Kamis, 27 September 2012

PUTRI KELABU -04-


BAB EMPAT

Melbourne, Australia 1996
“Raka, kenalkan ini Kimi,” ujar tante Lia. Aku menatap mata biru dihadapanku dengan takut. Kalau bukan karena dorongan mama, aku mungkin tidak akan pernah membalas uluran tangan pemuda kecil berpakaian koboi di depanku.
“Hai,” katanya. Aku membalas dengan kata hai yang tidak bersuara. Tiba-tiba aku merasakan telapak tanganku basah. Lengket dan lembek dibawahnya. Aku mendelik dan mendapatinya nyengir nakal. Aku menarik telapak tanganku. Nafasku tercekat ketika melihat sosok lembek mungil ditelapak tanganku.
“MAMA!!!!” teiakku histeris ketika menyadari cicak kecil itu terus menatapku. Aku menjerit dan menangis kencang. Cicak itu terasa begitu lembek. Membuatku mual setengah mati. Dan lengket, tentu saja karena bocah pirang itu memberikan banyak lem di punggung cicak itu hingga menempel erat di telapak tanganku. Ekornya dan empat kakinya juga dilem hingga hanya berupa gumpalan bola lembek yang memuakan.
Ia tertawa keras melihatku menangis. Namun sedetik kemudian aku bisa melihat tangan om Arya menamparnya keras. “Kau...” desis om Arya marah. Mata bocah itu membulat marah. Namun tidak berani membalas. Ia melirikku sinis sebelum berlalu pergi. Tidak pernah berbalik meski ayahnya meneriakinya beribu kali.

Jakarta, masa kini...
Aku terkesiap ketika tante Lia memanggilku beberapa kali. Mengembalikanku dari lamunan menakutkan itu. sosok Raka masih berdiri di hadapanku, mengulurkan tangannya. Tubuhku langsung membeku. Melirik sedikit pada telapak tangannya, memastikannya kosong tanpa hewan-hewan melata seperti dulu. Tante Lia tersenyum tipis ketika menyadari ketakutanku.
“Tenanglah Kimi, dia sudah berubah,” ujar tante Lia. Aku tersipu malu karena tertangkap basah memikirkan masa kecil kami. Raka tersenyum sedikit, dan aku bertanya-tanya dimana ia mempelajari senyuman miring yang begitu mempesona itu. aku kembali terpaku. Namun kali ini tidak terlalu lama. Karena sedetik kemudian aku sudah menjabat tangannya. Terasa besar, hangat namun dingin secara bersamaan.
“Hai, aku harap kau baik-baik saja,” ujarnya. Suaranya begitu tegas namun lembut. Aku pikir dengan wajah luarnya sangat mustahil ia bisa sefasih itu berbahasa indonesia. Aku lupa bagaimana kerasnya tante dan om Arya meng-indonesiakan putra dan putrinya, namun tentu saja aku bisa melihat mereka hanya berhasil 30 persen. Dari penampilannya, Raka tidak memiliki potongan Indonesia, ia benar-benar Australia, dengan rambut coklat tembaga, kulit putih dan mata abu-abu. Ya, kapan mata biru itu memudar hingga menjadi abu-abu?? Apa dulu aku salah melihat warna matanya??
Aku bertanya-tanya tentang Vero. Teman mainku sekaligus penghiburku ketika kakaknya menggangguku dengan senang hati. Apakah gadis itu masih memiliki rambut pirang strowberi seperti nenek Hudgens, ibu tante Lia. Atau kini berubah warna juga seperti milik Raka?
“Apa kau baik-baik saja?” tanya Raka. Aku terjaga dan menganguk cepat. Sesaat kemudian hatiku mencelos melihat darah segar mengalir dari hidung kakek.
“DOKTER!!” teriakku seraya menekan tombol darurat di samping ranjang kakek.


Aku terpaku menatap beberapa dokter dan suster berjalan mondar mandir di kamar kakek. Tante Lia memeluk pundakku, menarikku menjauh untuk memberikan akses lebih luas untuk para dokter. Tubuhku menegang ketika sebuah cawan berisi kasa jatuh. Seorang dokter menegur perawat disampingnya dengan tatapannya.
“Sebaiknya kita keluar,” ujar Raka. Tante Lia menganguk di balik bahuku. Namun aku tidak ingin beranjak. Aku ketakutan. “Mom, sebaiknya mom keluar sekarang, biar aku yang menemani Kimi,” ujar Raka. Aku hampir lupa jika tante Lia menderita phobia akut pada darah. Tante Lia ragu sesaat, menatapku, namun kemudian menyerah juga. Aku menganguk, berusaha sekuat mungkin, namun saat rangkulannya terlepas, aku baru menyadari jika kakiku sudah selembek jeli. Raka cepat-cepat mengambil tubuhku dan menopangnya. Ia mengaguk sekali pada tante Lia sebelum wanita itu pergi dengan wajah pucat.
Air mataku perlahan mengalir lega saat nafas kakek mulai terlihat teratur. Kini aku mulai menyadari betapa takutnya diriku kehilangan satu-satunya tujuan hidupku.




1 komentar:

Nunaalia mengatakan...

sebenarnya kakek sakit apa? smg aja bs cpt sembuh. kasian kimi...