Sabtu, 29 September 2012

One Tears of Love



Aku seharusnya bahagia melihatnya tersenyum. Aku seharusnya bahagia mendengar kabar itu. aku seharusnya bahagia melihat semua ketercapaiannya. Aku seharusnya bahagia, karena aku adalah sahabatnya. Namun nyatanya tidak. Aku terluka. Meski masih bisa menunjukan sebuah senyum palsu yang menjijikan.
Aku terluka, meskipun rasanya sangat tidak wajar. Tapi aku jelas kecewa ketika membaca pesan terakhirnya. Berkali-kali aku membacanya, berharap semua itu salah. Namun berkali-kali pula aku mendapati kebenaran hal itu. aku menangisi kelemahanku. Aku mengecewai seluruh nasibku. Tapi bukankah aku harus bahagia untuknya?? Tidak!! aku tidak bahagia sama sekali! Aku terluka dan kecewa! Aku iri padanya!! Ya, aku iri padanya yang bisa mendapatkan semua yang tidak bisa ku dapatkan.

Luna berdiri mematung di halte, tidak untuk menunggu bis, tapi menungguku. Wajahnya tersenyum sumingrah. Menunjukan betapa bahagianya ia hari ini. aku bergeming, mengatur gemuruh hatiku dan tentu saja senyuman palsuku juga. Senyumannya bertambah lebar ketika melihatku berjalan kearahnya. Aku melirik lampu lalu lintas dan kembali meliriknya. Ia ikut melirik kearah lampu 3 warna itu.
Kami berdiri bersebrangan, menunggu lampu merah datang. Namun ketika lampu hijau untuk pejalan kaki itu muncul, aku sama sekali tidak bergerak. Kaku menatapnya yang tampak bingung. Ia meneriaki namaku beberapa kali, namun aku masih tidak sadar. Kepalaku penuh dengan rasa aneh yang tidak bisa ku kendalikan. Kemudian ponselku bergetar. Luna meneleponku.
“Hel, apa yang kamu lakukan disana? Ayo sudah lampu merah, kamu bisa menyebrang sekarang,” tuturnya. Aku mengerjap beberapa kali. Kerongkonganku sedikit sakit.
“Aku takut,” bisikku. Luna tersenyum di sebrang sana.
“Oke, aku akan jemput kamu,” ujarnya lembut. Dewi batinku memekik karena jijik pada diriku sendiri. Ia begitu baik dan aku begitu jahat. Inikah kebenaran dari cerita devil and angel??
Luna berjalan perlahan dengan ponsel masih di telinganya. Ia kembali menceritakan hal itu. hal yang membuatku muak setengah mati. Ia tersenyum lebar ketika menceritakannya. Ia begitu bahagia. Tidakkah ia lihat aku begitu kecewa karena kebahagaiaannya?? Sedetik kemudian aku menyadari suatu hal. Ya, senyum palsuku tampak begitu mengelabuinya rupanya. Aku mendesis kemudian menghilangkan seluruh kepura-puraan itu dari wajahku. Ia terlihat begitu tercekat. Terhenti beberapa meter di depan bahu jalan, di depan tempatku berdiri. Luna sudah tidak memerlukan handphone lagi untuk mendengar suara bisikkanku. Namun ia masih menempelkannya di sana, di telinganya- entah sadar atau tidak.
Aku bisa membaca wajah penuh pertanyaannya dengan mudah. Bingung dan sedikit takut atas ekspresi dinginku. “Ada apa?” bisiknya. aku terdiam menatapnya. Memikirkan seluruh hal dalam satu waktu. Hitam atau putih, putih atau hitam? Aku bergeming, akankah aku bahagia jika aku memilih hitam itu?? aku tidak tau, namun aku tidak punya waktu lagi untuk memikirkan kemungkinannya. Tapi aku ingin mencobanya.
Tampaknya ia begitu kalut melihat diriku hingga tidak memperhatikan sekelilingnya. Bahkan ketika lampu merah itu berganti hijau diiringi klakson mobil yang bersahut-sahutan ia masih tetap berdiri disana. Membuat beberapa orang mengumpat kepadanya yang masih menatapku. Aku meletakan ponselku di telingaku. Dengan perlahan namun pasti aku membisikan sebuah kalimat.
“Ada mobil tepat di sampingmu,” bisikku dingin. Tubuh Luna membeku, kemudian menoleh. Semuanya terasa seperti tayangan slow motion. Teriakan itu terdengar nyaring memekakan telinga. Aku melihat tubuh Luna melayang di depanku, kemudian terlempar jauh di aspal. Darah mengalir deras dari beberapa bagian tubuhnya. aku bisa melihat jemari itu perlahan kaku melepaskan genggamannya pada ponsel yang masih menyala.
Untuk sepersekian detik aku masih mematung di tempat. Tidak peduli akan kerumunan orang di sekeliling tubuh Luna yang bersimbah darah. Mengapa selalu ia yang mendapat perhatian? Mengapa selalu Luna???
                                                          ***
Jum’at, 30 Januari
“Beasiswa??” Luna mengulangi kata-kataku. Aku mengaguk cerah. Kirana mengganti-ganti saluran tv dengan tidak sabaran. “Kita harus ikut,” ujarnya lagi. “Ini pasti keren kalau kita bisa sekolah SMA di luar negeri,” tambahnya. Aku mengaguk setuju. Meski sejujurnya aku tidak terlalu antusias untuk sekolah di luar negeri, toh aku baru saja pindah ke Indonesia ketika kelas 6 SD dari Australia. Tapi jika pergi bersama teman-temanku, itu akan berbeda lagi rasanya. Kirana mengendus kesal kemudian mematikan Tv.
“Buat apa sih bermimpi kalau tidak bisa dicapai?” tanyanya ketus. Aku dan Luna saling pandang.
“Ki, kita sedang berusaha,” ujar Luna. Aku mengaguk setuju.
“Memang kalian yakin akan berhasil?” Kirana mencibir.
“Aku yakin,” bisikku. Luna tersenyum penuh semangat. Akhirnya setelah membujuk dengan susah payah Kirana mau ikut mencoba. Setidaknya kami tidak akan tau apakah ini akan berhasil atau tidak jika kami tidak mencobanya.

Beasiswa ini di peruntukan kepada siswa SMP. Tentu saja aku sangat berminat. Beasiswa full untuk 100 orang siswa terbaik dari seluruh indonesia. aku sedikit ngeri membaca kata-kata seluruh indonesia itu. tentu saja akan ada beribu-ribu orang yang akan menjadi sainganku. Namun aku tidak ingin menyerah. Tidak saat semangat Kirana mulai muncul. Beberapa aplikasi persyaratan harus kami isi. Sebuah bundel yang begitu tebal dan HARUS BERBAHASA INGGRIS. Aku mendesah. Meskipun aku menyukainya tapi aku tidak bisa merangkai kata dalam bahasa inggris seperti Kirana dan Luna. Kami juga harus melampirkan foto kopi raport, tes kesehatan dari dokter, persetujuan tertulis bermaterai dari orang tua dan lain-lainnya.
Yang terberat untukku adalah saat menulis essay. Namun aku rasa aku bisa melewatinya dengan baik. Ya tentu saja, lagi pula aku memang bukan murid yang bodoh di sekolah. Bahkan kami bertiga terkenal sebagai triple angel yang cerdas. Menarik bukan!
Aku bisa melihat siswi lain menatap kagum sekaligus iri pada kami. Padahal, dalam hati meskipun bangga aku tidak suka akan pandangan mereka. Ini akan menjadi sangat sulit ketika kami kalah. Mom dan dad bahkan lebih bahagia dari pada yang ku duga. Sejenak aku menjadi benar-benar senang.
“Hel,” panggil seseorang ketika aku berjalan di koridor utama. Aku berbalik. Betapa terkejutnya aku mendapati sosok tampan Andika yang diam-diam ku taksir. Andika bertubuh tinggi sedikit kurus, matanya coklat indah dengan senyuman manis yang begitu ramah. Aku membalas sapaannya dengan senyuman termanisku. “Kamu sedang sibuk?” tanya Andhika lagi. Aku melirik buku sejarah yang ada di tanganku sekilas. Tidak cukup sibuk jika ia yang bertanya. Kemudian menggeleng. “Bagus, ada yang mau aku tanyakan kepadamu,” aku melongo ketika wajah itu memerah. Astaga... apa yang sebenarnya mau ia tanyakan??? “Gimana kalau kita masuk keperpustakaan?” tanyanya. Aku mengaguk dalam keterpesonaan.
“Ada apa?” tanyaku. Andhika mengangkat wajahnya perlahan. Memandangku dari balik bulu matanya yang indah. Mama.... dia benar-benar tampan!! Jerit dewi batinku.
“Hm, menurut kamu, sebagai seorang perempuan, kado apa yang paling indah yang ingin perempuan dapatkan?” hatiku mencelos. Wajahku ikut memerah. Apa dia sebenarnya ingin memberikanku kado, namun tentu saja ingin memberikan yang sesuai dengan keinginanku? Tapi ini terasa menggelikan. Tapi ah, ini romantis.
“Benda berkilau,” jawabku tanpa sadar. Andhika memandangku bingung. Apa dia pikir benda berkilau itu...
“Lampu?” tanyanya. Aku sampai tersedak keterkejutanku sendiri. Sejak kapan lampu menjadi benda berkilau? Dan lagi disukai wanita?
“Bukan, tapi seperti ini,” aku menyentuh cincin di jari tengahku. Ia mebulatkan matanya, mengerti. “Tapi mungkin untuk permulaan kamu bisa memberikan gelang atau anting,” ujarku penuh harap. Andhika mengaguk-ngaguk.
“Oke, terima kasih Rachel atas bantuan kamu,” ujarnya. Aku mengaguk bahagia ketika ia berlalu meninggalkanku. Akhirnya!!! Pekik dewi batinku senang.

Hari ini adalah pengumuman kelulusan basiswa itu. aku begitu antusias. Kebetulan hari ini hari minggu, jadi  aku memutuskan untuk mengeceknya di rumah. Langsung ke situs SMA yang bersangkutan di AS. Mom membantuku, kakek terlihat begitu bahagia dan penuh harap. Baru kali ini aku melihatnya sebahagia itu setelah nenek meninggal. Dad bahkan rela meninggalkan olahraga favoritnya untuk merayakan keberhasilanku.
Aku mengetikan nama lengkapku. Rachel Valerina Kimberly. Namun hasilnya kosong. Mom yang berdiri di belakanku meremas pundakku perlahan.
“Coba lihat ke pengumuman kelulusan itu, mungkin namanya di tulis di situ,” usul dad. Aku mengaguk dan mengikuti apa katanya. Ada seratus nama di sana , namun aku tidak menemukan namaku.
Drrd.... tiba-tiba ponselku bergetar. Pesan dari Luna
From : Luna
AKU MASUK!!!

Dan semuanya itu pecah berantakan. Seperti kristal yang dibanting begitu keras hingga jatuh berkeping. Aku merasakan wajahku memanas ketika mendapati namanya di antara nama-nama itu. Luna Fayrish. Begitu mengagumkan, dan menyakitkan. Sedikit kelegaan ketika aku menyadari nama Kirana Aghata Lubis juga tidak tertulis disana.
“Sudahlah, kita bisa pergi kesana tanpa memerlukan beasiswa,” ujar kakek riang. Namun aku bisa merasakan kekecewaan di matanya. Aku bergeming, kemudian berdiri dari kursiku. Sesuai janji setelah mengetahui pengumuman ini kami akan bertemu di taman kota. Dan sudah waktunya aku pergi.
“Kamu mau kemana?” tanya mom. Aku menjawabnya singkat. Dan mereka tidak bertanya lagi. Aku bisa melihat kekecewaan mereka.
Di perjalanan aku mendapatkan pesan dari Kirana. Dan aku hanya membalasnya untuk membahas semua itu di taman nanti. Namun Luna malah meneleponku. Aku ingin menghindarinya tapi aku tidak bisa. Ia begitu riang di sebrang sana.
“Hel, aku turut kecewa kamu dan Kirana tidak masuk,” ujarnya tulus. Namun sisi jiwaku mencibir jijik mendengarnya. “Tapi aku janji saat aku sampai di sana aku akan mencarikan informasi beasiswa yang lebih akurat lagi. Siapa tau kita bisa bersama lagi.” Ujarnya, begitu riang, begitu menjijikan. Namun diriku adalah aktris yang ulung. Aku sendiri merasa terkejut dengan nada suaraku yang terdengar begitu bahagia atas keberhasilannya. “Wah, mamaku juga sangat bahagia,” ujarnya. Dan aku kembali teringat atas wajah kecewa keluargaku. Setelah mengucapkan beberapa hal lagi ia memutus teleponnya. Dan saat itu aku sudah bisa menatap sosoknya di sebrang jalan.
Ia tersenyum, lebar dan bahagia. Aku menunjukan kepalsuanku dengan sangat baik. Jarak diantara kami tidaklah terlalu jauh, hingga rasanya aku bisa melihat sosoknya dengan jelas. Luna mengenakan dress selutut cantik berwarna kuning lembut. Rambutnya tergerai sebahu dengan jepit di sisi kiri telinganya. Dan sesuatu mengusik pandanganku. Baru saja aku akan mendelikan mataku telepon kembali bergetar. Luna meneleponku –lagi-. Memintaku menyebrang karena lampu merah. Aku membeku dan berbisik pelan “Aku takut,” aku tidak percaya bahwa ia percaya pada kata-kataku. Dan sejujurnya itu memang tidak mengada-ngada. Aku memang takut menyebrang. Tapi tentu saja tidak saat lampu merah menyala. Apa lagi yang perlu aku takutkan jika mobil dan motor itu berhenti takluk di depan lampu merah??
Namun ia tidak mengerti, atau terlalu baik. Ia berjalan mendekatiku, masih dengan ponsel di telinganya. Aku mendelikan mataku ketika mendengar ia terus berbicara sepanjang jalan. Beberapa kalimat lolos dari pendengaranku, namun tidak untuk yang lainnya. Aku tercekat menatap anting-anting indah itu kagum. Baru kali ini Luna mengenakan anting berkilauan seperti itu. “Hel, tadi Andhika kerumahku,” aku masih tidak mendengarkan kata-katanya. Terlalu sibuk dengan pandangan baruku. “Dia mengucapkan selamat, dan memberikan sepasang anting cantik. Kamu tidak akan percaya kalau dia mengatakan banyak hal padaku, Hel.” Aku bergeming. Saat itulah aku tersadar. Terpaku padanya kemudian memutuskan untuk menghilangkan semua kepalsuan wajahku.
Luna membeku, rasanya seperti itu. karena ia diam di tempatnya berdiri dengan wajah pucat. Memandangku, ketakutan. Apa dia baru mengetahui siapa aku sebenarnya?? Apa dia baru menyadari sifat obsesif ku?? Aku menatapnya tidak bergerak. Lalu aku mendengar suara itu. suara raungan mobil dari arah berlawanan. Aku ingin berteriak, menariknya ke bahu jalan. Namun aku hanya terdiam memandangnya. Dewi batinku meronta. Memintaku bergerak. Namun otakku lumpuh. Otakku lumpuh oleh kekejian yang tertanam dengan baik di hatiku. Semuanya seperti bom waktu. Meledak begitu cepat namun menyisakan luka begitu lama.
Aku baru tersadar ketika tubuh tak bergerak itu hilang dibawa ambulance.

Isak tangis itu terdengar memilukan. Aku berdiri di sudut ruangan dengan Kirana yang masih menangis di pundakku. Sedang aku hanya bisa menatap kosong kedepan. Tiba-tiba tante Indah mendekati kami. Ia adalah ibu Luna. “Rachel, Kirana... maafkan semua kesalahan Luna, dia sangat menyayangi kalian,” aku tercekik. Dadaku sakit menahan tangis. “Dia bahkan tidak ingin mengambil beasiswa itu dengan alasan kalian tidak masuk,” tidak! Tapi dia akhirnya mengambil itu semua. “Namun setelah ayahnya menjelaskan tentang kemungkinan besar ia akan mendapatkan informasi akan beasiswa selanjutnya, ia menjadi bersemangat. Ia benar-benar ingin mencari beasiswa untuk kalian, agar kalian bisa pergi bersama lagi,” Kirana menangis keras di sampingku. “Dan ini,” tante Indah menyodorkan sebuah kotak kecil padaku. “Ini dari Andhika untuk Luna, tapi dia tau kamu menyukai Andhika jadi dia meminta tante memberikannya padamu. dia sendiri membeli yang mirip dnegan ini untuk menghargai perasaan Andhika, dan setelah itu mengatakan padanya tentang semua ini,” jantungku seakan berhenti berdetak. Aku menatap gadis itu dengan pandangan kabur karena air mata.
Aku menangis sesenggukan di samping Luna. Membelai keningnya yang dibalut perban.
“Na, maafkan aku,” bisikku tercekat. Aku sudah tidak peduli lagi dengan beasiswa sialan itu. atau kisah cinta monyetku dengan Andhika. Aku sudah tidak peduli!!! Aku hanya ingin bisa memutar waktu, menariknya kembali dalam keselamatan yang aku hilangkan. Aku ingin orang yang ku sayangi ini kembali membuka matanya. Tersenyum bodoh seperti biasa. Kirana menangis memandangku. “Maafkan aku,” bisikku tercekat. “Aku ada di sana. Aku seharusnya menolongnya. Aku seharunya...”
“Hel.. stt... sudah tidak ada gunanya,” Kirana mendekapku erat. Ia benar, sudah tidak ada gunanya lagi. Sudah tidak ada gunanya lagi... aku merasakan tubuhku melemas, bahkan aku tidak mampu lagi menangis, menakjubkan bukan?? Namun sedetik kemudian aku merasakan kepalaku melayang dan gelap.

“Kamu sudah sadar?” suara itu menggelitikku. Aku terhenyak dan menatap wajah-wajah cemas di hadapanku tidak percaya. Terlebih sosok itu, tampak begitu cantik dan pucat dengan balutan perban di keningnya.
“Kamu sudah sadar??” aku balik bertanya. Gadis di hadapanku mengaguk.
“Luna sudah sadar keesokan harinya. Yang kami khawatirkan itu justru kamu. Kamu pingsan selama 3 hari. Dokter sampai terpaksa memasang infus padamu,” terang Kirana. Aku menatap Luna tidak percaya, sepertinya ia sudah benar-benar sehat. “Aku berhutang padamu,” ujarku perih. Luna menggeleng.
“Tidak. Ketika aku tidak sadarkan diri, aku bisa mendengar suara tangisanmu, dan saat itu pulalah aku merasa begitu sehat ketika merasakan air matamu di wajahku. Kamu memberikaku semacam kekuatan,” aku benar-benar terharu. “Aku seharusnya berterima kasih padamu Hel, karena air mata kamu sudah menyadarkan aku,” ia memelukku erat. Aku menangis di pelukannya.
“Mungkin itulah yang dinamakan air mata cinta,” ujar Kirana. Aku dan Luna hanya tersenyum penuh arti.

2 komentar:

yani mengatakan...

Ya ampun terharu :') andai aku pny sahabat se-erat mrk..

Nunaalia mengatakan...

betul yani, bikin mata berkaca2...