangat mencintainya…
Ummi dan tante Luna menyeka air mata haru mereka secara bersamaan. Amy tersenyum lembut kepadaku, Anna bahkan menangis haru di pundak suaminya. Sedang ketiga sahabatku tidak bisa lagi menyembunyikan rona kebahagiaan mereka.
“Raihan, Raihan Reynaldi Al-Farizi… aku mencintaimu karena Allah. Karena agama yang ada pada dirimu. Jangan lepaskan lagi, jangan biarkan agama itu pergi. Karena jika kau hilangkan agama itu dari dirimu, maka hilanglah cintaku padamu.” Bisikku sungguh-sungguh. Raihan menatapku dengan sangat tulus. Kemudian ia mengangguk.
“Insya Allah, untuk kali ini, aku akan menjaganya. Takkan ku biarkan lepas lagi.” ujarnya seraya tersenyum lembut, kemudian ia berbalik, menjabat uluran tangan penghulu dengan keyakinan sepenuhnya. Dan ketika ia mengucapkan kalimat dua syahadat itu, aku tau dia mencintaiku. Sangat mencintaiku…
Terima kasih ya Allah… terima kasih atas semua cinta yang telah Engkau berikan kepada kami… terima kasih banyak…
Ayah, bunda… akhirnya aku menemukan pelangi itu. Tidak berwarna memang, hanya hitam dan putih. Namun itu saja sudah cukup… aku merasa sangat bahagia karenanya. Aku sangat mencintai pria ini. Ku mohon, restuilah kami…
***
4 bulan kemudian
“Aku yakin ayah sangat bahagia bertemu dengan kakek,” bisikku pelan. Raihan meremas jemariku dengan lembut, mengiyakan perkataanku tanpa mengalihkan pandangannya dari tiga pusaran di hadapan kami.
“Bagaimana pendapatmu tentang pinangan ayah Arya pada bibi?” tanya Raihan. Aku mendesah dan memutar bola mataku.
“Aku tidak yakin.”
“Tapi mereka saling mencintai.”
“Tapi ayah Arya itu mata keranjang!”
“Tapi sekarang kelihatannya serius.”
“Sejak kapan kau jadi sok tau begitu?!”
“Aku memang selalu tau.”
“Kau benar-benar besar kepala!”
“Ini kenyataan, kau tidak bisa memisahkan mereka.”
“Aku tidak sedang memisahkan siapapun. Aku hanya ragu!”
“Keraguanmu itu menyakiti mereka.”
“Kalau begitu biar saja mereka mengurus masalah mereka sendiri. Mereka sudah sama-sama dewasa, kita tidak perlu ikut campur!”
“Aku hanya sedang memikirkan.”
Lalu tiba-tiba hujan turun begitu saja, mengguyur kami tanpa peringatan.
“Ya Allah.. hujan, ayo cepat ke mobil,” ujarnya seraya berbalik pergi.
“Tunggu!”
“Apa lagi? ayo cepat, atau kau akan basah kuyup.”
“Tapi aku tidak bisa berlari!” teriakku ditengah-tengah guyuran hujan. Raihan memicingkan matanya sambil menatap kedua kakiku.
“Jangan banyak alasan, kau sudah sembuh total sejak dua bulan yang lalu!” ujarnya gemas.
“Iya, tapi dokter bilang aku tidak boleh berlari!”
“Zahra?” ia menghentikan langkahnya dan berbalik memandangku yang masih belum beranjak dari samping makam orang tua dan kakekku. Matanya menyiratkan sebuah kecemasan yang entah bagaimana membuatku begitu bahagia.
“Karena aku sedang hamil.” Kataku tak acuh. Sedetik kemudian aku merasa tubuhku melayang, dan ketika tersadar aku sudah berada di dalam dekapan pria yang paling ku cintai. “Turunkan aku!” pekikku ngeri.
“Diam. Aku sedang menggendong istri dan calon jagoanku.” Ujarnya angkuh. Aku terkikik geli di balik dadanya. Lagi pula siapa juga yang mau turun dari dekapannya?!
Aku membenamkan kepalaku di balik dadanya yang bidang, merasakan kehangatan yang terpancar dari dalam dirinya, mendengarkan detak jantungnya yang menenangkan. Kini aku bebas menghirup dalam-dalam aroma maskulin priaku, dan aku tidak pernah menyia-nyiakannya.
 Aku sangat mencintainya, aku mencintai amarahnya, aku mencintai gumaman kesalnya, aku mencintai wajahnya ketika tengah terlelap, aku mencintai gurauannya yang kadang tidak mengundang tawa, aku mencintai usaha gigihnya ketika belajar memasak, aku mencintainya yang tengah sibuk dengan pekerjaannya, aku mencintainya mimik seriusnya ketika berhadapan dengan kertas dan laptopnya, aku mencintai suaranya ketika menjadi imam di setiap shalatku, aku mencintai dekapannya, aku mencintai kejahilannya ketika menggangguku tidur, aku mencintai kecupan lembutnya di setiap pagi, aku mencintai senyuman miringnya yang sangat mempesona, aku mencintai belaian menenangkannya ketika aku merasa lelah dan terluka, aku mencintainya yang mencintaiku apa adanya, aku mencintai ia yang telah membawa pelangi hitam putih dengan berjuta kehangatan ke dalam duniaku. Begitu banyak yang ku cintai dari pria ini, hingga meski aku menghabiskan hidupku untuk menuliskannya, itu takkan pernah selesai tertulis. Aku mencintainya yang mencintai Allah dengan sangat tulus.
“Turunkan aku,” ujarku ketika kami sudah sampai di parkiran pemakaman umum tempat ayah bunda dan kakekku dimakamkan.
“Tidak.”
“Bagaimana jika ada yang melihat.”
“Aku tidak peduli!” ujarnya tak acuh, kemudian mempererat dekapannya, seakan aku tidak memiliki bobot sama sekali. “Lagi pula kita sedang di pemakaman, dan hujan sangat deras. Mana mungkin ada orang yang sengaja berolah raga di sini.” Guraunya. Aku tidak ingin tersenyum mendengarnya, namun nyatanya pria ini selalu bisa mengukir pelangi dihatiku. Bahkan meski hujan itu belum berhenti menetes, seperti hari ini.
“Ada yang melihat kita!” ujarku bersikukuh, sebisa mungkin menunjukan wajah kesalku.
“Siapa?!” tantang Raihan seraya mengedarkan pandangannya. Aku melirik kebalik lengan kekarnya.
“Ayah, bunda dan kakek…” bisikku penuh kasih. Raihan menghela nafas panjang, kemudian aku bisa melihat senyuman indahnya kembali terukir. Ya Allah, bagaimana mungkin wajahnya bisa berubah semakin tampan setiap kali aku melihatnya.
“Biar saja mereka melihat. Aku yakin mereka semua akan senang melihatku menggendong ratu dan calon jagoan kecilku.” Ujarnya santai. Aku terkekeh pelan dan kembali menyembunyikan wajahku di dadanya.
Tapi tunggu dulu, jagoan katanya?! Aku menginginkan seorang putri untuk anak pertama kami, seperti Anna yang memiliki Aisyah dan Amy yang memilik Anisa!
“Dia perempuan.” desisku dalam dekapannya.
“Jangan bergurau, dia pasti jagoan kecilku!” aku mendongkakkan kepalaku, berusaha menatap wajahnya, namun gagal.
“Dia perempuan! Aku ibunya, aku bisa merasakannya!”
“Dia putraku. Tidak perlu diperdebatkan lagi.”
“Tapi dia perempuan,”
“Dia seorang jagoan Zahra!”
“Pokoknya perempuan!”
“Jangan pernah kau dandani jagoanku dengan pakaian perempuan!”
“Dia memang perempuan kok!” ujarku tak mau kalah. Dan perdebatan kami tidak pernah berhenti di sana. Seperti yang ku katakan, hidup bersama Raihan tidak pernah menjanjikan pelangi berwarna-warni pada umumnya. Hanya ada pelangi hitam putih, namun di balik itu semua, aku bisa merasakan berjuta warna yang lebih indah, yang dengan sekuat tenaga ia coba hadirkan diantara kami.
Raihan tidak pernah mengalah padaku, namun aku tidak pernah bisa marah akan hal itu, karena pada akhirnya, aku akan kembali luluh ketika ia mencium keningku dengan penuh kasih di tengah-tengah argumennya, menunjukan apapun yang kami perdebatkan tidak akan mengurangi sedikitpun rasa cintanya padaku. Tepat seperti rasa cintaku kepadanya. Kepada pria pemilik pelangi terindah dalam hidupku itu.
Terima kasih ya Allah,
Terima kasih atas semua senyuman ini, terima kasih banyak.
“Dengar.” ujarnya seraya mendudukanku di kursi penumpang, ia membungkuk sejenak di depan pintu mobilnya, menatap wajahku lekat-lekat. “Apapun itu, entah seorang putri atau jagoan kecil, asalkan itu lahir dari rahimmu, aku akan mencintainya.” Ujarnya sungguh-sungguh, kemudian dengan cepat ia mengecup keningku, membuatku melongo menatapnya. Aku memandang sosok yang tengah berjalan menuju kursi kemudi itu dengan senyuman mengembang. Lihatkan, betapa mudahnya ia membuatku jatuh cinta kepadanya.

The End

Tangerang.
12 July 2013
21:57 PM


8 komentar:

Unknown mengatakan...

yey akhirnya happy end :-D
suka banget Di bagian 4 bulan kemudian jadi bacanya di ulang ulang hihi.
dulu sebel banget Di Zahra waktu Di cahaya cinta,kini ngerti Zahra hanya memperjuangkan cintanya :-*

Unknown mengatakan...

My oh my,,,
zia!!!!
loves d' end of story ^_^
aku bacax ngebut tau, dr bab 1..
G.R.E.A.T JOB..

all about life mengatakan...

Akhirnya mereka bahagia juga

Unknown mengatakan...

Wow happy ending.asyik.mksih

Unknown mengatakan...

lebih suka pelangi hitam putih, Zahra itu kuat cocok buat raihan.. :)

Unknown mengatakan...

Envy ama zahra dan raihan di bab epilog ini... T_T
cari pacar ahhhh... plak!

Terima kasih semuanya...

Nunaalia mengatakan...

cherry maniiisss bgt!
akhirnyaaa ternyata happy ending! suka suka sukaaa

thanks ya cherry, TOP BGT DEH!

Nunaalia mengatakan...

tapi mo ty dong cher...
kok ga diceritain sbnernya apa yg terjadi di gudang itu pas ada suara dentuman?
gmn zahra, raihan dan amy bs selamat dari bom yg dipasang?
trs kakeknya zahra kpn meninggalnya?
*masih bingung n penasaran