Kamis, 27 September 2012

PUTRI KELABU -05-


BAB LIMA

Om Arya berjalan tergesa sepanjang koridor, ia bahkan hampir berlari. Ia mencium pipi istrinya sekilas, menepuk pundak Raka dan memelukku erat. Aku bisa merasakan kegelisahan dan kekhawatiran dari debaran jantungnya.
“Bagaimana keadaannya?” tanya Om Arya entah pada Raka atau tante Lia tanpa melepaskan pelukannya.
“Sudah stabil,” bisik tante Lia. Om Arya melepaskan pelukannya dan bernafas lega. “Jaga dia, aku akan menemui dokter,” ujar om Arya. Dengan sigap Raka kembali memegang bahuku seakan aku hanya seonggok daging tak bertulang. Dan hal itu kurang lebih benar, tulangku seakan menghilangkan fungsinya sebagai penopang tubuh.


Malam itu aku tidak pernah memalingkan wajah dari sosok kakek. Aku tidak bisa menerima ketakutan seperti siang tadi. Aku tidak bisa membayangkanya lagi...
“Kau sebaiknya istirahat,” ujar tante Lia. Aku menggeleng kaku. Aku bisa mendengar suara berat om Arya yang sedang menelepon di luar kamar.
“Tidak, batalkan semuanya! Aku bilang batalkan! Aku tidak bisa kembali dalam waktu dekat. Ya... ya aku tau. Aku akan mengurusnya dari sini,” aku menggigit bibir bawahku ketika om Arya berteriak kepada seseorang di teleponnya. Meski ia menggunakan bahasa inggris yang sempurna, akupun bisa memahaminya dengan baik.
“Hm... Om, Tante...” bisikku setenang mungkin ketika om Arya memasuki kamar. “Aku akan baik-baik saja di sini, kalian tidak perlu khawatir... aku akan baik-baik saja di sini sendiri...” aku menekan kata-kata terakhirku. Mencoba meyakinkan diri sendiri bahwa aku memang akan baik-baik saja.
“Jangan bergurau. Kami di sini karena kemauan kami Kim, kau tenang saja, kau tidak perlu memperdulikan om mu, dia bisa mengurus semuanya dengan baik,” ujar tante Lia seraya menegur om Arya dengan tatapannya. Aku mengigit bibir bawahku, aku benar-benar merasa tidak enak pada keluarga ini, dan sekarang bahkan Raka pun turut hadir di sini.
“Hm, om minta maaf atas teriakan om tadi,” tidak!! Om tidak seharusnya minta maaf. Namun tidak ada suara yang keluar dari mulutku.
“Kim, kami di sini karena kami menyayangimu dan kakek. Kita adalah sebuah keluarga, kau tidak bisa memisahkan sebuah keluarga,” kini suara tante Lia yang lembut. Ia membelai rambut hitam ikalku perlahan. “Kau tidak perlu khawatir sayang...” ucapannya begitu lembut membuatku benar-benar luluh lantah. Ku harap ayah dan ibu yang kini berada di sampingku. Memelukku, menguatkanku bahwa mereka masih disini untuk menyiapkan diri akan segala hal terburuk yang akan terjadi esok hari.


Aku terbangun lagi-lagi karena suara bising ranjang dorong di koridor rumah sakit. Namun kali ini aku merasa sedikit aneh. Aku tertidur di sofa?? Siapa yang memindahkanku??
Kakek??
Aku langsung tercekat ketika menyadari sosok kakek tidak ada di jarak pandangku. Aku langsung berdiri menghampiri ranjangnya, memeriksa segala sesuatunya dengan terliti. Memastikannya masih bernafas. Barulah aku sadar akan seorang pemuda yang tengah tidur dengan posisi duduk yang biasanya aku lakukan di samping ranjang kakek.
Wajah Raka begitu tenang dan tampan. Aku tergelitik untuk menyentuhnya, memastikan apakah wajah itu sehalus dan sedingin kelihatannya. Namun aku menarik lenganku lagi ketika kerutan di dahinya perlahan muncul. Ia terlihat sedang berfikir kali ini. Kemudian wajah itu tampak begitu cemas. Membuatku takut apakah ia baik-baik saja??
“Ah!” Raka terbangun dengan satu sentakan nafas. Aku sampai mundur beberapa inci karena terkejut. Pandangan Raka begitu dingin dan menusuk. Aku terpaku diam tak bergerak. Namun sesaat kemudian semua itu mencair. Mata abu-abunya kembali nyata. Aku mulai kembali bernafas lega. “Kau oke?” bukankah aku yang seharusnya mengatakan itu? namun tanpa sadar aku mengaguk kaku. Kami berdiri berserbangan di ranjang kakek. “Aku akan membeli kopi, kau mau?” tanyanya. Lagi-lagi aku mengaguk pelan. Dan ia berlalu pergi. Aku menghela nafas lega ketika ia menghilang dari balik pintu. dan barulah aku sadar begitu mengintimidasinya aura ia hingga aku merasa begitu lega saat ia tidak ada.
Aku menggeleng perlahan. Mengusir semua perasaan memuakan yang tidak pantas aku pikirkan saat ini. Tidak! Tidak untuk hal itu lagi.


Kami duduk dalam diam menunggu pagi. Baru kali itu aku merasa tenang tanpa harus menatap wajah kakek terus menerus dan memastikan dirinya oke. Aku menatap cairan hitam di cangkir kertasku.
“Bagaimana kuliahmu,” tanyanya memecah keheningan. Aku terkesiap dan meliriknya dari balik bulu mataku.
“Baik,” jawabku terkesan gugup. Dan itu memang benar. Ia menghela nafas panjang dan merebahkan tubuhnya ke punggung sofa.
“Aku iri padamu,” bisiknya. aku menatapnya tidak percaya. Ia memijat pangkal hidungnya sambil memejamkan mata. “Aku ingin kembali kuliah, dan menjadi dokter sepertimu,” tambahnya. “Tapi semuanya sudah terlambat, aku tidak mungkin sempat,” baru saja aku akan menjawab, kalau tidak ada alasan usia dalam meraih mimpi, ia sudah kembali berbicara. “Pasti menyenangkan bisa menyembuhkan orang,” aku tercekat. Terguncang begitu dalam. Aku tersenyum pahit seraya menatap sosok kakek yang berbaring lemah. Aku berjalan mendekatinya. Meletakan pipiku di keningnya.
“Itu sangat menyakitkan,” bisikku. “Ketika kau menyadari, ternyata kau tidak bisa menolong orang yang kau sayangi. Ketika kau sendiri begitu paham dengan masalahnya namun hanya bisa berdiri menatap semua itu berlalu,”  aku terdiam sejenak, “ketika kau sadar saat kau kehilangan harapan...” ujarku seraya mencium kening kakek yang begitu tenang. “Dan berpura-pura masih memiliki harapan itu,” kini setetes air mata membasahi pipi kakek. Aku mengusapnya dengan sayang.
“Kimi, maaf...” aku mengangkat wajahku, menatapnya.
“Untuk apa meminta maaf?” tanyaku. Aku merasa hangat bertatapan dengannya. “Aku tidak pantas menerima kata maaf dari siapapun, bahkan dari takdir sekalipun. Meski ia telah meluluh lantahkan kehidupanku. Aku tidak berhak...”
“Kimi, maafkan aku,” tanpa ku sadar, aku sudah berada di dalam pelukan Raka. Aku terkejut, namun tidak bergerak menjauh ataupun membalas pelukannya. Aku hanya merasa perih, kecewa, dan ketakutan itu dalam waktu bersamaan memudar dan bertambah.

1 komentar:

Nunaalia mengatakan...

masih belum paham apa sbnernya yang dialami kimi...? orang tuanya kmn?? knp tidak ada disaat spt ini??