Kamis, 23 Juli 2015

VEIN AMORA - 3



“Aku nggak percaya akhirnya semuanya selesai mas…” gumam Fara sambil memainkan jemari kekasihnya yang lebih besar dua kali lipat dari jemarinya sendiri. Ia menyandarkan kepalanya di dada bidang Dimas, bergelayut manja di atas sofa. “Akhirnya Pak Abraham mau pertahanin Danisa.”

Dimas tersenyum sambil mengganti chanel tv dengan tangannya yang bebas. “Itu semua berkat kamu, ibu guru cantik…” katanya seraya mencium puncak kepala gadisnya. “Kamu itu hebat sayang. Cuma aja kamu kadang pesimisnya luar biasa.”

Fara mencubit lengan kekasihnya dengan kesal. “Aku Cuma coba buat realistis mas…”

“Tapi bayangan kamu itu selalu berlebihan Fara,”

“Lho, lebih baik gitu kan, bayangin yang terburuknya dulu, jadi nanti kita nggak perlu kaget sama apapun yang terjadi akhirnya. Toh kita udah mempersiapkan diri buat hal terburuk.”

“Tapi itu bikin kamu jadi pesimis sayang…”

Fara cemberut. Ia malas berdebat dengan Dimas.

“Ya udah sih, terus kamu nggak suka?” tuding Fara.

Dimas terkekeh. “Aku nggak suka sifat kamu yang pesimis. Kamu itu tangguh sayang, kamu itu luar biasa hebat. Kamu pasti bisa terbang lebih tinggi dari pada yang otak kamu bayangkan.”

“Lebay ah…”

“Lho, serius…”

“Oya mas, tadi kenapa mas nggak mau ketemu pak Abraham? Dan pak Abraham juga, waktu aku bilang mas mau jemput, dia nggak bilang apa-apa.” padahal biasanya dia selalu bersemangat ketemu kamu… lanjut Fara dalam hati. kedua pria beda generasi itu memang seperti cucu dan kakek.

“Hm… mungkin pak Abraham masih sedikit kecewa,” Kening Fara berkerut tidak mengerti. “Kita bahas yang lain aja oke?”

Fara menggeleng dengan tegas.

Dimas menghela nafas panjang. “Sebenernya aku nggak mau bilang ini dulu. Tapi, yah apa boleh buat. Kamu nggak akan bisa dialihkan perhatian kalau udah begini.” fara bersidekap di sofa, menunggu penjelasan Dimas. “Aku berhasil masuk ke kementrian luar negeri, dan sebentar lagi ikut diklat prajabatan untuk diplomat.”

Fara melongo. Otaknya sibuk mencerna kata-kata pria di hadapannya.

“Yah kamu tau kan, untuk jadi diplomat, kamu harus bersedia ditempatkan di Negara manapun yang udah ditunjuk. Dan aku… rencananya, kalau kamu bersedia… kalau kamu bersedia yah, aku nggak maksa kok. Aku mau kamu ikut dampingi aku. Mungkin itu yang bikin pak Abraham kecewa. Padahal aku belum tanya kamu, dan kamu juga belum tentu bilang iya.” Dimas menggaruk bagian belakang kepalanya yang tidak gatal.

“Akuu mauuuuu!!!!” teriak Fara histeris, membuat Dimas meggeleng-geleng.

“Oke, mungkin kata-kata lamaran aku harus di revisi. Fabian Fara, kamu bersedia kalau harus tinggal di luar Indonesia, dan jadi satu-satunya wanita yang damping hidupku sampai akhir hayat nanti?”

Hati Fara meleleh. Ia sudah tidak bisa berkata apapun lagi. Ia menghambur untuk memeluk kekasih hatinya. mencurahkan kebahagiaanya dalam derai air mata haru.


0 komentar: