Kamis, 03 Januari 2013

PUTRI KELABU -25-


“Papa aku mau yang ini!” teriak seorang gadis kecil berambut kriting. Valerina yang sedari tadi sibuk dengan laptopnya mendongkak sedikit. Menatap gadis kecil yang tengah berusaha menggapai sebuah topi cantik di hadapannya. Valerina tersenyum dan berjalan mengelilingi butiknya, menuju gadis kecil itu.
“Ini?” Tanya Valerina lembut, ia membungkuk untuk memberikan topi itu.. Gadis itu menatapnya sumingrah.
“Ibu Peri… Telima kasih.” Ujar gadis itu. wajahnya begitu cantik dan lucu, dan sedikit familiar.
“Yang mana sayang?” Tanya seseorang tiba-tiba.
“Yang ini, papa.” Gadis kecil berbaju kuning itu memeluk kaki pemuda di hadapannya.
Deg…
Valerina menatapnya tidak percaya. Begitu pula dengan pria di hadapannya. Valerina mendelikan matanya ketika gadis kecil itu merengek meminta perhatian ayahnya. Ia tersenyum kikuk dan mundur beberapa langkah.
“Hai Leo,” bisiknya pelan. Pemuda itu terdiam. “Putrimu sangat cantik,” tambahnya. Entah mengapa hatinya terasa sedikit perih mengingat Kirana. Ia hanya bisa berharap gadis itu sudah melupakan kisah cintanya pada sang pangeran.
“Bagaimana kabarmu dan Luna dan… Kirana,” Valerina tersenyum tipis, mencoba menenangkan gemuruh hatinya. Ini bukan salahnya, jika ia sudah berkeluarga dan memiliki seorang putri. Batin Valerina. Namun ia masih tidak bisa memikirkan bagaimana perasaan Kirana jika tau tentang semua ini. “Well, aku dengar kau pergi ke luar negri, senang melihatmu sudah kembali. Dan, aku tidak tau jika kau bekerja di sini,” ujarnya. Valerina kembali tersenyum, namun lebih santai.
“Ya, tiga tahun yang lalu,” bisik Valerina mengenang. “Aku memang pergi, tapi seperti yang kau lihat, aku sudah kembali.” Suaranya sedikit bergetar.
“Tunggu dulu, apakah kau Valerina pemilik butik GreyLine ini?” Tanya Leo seakan baru tersadar akan sesuatu.
“Perkenalkan, aku Rachel Valerina Kimberly,” ujarnya. Leo menatapnya tidak percaya.
“Aku tidak tau jika kau punya nama tengah Valerina.”
“Aku jarang menggunakannya. Itu nama keluarga ibuku,” terang Valerina. Leo mengaguk-ngaguk mengerti. “Dan anyway, siapa gadis kecil ini?” tanyanya lembut, kembali membungkuk pada gadis kecil itu.
“Dia putriku, Kikan Natasha mahadewi,” Valerina mengaguk mengerti. Kemudian mengulurkan tangannya. Ia tidak berani untuk menanyakan siapa ibu dari gadis ini, meski ingin. “Well, Rachel senang bertemu denganmu, tapi kami sudah harus pergi.” Ujarnya. Valerina tersenyum dan mengaguk.
“Pakailah ini,” ia memakaikan topi itu pada Kikan. “Sebagai tanda perkenalan dari tante,” ujarnya. Leo mengucapkan terima kasih sebelum berlalu pergi bersama putri kecilnya.
Valerina mendesah pelan. Mencoba kembali tersenyum, namun akhirnya gagal. Ia melirik butiknya yang cukup ramai kemudian berlalu kembali kebelakang mejanya.
                                                ***
Sesuai janji, Valerina menyempatkan makan siang bersama kakeknya di tempat praktek kakeknya yang baru. Ia tersenyum ketika melihat kakek tua itu tengah berbincang dengan seorang ibu di depan kliniknya. Begitu berwibawa dan bijaksana. Dokter yang baik.
“Nah, ini adalah cucuku.” Ujarnya mengenalkan saat Valerina sudah berada di hadapan mereka.
“Wah, benar-benar cantik. Anda tentu sangat bangga kepadanya dok,” ujar ibu itu. valerina hanya bisa tersenyum kikuk. Sedikit risih dengan tatapan kagum ibu di hadapannya.
“Ya, dia adalah hal yang terindah dalam hidupku,” ujarnya.
“Ah kakek berlebihan.” Bisik Valerina akhirnya.
“Oya, kakek sudah membeli makanan, mungkin kau bisa menyiapkannya dulu, sementara itu masih ada yang ingin kakek bicarakan dengan ibu ini,” ujarnya. Valerina menggaguk santun dan berlalu pergi.

Deg…
Valerina menghentikan langkahnya di ambang pintu. Matanya membulat menatap sosok yang berdiri membelakanginya. Sosok itu begitu jangkung, dengan punggung yang bidang. Ia membaca beberapa label obat-obatan yang ada di hadapannya kemudian berbalik menghadap meja, menuliskan sesuatu, dan kembali mencari sesuatu di rak obat-obatan. Valerina menahan nafasnya, kerinduan mulai menyeruak di relung hatinya. Wajah jenaka itu kembali memenuhi memorinya, tawanya, mata indahnya, kebaikannya…
Tiba-tiba gadis itu berlari memeluk sosok di hadapannya dari belakang. Dokter muda itu sampai terlonjak kaget, ia menarik tubuhnya dari pelukan tiba-tiba gadis itu. kemudian berbalik menghadap sosok cantik itu.
“Ra… Rachel…” bisiknya tidak percaya. Valerina menatapnya dengan deraian air mata kerinduan. Kemudian ia kembali berada dalam pelukan erat pemuda di hadapannya.
“Hai Are,” bisiknya susah payah. Kerinduannya sudah sampai di puncak hatinya. Mereka berpelukan selama beberapa saat. Menumpahkan kerinduan yang tak terucap.
Are memjamkan matanya, mencoba merasakan tubuh di hadapannya dengan seksama. Meyakinkan dirinya sendiri bahwa ini bukan lagi sebagai mimpi yang selalu ia alami. Ia menghirup aroma harum rambut Valerina. Begitu menyenangkan. Ia tidak akan pernah ingin melepaskannya lagi. Tidak akan pernah mengulangi kesalahan yang sama dengan tiga tahun yang lalu. Ia akan menjaganya, meyakinkannya bahwa iapun bisa membuatnya tersenyum. Meyakinkannya untuk tetap tinggal bersamanya.
“Wah, sepertinya kakek salah masuk ruangan,” ujar Brian sedikit linglung. Valerina dan Are langsung melepaskan pelukan mereka. Wajah mereka memerah, namun tampak begitu bahagia. “Kalian bisa melanjutkan reuni ini. Pria tua ini hanya perlu membeli beberapa roti untuk makan siangnya,” ujar Brian lagi. Valerina memelototinya.
“Jadi kakek belum membeli apa-apa?” tanyanya tidak percaya, sedikit kesal.
“Well, kakek lupa.” Ujar kakek tua itu dengan wajahnya yang polos tidak ingin disalahkan. Valerina mendesah dan memutar bola matanya. Are terkekeh pelan.
“Mungkin kita bisa makan siang bersama di luar,” ujar Are.
“Oke. Tapi cepatlah, kakek tua ini tidak lagi mempunyai stamina yang cukup seperti kalian anak muda untuk tetap berdiri di sana,” ujarnya sedikit dramatis kemudian melangkah keluar. Valerina dan Are saling pandang kemudian terkekeh pelan.
“Ayo, atau kakekmu akan mengeluh lagi,” ujar Are seraya berjalan ke pintu keluar. Valerina tertawa kecil kemudian berjalan di samping Are. Pelan namun pasti, Are menautkan jemarinya pada Valerina, menggenggamnya erat.

0 komentar: