Selasa, 21 Juli 2015

SHADE - 2


“Apa yang sebenarnya Engkau persiapkan untukku Ya Allah? Apa?”

Dalam diam aku berdoa, mulutku terkatup, pikiranku melayang, berupaya terus berdzikir namun gagal. dongeng, aku ingin hidup di negeri dongeng, apa dengan begitu aku harus mati terlebih dahulu? Well, aku tidak keberatan.

Herlina RistiItu emang kayaknya dia nggak ada upaya buat ketemu lo deh Mir…

Komentar Lina, sahabatku di kantor ketika aku menceritakan kejadian hari ini melalui pesan singkat.

Sabilla Amira : Sori yah Lin, nggak maksud gangguin mudik lo, tapi gue nggak tau harus cerita ke siapa lagi.

Herlina Risti Lo nggak ganggu kok Mir. Tapi gue kasian banget sama lo. Kalau gue jadi lo, gue pasti sedih banget.

Dan aku sudah terlalu sedih untuk merasakan kesedihan itu sendiri. Buktinya sekarang aku mati rasa. Aku perlu pil tidur untuk membuatku tetap waras, dengan mulut terkatup seperti ini.

Sabilla Amira Gue nggak apa-apa kok, Lin.

Kebohongan klise.

Terduduk lama di depan cermin kamarku, senja sudah menyelinap pergi. Adzan magrib hampir tiba, teriring shalawat dari masjid-masjid sekitar. Aku menatap kedua mata itu, nyalang tak bernyawa. Bibirnya terkatup rapat, dengan rasa pahit dan bau asam lambung yang mulai menggila. Tapi ia tidak merasakan sakit, aku mati rasa.

Apa yang harus aku lakukan sekarang?

Aku ingin sekali memutuskan semua kisah memuakan ini. aku ingin mengakhirinya, dengan sisa-sisa kehormatanku sebagai wanita. Tapi hatiku tidak bisa, aku mencintainya, bahkan meskipun ia sudah menghancurkan jiwa dan ragaku. Aku tidak bisa meninggalkannya, atau memintanya pergi.

Aku mengambil ponselku, mengetik sebuah pesan. Karena dia tidak pernah suka jika aku meneleponnya.

Sabilla Amira Gimana perisapan buat berangkat besok?

Muhammad Rayyan : Belum dapet tiket pulang.

Aku hampir akan bersorak ketika menerima jawabannya, meskipun akhirnya aku urungkan. Ia sedang pusing, haruskah aku senang? Dan lagi pula, jiwa pesimisku mulai berpikir berlebihan lagi, bagaimana kalau ini hanya alasan lain yang akan ia gunakan untuk menghindariku di hari terakhirnya?

Itu sangat menyakitkan.

Tapi jiwa pendongengku berkata lain, bagaimana jika ini adalah rencana lain Tuhan? Hukuman Tuhan atas perbuatannya kepadaku? Tapi bolehkah aku mendahului takdir dengan asumsi-asumsi tidak masuk akalku?

***

Kenapa aku terlalu pesimis?

Karena rasanya lebih mudah untuk menerima kenyataan yang pahit ketika aku sudah mempersiapkannya. Dari pada aku membayangkan hal yang indah, tapi akhirnya justru yang terjadi adalah hal yang menyedihkan. Itu akan terasa seperti ketika aku terbang tinggi ke awang, bermain peran dengan sang rembulan, lalu tiba-tiba saja kembali terhempas ke bumi, terkoyak oleh bebatuan runcing yang tidak langsung membunuhmu, namun membiarkanmu sekarat dalam rasa sakit.

Kupanggil itu rindu.

Entah kapan aku akan mempunyai keberanian untuk memperlihatkan apa yang kutulis hari ini kepadamu. Kamu mungkin akan terbahak, tergelak, menganggap ini hanya sebuah lelucon. Atau mungkin sebaliknya, kamu akan langsung menganggapku berlebihan, kekanakan, atau cemoohan apapun.

Aku akan menitipkan tulisan ini kepada sahabatku, kelak ketika aku mati, aku akan memintanya menunjukan hal ini untukmu, untuk menunjukan betapa aku sangat mencintaimu, bahkan meski kita belum pernah bertemu sekalipun.

Tapi sejujurnya, aku berharap akhirnya kamu menyesal karena sudah menyia-nyiakanku yang sangat mencintaimu.

Hal yang paling menyedihkan bukanlah cinta yang bertepuk sebelah tangan. Tapi ketika dua orang saling mencintai, namun tidak saling berbicara. Karena di balik semua itu, ada sebuah penyesalan, andai saja mereka saling mengatakan, mungkin mereka sempat merasakan kebahagiaan dari pada perasaan tertekan karena menahan rasa cintanya.

Aku tidak mau menjadi salah satu dari mereka. Aku tidak mau menjadi seseorang yang menyesal di lain hari. Aku tidak mau menyakiti diriku sendiri dengan memendam rasa.

Aku akan selalu mengungkapkannya. Aku tidak tau apa yang akan kamu pikirkan, atau apa yang akan kamu katakan, tapi setidaknya aku sudah berusaha. Aku mungkin bukan yang terbaik, aku jauh dari criteria yang kamu inginkan, tapi kamu harus percaya, aku sudah berusaha untuk melakukan semuanya sebaik-baiknya.

Aku sayang kamu.

Sudahkah aku mengatakan itu?

Seperti berjalan di sebilah pisau, mencintaimu sangat menyakitkan.

Kamu cuek, kamu selalu mengacuhkan aku. Aku tau itu, kamu sudah mengatakannya berkali-kali. Tapi tidakkah kamu menegerti, aku bisa membaca prilakumu. Kamu cuek hanya pada hal yang kamu tidak sukai, dan kamu tidak akan pernah tau betapa pemikiran itu membunuhku dengan perlahan.
Kamu mengabaikanku, karena kamu tidak menyukaiku lagi.

Itu sangat menyakitkan.

Jangan mengelak, tanyakan pada hati kecilmu, masih adakah namaku dalam harapmu? Dalam doamu?

Sejujurnya aku lelah menjadi sosok yang terabaikan, tapi entah bagaimana aku tidak bisa berpaling.
My life is your playbook.

Aku yakin, ketika kamu membaca ini, kamu pasti akan beranggapan aku sangat berlebihan. Aku berharap bisa bermain-main dengan kematian. Aku belum siap mati, entah. Tapi aku hanya ingin melihat apa yang akan kamu lakukan ketika aku mati. Aku ingin melihat apa mungkin kamu akan menangisiku?

Hari ini jiwaku pias.

Aku mati rasa. Bahkan menangispun aku tidak mampu. Rasanya seperti kosong. Bersimbah harap bahwa besok kamu akan menemuiku sebelum keberangkatanmu. Tapi aku tau ini mustahil. Aku sudah mengatakannya ratusan kali kepada diriku sendiri, tapi maaf dia tidak ingin mengerti, sama sekali tidak.

Aku tidak tau kapan kamu akan kembali pulang, lalu dibagian mana aku harus menyimpan harap?

Bisakah kamu mengatakan kalau kamu juga mencintaiku?

Atau aku harus berhenti berharap?

Aku sering menonton film dimana pemeran prianya berhubungan dengan seorang wanita yang sangat menjengkelkan. Dan sangat ingin sekali pria itu tinggalkan. Kemudian aku mulai berpikir, kenapa ia harus menyatakan cintanya kepada wanita menyebalkan itu, jika pada akhirnya ia ingin berpisah dengannya?

Lalu saat ini aku berpikir, apakah kamu merasakan hal itu juga kepadaku?

Apa kamu sangat ingin meninggalkanku?

Kamu akan marah jika aku mengatakan ini. Aku tau, tapi aku sudah tidak peduli. Jika kamu mau marah, silahkan marah. Kamu berhak mencaci makiku di depan nisanku.

Hal yang paling aku khawatirkan adalah bagaimana jika kamu pergi terlebih dahulu tanpa membaca tulisan ini? bagaimana?

Ketika aku memutuskan untuk memiliki hubungan yang serius denganmu, aku sudah memutuskan untuk berhubungan dengan keluarga kamu, seluruh sahabat kamu, bahkan kematian kamu.

Aku pasti akan sangat terluka, mungkin akan sembuh lebih lama dari sekedar ketika kamu tinggalkan. Bagiku, lebih baik jika kamu selingkuh, atau memukuliku dari pada kamu harus pergi terenggut kematian. Ketika kamu selingkuh, aku akan lebih mudah membencimu, tapi juga masih tetap bisa menatap matamu, dan menunggumu menatap kembali mataku.

Tapi jika kamu mati.

Bukan hanya kamu yang akan mati, kamu membawa separuh jiwaku bersamamu.
Pertanyaanku, apa kamu akan baik-baik saja kalau aku mati?

Jangan dijawab!

Aku tidak akan kuat dengan jawabanmu. Aku akan semakin terluka. Ah tapi hatiku sudah pias. Mati rasa. Kebas.

Obat tidur yang kuminum sudah mulai menunjukan efeknya. Aku mulai tidak fokus mengetik. Hampir terpejam. Tapi anehnya aku tetap melirik ponselku, berharap kamu akan mengirimiku pesan terlebih dahulu. Tapi aku tau itu mustahil. Lalu apa yang harus aku lakukan?

Aku kangen kamu.

***

Terbangun dengan pesan yang tidak berbalas. Mungkin bagimu membalas pesanku hanya sebuah formalitas. Penerbanganmu jam 18.10, dan keberangkatanku pukul 12 siang. Diluar rencana awal yang mengatakan aku akan berangkat pukul 21.00. lihat, bagaimana takdir mempermainkan hati. Atau sesungguhnya, bagaimana takdir mengatakan bahwa kita memang tidak ditakdirkan untuk bertemu.

Untuk pertama kalinya, jantungku mulai berdetak lebih kencang, kalut dan cemas. Kepalaku pening. Aku hanya ingin bertemu, tapi kamu dan takdir selalu menghindar, mencoba membunuhku dengan perlahan.

Sudah kukatakan berkali-kali pada diriku sendiri untuk menyerah. Sudah ratusan kali… tapi ia tidak mau menyerah. Entah apa yang ada dibalik jiwanya. Entah sejauh apa ia bisa melangkah.

Pagiku kehilangan cahaya. Malam penuh doaku tidak tersentuh. Kalap tertutup kekecewaan.

Sabilla Amira : Kita benar-benar nggak akan ketemu yah?

Tak berbalas.

Sabilla Amira : Kamu hati-hati yah nanti, jangan sampai ada yang ketinggalan.


Aku hancur. 


0 komentar: