Kamis, 11 Juli 2013

PELANGI HITAM PUTIH -22-

RAIHAN


Sejak kecil aku selalu beranggapan bahwa tangis dan air mata itu hanya diperuntukan bagi orang-orang yang lemah. Sesakit apapun aku, separah apapun luka yang ku dapatkan dari bocah-bocah brandalan itu, aku akan selalu menyembunyikan tangisku. Aku ingat, ketika berumur 8 tahun, aku pernah terluka. Aku bersepeda seperti bocah gila siang itu, berteriak kencang sambil mengayuh sepedaku kencang-kencang. Ketika melewati jalan turunan, aku akan membentangkan kedua tangan dan kakiku, bagai layang-layang yang siap terbang. Turun, dan kembali naik. Terus begitu, hingga paru-paruku kehabisan cadangan oksigen. Namun aku masih tidak ingin berhenti. setelah menuruni jalanan yang sama dengan gaya yang sama juga sebanyak 7 kali, aku kembali mengayuh sepedaku, menanjaki jalanan itu, bersiap melakukan turunan terakhir dengan gaya yang sedikit berbeda.
Wuss….
Kali ini hembusan angin di sekelilingku semakin kencang, aku tidak membentangkan kedua tangan dan kakiku, aku justru memfokuskan mataku, mempercepat kayuhan sepeda ku, hingga rasanya aku bisa melihat angin itu terbelah. Tepat seperti yang terdapat pada film-film kartun yang ku tonton di minggu pagi bersama kak Alan.
“Woooo!!!!” teriakku kesetanan. Lalu terus dan terus melaju semakin kencang, bahkan terlalu kencang. Hingga ketika kucing kecil itu berlari, aku sama sekali tidak bisa melakukan apa yang seharusnya ku lakukan. Aku menurunkan kedua kakiku, bukan meraih dan menekan rem yang berada di genggamanku. Aku memejamkan mataku, bukan membelokan sepedaku kearah lain. Aku melindasnya hingga mati, bukan menghindarinya. Dan semuanya itu berlalu begitu saja.
Kakiku terluka karena tergesek aspal, berdarah di bagian-bagian sisinya. Namun hari itu aku sama sekali tidak ingin menangis, seperti hari-hari sebelumnya ketika aku pernah juga merasakan luka. Saat itu, bahkan aku merasa sudah biasa menghadapi sebuah kematian. Lagi pula bukankah itu hanya seekor kucing kecil tak berguna?!
Tapi saat itu, ketika aku mendengar kematiannya. Hidupku hancur. Aku sangat mencintai gadis lemah lembut itu. Aku mencintai keluguannya, aku mencintai senyum malu-malunya, aku mencintai tatapan indahnya, aku mencintai setiap detail dari dirinya. Ia adalah satu-satunya gadis yang tidak suka minuman beralkohol di antara sahabat-sahabat wanitanya. Ia memang seksi, namun jelas tampak risih dengan keseksiannya sendiri. Dan sejujurnya itu yang membuatku tertarik kepadanya. Terlebih cinta tulusnya yang begitu indah… entah bagaimana sosoknya yang lemah lembut itu mampu menciptakan cinta yang sedemikian mempesonanya.
Aku mencintainya, dan aku rela melakukan apapun untuknya, bahkan meski aku harus mati demi dirinya. Cinta itu membutakanku. Membuatku dimabuk kepayang. Terlebih ketika aku mendengar ia hamil putraku!
Aku, seorang Reynaldi, tidak pernah menyukai anak kecil, terlepas dari masa kecilku yang selalu diolok-olok karena tidak memiliki ayah, dan sederet peristiwa menjijikan lainnya, aku memang tidak pernah menyukai anak-anak. Tapi ketika mendengar gadis itu mengandung putraku, semuanya berubah. Ada bulir-bulir kebahagiaan yang aneh dalam hatiku. Yang membuatku tidak bisa berhenti berteriak kegirangan. Bersorak penuh suka cita!
Berita kematian.
Ya, aku, seorang calon ayah, seorang calon mempelai pria, mendapat berita kematian calon istri dan calon putranya, tepat sebulan sebelum hari sacral itu berlangsung. Berkali-kali aku mencoba membunuh diriku sendiri, merasa tidak sanggup melanjutkan hidupku tanpa kedua sosok yang paling ku cintai.
Tapi Tuhan tidak membiarkanku mati!!!!
Aku sangat membencinya karena itu, hingga akhirnya aku menyerah. Kemudian mulai menyusun rencana lain untuk menyakiti Tuhan. Aku bahkan bersekutu dengan mafia sadis yang tega membunuh putra dan menantunya sendiri, untuk menghancurkan kakekku, menghancurkan ibuku, menghancurkan yayasan islam yang mereka miliki.
Persetan dengan mereka semua!
Namun aku mencintai Alan. Meski terkadang aku selalu merasa iri kepadanya yang mendapatkan seluruh perhatian kakek dan ibu. Tapi aku mencintainya. Meski kini aku tau ia bukan kakak kandungku. Tapi aku tetap mencintainya, karena dia juga mencintai Christine.
“Dimana?” tanyaku pelan. Gadis di sampingku menoleh. “Putra kita?”
“Aku menggugurkannya. Maafkan aku… saat itu aku benar-benar frustasi. Aku tidak tau apa yang harus ku lakukan…” ujarnya sambil terisak. Aku membelai lembut kepalanya, namun tidak sekalipun aku menatap matanya. Andai saja aku mengetahui hal ini lebih awal, andai saja aku menyadarinya ketika kami bertemu di bandara beberapa tahun yang lalu… andai saja begitu… mungkin aku tidak perlu menyakiti hati lain.
Bukankah sebelumnya ia tidak mencintaiku? Aku yang memaksanya mencintaiku, dan kini ia akan hancur karena diriku.
Aku memandang ibu dan kakek dengan pandangan kosong. Lelah pada kenyataan pahit yang terus tersembunyi di balik tatapan mereka. Rasanya sudah lima ratus kali aku mendengar ibu memohon maaf pada Christine, dan itu mulai membuatku bertanya-tanya, sebenarnya apa yang sudah mereka lakukan hingga rasanya permintaan maaf itu tidak pernah cukup terucap. Tapi aku tidak memiliki kesempatan untuk berbicara. Otakku terlalu letih untuk berpikir, hingga rasanya ia tidak akan mampu menyiapkan kata-kata jika aku ingin berbicara. Jadi aku hanya terus membelai kepala Christine, merangkul pundaknya, menguatkannya, ketika aku merasa benar-benar rapuh.
“Aku bukan lagi Amanda Christine, sejak masuk islam, ummi mengganti namaku menjadi Amanda Sarah…” tuturnya ketika sudah mulai tenang. Aku mencoba mengukir namanya di dalam benakku. Sarah… sarah… sarah… tapi yang terucap oleh hatiku hanya satu nama. Satu nama yang takkan pernah bisa ku hapus begitu saja. Zahra…
***
“Kita bisa berbicara dipanti.” Ujarku, memecah keheningan diantara derasnya suara hujan. Namun gadis di hadapanku sama sekali tidak bergeming. Ia terus menatap keluar jendela, menatap hujan, menatap kelabu. Pagi-pagi sekali Zahra meneleponku, memintaku untuk menemuinya di kafe yang terletak 1 kilo dari panti pukul sepuluh pagi. Aku tidak mengerti, namun aku tidak memiliki kesempatan untuk bertanya. Dan semenjak kedatangan Christine tiga hari yang lalu, aku memang tidak pernah bisa berbicara dengan Zahra, ia selalu menghindariku, atau berpura-pura tidak melihatku.
Kafe pagi itu cukup sepi, hanya ada dua meja lain yang terisi selain meja kami. Seorang pelayan tampak tengah asyik berbincang dengan penjaga kasir, membicarakan acara tv semalam. Seorang bapak tua duduk sendiri di meja paling depan, ditemani dengan secangkir kopi hitam yang masih mengepul, serta Koran yang terbentang lebar di depan wajah tuanya. Sama sekali tidak terganggu oleh tawa cekikikan sang pramusaji dan penjaga kasir.
Aku berdeham pelan, kemudian mengikuti arah pandangan gadis berkerudung hitam di hadapanku. Menatap hujan. Semuanya seakan menjadi kabur di mataku, tertutup kabut, tertutup percikan hujan. Begitu derasnya, hingga aku khawatir rumah-rumah itu akan hancur jika terus diserbu hujan yang sedemikian lebatnya.
Kami masih terdiam hingga sepuluh menit kemudian. Hanya menatap hujan, berharap serbuannya akan segera berhenti, hingga aku bisa melihat matahari. Melihat pelangi.
“Terima kasih sudah datang.” Karena terlalu focus dengan suara hujan itu, ketika akhirnya mendengar suaranya jantungku terasa sedikit tersentak. Aku langsung terfokus kepadanya, namun ia tampak masih terlalu asik memandang hujan. Wajah cantiknya tampak angkuh, tampak tenang, dan normal.
Gadis itu tetap cantik seperti biasa, begitu anggun dengan segala keangkuhannya. Ia memang terlihat sedikit pucat dan lebih kurus, namun ia terlihat baik-baik saja. Dan itu membuatku merasa sedikit tenang. Aku tau ia akan baik-baik saja, ia pasti bisa bertahan sejenak hingga aku menyelesaikan seluruh permasalahan ini, hingga aku bisa kembali meraih jemarinya, mengukir pelangi indah dimatanya.
“Kita bisa berbicara dipanti,” ujarku mengulangi pernyataan awalku. Namun lagi-lagi ia tidak menggubris kata-kataku.
“Aku tidak ingin ada yang melihat, dan menimbulkan sebuah gossip, terlebih fitnah.” Ujarnya seraya berbalik menatapku sekilas, lalu meraih cangkir teh di hadapannya.
“Zahra??” aku mengernyit tidak mengerti.
“Sudahlah, aku tidak ingin berlama-lama di sini. Aku harus segera pergi ke kampus. Dengar, aku hanya ingin mengucapkan selamat atas kau dan Amy.” Ujarnya dingin.
“Zahra, aku mencintaimu!” ujarku tegas. Gadis itu mendengus, tersenyum mencibir kepada cangkirnya. “Lagi pula Christine, maksudku Amy… dia mencintai Arya. Anna sudah menceritakan semuanya kepadaku.”
“Tapi kau harus bertanggung jawab. Kau yang sudah membuatnya terluka seperti ini. Merusaknya.” Untuk kali pertamanya di pagi itu ia menatap mataku. Mata itu terasa begitu dingin, tatapannya yang tajam seakan mampu membekukan ku, mengunciku sedemikian rupa. “Seharusnya kau tau… seorang wanita sangat rentan pecah. Wanita bukanlah genangan air yang bisa kau temui di dalam bejana, wanita tidak bisa kembali seperti semula ketika kau sudah menyentuhnya. Tidak seperti genangan air yang akan kembali tenang. Wanita itu seperti cermin, sekali kau memecahkannya, maka kau tidak akan pernah bisa membuatnya kembali seperti semula, meski kau sudah merekatkannya dengan benar. Retakan itu tidak akan pernah hilang.”
Gadis itu kembali menunjukan sebuah senyuman sinis yang cantik namun menyakitkan. “Kau sudah menghancurkan kehormatannya.” Bisiknya dengan pandangan terluka. Dan kata-kata itu membuat tubuhku sendiri hancur. Kemarahan perlahan mulai memenuhiku.
Aku juga memebenci diriku! Aku muak pada diriku sendiri!
“Dan lagi pula, kau harus tau. Sejak awal aku tidak pernah mencintaimu. Sama sekali tidak. Aku melakukannya karena aku merasa bersalah, karena aku merasa iba kepadamu. Kau tau, sejak kecelakaan itu, kau benar-benar terlihat kacau. Jadi rasanya wajar bagiku untuk merasa kasihan kepadamu. Dan bahkan semua orang pun merasa iba kepadamu. Melihat keangkuhanmu yang perlahan hancur. Itulah mengapa aku tidak bisa membiarkanmu pergi saat itu.”
Aku ternganga mendengar perkataannya, kepalaku terasa pening karena amarah yang semakin menggunung di kepalaku. Lagi-lagi ia tersenyum sinis. “Aku harap kau tidak salah mengartikan sikap ibaku selama ini kepadamu.” Tambahnya sambil menyesap tehnya. “Dan saat ini, ketika melihatmu sudah bisa kembali berjalan. Aku ucapkan selamat. Ternyata Tuhan masih berbaik hati kepadamu, tapi aku sudah selesai. Kau sudah tidak perlu dikasihani lagi. Dan lagi pula aku juga sudah muak berpura-pura baik kepadamu.” Ia meletakan cangkirnya dengan perlahan. “Kau bisa pergi dengan Amy. Aku tidak peduli.”
“Tapi kau menyukaiku.”
“Ah… ternyata aktingku memang bagus. Bahkan kau tidak bisa membedakan antara sikap kasihan dan suka. Maafkan aku, tapi aku sama sekali tidak bisa menyukai pria sepertimu. Bahkan aku masih berharap, kau bisa membawa kematian itu bersamamu.” Bisiknya. “Tapi tidak sekejam itu kali ini. Aku lelah terjebak dalam rasa bersalah karena sebuah doa, meski aku sangat menikmati kekalahanmu.”
Aku tidak pernah ingin menangis, tidak sama sekali.
“Pergilah, aku sudah selesai bicara. Temuilah Amy, perbaiki kehormatannya yang sudah kau injak-injak.” Ia menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi, lalu kembali menoleh kepada hujan.

Aku berdiri secepat yang ku bisa, mencoba menjaga sisa-sisa kehormatan yang kumiliki di hadapannya. Kemudian dengan cepat aku melangkah pergi dari kafe itu, menerobos serbuan hujan yang semakin bertambah deras. Menyembunyikan air mataku diantara tetesan-tetsan hujan yang membisu itu. 

5 komentar:

Unknown mengatakan...

ya ampyuuuuuun Ray jangan nyerah -_-

Ria Astutik mengatakan...

Ya ampun......
Nyesek banget bacanya....

Fathy mengatakan...

:'(нΰά˚°º:'(нΰά˚°º:'(нΰά˚°º :'(нΰά˚°º:'(нΰά˚°º:'(нΰά˚°º :'(нΰά˚°º:'(нΰά˚°º:'(нΰά˚°º :'(нΰά˚°º:'(нΰά˚°º:'(нΰά˚°º
Kenapa semuanya jadi begini?? Kenapa mereka berdua harus menderita, menangis??

Cherry (⌣˛⌣")ƪ(˘-˘) thuk!!!
Pokoknya Raihan&Zahra harus bersatu, kasihan mereka sudah menderita.... :'(нΰά˚°º:'(нΰά˚°º:'(нΰά˚°º :'(нΰά˚°º:'(нΰά˚°º:'(нΰά˚°º :'(нΰά˚°º:'(нΰά˚°º:'(нΰά˚°º

°·♡·♥τнänkчöü♥·♡·° ya cherry sayang
(˘⌣˘)ε˘`)

Ku tunggu pos nya di nanti malam...

Unknown mengatakan...

nyesek bnget bcnya.
yaampun jangan bwt zahra melepas orang yg ia sayang lg.
hiks

Unknown mengatakan...

Ziiaaa.. Nyesek bgt.. Hiks.. Ak smpe nangis bcny..:'(