Sabtu, 29 September 2012

My beautiful Nightmare


My beautiful Nightmare.

Aku tersentak dari tidurku, menggigil ketakutan. Namun entah mengapa ada hal lain dalam ketakutan itu yang terasa begitu aneh, tapi sepertinya begitu menarik perhatianku. Aku menatap kamarku yang gelap. Takut-takut ada sesuatu yang aneh di sini. Namun semuanya tampak sama, tampak normal. Aku mendesis ketika melihat jam dinding. Pukul 2 malam. Apa-apaan aku ini, terbangun oleh mimpi aneh pada tengah malam seperti ini?? apa diriku sendiri sudah lupa jika aku takut gelap??!!!
Keesokan harinya mataku merah karena tidak bisa tidur setelahnya. Astaga padahalkan hari ini hari ospek pertamaku!! Bagaimana ini?? bagaimana jika aku tertidur ketika ospek nanti? Bisa mati digilas kakak senior!!!
Luna menatapku tidak percaya. Kemudian melirik Kirana yang berdiri di sampingku. Ia mendesis ngeri. “Apa kalian serius??” tanyanya syok. “Kalian berdua begadang semalaman?” tanyanya. Aku mendesah. Tentu saja tidak. Namun sepertinya Kirana iya. Matanya tidak jauh berbeda dari mataku, malah terlihat lebih parah. Membuatku ingin terkikik. Sepertinya sahabatku yang satu ini benar-benar ketakutan akan ospek kami. Padahal kami sudah tau kalau sekolah kami –dengan alasan keselamatan- tidak memperbolehkan ospek yang membully seperti biasa. Alhasil kami malah disuruh mendengarkan kuliah umum selama 3 hari penuh di dalam aula yang penuh sesak, dengan menggunakan Topi konyol yang terbuat dari bola plastik yang dibelah dua, diikatkan dengan tali plastik, tampak seperti helm. Ditambah lagi tas menakjubkan yang terbuat dari kresek hitam. Astaga, kami tampak seperti anak jalanan yang idiot.
Diantara kami hanya Luna yang terlihat santai. Tentu saja, meski menggunakan perlengkapan aneh ini ia tetap terlihat cantik dan anggun. Tubuh Luna semampai –meskipun tubuhku dan Kirana tidak jauh berbeda- namun ia begitu cantik. Ia sudah bisa berdandan sejak kelas 2 SMP. Jadi tidak heran kan jika dia bisa mengkamuflase wajahnya, hingga terlihat begitu innocent.


Aku menatap kedua sahabatku ngeri. Jadi inilah ospek SMA kami?? Astaga ada lebih dari 300 murid baru di sini, dan kami harus masuk dalam satu aula sempit itu?? mendengarkan penceramah hingga sore nanti?? YANG BENAR SAJA??!!
Kirana mendesah di sampingku. Aku ikut mendesah juga. Tiba-tiba aku melihat seorang senior melihat kearah kami. Ups... tentu saja bukan kearah kami, tapi hanya ke arah LUNA. Lihat kan, begitu mudahnya ia menarik perhatian seseorang. Dan aku tidak bisa menyalahkannya atas bakat alaminya itu.
Seorang senior meneriaki kami. Memerintahkan kami untuk segera masuk ke Aula yang sudah penuh sesak. Aku menggerutu. Gadis ini benar-benar bertampang menyebalkan, namun gayanya unik, dan cantik. Kirana menggerutu di sampingku. Luna hanya mengangkat bahu tak acuh kemudian melenggang pergi. Aku berjalan di belakangnya. Tiba-tiba langkahku terhenti, tidak ada apapun yang menghalangiku secara harfiah. Namun aku merasa langkahku terhenti oleh sesuatu yang lain. Seperti tarikan magnet yang kasat mata. Aku mendesis, menggigil, mengingat mimpiku semalam.
“Hel,” Kirana menatapku dengan bingung, seketika itu juga aku seakan terlepas dari semua ketakutan itu. aku menatapnya lega, penuh terima kasih. Meski tidak mengerti Kirana akhirnya mengaguk juga. Aku merasa sesuatu menarik perhatianku. Aku menoleh. Dan pandanganku terpaku pada seseorang yang tengah menatap kami juga. Aku terkesiap, entah mengapa wajahku terasa memanas. Namun buru-buru ku tepiskan semua perasaan itu. hm... dia tentunya sedang memandang Luna yang berjalan di hadapanku, bukan Kamu Rachel!!


Aku menarik-narik kelopak mataku hingga terbuka secara paksa. Kalau aku sampai ketahuan mengantuk bisa-bisa aku dijemur di lapangan. Astaga, apa mereka pikir kami ini kerupuk??!! Luna menulis sesuatu di agendanya. Selalu begitu, selalu satu langkah di depanku dan Kirana. Oya Kirana, gadis berambut indah sebahu itu kini tengah berjuang juga menahan kantuknya. Aku jadi ingin tertawa menatapnya. Aku benar-benar bosan. Kami tidak boleh mengobrol, tidak boleh bercanda, tidak boleh makan, dan sialnya lagi tidak boleh tidur. Mereka pikir seberapa menyenangkannya kuliah-kuliah ini, hingga kami bisa mendengarkannya hingga akhir??! Well, kecuali Luna tentu saja. Hm, selalu ada pengecualian dalam hidupku. Dan selalu itu adalah Luna.
‘Apa?’ tanya Kirana sinis dengan tatapannya ketika aku terkikik melihatnya terantuk sampai kebukunya. Aku mengangkat jari telunjuk dan jari tengahku hingga membuat simpol peace, kemudian ngengir. Puk. Luna melemparkan kertas yang sudah diremaknya pada kami. Aku meringis kemudian membuka kertas itu. ‘Jangan berisik!’ tulisnya. Kirana nyengir padaku. Kemudian ide konyol itu mulai datang tanpa direncanakan. Kami melakukan surat menyurat ‘jarak pendek’ agar tidak ketahuan mengobrol. Kami berbicara panjang lebar, yang tentu saja jelas konyol dan membuatku terkikik terus menerus. Hingga akhirnya aku merasakan sebuah tangan besar di bahuku. Aku menoleh. Shit man!!!! Desisku. kirana dan Luna membeku di sampingku.
“Keluar,” begitu katanya. Aku sampai tidak bisa bernafas dibuatnya. Aku mengaguk kaku dan berjalan keluar, malu. “Kalian berdua juga! Keluar!” aku menahan tawaku ketika mendengar kata-kata senior itu lagi. Kirana dan Luna jalan menunduk tepat di belakangku.
Ternyata benar dugaanku. Kami dititah berdiri dilapangan, memberikan hormat pada tiang bendera yang kosong. Loh??! Aku merasakan lututku melemas. Aku hampir pingsan ketika mendengar suara jatuh yang begitu kencang. Hatiku mencelos ketakutan. Kami berbalik mencari asal kegaduhan. Namun jelas bukan dari aula, karena semuanya masih terlihat sama di dalam sana.
“Gisela jatuh!” teriak seorang senior panik. Refleks kami berlari ke arah kerumunan itu. aku tercekat melihat cowok yang tadi tengah menatap tajam kearah kami berlumuran darah. Seketika itu juga aku merasakan jantungku berhenti berdetak. Namun sedetik kemudian aku mulai tersadar kalau itu bukan darahnya, melainkan darah gadis yang tengah terbaring di hadapannya. Aku mendelik, astaga tangannya terluka. Sepertinya terkena benda tumpul, karena lukanya robek berantakan. Mungkin sekitar 5 sampai 7 senti, namun tidak terlalu dalam. Tapi cukup besar untuk mengeluarkan darah sebanyak ini. refleks aku langsung meraih lengan gadis bernama Gisela itu.
“Tali!” teriakku setenang mungkin. Kerumunan orang itu saling menatap. Aku mendesah tidak sabar kemudian menarik pita rambutku dan menalikannya beberapa senti di atas luka. “Perban,” pintaku setelah memeriksa lukanya, cukup bersih. “Apa disini tidak ada kotak P3K??!!” aku benar-benr gusar. Kemudian seseorang memberikan kotak itu padaku. Aku langsung bergerak cepat. Membersihkan, menutup luka, hingga memeriksakan keadaannya. Sepertinya darahnya tidak terlalu banyak yang terbuang, mungkin gadis ini hanya syok atau kaget. “Dia tetap harus dijahit,” terangku. Seorang gadis bertubuh gempal langsung mengaguk sigap dan memapah Gisela.
“Kamu sebaiknya disini saja,” ujar Gisela lemah pada cowok jangkung di hadapanku. Oh god, aku sampai lupa padanya. Mengingat dia dan tatapannya itu membuatku kembali merinding. Tanpa sadar aku mundur ke balik tubuh Luna.

Lagi lagi aku tersentak dari tidurku. Kini jelas-jelas sangat ketakutan. Nafasku masih terengah-engah. Mimpi buruk itu lagi. Namun entah mengapa aku merasa begitu familiar dengan sosok-sosok di dalam mimpi itu. aku bisa melihat sosok jangkung itu mencengkram pergelangan tanganku. Matanya hitam dan begitu menarik sekaligus. Membuatku ketakutan tapi jelas-jelas tertarik ingin menyentuhnya. Memastikan bahwa itu seindah kelihatannya. Kemudian sekelebat bayangan mulai muncul. Ternyata kami tidak sendirian. Dibelakangnya, beberapa orang lain menatap tajam ke arahku. Aku merasa familiar namun tidak bisa mengenali mereka.
“Ini pasti karena kamu terobsesi sama Edward Cullen!” ujar Kirana ketika aku menceritakan soal mimpiku semalam pada kedua sahabatku pada jam makan siang. Luna hanya terdiam. “Makanya kamu jangan keseringan nonton dan  baca novel fantasi, jadi aneh kan mimpinya,” ujar Kirana. Aku hanya mendesah.
“Tapi itu bukan Edward,” ujarku. “Dia sangat familiar. Dia seperti...” aku menghentikan kata-kataku. Meskipun Luna dan Kirana sudah menatapku dengan pertanyaan siapa? Aku menelan ludahku susah payah. Melongo menatap apa yang ada jauh di hadapanku. Kini aku sadar, cowok itu lah yang ada di mimpiku. Cowok dengan wajah rupawan yang begitu dingin dan angkuh. Cowok bermata hitam yang indah. Aku merasakan darah mulai naik kewajahku, membuatku memerah. Kirana mengibaskan tanganya di depanku. Aku terjaga. “Ah, bukan siapa-siapa,” ujarku, kemudian mulai menyibukan diri dengan makan siangku yang terasa mencekat di tenggorokanku.
Aku harusnya tau siapa dia. Dan sebenarnya siapa yang tidak tau tentangnya. Dia adalah seniorku, murid terpintar dan paling menawan di sini. Aku sudah dengar banyak gosip tentangnya. Tentang bagaimana kakak kelas tiga berlomba-lomba mendekatinya, tidak peduli dengan lebel juniornya; tentang perebutan sengit diantara teman-temannya satu angkatan untuk menarik perhatiannya; tentang juniornya, yang berarti teman-teman seangkatanku yang mati-matian tertarik padanya; dan tentang keangkuhan dan ketidak tertarikannya pada wanita. OMG! Apa dia gay?? Aku bergidik. Namun mengingat tatapan tajamnya hari itu pada Luna, sepertinya aku salah. Atau Luna adalah sebuah pengecualian –lagi-???

Aku menutup telingaku kuat-kuat ketika mendengar beberapa gadis cekikikan di belakangku. Bukan tawa aneh mereka yang membuatku menutup telinga. Tapi orang yang mereka perbincangkanlah yang membuat perutku melilit. Sebisa mungkin aku memang menghindari segala sesuatu tentang Leo, cowok menyeramkan yang sialnya tampan itu. aku selalu menghindar ketika sadar ia tengah memandang Luna. Aku tau, aura Luna sudah mulai tersebar di sekolah ini. ah... kalau saja dia bukan sahabatku. Aku muak pada diriku sendiri ketika menyadari aku sempat menyimpan rasa cemburu pada Luna, sahabatku sendiri. Dan tentu saja kalau mau cemburu, aku tidak hanya bisa puas cemburu pada Luna, tetapi juga gadis bernama Gisela itu. aku bisa melihat kekhawatiran di matanya ketika gadis itu terluka. Ah aku kesal!
Aku besyukur ini adalah hari terakhir ospek, dan setelah itu saat-saat yang dinantikan tiba. Penutupan ospek di sekolah ini selalu menyisakan kisah yang menarik. Dipenutupan nanti kami akan dikumpulkan di lapangan pada malam hati. Melakukan sebuah renungan malam, sambil membuat api unggun besar. Berpesta ala kadarnya. Cukup menarik bukan, tapi sejujurnya menurutku ini hanya akan menjadi ajang PDKT untuk para senior yang sudah melihat incarannya ketika ospek. Apa lagi penutupan ini bertemakan ‘Step of Waltz’. Geli juga jika mengingat kelas tiga marah karena temanya mirip dengan tema prom mereka.
Tapi tentu saja masalah baru muncul. Bagaimana jika nanti aku satu-satunya orang yang tidak memiliki teman dansa. Walaupun aku memang tidak bisa berdansa dan tidak ingin. Tapi bisa jatuh derajatku nanti.
Aku mendesah dalam.
Nasib... nasib....

Mimpi burukku terasa semakin nyata. Kini jelas-jelas sangat menyakitkan. Namun ketika bangun, aku tidak bisa mengingat apa-apa. Hanya menyadari jika semua ini sangat teramat menyedihkan untukku. Aku merasa ingin menangis. Tapi aku masih tidak tau mengapa.
Benar-benar seperti menyambut pesta prom yang terlalu dini rasanya. Aku dan Kirana memang tidka perlu repot-repot ke salon untuk make up karena kami sudah mempunyai perias profesional di sini. Luna selalu tau apa yang sebaiknya kami kenakan.
Malam itu semuanya mengenakan baju biasa. Begitu kontras dengan tiga hari ospek itu. wajah para seniorpun tampak lebih ‘manusia’. Aku mengenakan dres cantik selutut berwarna peach berbahan chiffon. Ringan dan santai. Luna, tentu saja tampak anggun dengan dotty dressnya yang berwarna biru muda, cocok dengan bandana yang ia kenakan. Kirana mengenakan vest denim kesukaannya dan jeans abu-abu yang entah bagaimana caranya bisa menunjukan sisi ceria dan feminimnya secara bersamaan. Baru sampai saat ini saja aku sudah merasa minder. Di dalam sana pasti mereka bermake up lebih heboh lagi. Tapi aku memang tidak ingin bermake up terllau berlebihan untuk ini. alhasil aku hanya membiarkan rambut ikalku tergerai begitu saja dengan beberapa jepit bunga kecil-kecil indah yang tersebar di rambutku. Ini membuatku merasa begitu natural dan feminim.

Aku tercekat ketika melihat Gisela yang tengah tertawa di samping meja senior. Ia begitu cantik dengan t-shirt dan rok denim super mininya. Tampak seperti super model. Aku mendesah, ia memang cocok jika disandingkan dengan cowok itu. eh, tunggu dulu, dimana dia?
Aku memutar pandanganku. Mencari-carinya. Namun kecewa karena tidak bisa menemukannya. Bahkan hingga acara sudah dimulai iapun belum juga muncul. Aku mendesah, menyerah. Dan setitik kelegaan muncul secara tiba-tiba.
Aku merasakan suasana yang sengat berbeda malam itu. tidak ada lagi penekanan antara kata junior dan senior. Semuanya sama, mereka meminta maaf dan kami berterima kasih. Aku senang karena akhirnya seperti ini. acara puncak akan segera dimulai. Menyalakan api unggun dengan tumpukan kayu setinggi tiga meter. Astaga, memangnya kita mau membakar sekolah???
Semuanya bersorak ketika api mulai menyala. Begitu indah dan bahagia di tengah-tengah warna kemilau api ini. musik mengalun lembut dan beberapa pasangan tanpa malu-malu mulai berdansa. Aku mengerutkan dahiku. Sebenarnya ini pesta penutupan ospek atau pesta tahun baru sih??
Aku menyeringai ketika seorang senior mendatangi Kirana. Ia jelas-jelas tertarik pada sahabatku yang satu ini. aku sudah mendapatinya mencuri-curi pandang pada Kirana selama beberapa waktu. Aku mengaguk dan ia pun berlalu dengan senior yang belakangan ku kenal bernama Andre.
Deg. Hatiku rasanya jatuh menggelinding begitu saja ketika melihat siapa yang menghapiriku dan Luna. Entah dari mana datangnya, namun jelas cowok tampan nan rupawan itu berjalan kearah kami. Ia mengenakan t-shirt dengan kemeja kasual. Begitu santai dan ‘normal’. Aku mendesis, darahku naik sampai keubun-ubun, menusuk setiap senti kepalaku. Mendadak aku menjadi pening. Luna tampak santai di sampingku. Aku seperti tersihir. Merasa malu karena tidak bisa berlalu pergi dari tempat itu untuk berhenti mengganggu mereka. Aku bisa merasakan air mataku tergenang ketika ia berdiri tepat di hadapan Luna. Aroma tubuhnya yang begitu hangat membuat nafasku tercekat.
Aku ingin menyentuh wajah itu. wajah yang selalu menghiasi mimpi burukku. Ya, kini aku baru sadar apa yang sebenarnya membuatku takut di mimpi itu. jelas-jelas aku tertarik seperti magnet dengan mimpi itu, karena aku benar-benar menyukai sosok tampan di depanku. Namun seketika itu juga aku sedih karena sadar semua ini hanya akan sekedar mimpi untukku. Karena, tentu saja lagi-lagi Luna lah yang menjadi pengecualian dalam kamus kehidupanku. Aku mendesah. Akhirnya aku harus siap mundur, menelan pil pahit dalam hidupku lagi. Aku bisa melihat Luna tersenyum dan mengaguk. Dan entah mengapa aku menangis karenanya. Aku ingin berlari, namun tubuhku terlalu lemah. Pandanganku membaur karena air mata. Aku muak pada diriku sendiri. Aku mulai terisak, melupakan seklilingku. Tidak lagi menyadari akan musik indah itu, tidak lagi menyadari akna keberadaanku, tidak lagi menyadari akan kepergiaan Luna, tidak lagi menyadari akan sosok tampan yang kini tengah menatapku.
“Kamu baik-baik saja?” tanyanya. Aku ingin berlari dan menjawab iya. Tapi aku terlalu lemah. Aku tersentak ketika jemari dingin itu menyentuh pipiku, mengusap air mataku. Aku melongo menatapnya. “Kamu yakin?” tanyanya. Aku hanya terdiam, terpaku. Oh Tuhan... dia benar-benar tampan. Sedetik kemudian aku sadar. Kemudian mundur beberapa langkah, namun ia meraih lenganku agar tetap berdiri di tempat. Aku melirik ke belakang punggungnya, ngeri memikirkan pendapat Luna padaku jika melihat ini. “Luna sudah pergi?” katanya seakan menjawab pandanganku. Otomatis aku menatapnya heran.
“Lalu mengapa kamu masih di sini?” tanyaku kaku. Ia mengerutkan keningnya bingung, astaga bahkan dalam keadaan begini pun ia tetap yang paling menawan. “Luna sudah pergi, mengapa kamu masih di sini?” ulangku setenang mungkin.
“Aku memang memintanya pergi,” jawab cowok itu. aku mencibir. Jadi dia meminta Luna pergi terlebih dahulu, kemudian bertemu di suatu tempat agar tidak menarik perhatian orang. Cerdas!! “Aku memintanya memberikan kita sedikit privasi,” aku melongo.
“Kita??” tanyaku tidak mengerti. Leo mengaguk, kini terlihat ragu dan was-was.
“Aku ingin berbicara berdua denganmu,” ujarnya terlihat begitu ragu dan rapuh dan... ketakutan. Aku tercekat melihatnya seperti itu. “Maaf kalau aku membuatmu tidak nyaman,” ujarnya seraya melepas pegangannya. Aku jadi kikuk sendiri mendapatinya resah seperti itu.
“Maaf, tapi kamukan ingin mengajak dansa Luna, kenapa kamu malah berada di sini?” tanyaku. Bingung mengatur kata. Jadi hanya mengatakan apa yang terlintas di benakku. Ia menatapku sesaat kemudian tersenyum geli.
“Bodoh,” ia mengacak rambutku dengan perlahan dan sayang. Aku mendelik memandangnya. Berpura-pura marah karena rambutku berantakan dan benar-benar tersanjung karenanya. “Kalau aku mau mengajak dansa Luna, mengapa aku malah ada di sini?” tanyanya masih dengans senyum geli.
“Nah, itu juga yang aku tanyakan tadi,” ujarku kesal. Ia terkekeh.
“Kamu benar-benar lucu,” bisiknya. aku merengut. “Apa kamu benar-benar tidak mengerti?” kini ia terlihat syok. Spontan aku merasa tersinggung. “Astaga,” ia mengacak rambutnya sendiri. Tapi sialnya ia masih tetap tampan nan rupawan. Aku menatapnya sarkastis. “Rachel, kalau aku mau berdansa dengan Luna, aku tidak akan ada di sini saat ini. tapi lihat saat ini, detik ini aku ada di sini, di depanmu. Tidakkah itu membuatmu mengerti kalau aku ingin berdansa denganmu?” aku melongo mendengar kata-katanya. “Sepertinya aku memang harus mulai bersabar,” Leo terdengar benar-benar frustasi. Wajahku mulai memerah. Aku masih belum percaya, tapi dewi batinku sudah melompat kegirangan.
“Tapi kamu suka Lena,”
“Bodoh lagi,” desisnya. Aku cemberut. “Aku suka kamu,” katanya kesal. Aku tidak begitu menyadari kata-katanya.
“Tapi Gisela,” ia menatapku geram.
“Dia sahabatku, dan terima kasih telah menolongnya waktu itu. kamu cocok menjadi seorang dokter,” ujarnya sungguh-sungguh. Aku mengeringai ketakutan. “Sudahlah, ayo kita berdansa, aku bisa mati kesal kalau begini terus,” ujarnya, menarikku ke sisi cahaya api.
Tiba-tiba wajahku memanas ketika mengingat kata-katanya yang baru ku sadari. “Kamu suka aku?” tanyaku tidak percaya. Ia menatapku, jelas sekali kesal. Tapi begitu keren.
“Astaga kamu baru menyadarinya?” tanya Leo. Aku menggigit bibir bawahku takut. “Iya, gadis bodoh yang benar-benar menjengkelkan. Kau tau, kau gadis terbodoh yang pernah aku temui,” aku menatapnya marah. “Tapi sialannya kamu benar-benar membuatku terpesona sejak pandangan pertama,” aku kembali menegang di tempatku. Ia mendesah. “Iya bodoh, aku sangat menyukaimu,” aku terkesima dengan kata-katanya. Dan aku merasakan tubuhku melayang, bahagia. Inilah arti dari mimpi burukku yang indah itu?? hm... begitu manis... J

1 komentar:

yani mengatakan...

Rachel, luna, kirana pas SMA?