Jumat, 28 September 2012

My Sweet Seventeen



Gelap mulai menggantikan senja, namun aku masih belum tergerak untuk menyalakan lampu kamarku. Alih-alih menekan stop kontak, aku malah berjalan mendekati lemari besar di kamarku. Menatap pantulan close up tubuhku di cermin. Menerka-nerka adakah perubahan pada diriku secara signifikan pada umurku yang beranjak 17 tahun ini.
Sepertinya tidak ada yang berubah. Tubuhku masih setinggi mom, 157 cm dengan bobot tubuh yang mendekati ideal. Mataku masih berwarna coklat terang, padahal aku berharap suatu saat nanti akan berubah warna menjadi keemasan seperti milik edward cullen. Aku mendesah, wajahku tidak mirip mom atau dad. Wajahku lebih menyerupai wajah nenek. Cukup cantik.... nilainya 80-lah. Alisku?? Apa aku harus mencabutinya agar menjadi terbentuk indah? Ah tapi aku pernah tidak sengaja mencabutnya dan itu sangat sakit! Aku sama sekali tidak berminat mengulanginya. Rambutku? Apa yang bisa kulakukan dengan ini? rambutku panjang sepunggung, mungkin aku bisa memotongnya model bob seperti jessi J?? Atau mengeritingnya seperti Taylor Swift?? Tapi mengingat wajah anehku ini, kurasa semuanya akan tampak sia-sia. Hm, mungkin sedikit blow akan meningkatkan kesegaran wajahku. Oke, lalu apa lagi??
Senyuman, ya di umurku yang ke-17 tahun ini aku harus bisa bersikap dewasa. Tentu saja dengan senyuman yang dewasa juga. Ku tarik sudut-sudut bibirku menjadi garis lengkung yang tipis. Tidak! Aku tidak ingin memperlihatkan deretan gigiku. Aku ingin yang lebih manis, dan feminim.
Prang!
Aku tercekat. Wajah dalam cermin itupun seakan membeku. Kami saling menatap. Aku bisa merasakan perihnya ketika suara pecah belah itu kembali terdengar. Tetapi aku tidak ingin bergerak. Aku tidak ingin melerai. Untuk kali ini aku ingin menjadi dinding bisu yang selalu menjadi pendengar setia teriakan-teriakan itu.
                                                                        ***
Aku sudah tidak sabar menunggu pukul 12 malam. Besok, aku sudah akan menjadi gadis 17 tahun. wow!! Inikah sweet seventeen itu?? perutku melilit karena bahagia. Aku tidak peduli dengan apa yang akan di berikan teman-temanku nanti, aku hanya ingin tersenyum menjadi gadis tujuh belas tahun.
Drrdd...
Aku tersenyum, pesan-pesan selamat ulang tahun langsung datang dari sahabat-sahabatku. Aku menyeringai puas, mereka memang tidak boleh melupakannya! Aku senang. Dan beranjak tidur dengan memeluk handphoneku. Tiba-tiba mataku kembali terjaga. Astaga hampir saja lupa, aku seharusnya menulis birthday wishes untuk ulang tahunku. Yep, sebuah kebiasaan yang mulai kulakukan sejak kelas 5 SD. Meski tidak semua yang ku tulis menjadi nyata, namun itu bisa menjadi target kehidupanku di tahun-tahun berikutnya.
Tahun ini, aku berniat menulisnya dalam bentuk naratif, tidak lagi menulis list panjang yang membuatku bosan membacanya. Aku ingin mengurai perasaanku, hingga aku bisa mengenang sweet seventeen ini dengan sangat baik.
                                                                        ***
                                                                                                            September, 28-2009
Astaga! Akhirnya aku resmi menjadi gadis berumur 17 tahun!! aku menatap pantulan tubuhku sekali lagi di cermin sebelum keluar kamar. Perfect! Desisku. diam-diam aku mengagumi gaya berpakaianku yang begitu santai, meski banyak orang yang menganggapku sedikit childish, so what?! I feel ok. J
Aku tercekat menatap meja oval di hadapanku. Tentu saja itu hanya salah satu kamuflase bodoh! Desisku sinis. Namun kemudian aku menggeleng. Tidak ingin semua ini merusak mood indahku di ulang tahunku yang ke-17 ini. aku harus bahagia, setidaknya untuk hari ini.
Aku melihat hidangan lezat itu dengan santai. Seakan sudah biasa melihat mereka disana, tak tersentuh. Dan itu memang benar. Aku hanya meminum setengah gelas susuku dan mengambil sepotong roti lalu pergi. Dalam hati aku bertanya-tanya mengapa Bu Erna selalu memasak makanan setiap hari, sedangkan ia tentu tau tidak ada jiwa di keluargaku yang bisa makan dengan tenang di meja oval itu. alih-alih makan bersama, mereka pasti akan segera merusak semua pecah belah lagi. Aku tersenyum getir. Tidak! Hari ini aku harus bahagia.

Aku tersenyum lebar saat melihat Luna dan Kirana, sahabat karibku sejak kelas satu SMP. Sekali lagi mereka memberikan ucapan selamat ulang tahun padaku. Kami akan mengadakan pesta kecil sepulang sekolah nanti. Aku benar-benar bahagia, harus!
Langkahku terhenti ketika kami sampai di dekat lapangan sepak bola. Aku bisa mendengar suara ramai meneriaki kedua tim yang sedang bermain. Biasanya aku berada diantara mereka. Berdiri di baris terdepan, menatap kagum sosok rupawan yang selalu membuatku tegang. Namun hari ini, aku ingin sedikit bahagia. Melupakan seluruh ketakutanku akan kehilangannya. Well, bagaimana tidak, hampir seluruh siswi di SMA kami tergila-gila padanya. Dan ajaibnya ia hanya menyukai gadis biasa sepertiku.
Aku tersenyum tipis mengingat semua hal manis itu. “Hel,” Luna menghentikan langkahku. Aku tersadar dari lamunanku. “Kamu baik-baik aja?” tanyanya. Aku meliriknya dan mengaguk, masih dengan wajah kosong. Kirana berdehem pelan di sampingku. “Leo sedang menatap kita,” ujarnya. Aku merasa wajahku memanas.
“Bisakah kita hanya memikirkan pesta kecil kita hari ini?” pintaku sungguh-sungguh. Luna dan Kirana terdiam sebentar kemudian mengaguk, berjalan mengapitku seakan melindungiku dari hal buruk –yang tentu saja untuk saat ini tanpa mereka sadari diriku lah ancaman terburuknya-.

Kami duduk di meja kantin dalam diam. Aku memainkan jus alpukatku dengan tatapan kosong. Menantikan sebuah keajaiban yang mungkin hadis di awal umurku yang baru. Aku tersentak ketika ponselku berdering. Telepon dari mom.
“Kimi, kamu ada di mana?” tanya mom, aku tidak bisa mengartikan nada suaranya. Namun jelas bukan kekhawatiran yang ada di sana. Ia tidak lagi memiliki waktu untuk memikirkan hal lain. Termasuk diriku, putri tunggalnya. “Mom sudah memintamu untuk tinggal di rumah bukan hari ini?” tudingnya, kini terdengar marah. Aku hanya berdehem sebagai balasan. “Cepat pulang, kamu harus hadir di pengadilan hari ini,” tambahnya. Aku membeku dalam diamku, namun aku merasakan sesuatu di mataku mencair. Apa sudah waktunya??  “Kamu ingin pak Rudi menjemputmu?”
“Tidak,” potong ku cepat. “Aku bisa pulang sendiri,” jawabku dengan ketenangan yang dibuat-buat. Mom mendesah kemudian mematikan teleponnya. Luna dan Kirana menatap pilu kepadaku. Aku tersenyum tipis pada mereka. Kemudian mengangkat bahu santai, mengutarakan kalau ini sudah biasa. Namun rasanya aku tidak bisa mengusir rasa simpatik mereka. Hingga akhirnya aku menyerah.
“Kamu ingin kami temani?” tanya Luna. Aku mendelik dengan ekspresi, Yang benar saja!
“Aku bisa pulang sendiri, tenang saja” aku menepuk pundak Kirana pelan. Kemudian berlalu pergi.
                                                                        ***
Happy birthday to me,
Bukankah itu kata yang indah. Namun tentu saja begitu miris, karena terasa tidak ada yang mengucapkan selamat di hari bahagiamu, hingga akhirnya kau sendiri yang harus memberi selamat pada dirimu.
Aku tidak terlalu perduli sebenarnya. Toh tidak akan ada hal yang istimewa yang akan muncul di hari ini. tapi tunggu dulu, sepertinya aku salah. Ya aku salah besar. Setelah semua peperangan itu, akhirnya mereka memutuskan berdamai. Orang tuaku...
Mungkin mereka mempunya pikiran yang berbeda denganku dalam mendefinisikan perdamaian. Tapi toh setidaknya dengan ini aku tidak lagi mendengar piring-piring pecah itu lagi.
Pagi-pagi sekali mom membangunkanku. Aku girang bukan main, ternyata ia masih mengingat kalau hari ini adalah hari ulang tahunku. Namun ternyata lagi-lagi aku salah. Mom memintaku untuk tidak pergi ke sekolah hari ini karena aku harus menghadiri perceraian mereka di pengadilan. Sungguh ironis.
Mom sama sekali tidak meminta pendapatku. Dan lagi pula memang siapa yang mau memberikan pendapat. Aku juga sudah lelah dengan semua ini. lelah dengan perselingkuhan dad, isak tangis mom, dan pertengkaran mereka. Aku lelah!
Tapi mengapa harus hari ini? kenapa harus tepat dihari ulang tahunku yang ke 17?
Pagi ini aku berjalan melewati dia lagi tanpa berhenti. Namun setelah langkah kelima aku merasa hatiku begitu sakit hingga akhirnya tubuhku membeku tidak mampu berjalan lagi. Dewi batinku memberontak. Namun hatiku memaksaku untuk menoleh, setidaknya memandang punggungnya. Aku berkutat dengan batinku sendiri, akhirnya menyerah dan menoleh. Betapa terkejutnya aku ketika melihat dia disana, berdiri menatapku. Angin menerpa kami, memperlambat jalannya waktu. Tuhan, aku ingin menyentuh wajah itu, memberikan sedikit penjelasan padanya, mengatakan padanya bahwa aku sangat menyayanginya, mencintainya. Namun kenyataan kembali menamparku. Membuatku terhuyung beberapa langkah kebelakang. Tangannya terulur ingin menggapaiku. Namun aku menarik tubuhku lebih jauh. Menatapnya sedih dan berlari, tanpa menoleh.
Kabar perselingkuhan dad sebenarnya tidak terlalu mengagetkanku. Bahkan entah mengapa dewi batinku sudah menyadarinya sejak dulu. Namun sisi diriku tidak ingin mempercayainya, aku masih ingin mempercayai bahwa keluargaku adalah keluarga yang begitu harmonis. Itu masa lalu, begitu kata dad. Dan aku tau itu benar adanya. Dad berselingkuh dengan seorang wanita bernama Yolanda -tante Yola, begitu aku biasa memanggilnya- sebelum aku lahir. Aneh memang ia berselingkuh di tahun awal pernikahan mereka. Namun yang aku dengar Dad memang sudah mencintai tante Yola sebelum menikah dengan mom dan mereka akhirnya pindah ke Australia.
Tapi sejujurnya aku tau mereka saling menyayangi. Kakek selalu mengatakan hal itu padaku. Terkadang, aku menyesali keputusan kami untuk kembali ke Indonesia beberapa tahun yang lalu. Terlebih setelah om Wisnu –suami tante Yola- meninggal. Semua kabar perselingkuhan itu mulai terbongkar. Entah bagaimana awalnya. Tapi aku sadar ini pun karena diriku. Karena dad mengetahui hubunganku dengan pemuda paling fenomenal di sekolahku. Leopard Mahadewa.
Dan sejujurnya pula aku tidak pernah marah akan keputusan mereka untuk bercerai, mungkin inilah yang terbaik. Aku juga tidak pernah menyalahkan dad atas perselingkuhannya dengan tante Yola. Aku tidak pernah menyalahkan apapun. Aku menyadari semuanya adalah takdir. Aku hanya menyalahkan diriku sendiri yang tidak bisa bangun dari luka itu. bangun dan menghadapi semua kenyataan ini. kenyataan pahit bahwa pada tahun awal mereka menikah ayahku berselingkuh dengan orang lain. Kenyataan bahwa ia telah membuat wanita itu hamil. Kenyataan bahwa aku mencintai putra ayahku sendiri. Ya, Leopard Mahadewa.
                                                                        ***
Aku berdiri menatap lampu lalulintas. Sudah tiga kali ia berganti warna dari hijau ke merah dan begitu sebaliknya. Namun langkahku kaku, tubuhku menggigil, membeku di tempat. Mendadak nafasku tercekat. Aku mulai manggapai-gapai kehilangan keseimbangan. Namun tidak ada yang peduli. Semuanya hanya berjalan di sekelilingku tanpa menoleh. Aku mencoba berteriak, namun tidak ada suara yang keluar dari mulutku. Semuanya terkunci. Aku takut! Aku terpencil. Dan BUG!!! Suara keras itu menghantam tubuhku. Aku merasa tubuhku melayang bagai kertas. Semuanya tampak begitu ringan saat ini. ringan dan gelap...

Aku terbangun oleh suara isakan Kirana. Aku mendelik, ingin menanyakan apa yang terjadi hingga aku mendengarnya terisak seperti itu. namun aku merasa kelopak mataku begitu berat, hingga aku tidak bisa menggerakannya sama sekali. Aku bisa mendengar isakan Luna yang lebih halus. Sebenarnya ada apa ini??
“Bangunlah sayang,” itu suara kakek. Aku bisa merasakan lukanya. Astaga, apa yang terjadi?? Bangun, katanya??
“Rachel, kamu harus bertahan,” aku berdenyit. Bertahan?? Untuk apa?? Persidangan orang tuaku?? Aku bahkan sudah sangat siap.
“Kimi!!” itu suara mom. Astaga ia bahkan menangis keras di samping tubuhku. “Kimi, kamu harus bertahan sayang... jangan tinggalkan mom. Mom minta maaf,” aku merasakan tubuhku diguncang. Dan saat itulah sadarku mulai pulih. Rasa remuk mulai memenuhi setiap senti tubuhku. Aku ingin berteriak! Apakah benturan mobil itu membuatku seremuk ini? Ah ya, aku baru ingat tentang tabrakan itu.
“Hel, please jangan pergi,” Luna menggenggam tanganku. Aku mendelik. Tidak! Lagi pula siapa yang mau pergi? Apa mereka bercanda?? Apa mereka pikir aku selemah itu?!
Semua tangis itu membuatku semakin perih. Aku ingin membuka mataku, mengatakan pada mereka bahwa aku baik-baik saja. Namun tubuhku terkunci. Aku bahkan tidak bisa merasakan paru-paruku. Desahan nafasku...
Tiba-tiba pintu kembali terbuka. Aku tersentak ketika sebuah tangan meremas jemariku perlahan. “Sepertinya ia sudah tidak bisa bertahan,” bisik suara di sebelah kananku. “Namun sepertinya masih ada suatu hal yang mengganjalnya pergi, dan kami khawatir itu adalah kamu,” aku tersentak. Apa-apaan ini??!! dad tidak bisa menyerah seperti itu!!! dad tidak bisa!!!!
“Rachel,” suara lembut itu menghentikan pemberontakanku. “Aku disini,” aku bisa merasakan setetes air di keningku. Air mata Leo, untukku. “Aku mencintaimu, selalu dan selamanya. Tapi jika kau harus pergi, aku tidak akan menahanmu,” Tidak!!!! “Aku selalu mencintaimu, hanya itu yang perlu kau tau,” aku juga mencintainya! Dan aku tidak ingin pergi meninggalkannya. tidak pernah!!! “Jika ini begitu menyakitkan, kau bisa pergi. Percayalah padaku, kami disini ingin kau bertahan, namun jika semuanya begitu berat...” Leo menghentikan ucapannya. Aku menggeleng panik ketika ia melepaskan jemariku. “Aku sudah selesai,” bisiknya dan aku bisa mendengar suara langkahnya menjauh. Aku menjerit! Tidak jangan pergi ku mohon!.
Aku ingin menggapainya. Menyentuhnya. Namun aku bisa mendengar langkah itu menjauh dan hilang sama sekali. Sesaat kemudian suasananya mulai terdengar gaduh. Penuh jeritan dan isak tangis. Aku mendelik ketika rasa sakit itu perlahan menguap dari tubuhku. Inikah keajaiban yang hadir di ulang tahunku yang ke 17?? Aku merasakan tubuhku begitu ringan, dan saat semua rasa sakit itu benar-benar menghilang, aku bisa melihat sosok mereka semua. Menangis di samping ranjangku. Aku ingin mengatakan pada mereka bahwa aku baik-baik saja, namun cahaya putih itu terlalu menyilaukan. Hingga aku hanya menutup mataku untuk selamanya...


1 komentar:

yani mengatakan...

Huh? Ini beda cerita ama putri kelabu? Tp koq nama cast nya sama cyn?