Selasa, 21 Juli 2015

VEIN AMORA - 1


“Miss Fara, ini sudah nggak bisa dibiarkan. Di kelas saya, bahkan dia nggak mau bicara sama sekali! Kita harus lebih tegas.”

Fara menghela nafas panjang sambil menatap buku laporan penilaian siswa kelas dua di tangannya. Ruangan kepala sekolah itu terasa hening mencekam. Seorang bapak paruh baya dengan kaca mata yang hampir melorot di hidungnya, ikut menunggu komentar dari Fara. Ia adalah kepala sekolah di sekolah itu sejak 5 tahun yang lalu. Dan ia sudah jatuh cinta pada sosok guru bahasa inggris yang dianggapnya sangat tangguh itu, jadi ia hanya menunggu Fara berkomentar.

Foto gadis kecil di tangan Fara terlihat memudar di matanya. Kepalanya pening.

“Kita harus keluarkan dia.” Ujar Manda, sang guru matematika dengan tegas. Umurnya tidak terpaut jauh dari Fara. Hanya 3 tahun di atasnya. Namun dengan kaca mata bundar, dan rambut yang selalu tersanggul, membuatnya terlihat lebih tua 10 tahun dari pada umur yang sebenarnya.

No,” potong Fara cepat. Kepala yang hampir botak di sampingnya menoleh. “Pak Abraham, saya 
yakin dia masih bisa berubah.”

“Berubah?! Miss, anda udah bilang itu seribu kali, dan sekarang anda liat, dia malah semakin menjadi-jadi. Dia hampir aja buat celaka siswa yang lain!”

“Itu nggak disengaja bu!” ujar Fara dengan tegas. Ia sangat tidak suka kalau ada yang menjelek-jelekan muridnya.

“Nggak disengaja?! Maksud anda dia nggak sengaja bawa korek dari rumahnya, lalu bakar Koran di dalem kelas? Itu nggak disengaja??!”

“Dia nggak sengaja mencelakakan orang lain!”

“Oke, sudah hampir jam lima, sepertinya kita lanjutkan pembahasan ini besok. Bu Manda, saya sudah menerima semua buktinya, dan rekaman cctv juga, akan saya perlajari. Miss Fara, kita akan bahas ini besok.” Ujar Abraham tua menengahkan. Manda melirik sinis Fara yang masih terduduk, sebelum berpamitan dan pergi.

“Pak…” bisik Fara ketika wanita itu benar-benar sudah menghilang.

“Sudah Fara, saya akan pelajari ini, kita bahas besok.” Ujar Abraham, membungkam Fara dalam ketidak puasan.

Ia berjalan keluar ruang kepala sekolah dengan perasaan gundah. Lorong sekolah yang panjang sudah sepi. Murid-murid sudah pulang sejak jam 3. Ekstrakulikuler sudah selelsai sejak jam 4, sekarang hanya tersisa segelintir orang di sekolah, dan itu membuat semuanya semakin hening.

***

“Ngelamun lagi…” tegur seorang pria berumur 28 tahun sambil membawa dua cangkir teh di tangannya. ia meletakannya di atas meja, lalu merangkul kekasihnya yang terngah duduk memeluk lutut di atas sofa.

“Aku lagi nonton tv…” gumam gadis itu sambil mengganti chanel tv di hadapannya.

“Fara…” pria itu meraih remote di tangan Fara, membuat gadis itu mendesah pelan. “Kenapa? Coba cerita sama aku.” Ia mengarahkan tubuh mungil Fara hingga menghadap kearahnya. “Aku nggak suka ada kerutan di sini,” ia meraba kerutan di antara kedua mata Fara dengan ibu jarinya. “Apa lagi kalau mata ini nggak bersinar kayak biasanya.” Mengecup kedua mata itu dengan lembut, Fara terkekeh pelan. “Nah, gitu dong, kan cantik kalau senyum.” Fara manyun. Namun matanya mulai kembali bersinar. “Masalah di sekolah lagi?” tanyanya dengan lembut.

Fara mendesah, lalu mengangguk samar. “Hari ini Danisa ngebakar ruang penyimpanan di belakang kelas.”

“Hahahahaha…” tawa pria itu meledak.

“Serius masss… kenapa malah diketawain sih??” Fara mencubit pinggang pria di sampingnya dengan gemas.

“Hahahaha abis kayaknya makin hari dia makin hebat aja.”

Fara memutar matanya. “Iya hebat. Tapi kali ini hampir aja ngebahayain murid yang lain. Dan si 
Wanda ngotot banget mau keluarin dia!”

“Hahahaha dan kamu kalah argument sama Wanda?”

Fara menatap sinis pria di sampingnya. “Jangan panggil aku Fabian Fara kalau aku nggak bisa pertahanin Danisa!” katanya dengan angkuh.

Pria di sampingnya mengulum senyum bangga. “Aku tau, kamu nggak mungkin jadi Fabian Fara calon istri Dimas Fahryan, kalau kamu nggak tangguh.”

Fara terkikik pelan. Lalu ketika Dimas menariknya kedalam pelukannya, ia tidak menolak. Fara menyandarkan kepalanya ke dada Dimas yang bidang. Membiarkan pria itu memeluk tubuhnya dengan santai, meletakan dagunya di atas rambut Fara, sambil sesekali mencium puncak kepalanya. Meringkuk di sofa, dalam pelukan pria itu, adalah hal yang paling disukai Fara. Ia bisa tahan berjam-jam dalam keadaan seperti itu, mendengarkan irama konstan jantung kekasihnya.

“Tapi Sayang…” bisiknya perlahan, “Kalau kamu capek. Kamu bisa keluar dari sekolah.” Suara baritone Dimas terdengar samar.

“Aku masih menikmati mas,” jawab Fara di dalam pelukan pria itu.

“Hm…” Dimas mempererat pelukannya. “Iya, tapi setelah dua bulan ini, kamu harus lepas yah. Aku mau istriku tinggal di rumah. Cari nafkah itu urusan suami. Kamu nggak perlu pusingin kepala kecil kamu sama urusan yang lain.” Dimas mencium puncak kepala gadis di dalam dekapannya itu dengan penuh sayang, menghirup aroma sampo yang selalu menjadi kesukaannya. Fara menarik nafas panjang, lalu mengadah untuk menatap kedua mata indah Dimas.

“Kalau aku nggak kerja, nanti aku kerjaannya Cuma ngabisin uang mas.”

“Aku nggak keberatan kok.” Dimas menatap kedua mata mungil Fara dengan sungguh-sungguh. “Itu emang tanggung jawab aku sebagai suami. Tanggung jawab kamu sebagai istri ya ngurus aku sama rumah kita. Aku akan lakuin apapun asal kamu bahagia. Itu komitmen aku. Aku akan coba jadi suami yang baik, dan ayah yang baik buat anak-anak kita nanti.”

Wajah Fara bersemu merah. Dadanya hangat, penuh perasaan berbunga-bunga. Tapi ia masih belum lelah berargumen. “Kalau aku bosen gimana?” tanyanya lugu.

“Kan ada aku, kamu berhak telpon aku kapanpun kamu mau.” Ujar Dimas sebelum mendekatkan wajahnya, lalu mengecup bibir tipis Fara. “Aku akan selalu ada buat kamu.” katanya sungguh-sungguh, lalu menciumnya lebih dalam lagi.

***

“Lo bakal merit???!!!! Astagaa Faryunn!!!!! Gue seneng banget dengernya!!!” Fara menutup telinganya ketika mendengar teriakan dari sahabatnya, Camela. “Hahahaha gue pikir nggak akan ada cowok waras yang mau nikahin cewek angkuh kayak elo.” Katanya lagi diiringi tawa yang sangat keras.

“Oh, Thanks Cam.” senyum Fara berpura-pura sinis.

“Ya ampun Far… gue juga seneng banget loh.” Kalisa, gadis hitam manis yang duduk semeja dengan mereka menyeka air mata harunya. “Gue pikir lo udah nggak peduli sama cowok.”

“Hihihihi rese. Emang gue lesbi?!” gerutu Fara.

“Jadi akhirnya Dimas mau juga nikahin lo?” masih dengan nada tidak percaya, Cam menatap sinis sahabatnya. didalam lubuk hatinya yang terdalam, ia sangat iri. Namun ia tidak mungkin mengatakannya.

“Yah… gitulah…” Fara tersenyum malu-malu. Hatinya masih penuh dengan perasaan bahagia. “Gue juga nggak nyangka.” Katanya sungguh-sungguh. Selama masa kuliah, Dimas adalah seniornya, dan ia jatuh cinta pada pria cerdas itu. seluruh kata-katanya mampu mengalihkan dunia Fara, hingga ia bertekuk lutut pada sosok Dimas Fahrayyan. “Tapi jangan kasih tau yang lainnya dulu yah. Gue nggak mau jadi pada heboh.”

“Hahahahaha berita penting masa kita tahan-tahan?” goda Cam.

“Serius… gue nggak mau mereka pada rame. Lo tau sendiri lah.”

“Hahahaha okay. Jadi apa yang bisa kita bantu?” tanya Cam lagi. “Prawedding, udah tentuin mau tema apa? undangan? Tempat? Tanggal?”

“Hahahaha belummm… ternyata ribet banget yah… hahaha.”

“Ya iyalahh… merit kan sekali seumur hidup Far!” ujar Kalisa penuh semangat.

“Gue sebenernya Cuma mau akad aja sama Dimas.”

“Seriusss lo??!!! Tanpa resepsi?” pekik Cam tidak percaya.

Fara mengangkat bahu. “Nggak tau deh, tapi rasanya akad juga udah cukup. Yang penting sah.” Katanya dengan senyuman manis. “Itu lebih dari cukup.”

Kalisa menggenggam jemari Fara di atas meja. Matanya ikut tersenyum menatap wajah indah Fara. “Gue bener-bener bahagia liat lo bahagia Far.” Ujarnya sungguh-sungguh. “Lo berhak bahagia.”

“Thanks Lis.” Balas Fara. “Gue juga nggak nyangka ternyata gue bisa sebahagia ini sama Dimas. 
Rasanya kayak mimpi. Gue masih nggak percaya kalau Dimas ngelamar gue. dia manis banget. Dan dia cerdas! He’s hot as hell!!”

Mereka tertawa.

“Tetep aja nggak ada yang ngalahin keseksian Mike.” Seloroh Cam, menyebutkan pacar terbarunya, seorang bankir muda yang sangat seksi bagi Cam.

“Ah Faraaa… gue jadi pengen nangis…” ujar Kalisa seraya memeluk tubuh Fara.

“Hahahaha lebay ah Lis!”

“Hahahaha jadi sekarang udah siap nih jadi nyonya Fara Fahryan?”

Fara terkikik pada panggilan itu. Nama itu terasa sangat pas bersanding dengan namanya, seakan Tuhan memang sudah menyiapkan nama itu untuknya. “Lebih dari pada sekedar siap.” Katanya dengan mantap. Ternyata cinta bisa mengubah segalanya.

 ***

0 komentar: