Rabu, 22 Juli 2015

VEIN AMORA - 2



Seharusnya Fara tidak pernah mempercayai kedua sahabatnya. Karena pagi itu, ketika ia tengah berjalan sendirian di lorong sekolah dengan setumpuk buku di tangannya, ponselnya tiba-tiba bergetar. Serentetan kata-kata selamat menempuh hidup baru langsung memenuhi inboxnya. Fara menepuk keningnya dengan pelan, menertawakan kekonyolan pagi itu. Tapi ia tidak bisa marah, entah bagaimana justru hatinya semakin tersanjung. Semakin dibuai kebahagiaan.

Fara memasukan ponselnya ke dalam saku, sebelum memasuki kelas yang harus diajarnya pagi itu, kelas Danisa, kelas 2-b.

Danisa adalah seorang gadis kecil dengan rambut panjang kusut berwarna kemerahan karena terpapar sinar matahari. Baju seragamnya berwarna kekuningan, terlalu sering dicuci, atau entah karena tidak pernah dicuci. Kuku-kukunya hitam, terisi pasir dan tanah yang ia mainkan. Danisa lebih senang duduk menunduk, sampai-sampai terkadang Fara harus berdiri untuk memastikan gadis kecil itu ada di kursinya di bagian paling belakang. Tidak ada yang mau duduk satu kursi dengan Danisa, dengan alasan ia jorok dan bau. Dan fara tidak bisa menyalahkan kejujuran mereka.

Tapi dimata guru seperti Fara, Danisa adalah sebuah mutiara dari kedalaman samudra yang selalu ingin ia ambil, selalu menarik perhatiaanya, selalu menimbulkan rasa ingin tahunya yang tinggi. Terlebih menurutnya Danisa adalah murid yang cerdas, dan Dimas setuju mengenai hal itu.

Fara membagikan kertas bergambar kepada seluruh murid. Ada delapan gambar di dalam kertas itu, dengan huruf-huruf yang tertulis secara acak. Fara menjelaskan, mereka hanya perlu menuliskan nama benda-benda dalam gambar, dan memperbaiki hurufnya. Tanpa menunggu lama lagi, Danisa yang merasa sudah cukup mengerti dengan apa yang Fara katakana, langsung tenggelam dalam kertasnya. Dimas benar, Danisa adalah siswi yang menarik.

Bippp…

Ponselnya bergetar. Fara berjalan ke meja guru, mengecek ponselnya dari balik buku.
Mas Dimas 08787xxxxxx
Hai ibu guru cantik…

Fara tidak bisa menahan senyumannya. Pesan kedua muncul sebelum Fara sempat membalas pesannya yang pertama.

Mas Dimas 08787xxxxxx
Aku tau kamu kangen aku, makanya aku sms kamu.

Fara terkekeh, membuat Ana yang duduk di barisan terdepan meliriknya sekilas. Fara mengangkat ponselnya dengan hati-hati, lalu memotret suasana kelasnya yang masih hening dengan cepat, kemudian mengirimkannya kepada sosok disebrang sana via aplikasi whatsapp.

F. Fara      : (Pict) Maaf, aku lagi kasih tugas anak-anak, aku sibuk.

Tulis Fara sebagai caption di bagian bawah fotonya. Balasannya datang dengan cepat.

Dimas F.    : Ah, you make me crazy girl!!! Bisa kirimin foto ibu guru cantiknya?
F. Fara       : Aku lagi ngajar mas!! Nggak mungkin aku selfi kan??!
Dimas F.    : Oke, gimana kalau minta murid kamu fotoin kamu.
F. Fara        : Euughh! Mas Dimaass!!!
Dimas F.     :  :* I truly deeply miss you.
F. Fara        : Aku tersanjung. Tapi sekarang aku harus balik ke muridku. Bye-bye sayang.
Dimas F.    : Sayang… tunggu…
Dimas F.    : Aku kangen kamu, masa kamu nggak bilang kangen balik atau apa gitu.
Dimas F.    : (09:40) Sayang….
                     Oya, aku mau bilang keluargaku datang minggu depan…
Dimas F.    : (09:51) Sayang… jadi aku terabaikan gara-gara anak-anak murid kamu? oya gimana  
                     Danisa? Hari ini ada cerita apa?
Dimas F.    : (10:12) Fara, aku jemput kamu jam 4 yah, aku akan pulang on time! Aku kangen kamu.
                     kita dinner diluar hari ini. Love you :* telepon aku kalau sudah free.

Ketika murid-muridnya keluar untuk makan siang, Fara baru sempat membuka ponselnya, dan langsung terkikik ketika membaca sederet pesan dari Dimas. Ia langsung memencet nomor Dimas melalui ponselnya.

“Ah ibu guru cantik, akhirnya ada juga waktu buat penggemarnya yang buruk rupa ini…”

Fara terkekeh. “Lebay ih. Nggak inget umur yah, udah mau kepala 3 tuh!” seloroh Fara. “Inget loh, aku suka cowok yang dewasa.”

“Ah ehm.” Dimas terdengar sedang memperbaiki duduknya, ia berdehem pelan. “Ya sayang,” katanya, dengan suara baritone yang karismatik. “Gimana hari ini?”

Fara tersenyum. “Aku bahkan baru lewatin setengah dari hari ini mas.” Ujarnya, seraya merapihkan buku di atas mejanya, lalu berjalan keluar kelas menuju ruang guru dengan ponsel masih menempel di telinganya. “Gimana kerjaan kamu? beres?”

“Aku kan pinter sayang, kamu nggak usah khawatir.”

Fara mencibir, namun tetap tersenyum. Ia tau betul bahwa Dimas adalah pria yang sangat cerdas. Itulah mengapa ia sangat mencintainya.

“Pede banget yah…” sindir Fara.

“Ah, calon istri aku juga mengakui kok.”

“Ahhh… pede banget!!”

“Yang penting calon istriku cinta mati sama aku!!”

Bingo! Fara memang jatuh cinta setengah mati kepadanya. “Ya ampunnn kepedeannya udah keterlaluan ini!!”

Dimas tertawa di sebrang sana. “Aku kangen kamu sayang.”

Fara mendesah. Ia sudah sampai di ruang guru. Fara mengambil bekal makan siang yang ia beli di rumah makan dekat sekolah. “Mas udah makan siang?”

“Udah, kamu udah makan?”

“Ini baru mau makan…”

“Kamu nggak mau nawarin aku, atau gimana gitu?”

“Lho tadi katanya udah makan, gimana sih??” gerutu Fara sambil menyuap makannanya.

“Hehehehe iya sih.” Tawa Dimas. “Oya, minggu depan orang tuaku mau datang yah.”

“Cepet banget mas.”

“Loh, lebih cepet lebih baik kan? lagian aku nggak mau jadi cowok pengecut yang ngambil anak orang tanpa sopan santun. Aku mau jadi cowok gentle yang datang langsung sama keluargaku sebagai saksi buat meminang kamu.”

Fara bisa merasakan hatinya meleleh. Ia sangat mencintai pria ini.

“Ya udah, sebagai cewek aku nggak bisa ngepain-ngepain kan? Cuma bisa nunggu…”

“Tapi kamu setuju kan? nanti kamu malah nggak ngakuin aku sebagai calon suami kamu.”

“Hahahaha… tergantung…”

“Tergantung?”

“Iya, tergantung sejauh apa cinta kamu buat aku mas.”

“Fabian Fara… apa aku harus terjun dari lantai 20 buat buktiin rasa cinta aku?”

“Ahhh lebay!! Mana berani!!!” mana berani aku liat kamu mati mas… tambah Fara dalam hati. 
“Kamu kan suka cuek? Gimana kalau kita nikah nanti terus kamu tiba-tiba nyuekin aku?”

“Fara… aku nggak cuek dalam segala hal. Buktinya aku selalu ada buat kamu.”

Kurang lebih itu memang benar. Sebelum mereka memiliki hubungan, Dimas sangat cuek kepadanya. Namun ketika akhirnya mereka memiliki hubungan resmi, Dimas tidak pernah membiarkan hari-hari Fara terbebas dari perhatiannya yang luar biasa.

Fara mengulum senyum, sisa istirahat hari itu ia habiskan dengan terus tertawa karena lelucon yang terdengar dari pria di balik teleponnya.

***

Tegang. Mencekam. Itulah yang bisa Fara gambarkan mengenai situasi sekolah siang itu. Ia harus menarik nafas panjang berkali-kali untuk menjaga kewarasannya. Ia memberikan tugas tertulis kepada murid-muridnya lagi, yang seharusnya ia berikan minggu depan, setelah mengajari mereka menulis latin. Tapi ia benar-benar tidak bisa fokus mengajar sejak kepala tua Abraham muncul dari balik pintunya dengan Wanda di belakangnya.

“Kami membutuhkan Danisa, Miss Fara.” Ujar Abraham tanpa berhiaskan gurauan sama sekali. Fara menahan nafasnya. Ia merasa sebuah godam batu baru saja meremukan rongga dadanya. Seluruh muridnya langsung menatap kepala sekolah mereka tanpa berkedip. Gadis kecil yang dipanggil langsung berdiri tanpa diminta dua kali.

Kakinya yang sedikit menyerupai leter o, bergerak perlahan. Fara harus berjuang sangat keras untuk memaksa tubuhnya tetap diam di tempat. Tapi ia tidak ingin membiarkan gadis kecil itu berjalan sendiri.

“Saya akan temani Danisa.” Ujar Fara, tidak tahan dengan ketidak berdayaannya.

Kepala tua Abraham menggeleng. Tatapannya yang seindah senja seakan menjanjikan sesuatu yang lebih baik, meski bibirnya tetap terkatup rapat. “Murid-murid anda, lebih membutuhkan anda di sini Miss Fara.” Ujar Abraham.

Fara menelan ludah susah payah ketika melihat mereka membawa Danisa.

***

Berjalan mondar-mandir, Fara menggigiti kukunya tanpa sadar. Sebuah kebiasaan ketika ia gugup. Ia sudah tidak fokus mengajar, sampai-sampai akhirnya ia meminta Sandra, guru piket hari itu, untuk mengisi kelasnya di sisa mata pelajaran siang.

“Dia akan baik-baik aja Fara…” suara di sebrang sana berusaha untuk menenangkannya.

“Tapi hampir 2 jam mas! Hampir 2 jam!!! Mereka bukan introgasi penjahat. Ya ampun!! Mereka Cuma introgasi anak kecil! Kelas 2 SD!!! Seharusnya nggak akan selama ini!”

“Oke tenang sayang. Pasti sebentar lagi selesai. Kamu harus tenang, aku on the way ke sekolah.”

Fara tidak bisa tenang. Ia berjalan-jalan di depan ruang kepala sekolah dengan wajah yang lebih pucat dari pada mayat. Suara ketukan dari sepatu hak tingginya semakin berirama tidak sabar. Ia tidak bisa bertahan seperti orang bodoh, menunggu introgasi itu selesai.

Ketika pintu tiba-tiba terbuka, Fara merasa seperti tengah menunggu di depan ruang operasi. Dimana ia akan sangat menantikan dokter yang tengah mengoprasi keluar dari ruangan, untuk mengatakan bahwa semuanya baik-baik saja.

Wajah Wanda merah padam ketika ia keluar dari ruangan kepala sekolah. Tangannya terkepal, dengan beberapa helai rambut yang sudah keluar dari sanggulannya. Fara tidak sempat bertanya, karena Wanda hanya memberikan tatapan sinis. “Masuk.” Katanya dengan ketus. Segera Fara memasuki ruangan yang sudah sangat ia hafal itu. Ruangan 6x4 meter dengan satu set sofa kulit berwarna biru tua, dan dinding yang dilapisi rak kaca tempat menyimpan piala sekolah.

Danisa duduk di sofa dengan wajah tertunduk. Jemarinya tertaut di atas rok merah sekolahnya.

“Danisa…” bisik Fara seraya berjongkok di samping Danisa.

“Nah, ini ada bu Fara,” ujar seorang wanita yang lebih tua. Alena, salah satu guru Bimbingan Konseling di yayasan itu. sekolah tempatnya mengajar memang sekolah swasta yang didirikan oleh sebuah perusahan rokok untuk menunjukan kepeduliaannya kepada pendidikan. Namun Fara selalu bersikeras bahwa itu hanya sebuah pencitraan belaka.

Ketika menyadari keberadaannya, Fara langsung berdiri dan menyalami wanita dengan wajah bijak di sebrang meja. Abraham berdiri di belakang sofa. Disampingnya seorang pria yang baru pertama kali Fara lihat mengangguk santun.

“Dia nggak mau bicara sama sekali.” Suara berat Abraham mengambil fokus Fara.

Fara menatap Danisa dengan pandangan sedih. Gadis itu masih terduduk dengan tubuh yang membungkuk, mungkin sebentar lagi ia akan menjadi bulatan tulang belulang. Rambut kusutnya hampir menutupi seluruh wajahnya. Fara tidak bisa melihat wajah gadis itu, ia tidak tau apa yang sedang dirasakannya. Sekali lagi Fara berjongkok di samping sofa yang diduduki Danisa.

“Nisa, ini ibu guru…” katanya seraya membelai lembut lengan kururs gadis kecil itu. Awalnya Danisa sama sekali tidak merespon, ia seperti ranting kering yang mati, tidak bergerak, hanya sesekali mengambil nafas dengan gerakan samar. Tapi akhirnya, jemari gadis kecil itu bergerak. “Nisa, ini ibu guru sayang…” Fara mengulangi kata-katanya.

Pelan-pelan bocah itu sedikit mengangkat wajahnya, ia mengintip sosok ibu gurunya dari balik poni kusutnya.

Fara sangat ingin memeluk tubuh ringkih itu. Ia terlihat sangat lemah, namun matanya begitu jernih, dan kuat. Di sebrang meja, Alena menatapnya tidak percaya. sedang Abraham hanya tersenyum samar.

“Danisa, semuanya akan baik-baik aja sayang. Kamu nggak akan kenapa-napa.” Ujar Fara lembut namun sungguh-sungguh. “Sayang, ingat apa yang ibu bilang kemarin? Kamu nggak perlu berpikir, kalau kamu bicara jujur, ingat sayang?” Dalam gerakan sangat samar kepala kecil Danisa mengangguk. Fara tersenyum tulus. “Sayang, ibu Alena, pak Abraham, dan semua yang ada di sini mau denger cerita kamu soal korek itu...” Fara menggenggam jemari Danisa yang dingin.  “Kamu nggak perlu takut, ada ibu di sini. Kamu nggak akan kenapa-kenapa.” Janji Fara. Wajah Kurus Danisa kembali tertunduk.

Fara mengangkat wajahnya, meminta pendapat pada Alena dan Abraham, hingga kedua kepala itu mengangguk. “Nisa… ada ibu di sini sayang. Kamu cukup bilang iya atau nggak aja. Bisa sayang?” tanya Fara. Danisa mengangguk. Fara menarik nafas panjang, mempersiapkan dirinya. “Danisa, korek itu punya kamu nak?” tanya Fara lembut. Kepala mungil Danisa menggeleng. “Punya siapa sayang?” tanyanya lagi, namun ketika menyadari mulut Danisa tidak akan terbuka, ia memilih mengganti pertanyaannya. “Kamu bawa korek itu dari rumah?” ragu-ragu Danisa mengangguk. Fara melirik Alena dan Abraham, meminta pendapat. “Kamu sengaja bakar Koran itu?” tubuh Fara sedikit terhenyak ketika mendengar kata-katanya sendiri.

Lama Danisa tidak menggeleng atau mengangguk, membuat Wanda yang berdiri di dekat pintu mengetuk-ngetukan hak sepatunya dengan tidak sabar. Ia bersidekap dengan pandangan sinis.

“Danisa, korek itu punya ibu kamu?” Tubuh kecil Danisa menegang. Ia semakin menundukan kepalanya, hampir melesak kedalam dadanya sendiri. Dan Fara tau yang ia katakan adalah benar adanya. “Danisa, kenapa kamu bawa korek ke sekolah nak?” Oke. itu adalah pertanyaan yang salah, tapi Fara sendiri sudah mulai frustasi dengan pemikiran-pemikirannya sendiri. ia yakin Danisa tidak pernah berniat mencelakakan orang lain. Hanya saja Fara tidak memiliki alasan lain yang lebih masuk akal. Di saat-saat seperti ini ia sangat merindukan Dimas yang selalu bisa membantunya menilai masalah dari sisi lain.

“Danisa itu seperti kamu, dia tangguh.” Diam-diam Fara tersenyum ketika mengingat kata-kata Dimas di suatu petang ketika mereka tengah membicarakan Danisa dan kelasnya yang kacau.

Fara menatap gadis kecil itu dengan bingung. Ia adalah gadis kecil yang kuat. Ayahnya pergi meninggalkan keluarga kecil mereka dengan perempuan lain, sehingga ibu Danisa harus berusaha menghidupi dirinya sendiri dan putri semata wayangnya.

“Ibu kamu baik-baik saja sayang…” Fara menyentuh jemari Danisa yang kaku dan basah oleh keringat. Pelan namun pasti, Danisa mengangkat wajah kurusnya. Fara ingin memeluk Danisa saat itu juga, namun tetap ia tahan. Entah bagaimana ia akhirnya tau apa yang sebenarnya terjadi. “Kamu melakukan hal yang benar Danisa.” Ujar Fara, membelai lembut rambut gadis itu.

“Miss Fara!” tegur Wanda kesal. namun Fara sama sekali tidak memperdulikannya.

“Tapi orang-orang di sini mau dengar alasan kamu sayang. Atau kamu mau ibu yang cerita?” tanya Fara.

Danisa menggeleng. Kepalanya kembali tertunduk, namun tidak terlalu dalam. “Aku…” terpotong cukup lama. “… nggak suka ibu merokok…” tambahnya dalam bisikan. “Aku… nggak mau…” terlalu serak, Fara tau gadis ini tengah menahan tangisnya. “Aku… nggak mau… ibu mati…”

Betapa sucinya jiwa itu. Betapa berharganya. Fara tersenyum tipis sambil membelai punggung gadis kecil itu. “Ibu suka merokok…” katanya, suaranya seperti cicitan tikus yang ketakutan dikelilingi oleh kucing ganas yang kelaparan.

Alena menatap iba gadis kecil itu, namun masih menjaga sikapnya agar tetap formal.

“Koran itu?” tanya Fara. “Kamu bawa dari rumah juga?”

Danisa menggeleng pelan. Untuk pertama kalinya dalam petang yang sangat menegangkan itu, Danisa mengangkat wajah kurusnya. Mata jernihnya menatap kedua mata ibu guru di hadapannya. 
“Itu punya Kemal.” Jawabnya, sebuah pemberontakan menghiasi keningnya. “Kemal bilang… ibu kaya cewek di Koran itu…” amarah tersirat dari nada suaranya. “Dia panggil ibuku perek…”

Hening.

Ruangan itu mendadak terlalap sunyi. Bahkan mungkin bocah kelas dua SD di hadapannya belum mengerti apa makna sebenarnya dari kata-kata itu. Ia mungkin belum memahaminya, namun sesuatu dalam jiwanya yang murni tetap tidak menyukai kata itu, terlepas dari apapun arti kata tersebut di dalam benaknya.

“Oke sayang, udah cukup.” Fara tersenyum lembut. “Kamu bisa pulang sekarang…” tambahnya tanpa meminta persetujuan dari siapapun di ruangan itu.

“Ibu guru nggak marah?” tanya Danisa lugu.

Fara menggeleng dan membelai rambut kusutnya. “Nggak sama sekali,” jawabnya sungguh-sungguh.

“Kamu juga boleh pulang Miss. Fara,” ujar Abraham, yang disertai anggukan Alena. Wanda menatapnya sinis namun tidak menahan mereka berdua. “Miss. Fara…” langkah Fara kembali terhenti, ia menoleh sejenak. “Danisa akan baik-baik saja.” Tambah Abraham dengan senyuman bijaknya.

Fara merasakan dadanya dipenuhi perasaan lega yang luar biasa. Air matanya tergenang ketika ia mengangguk penuh terima kasih, lalu pergi bersama murid kesayangannya. Ketika sampai di luar ruangan kepala sekolah, ponselnya kembali bergetar. Telepon dari Dimas. Ia sudah tidak sabar untuk menceritakan semuanya. Berbagi kebahagiaannya.

“Ayo Danisa, kamu ikut ibu dulu. Kita makan es krim!” Fara mengamit tangan mungil muridnya. Dan meski dengan wajah penuh tanya, Danisa sama sekali tidak berusaha untuk melepaskan genggaman tangan wali kelasnya, yang terasa lebih hangat dari genggaman ibunya sendiri.


***

0 komentar: