Kamis, 27 September 2012

PUTRI KELABU -07-


BAB TUJUH


Raka tersenyum sekilas padaku. Aku membalasnya dengan mengaguk. Ia memberikan sekeranjang buah-buahan.
“Dari salah satu teman kantorku, tadinya ia akan ikut kesini, tapi ia mendapat panggilan yang lain,” ujar Raka. Aku mengaguk. Ini sudah minggu kedua komanya kakek. Om dan Tante Lia sudah kembali ke Australia setelah aku mengaguk setuju pada permintaan mereka kala itu. mereka masih rutin menelepon dan datang di akhir pekan. Sedangkan aku mulai kembali berkuliah meski terasa begitu berat meninggalkan kakek yang mendapat perawatan khusus dari rumah sakit. Raka sendiri selalu menyempatkan diri menemaniku di rumah sakit sepulang kerja. Belakangan barulah aku tau bahwa ia adalah CEO (chief executive officer) di suatu perusahan di Jakarta. Jadi selama ini ia berada satu kota denganku??
Namun ini tidak bisa menjadi alasan. Karena dari kabar yang aku dengar, selama ini Raka selalu berada di Jogjakarta, dan lebih suka mengurus perusahaannya dari sana.


Raka melepaskan jasnya dan melonggarkan darinya. Ia menyisir rambutnya tembaganya dengan jemarinya. Jantungku berdetak kencang saat menyadari pemuda tampan ini adalah tunanganku –atau lebih tepatnya calon tunanganku-. Aku selalu berbicara pada kakek tentang perasaanku ketika hanya kami yang berada di kamar. Aku tidak terlalu yakin apakah kakek dapat mendengarku atau tidak, hanya saja aku benar-benar butuh seseorang untuk berbagi perasaanku.
“Kau sudah makan?” tanyanya lembut. Aku mengaguk cepat, bahkan terlalu cepat. Ia tersenyum ramah, membuat hatiku meleleh karenanya. Kini aku sadar mengapa kakek mendapat perhatian khusus dari para suster. Ya tentu saja, pesona sahabat kecilku selalu membuat setiap orang ingin bersamanya selama mungkin. “Tapi kau terlihat pucat, apa kau oke?” tubuhku tersentak saat ia meraba keningku. “Kau dingin,” ia keheranan. Aku menggerutu dalam hati. Siapa yang tidak membeku saat berada di sampingnya seperti ini?!!
Raka meraih bahuku, memaksaku berdiri berhadapan dengannya. Ia begitu harum. “Astaga kau membuatku khawatir,” ujarnya seraya memelukku erat. Aku kembali terlonjak kaget karena perlakuannya. “Aku pikir aku kehilanganmu, namun rona wajahmu, menunjukan kau masih disini,” ujarnya lega. Rona wajah??? Apa aku memerah??? Dan tunggu dulu, masih disini??? Dia pikir aku ada di mana lagi??
“A... aku... tidak bisa bernafas,” bisikku tergagap. Refleks Raka langsung melepaskan pelukannya. Dan menatapku meminta maaf.
“Maaf, sungguh...” ujarnya tulus. “Sekarang kau ikut aku, kita harus makan. Aku tidak mau mom, dan semuanya menyalahkanku tentang keadaanmu yang menyedihkan ini,” ia menatapku dramatis. Aku memutar bola mataku. “lagipula kau pikir kakek mau melihat cucu kesayangannya tampak seperti tokoh kartun Tim Borton??” tanyanya lagi. Aku menatapnya tidak percaya. Corpse bride?? Yang benar saja. Itu tidak lebih dari tulang berbalut kulit dengan bentuk-bentuk aneh.
“Aku suka ekspresi wajahmu,” ujarnya seraya terkekeh. “Terlebih rona ini,” ia menyentuh pipi kiriku. Membuatku semakin tersipu. “Tapi sekarang kita harus pergi,” ujarnya. Aku mendesah panjang dan mengucapkan beberapa kata pada kakek.
Raka menggenggam jemariku di sepanjang koridor rumah sakit. Aku bisa melihat tatapan orang-orang yang kami lewati terpaku menatap kami. Mereka sepertinya begitu teropesona pada ketampanan dan aura karismatik Raka. Dan akupun masih merasakannya. Aku masih tidak percaya jika pemuda tampan ini adalah bocah yang dulu selalu menjahiliku dan kini adalah calon tunanganku. Tuhan, kenyataan itu membuat tubuhku kembali menegang bahagia.
Raka berjalan santai melewati beberapa gadis yang jelas-jelas melongo menatapnya. Ia memang tampak seperti pangeran. Dengan penampilan khas eksekutif muda lengkap dengan setelan jas abu-abunya, meski kini ia melepas dasinya dan meninggalkannya di kamar kakek. Namun ia masih tampak begitu menawan. Ditambah lagi wajah indonya, siapapun akan berlutut di hadapannya.


“Kau mau apa?” tanya Raka ketika kami sudah sampai disebuah restoran di bilangan Jakarta pusat. Aku melirik menu.
“Aku benar-benar sudah kenyang,” bisikku. Raka mendesah. “Mungkin aku bisa memakan sedikit chees cake dengan Almond dan strawbery float,” ujarku akhirnya. Raka tersenyum. Senyum itu lagi... oh God!
Raka menyebutkan pesanannya dan kembali menatapku.
“Jadi bagaimana kuliahmu?” tanya Raka. Aku mengangkat bahu berusaha terlihat cuek. Aku belum pernah menceritakan tentang kehidupanku pada siapa pun selain kakek selama ini, dan oh ya tentu saja pada Kirana juga. Kemarin ia mengirimiku email, mengabarkan ia akan segera pulang. Aku menyambut dengan sangat gembira. Namun sepertinya aku melakukan sebuah kesalahan dengan mengabarinya aku akan segera bertunangan, tentu saja ia kaget bukan main. Aku berjanji akan menceritakan padanya sesampainya ia di Indonesia. Dan itu membuatnya mempercepat kepulangannya 2 minggu.
“Kau hobi melamun,” tegurnya lembut. Aku terkesiap dan menunduk malu. “Apa yang kau lamunkan?”
Kau! Bawah sadarku berteriak. “Tidak ada,” dustaku. Baru saja ia akan menyangkal namun pramusaji sudah datang membawa pesanan kami.  Aku menghela nafas lega karenanya.


Aku menatap Raka tidak percaya saat ia memarkirkan mobilnya di halaman butik.
“Apa?” tanyanya santai. Aku bersidekap dan menghempaskan tubuhku kekursi penumpang. “Ayo turun,” ujarnya. Aku memalingkan wajahku, enggan. Raka terkekeh pelan, kemudian melepas self beltnya. “Jangan membuatku memaksamu turun,” ancamnya, namun aku masih bisa mendengar senyum di bibirnya. Aku menahan nafasku ketika ia mendekati tubuhku dan menekan tombol disampingku. Self beltku spontan terbuka. “Ayo turun,” ujarnya. Dan entah mengapa aku langsung mengaguk. Aku bisa melihatnya kembali tersenyum.
“Hai dear....” teriak Syasya ketika melihatku memasuki pintu butik. “Akhirnya kau da...” kata-katanya terpotong oleh keterkejutannya ketika Raka berjalan masuk tepat dibelakangku. “Oh dear...” desisnya tidak percaya. Aku mengutuk diriku sendiri kali ini. Astaga, bahkan seorang Syasa bisa terpaku tidak bergerak seperti itu.
“Hai,” sapa Raka sopan. “Sepertinya kalian sudah saling mengenal,” aku tidak tau apakah itu pernyataan atau pertanyaan.
“Ya,” jawabku akhirnya. “Dia salah satu teman di kampusku,” ujarku.
“Hai, Aku Syasa...” ujarnya dalam bahasa inggris yang terlalu dibuat-buat. Aku sampai geli mendengarnya. “Kau pasti Edward, atau Demon, atau mungkin Chad...” ujarnya antusias.
“Sa, dia bisa bahasa Indonesia, dan namanya bukan seperti yang kau sebutkan itu,” meskipun dalam hati aku mengakui kemiripannya dengan tokoh-tokoh menakjubkan itu. “Dia Raka,” tambahku. Raka tersenyum dan mengaguk. Syasa melongo.
“Tapi muka kamyu benar-benar Top...”desisnya. aku bergidik melihat sahabat wariaku yang satu ini.
“Bisakah kau mencarikan setelan yang cocok untuk gadis ini?” pinta Raka sopan.
“Oh ya, tentu. Tentu saja,” ujar Syasa masih terkaget-kaget, kemudian berjalan mendahului kami ke sebuah ruangan penuh gaun cantik.
“Nama aslinya Surya,” bisikku. Raka terkekeh dan menggeleng-geleng. “Tapi kau lihat dia lebih fashionable dari pada aku,”
“Ya, sangat terlihat,” balasnya berbisik. Aku mencibir ketika menyadari maksud kata-katanya. Aku memang tidak terlalu memikirkan brand dalam berpakaian. Aku mengenakan apa yang membuatku nyaman. Ia tersenyum geli, dan itu spontan menulariku. Setelah berhari-hari berkutat dengan kekhawatiran baru kali ini aku merasa begitu relaks dan nyaman.
“Aku suka melihat ronamu ketika kau seperti ini, kau terlihat lebih cantik,” aku menggigit bibir bawahku malu setengah mati. Dia bilang lebih cantik?? Apakah sebelumnya aku cukup cantik di matanya?
“Sayang, sepertinya kau kehilangan bobot tubuhmu,” ujar Syasa. “Ayo kita lihat apa yang kita punya untuk menanggulangi penampilanmu di depan pacarmu ini,” ujarnya. Wajahku memerah. “Astaga jadi kalian benar-benar pacaran?” pekik Syasa dalam nada kecewa yang tidak dibuat-buat.
Oh God!
“Baiklah-baiklah, ayo kita mulai memperbaiki penampilanmu yang seperti zombi. Anyway, aku turut mendoakan kakekmu sayang...” ujarnya. Aku tersenyum berterima kasih. Kemudian ia mendorongku ke dalam sebuah bilik untuk mencoba beberapa pasang baju pilihannya. Raka duduk tidak jauh dari sana sambil terus menatap layar handphonenya. Aku bersumpah, beberapa saat yang lalu, aku sempat melihat wajah itu lagi. Wajah yang menampilkan berjuta ketakutan yang tak terucap.
Pilihan pertama, red sweater dengan black leggings. Belum memakainya saja aku sudah merinding. Aku memang suka menggunakan sweater, namun bukan di hari yang panas seperti ini, yang benar saja?!!
Pilihan kedua, cukup manis, Vest denim dengan rok panjang yang sewarna. Namun aku sedang tidak ingin menggunakan bahan denim hari ini. Aku ingin sesuatu yang lebih ringan dan santai. Sesuai dengan suasana hatiku. Aku tersenyum tipis ketika melihat pilihan ketiga, sebuah dotty chiffon dress berwarna nude dengan belt kecil berwarna coklat tua dipinggangnya. Setidaknya ini ringan dan terkesan santai. Aku keluar dari ruang ganti dan menatap Syasa dan Raka bergantian. Syasa mengeluh melihat pilihanku. Namun aku merasa pandangan Raka tidak pernah berpaling.
“Kau seharusnya menyadari betapa cantiknya dirimu,” bisiknya seraya berjalan mendekatiku. Nafasku tercekat. Ia membalikan tubuhku hingga menghadap cermin besar di sisi kanan butik. Aku tertegun melihat pantulan sosok tampan yang tengah berdiri di belakangku memegang bahuku dengan lembut. “Jangan pandang aku,” ujarnya geli. Aku tersipu. “Pandanglah gadis ini,” ia menyentuh daguku dengan telunjuknya. Aku mengikuti pandangannya. Entah sudah berapa lama aku tidak melihat gadis itu. ia terlihat begitu anggun di sana berdiri dengan kakinya yang indah. Tubuhnya memang terlihat kurus namun kulitnya masih sehalus dulu, lembut dengan keharuman avocado dan milk. Rambutnya hitam, panjang sepunggung, dan ikal lembut. Gadis itu memiliki mata coklat indah, meski kini ada lingkaran hitam di bawah matanya. Namun wajah pucat itu tampak bertambah indah ketika rona merah kembali menghiasi pipinya.
“Cantik,” bisik Raka di telingaku. Aku menggigit bibir bawahku. Malu. “Huss,” dia menyentuh bibirku dengan jemarinya. “Jangan merusak suasana!” tegurnya. Aku langsung cemberut menatapnya.
“Ehm...” Syasa berdehem pelan. Kembali menyadarkan kami akan dunia nyata.
“Oke yang ini,” ujar Raka. Aku menahan senyum geli. “Kau menertawakanku?!” desis Raka. Aku mengatupakan bibirku dan menggeleng. Ia terkekeh pelan melihat senyumanku kemudian merangkulku santai. Membuatku kaku karena terkejut atas sikap manisnya.



1 komentar:

Nunaalia mengatakan...

Cherry, bab ini manisss banget!