Rabu, 03 Juli 2013

PELANGI HITAM PUTIH -16-

ZAHRA


“Kau pasti bercanda!” pekikku keras ketika mendengar penuturan salah satu sahabat baikku pada jum’at siang itu. Andhini tertunduk malu-malu, kemudian dengan perlahan menyentuh tanganku.
“Aku benar-benar minta maaf, aku tidak bisa menunggumu. Kau dan Reynaldi benar-benar lambat. Kalau saja kau lebih cepat menyadari rasa cintamu padanya, mungkin aku tidak harus melakukan ini, aku tidak harus menikah mendahuluimu…”
“Ergh… aku tidak mencintai dia!” elakku geram. Namun sosok cantik di hadapanku tampak tidak peduli dengan bantahanku. Ia mengangkat bahunya tak acuh, kemudian berpaling memandang Hanna yang duduk di sampingku.
“Sebenarnya aku ingin memberitahukan ini pada kalian sejak awal, tapi aku khawatir kau akan melarangku untuk menikah!” ujarnya seraya melirikku. Mataku terbelalak menatapnya.
“Apa kau gila?! Aku tidak akan marah. Ini adalah masa-masa bahagiamu, dan tentu saja aku juga akan ikut bahagia karenanya. Kau adalah sahabatku…” tuturku lebih lembut. Risa turut tersenyum di sampingku.
“Kau benar-benar tidak marah?” Tanya Hanna dengan mata membulat.
“Apa-apaan kalian, memangnya aku siapa yang bisa melarang sahabatku sendiri untuk menikah dengan orang yang dicintainya. Aku akan sangat bahagia jika melihat kalian bahagia.” Ujarku bijaksana. Dalam hati aku terkikik geli mendengar kata-kataku sendiri, merasa kata-kata itu terlalu tua untuk kepribadianku.
“Jadi kau juga tidak akan marah padaku karena pertunanganku kan?” Tanya Hanna tiba-tiba. Keningku mengernyit, dan menatapnya penuh rasa ingin tau. Tubuh besar Hanna beranjak dari ruang tamu rumah sewaan kami, memasuki kamarnya, dan ketika keluar ia membawa sebuah kotak kecil berwarna hitam. “Maaf aku sudah menyembunyikannya pada kalian.” Ujarnya seraya membuka kotak kecil itu, membuatku dan kedua sahabatku yang lain terperangah menatap cincin cantik bertahtakan mutiara berbentuk air mata itu.
“HANA!!!!!!” teriak kami bersamaan, sebelum melemparinya dengan bantal sofa.
***
Aku tidak bisa berhenti tersenyum ketika mengingat kejadian beberapa jam yang lalu, ketika kami semua berkumpul di ruang tamu rumah sewaan kami yang sempit, dan pada akhirnya mereka mengakui hal-hal itu. Sebagian dari diriku merasa sangat tersanjung atas sikap mereka yang benar-benar ingin menjaga perasaanku. Pada awal perkuliahan kami memang berjanji untuk menikah bersama, well, janji yang konyol memang, tapi kami tetap mengingat janji itu hingga hari ini. Tapi sebagian lain dari diriku juga sedikit sedih karena setelah beberapa bulan ini aku akan menjadi satu-satunya orang yang tidak akan bisa mengikuti arah perbincangan mereka jika sudah menyangkut topic pernikahan. Namun aku tetap bahagia atas kebahagiaan mereka. Ya, aku bahagia. :)
Ternyata Hana sudah menyembunyikan pertunangannya dengan sosok pengusaha asal Palembang itu sejak tiga bulan yang lalu. Jadi, tidak ada yang bisa menyalahkan kami jika marah pada gadis berbadan besar itu. Berkali kali aku menggenggam tangannya dan tersenyum bahagia padanya, membayangkan kebahagian yang dialaminya ketika akhirnya kekasih hatinya melamar untuk menikahnya. Kini ia tidak perlu lagi menyembunyikan cincin cantiknya, dan bahkan rona wajahnya pun tampak lebih indah dari biasanya. Ah… bagaimana mungkin kami bisa tidak menyadari perubahannya selama ini?!
Sentuhan Risa di pundakku membangunkanku dari lamunan sesaat tentang kedua sahabatku. Ia tersenyum padaku, kemudian berbalik menatap pantulan sosok cantik di cermin besar di hadapan kami. Aku tersenyum tipis ketika mengikuti arah pandangannya. Aku, Risa dan Hanna berdiri bersampingan di depan cermin, mengenakan kebaya berwarna coklat keemasan yang begitu anggun, sedangkan sosok cantik Andhini mengenakan kebaya putih yang luar biasa cantik.
“Aku sangat bahagia kalian mau menjadi pendampingku di hari pernikahanku nanti,” bisik Andhini penuh haru.
“Kami merasa sangat terhormat atas permintaanmu ini sayang…” ujar Risa lembut. Aku dan Hana mengangguk setuju.
“Ah! Kalian benar-benar cantik, bisakah kalian berpose sebentar, aku ingin mengabadikan momen ini. Kalian benar-benar indah…” pekik Jean, pemilik butik yang kami datangi siang itu. ia menyeka air matanya dengan perlahan, aku sampai melongo menatapnya, tidak percaya jika ia sampai menangis. “Cepat… cepat bergeserlah ke sini, di depan rak-rak gaun ini, tersenyumlah terus seperti ini, kalian tampak sangat bahagia, kalian membuatku terharu. Kalian sangat cantik… aku tidak bisa mempercayai ini…”
“Jean… kau sangat manis…” bisik Andhini tulus.
Kami mengikuti apa yang Jean katakan, dan ia mengambil beberapa gambar kami. Aku tersenyum manis ketika melihat foto itu, aku bahkan hampir tidak mengenali sosok-sosok dalam foto itu, rona bahagia mereka seakan membuat foto itu bercahaya indah. Membuatku terus ingin memandangnya.
Sekali lagi jiwaku tersenyum ketika memikirkan kata itu… pernikahan dan cinta…
***
Aku tidak yakin dengan apa yang sedang terjadi pada diriku, namun entah mengapa aku benar-benar ingin segera pulang ke panti. Perjalanan pulang yang hanya memakan waktu tiga jam itu terasa seperti tiga tahun lamanya. Aku hampir saja menangis kesal ketika akhirnya terjebak macet di tengah-tengah perjalanan, aku bahkan tidak bisa duduk dengan tenang sama sekali, berkali-kali aku mengubah posisi dudukku, namun aku tetap tidak bisa merasa nyaman. Aku sudah mencoba untuk tidur, berharap ketika terbangun aku sudah berada dipanti, dan bertemu dengannya.
Astaga, apa yang sebenarnya aku pikirkan. Aku pasti sudah gila. Berhenti memikirkan hal-hal aneh! Bentak otakku kesal. Aku mengerutkan bibirku, kesal pada diriku sendiri.


Aku berlari-lari kecil ketika akhirnya sampai ke gerbang panti. Aku sudah berusaha sekeras mungkin untuk menyembunyikan senyuman itu, tapi aku tidak bisa. Seakan wajahku sudah di bentuk dengan bentuk bibir yang terus tersenyum lebar seperti orang idiot.
“Assalamualaikum…!” salamku riang ketika membuka pintu. Namun tidak ada siapapun di sana. Aku mengernyit dan memandang kesekeliling, benar-benar sepi. Akhirnya aku memutuskan untuk pergi ke kamar, mengganti pakaian, baru setelahnya mencari semua orang.
Kerutan di keningku semakin terukir dalam ketika menemukan selembar kertas terlipat di atas mejaku, dengan ragu aku membuka kertas itu. Entah mengapa aku mulai merasakan gugup ketika menyadari pemilik tulisan tangan itu.
Zahra,
Aku harus pergi, tapi aku akan segera kembali. Bisakah kau menyimpan rindumu untuk beberapa saat? Aku tau itu akan sangat sulit, tapi untuk kali ini kau harus menahannya. Untuk sementara waktu aku tidak akan bisa menghubungimu, aku memiliki urusan serius yang tidak bisa ku tinggalkan, ku harap kau mengerti. Tenang saja sayang, aku akan baik-baik saja, kau tidak perlu mengkhawatirkanku. Percayalah padaku.

Aku mencibir sinis sambil melempar kertas itu ke atas meja. Rindu katanya?! Khawatir padanya?! Apa dia gila?!! Dia pikir siapa dia? Untuk apa aku merindukannya?! Untuk apa aku mengkhawatirkannya!! Aku bahkan tidak peduli dengan apa yang ia lakukan. Aku tidak peduli!!
Aku merebahkan tubuhku ke atas kasur, merasa kesal pada emosi aneh yang memenuhi relung hatiku. Wajahku mulai terasa memanas, dan aku sangat membenci hal itu! lihat kan, semua kisah itu tidak akan pernah terjalin indah!
“Pergi jauh jauh dan jangan pernah kembali!!!” Teriakku sebelum menangis dan tertidur karena kelelahan. 
Aku tidak yakin sudah berapa lama aku tertidur, namun ketika terbangun aku merasa tubuhku keram dan kaku. Wajahku kuyu dengan mata yang sembab. Dengan segera aku beranjak ke kamar mandi kemudian menunaikan shalat ashar. Ya Allah, aku bahkan lupa menemui bibi. Apa yang sebenarnya terjadi pada diriku?!!
Tiba-tiba ponselku bergetar. Aku mengulurkan tanganku ke atas meja, meraihnya. Telepon dari nomor baru. Setelah berdeham dua kali, dan memastikan bahwa tenggorokanku tak lagi serak, barulah aku menekan tombol yes.
“Zahra…” suara di sebrang sana begitu pelan, namun bisa membekukanku dalam sekejap. Detik itu juga aku merasa wajahku kembali memanas, pandanganku mulai kabur karena tertutup air mata.
“Aku pikir kau tidak akan menghubungiku.” Ujarku ketus.
Sosok di sebrang sana mendesah pelan. “Aku merindukanmu,” bisiknya tulus, suaranya yang sangat pelan membuat hatiku bertambah perih. “Aku benar-benar ingin bertemu denganmu, tapi aku tidak bisa kembali sekarang.” Tambahnya. Ku genggam erat-erat ponsel di telingaku, berusaha menahan gemuruh hati yang kian tidak menentu.
“Sebenarnya apa yang sedang kau lakukan?” tanyaku, berusaha sekuat mungkin memunculkan nada suara dingin.
“Ada beberapa pekerjaan yang harus ku tangani, kau tau… terkadang kita tidak bisa mempercayakan segala hal pada orang lain.” Ujarnya lelah. “Maafkan aku.”
“Untuk apa?” tanyaku seraya mengusap air mata yang tiba-tiba mengalir.
“Karena telah membuatmu menangis, karena telah membuatmu merindukanku.” aku ternganga mendengar perkataannya, saat itu juga hilang sudah rasa perihku. Aku menaikan wajahku, menatap pantulan wajahku di cermin dengan angkuh.
“Kau pasti sudah gila!” desisku sinis. “Aku sama sekali tidak merindukanmu! Dan aku tidak juga menangis karena mu! Kau pergilah jauh-jauh. Jangan pernah menghubungiku lagi! Aku tidak peduli dengan apapun yang kau lakukan pria sombong!” tuturku kejam.
Raihan terkekeh pelan, dan entah bagaimana suara tawanya yang merdu mampu menggetarkan hatiku. “Tentu nona angkuh, aku juga mencintaimu!”
“Kau—“
“Aku akan menghubungimu lagi nanti, sampai jumpa.” Ujarnya sesaat sebelum terdengar suara klik, dan sambungan telepon itu terputus. Aku masih membeku untuk beberapa detik setelahnya, kemudian tersenyum dan menangis secara bersamaan. Dengan perlahan aku bisa melihat kemilau indah warna pelangi yang dibiaskan air mataku sendiri, lalu turut menari dengan sekumpulan kupu-kupu cantik di dalam perutku.
***
“Aku yakin kau akan kerasukan jin jika terus melamun seperti ini.” Aku tersentak kaget dari lamunanku, wajahku memerah karena tegurannya. Raka duduk di sebelahku dan tersenyum sambil terus memandang anak-anak panti yang tengah bermain bola di lapangan tidak jauh dari panti.
Aku mengerjapkan mataku beberapa kali, mencoba mencerna kejadian ini, meyakinkan diriku sendiri bahwa ini bukanlah mimpi. Kami, aku dan Raka, duduk berdua di bawah pohon yang rindang, menikmati hari, menikmati angin, menikmati kasih. Wajah tampannya tampak begitu tenang, tidak ada kerutan sama sekali di antara kedua matanya, seakan sepoi angin itu mengusir semua asa dalam pikirannya. Tenang dan nyaman. Aku tersenyum tipis dan mengikuti arah pandangannya, menangkap bayang-bayang anak-anak panti yang tengah berlari mengejar bola dengan tawa riang mereka. Semilir angin sore itu menerbangkan ujung-ujung jilbabku, dan aku mulai merasakan ketenangan yang luar biasa. Merasakan damai yang indah.
Aku pernah mencintai sosok itu, bahkan mungkin masih sangat mencintainya. Tapi kini aku mengerti, ia memang bukan untukku. Well, aku sadar, hal tersulit dalam hidup ini adalah ketika kau harus meyakinkan dirimu sendiri bahwa kau sudah merelakan orang yang kau sayangi bersama dengan kekasih pilihan hatinya, dan bukan dirimu. Aku sudah melewati fase itu, melewatinya dengan berbagai luka dan air mata. Terkadang aku masih tidak bisa menerima keadaan, aku masih tidak rela melihat Raka menggenggam jemari Anna, bukan jemariku. Lalu aku akan merasakan sakit yang luar biasa, terlebih ketika aku sadar, sebesar apapun cintaku padanya, hal itu tidak akan pernah mengubah keadaan ini. Akan selalu menjadi aku yang terluka dan tak tersentuh cinta. Lalu aku menyerah.
Lelah akan kekalahan, dan mulai berhenti bermimpi. Aku hanya berpikiran, jika jatuh cinta hanya menyisakan luka seperih ini, maka aku tidak akan pernah lagi jatuh cinta. Aku akan berdiri sendiri menghadapi hidup, dan akan membuat diriku sendiri bahagia sepenuhnya. Meski pada akhirnya aku tau, itu salah.
“Kak Zahra, kak Raka!” panggil koko, baik aku maupun Raka langsung menoleh kearahnya. “Kak Amy sudah pulang!” teriaknya lagi. Aku tersentak tidak percaya, begitu banyak kata yang ingin ku rangkai dan ku ucapkan kepadanya, begitu banyak bulir-bulir rindu yang ingin ku berikan kepadanya. Dengan cepat aku bangun, kemudian berlari menuju panti, menyambut sahabatku dan undangan pernikahannya. Lupa sudah akan semua rasa yang tertinggal di bawah pohon rindang itu.



2 komentar:

Fathy mengatakan...

Zzzzziiiiiiiaaaaa (⌣˛⌣")ƪ(˘-˘) thuk!!! (⌣˛⌣")ƪ(˘-˘) thuk!!! (⌣˛⌣")ƪ(˘-˘) thuk!!! (⌣˛⌣")ƪ(˘-˘) thuk!!!
Posting nda blg2... Mayah aku...

Raihan (y) lope it... Teruskan perjuanganmu...
Zahra yeeaaayyy akhr'a mengakui juga dirimu cinta Raihan...

°·♡·♥τнänkчöü♥·♡·° ya zia cantik...
Ditunggu kelanjutank'a (˘⌣˘)ε˘`)

Unknown mengatakan...

waahhh bangun bangun liat blognya, udah update,,
hehe
makasiii yaa :D