Jumat, 24 Juli 2015

VEIN AMORA - 4



Jam makan siang yang sunyi. Fara menatap ponselnya yang masih mati di atas meja kerjanya. Di balik tumpukan buku siswa dan arsip-arsip yang harus ia kerjakan, ia menyembunyikan seluruh rasa sakitnya. Biasanya pada jam istirahat Dimas selalu meneleponnya, untuk sekedar menemaninya makan siang. Ia akan menceritakan banyak hal, mengatakan banyak lelucon yang tidak lucu, namun tetap membuat dunia Fara berwarna.

Dua bulan berlalu.

Dan semuanya terasa seperti baru kemarin. Rasa sakitnya masih membekas sangat dalam. Bahkan terlalu dalam. Fara masih berharap ini hanya sebuah mimpi belaka. Ia masih berharap bahwa sebentar lagi Dimas akan menghubunginya. Ia hanya ingin mendengar suara pria itu. ia hanya ingin berbicara dengannya. Ia ingin mendengar desahan nafasnya. Memastikan bahwa Dimas baik-baik saja.

Vena yang tanpa sengaja berjalan melewati meja Fara langsung menghentikan langkahnya. Ia menatap Fara dengan pandangan sedih. “Kamu nggak apa-apa Far?” tanyanya, membuat Fara tersentak kaget.

“Aku nggak apa-apa.” katanya, mencoba tersenyum. Vena mengangguk pelan.

“Kamu tau aku selalu di sini kalau kamu butuh teman ngobrol.” Katanya sungguh-sungguh.

“Thanks Ven.” Fara benar-benar bersyukur karena memiliki Vena di sini. Setidaknya ia tau, ia tidak perlu berpura-pura kuat di hadapan wanita sebayanya itu.

“Bu Fara, ada telepon.” Teriak Baskoro, guru Pkn yang duduk di dekat meja telepon. Fara melongokan kepalanya dari balik tumpukan buku siswa.

“Dari siapa?” tanya Fara bingung.

“Dari Jakarta.” Jawab Baskoro seraya memberikan gagang telepon kepada Fara.

“Ya halo?”

“Mba Fara?!”

Itu suara adiknya. Soraya Dewi.

“Ini aku Aya.” Fara tau. “Mba, ayah masuk rumah sakit! Mba harus pulang.” Suara gadis 19 tahun itu terdengar kalut. “Mba…” rintihnya sebelum isakannya pecah.

Fara mencoba untuk tetap fokus, tapi berita itu dengan mudah menghancurkan konsentrasinya. Yang ia dengar hanya isakan Aya di sebrang sana. “A… Aya. Mba pulang.” Bisiknya, seperti sebuah janji, entah kepada siapa.

“Bu Fara, ibu nggak apa-apa?” Baskoro langsung bangkit dari kursinya ketika melihat tubuh Fara yang tiba-tiba oleng. Ia menangkap lengan Fara tepat sebelum wanita 23 tahun itu hilang kesadaran.

***

“Dasar anak preman!!!”

Suara teriakan itu memekakan telinga. Lalu tawa di belakangnya pecah, mengelilinginya seperti pusaran air.

“Kata mamaku bapaknya itu suka ngambil uang dari orang-orang! nggak pernah kerja!! Tukang nyolong!!”

Fara berjongkok sambil memeluk lututnya. Ia membenamkan wajahnya diantara kedua lututnya, sangat dalam, sampai-sampai ia merasa lehernya tertarik. Tapi Fara kecil tidak peduli.

“Iya tukang nyolong!! Tukang berantem!!” riuh anak-anak lain di belakangnya meneriaki kata yang sama.

“Preman pasar!!! Fara anak preman! Fara anak preman!!” teriakan itu terus bergema, terus meliputi Fara kecil yang ketakutan. “Fara anak preman!!!! Fara anak preman!!”

***

Berdiri sendiri, Fara mencoba menahan isak tangisnya. Namun sia-sia. Ingatan akan masa kecilnya kembali muncul. Mengulitinya sampai ia berteriak tanpa suara. Air mata Fara menetes perlahan. Ia sangat membenci kejadian itu. Ia membenci masa kecilnya, ia membenci kehidupannya, ia membenci ayahnya! Ia membenci keadaan mereka.

Suara monitor jantung di samping ranjang ayahnya menjadi satu-satunya suara yang bisa Fara dengar. matanya yang basah terus menatap wajah tua yang tengah terpejam itu. kerutan-kerutan sudah menghiasi wajahnya, ia terlihat tua dan lelah. Rambutnya hanya sebagian yang tersisa berwarna hitam, beberapa garis bekas luka memanjang di pelipis dan keningnya. Menjadi codet yang tak hilang dimakan waktu.

Tangannya terkulai lemah di samping ranjang, terpasang selang infuse. Dulu, dulu sekali tangan itu pernah memukulinya hingga ia tidak bisa lagi bergerak. Setiap kali malam tiba, Fara dan adiknya pasti akan diliputi rasa takut yang luar biasa. Lewat pukul 12 malam, ayah mereka akan pulang dalam keadaan mabuk, dengan botol setengah kosong di tangannya. Kadang ia tertawa-tawa, kadang meracau tidak jelas, kadang dalam keadaan marah. Ia akan memanggil kedua putrinya untuk kemudian menyuruh mereka berdua duduk di depannya. Menyuruh mereka menenggak minuman di dalam botol itu. Kalau mereka menolak, ayahnya akan memukuli mereka. begitu seterusnya, hingga keesokan harinya, bahkan mereka tidak bisa bergerak karena terlalu banyak luka yang ada di tubuh mereka.

Fara membenci ayahnya. Ia sangat membencinya. Itulah mengapa akhirnya ia kabur dari rumah ketika beranjak remaja. Ia rela menjadi pelayan di rumah makan untuk mencari uang, lalu menyekolahkan dirinya sendiri.

Masa kecil yang begitu panjang dan perih. dan semua itu hanya dikarenakan ia memiliki ayah seorang preman yang suka mabuk!

Fara berlutut di samping ranjang ayahnya, isaknya pecah.

“Ma… afin… ayah… Fa…ra…”

Suara itu berupa rintihan, serak tertahan rasa sakit. Fara tidak berusaha bangkit. Ia tetap dalam posisinya, membiarkan air matanya mengalir sendiri.

“Fa… ra…” panggil ayahnya dengan pelan. Masker oksigennya berembun setiap kali ia berbicara. Mata tuanya hanya bisa menatap langit-langit. “Fa…ra…”

Fara bahkan tidak menyangka ayahnya mengingat namanya. Ia sangat merindukan ayahnya. Ia sangat merindukan panggilan sayang ayahnya, yang mendadak menghilang sejak ibunya meninggal ketika melahirkan Soraya.

Dadanya terasa sangat sesak. Fara tidak bisa bernafas. Sejauh apapun perasaan bencinya, pria tidak berdaya itu tetaplah ayahnya.

“Fa… ra…” semakin lemah, suara itu begitu rapuh.

“Ayah… Fara di sini…” Fara bangkit, menggenggam tangan ayahnya dengan erat. Kepala lemah pria tua itu sedikit bergeser untuk melihat putrinya. Lalu samar-samar Fara bisa melihatnya tersenyum. Senyuman yang sudah lama sekali tidak pernah Fara temukan.

“A… ya… ma… na?” terbata-bata ia menanyakan putrinya yang lain.

“Soraya!!!!! Soraya!!!” teriak Fara, ia tidak ingin melepaskan genggaman tangannya dari sang ayah. Ia tidak ingin meninggalkannya. Ia tidak akan bisa.

Tak lama Soraya berlari masuk dengan sekantung obat di tangannya. “Kenapa mba, ayah kenapa?” tanya Soraya terkejut. “Ayah… ayah sakit? Bagian mana yah? Mana yang sakit?” Soraya memeriksa infusan, lalu kepala ayahnya. “Mau Aya panggilin dokter? Ayah tunggu dulu.”

Pria tua itu tidak mampu menjawab, namun pandangannya berubah sedih ketika putrinya beranjak pergi.

“Aya!!” teriakan Fara menghentikan langkah adiknya. “Jangan pergi…” bisik Fara tertahan.

“Tapi aku mau panggil dokter mba…” ujar Soraya. Ia tidak suka melihat kakaknya menangis seperti itu. kakaknya adalah wanita yang tangguh. Yang berhasil pergi namun tetap kembali untuknya. “Aku mau panggil dokter mba…” Soraya kembali mengulangi kata-katanya, namun kini dengan suara yang lebih lirih. Ia menahan isakannya dengan sangat keras.

Fara membelai lembut pipi ayahnya, mencium keningnya dengan penuh sayang. Seluruh kenangan buruk tentang masa kecilnya menghilang, tidak lagi berarti baginya. Ia hanya ingin ayahnya bertahan. Ia hanya ingin ayahnya tetap berada di sisinya.

“Ayah… kami sayang ayah…” bisiknya di telinga ayahnya.

“Aku… mau… panggil.. dokter…” ujar Soraya, namun tubuhnya tidak bergerak sama sekali.
Mata tua itu berkedip lemah, membuat air mata menetes dari sudut matanya.

“Kami sayang ayah… Aku selalu sayang ayah…” isak Fara di samping tubuh tua itu. Soraya tidak mampu bergerak. Ia hanya membiarkan air matanya menetes tanpa berupaya menyekanya. “Ayah… maaf…”

Kata-kata itu tidak terjawab. Hanya terdengar suara isak dari kedua wanita itu. bahkan suara monitor jantung yang kini hanya berbunyi satu titik tak lagi terdengar, tertutup isak tangis keduanya.

“Ayah…”

Rasanya begitu pedih. Kedua gadis itu menangis dengan cara mereka sendiri. melepaskan sesuatu yang tidak pernah ingin mereka lepaskan. Merelakannya pergi.

***

Fara menggigiti kukunya dalam cemas. Ia berjalan mondar mandir di dalam kontrakannya yang kecil. Ia sudah siap pergi namun jiwanya sama sekali tidak tenang. Ketika pintu kontrakannya diketuk, Fara membukanya dengan gundah.

“Aku nggak yakin mas.” Ujarnya setengah merengek.

“Nggak yakin kenapa lagi?” tanya pria itu. Ia tampak menawan dengan tshirt dan jeansnya. Dimas memang selalu menawan di mata Fara. Dan itu memperburuk keadaan. Fara merasa Dinas terlalu sempurna untuknya. Ia khawatir Dimas akan pergi jika mengetahui siapa ayahnya. “Fara, dengar.” Dimas menangkap tubuh kekasihnya. Mencengkram kedua lengan itu, memaksa Fara berdiri di depannya. “Kita mau kunjungi ayah kamu. Bukan mau ke pengadilan. Berenti cemas.” Katanya sambil meraba kerutan di kening Fara.

“Mas… mas itu nggak kenal ayah.”

“Iya aku nggak kenal. Makanya hari ini aku mau kenal.” Ujar Dimas tegas.

“Ayahku preman mas!!”

“Kamu udah bilang itu ratusan kali Fara. Dan jawaban aku juga nggak akan berubah. Dia tetap ayah kamu. Aku nggak akan pernah ninggalin kamu karena ayah kamu. Aku nggak akan pernah pergi Fara! Aku cinta kamu!!”

Fara merasakan matanya memanas. Pada akhirnya semua orang selalu pergi. Bahkan ibunya...

“Fara please…” Dimas menarik gadis itu ke dalam pelukannya. “Aku juga takut. Aku cemas. Aku tegang. Aku takut ayah kamu nggak suka aku. Aku takut aku nggak cukup pantas buat kamu.”

Fara terkekeh pelan di dada Dimas. Bagaimana mungkin ia bisa memiliki pemikiran itu? bukankah Dimas terlalu sempurna untuk seorang guru SD seperti Fara?

“Tapi aku akan berusaha Fara. Aku udah terlanjur jatuh cinta sama kamu. Aku akan berusaha untuk ngeyakinin ayah kamu, kalau putrinya ada di tangan yang tepat!” ujar Dimas sungguh-sungguh. “Lagi pula, aku nggak mau buat ayah kamu cemas mikirin putri cantiknya di sini. Dia berhak tau laki-laki mana yang harus dia cari kalau terjadi sesuatu. Aku mau jadi satu-satunya orang yang diberikan tanggung jawab buat jaga kamu.”

“Tapi ayahku preman mas. Dia terlalu sibuk sama minumannya, dia nggak mungkin sempat cemas sama hal lain.”

“Fara, aku tau. Ayah kamu preman, tapi dia tetap seorang ayah. Dia pasti sayang sama kamu dan Aya.” Fara ingin membantah, namun dengan cepat Dimas segera melanjutkan kata-katanya lagi. “Dan lagi pula, kamu nggak boleh batalin rencana ini lagi. Aku udah persiapin ini sejak 1 bulan yang lalu. Aku bahkan udah bawa senjatanya.”

Kening Fara kembali berkerut. “Senjata?”

Dimas mengangguk dengan wajah yang lucu. “Iya, aku harus siapin semuanya buat menarik simpatik calon mertuaku.” Katanya dengan senyuman tulus.

Fara menggeleng-geleng sambil terkekeh. Belakangan ia tau bahwa senjata yang dimaksudkan Dimas adalah papan catur dan kacang rebus. Dan tentu saja pemikiran pria itu tidak meleset. Dengan cepat Dimas mampu menarik perhatian ayah gadis itu. Mereka bahkan sampai hampir memainkan 6 ronde catur, kalau bukan karena Fara yang merajuk kesal di permainan ke-6 kedua pria itu.

Satu hal yang Fara tau sore itu, ayahnya hanya seorang pria biasa. Dan Dimas-lah yang luar biasa, karena pada akhirnya dialah yang mampu memperlihatkan sosok lain dari diri ayahnya.

“Hahaha nanti kalau ke sini nggak usah ajak Fara, Dim. Saya masih penasaran sama tehnik kamu.”
Fara melotot mendengar kata-kata ayahnya sebelum mereka keluar dari pintu rumah susun ayahnya. 

Dimas tertawa santai. “Wah kalau nggak diajak, bisa dicingcang-cingcang saya sama Fara pak.” Selorohnya, membuat Fara semakin membulatkan matanya.

“Fara, kamu jangan terlalu keras jadi perempuan.”

Hah?!

Fara melongo mendengar teguran ayahnya. Dimas tau itu sinyal yang buruk, jadi dengan cepat ia segera membawa Fara pulang. Kalau mereka tetap di sana, ia pasti akan benar-benar dicincang kekasihnya ketika sampai di rumah.

***

Pusaran di hadapannya masih basah, bertabur kelopak bunga tujuh rupa yang dibelinya di pasar. Sebuah kendi berisi air berada tepat di depan nisan kayunya yang sangat biasa. Tidak banyak orang yang melayat.

Siapa yang mau melayati seorang mantan preman?

Fara merangkul Soraya yang masih berjongkok di samping makam ayah mereka. Sore yang tenang. Dengan semilir angin yang menerbangkan ujung baju mereka, sinar matahari muncul malu-malu di balik tumpukan awan.

Fara menatap langit.

Kita masih di bawah langit yang sama mas.

Ayah meninggal… kamu dimana?


***

0 komentar: