BAB SEPULUH
The Romance
Aldi tersenyum tipis padaku ketika kami
berpisah di depan mejaku. Mengapa aku jadi merasa dihormati seperti ini??
Namun aku tidak terlalu perduli dengan hal itu.
karena saat ini pikiranku terfokus pada sosok cantik yang duduk manis di
sebelahku. Ia tersenyum lebar, matanya berbinar penuh suka cita. Aku
mengerutkan keningku, apa dia sudah tau
yang terjadi? Kemudian wajahku memanas. Apa
semua anak sudah mengetahui hal ini?
“Jadi?” pertanyaannya membuyarkan lamunanku.
Aku berjalan mendekatinya, kemudian duduk disampingnya. “Bisakah aku
memberikanmu sebuah pelukan?” aku menatapnya penuh haru sebelum mengaguk pelan.
Lena memelukku erat. Desahan nafasnya begitu nyata, menyiratkan kelegaan yang
sempurna. Aku melepaskan pelukannya ketika merasakan tetesan air mata di
bahuku. “Jangan kau hapus, ini adalah air mata bahagia.” Bisiknya. Aku
menatapnya penuh kasih. Ah Lena sahabat terbaikku…
“Jadi ceritakan padaku secara detail,” ujarnya
setelah bisa menghentikan air matanya. Aku menatapnya curiga.
“Aku pikir kau sudah tau apa yang terjadi.”
Lena terkekeh pelan. ia menggeser tubuhnya lebih dekat, mengeluarkan beberapa
buku pelajaran siang itu dan kembali menatapku dengan senyuman manisnya.
“Tentu saja aku sudah tau kisah akhirnya, tapi
kau tau, aku masih ingin mendengar detailnya,” aku masih menatap curiga
padanya. “Oh ayolah Izz… kau tentu akan menangis meraung-raung jika semua ini
tidak berjalan lancar. tapi sekarang kau di sini, di sampingku, dengan air mata
yang mengerak dan rona pipi yang sempurna,” refleks aku langsung menyentuh
kedua pipiku. Lena langsung tertawa. “Cepat ceritakan semuanya, aku sudah tidak
sabar. Jika melihat dari sisa air matamu yang mEngering, kau pasti menangis
hebat tadi,” tebaknya. Matanya menilai wajahku. Aku memutar bola mataku dan
menutup wajahku dengan buku bahasa inggris.
“Bisakah aku menyimpannya sendiri sebagai
private romanceku?” tanyaku dengan nada mengeluh.
“Silahkan saja,” bisik Lena pelan sebelum
menggelitiki pinggangku penuh semangat.
****
Lena mengangkat bahunya tak acuh, senyuman
jahil masih menghiasi wajah cantiknya. “Aku akan memberikanmu privacy time
dengan pangeran barumu,” bisik Lena sebelum berlalu pergi. Wajahku bersemu
merah, namun aku tetap melambaikan tanganku pada gadis itu. hingga akhirnya ia
menghilang di balik gerbang sekolah yang terbuka lebar.
Petang itu, cahaya matahari tak lagi
tersembunyi di balik mendung. Malah sebaliknya, ia bersinar begitu indah,
menunjukan seluruh kemilau senja yang memukau. Suasana sekolah dengan cepatnya
menjadi sunyi. hanya beberapa anggota klub-klub tertentu yang masih berkeliaran
di sekolah. Termasuk klub basket yang masih berlatih untuk mempersiapkan diri
menjelang pertandingan musim ini. Aku duduk di depan kelasku, menatap lorong
sekolah yang sepi. Ada kursi-kursi panjang di setiap muka kelas.
“Sudah lama?” aku tersentak kaget. “Maaf, aku
tidak bermaksud mengejutkanmu,” ia menyentuh pundakku perlahan. Senyuman manis
itu kembali hadir menghampiri, membuat hatiku kembali berdesir tak tertahankan.
“Kau masih terlihat pucat,” bisiknya seraya menyentuh kedua pipiku. Aku
tersentak karena sentuhannya. Ia tersenyum geli. “Apa kau akan terus
tersentak-sentak kaget seperti ini ketika ku sentuh?” tanyanya. Wajahku
memanas, bahkan rasanya kini seluruh tubuhku memanas karena kata-katanya. Jadi
dia tau apa efek sentuhannya padaku?? Dan dia dengan santainya terus
menggodaku??? Aku menyipitkan mataku kesal.
“Hahahaha…” tawanya meledak. “Maafkan aku,” ia
merengkuh wajahku dengan kedua telapak tanganya. “Kau benar-benar lucu,”
ujarnya di tengah tawanya. Aku merasa tersinggung, namun sialnya sisi lain
diriku merasa tersanjung karena sikapnya. “Ayo pulang, sudah sore…” ia
menggenggam tanganku dan menarik tubuhku berdiri bersamanya. Aku menatap jemari
kami yang bertautan. “Kau harus membiasakan dengan hal ini,” bisik Ethan, kini
terdengar lebih serius. “Aku juga akan membiasakan diri dengan keterkejutanmu,”
suaranya terdengar geli. Aku mendesah kesal, namun akhirnya memeluk lengan
kirinya dengan erat.
****
Kisah ini bagai mimpi…
Kata siapa mimpi itu tidak akan pernah menjadi
nyata?? Aku merasakannya. Cinta indah yang pernah membuatku menangis dan
tertawa. Cinta menyebalkan yang sampai saat ini selalu membuat wajahku tersipu
malu. Aku membenci cinta itu, namun sialnya takkan bisa hidup tanpanya.
Hari-hariku kini luar biasa indahnya. Memiliki
kekasih yang luar biasa mempesonanya, dan tentu saja sahabat yang luar biasa
menawannya. Aku menyukai hidupku. Aku menikmatinya. Dan kurasa mama pun mulai
mendukung setiap langkahku. Ia tidak lagi memaksaku untuk mengambil beasiswa pertukaran
pelajar ke Australia yang papa usahakan untukku. Well, beasiswa itu… ku rasa
aku sama sekali tidak membutuhkannya. Aku hanya ingin tinggal di sini bersama
sahabat dan kekasih menawanku.
Sudah dua minggu sejak kejadian memalukan yang
indah itu terjadi aku masih belum juga terbiasa dengan sosok Ethan di
sampingku, terlebih dengan status kekasih baruku. Aku masih akan merona ketika
ia menatapku, tubuhku masih akan bergetar ketika ia menyentuhku, dan aku masih
sangat menyukainya seperti pertama kali aku melihatnya.
Ethan adalah sosok yang manis dan baik hati. Kami
selalu pulang bersama seusai sekolah. Aku senang menunggunya latihan basket
setiap hari selasa, rabu, kamis dan Jum’at. Aku berangkat sekolah selalu dengan
Lena. aku tidak ingin membiarkannya berangkat sendiri tanpaku –lagi-.
Aku menyipitkan mataku ketika mendengar sorak
sorai siswi di sekelilingku meneriaki nama pangeranku. Selalu begitu. Mereka
semua selalu seenaknya meneriaki namanya, seakan tidak peduli dengan
perasaanku, apakah mereka lupa jika Ethan sudah ada yang memiliki?? Atau mereka
memang sengaja berpura-pura untuk melupakanku???
“Eh, katanya kak Ethan sudah punya pacar kelas
dua,” nah bergosip lagi. Diam-diam
aku membuka telingaku lebar-lebar untuk mendengarkan pembicaraan mereka.
Terkadang aku sadar, ini adalah hal terkonyol lainnya yang aku lakukan semenjak
kenal dengan sosok pangeran tampan itu. tapi aku sama sekali tidak berniat
untuk melepaskannya, aku tidak ingin ada orang lain yang merebutnya dariku.
“Ya, katanya… ah tapi siapa yang tau, toh
memang banyak penggemar fanatiknya yang mengaku-ngaku menjadi kekasihnya,” ujar
gadis berbandana pink tak acuh. Penggemar
fanatic katanya???
Gadis berambut pendek di sampingnya termenung
sejenak, pandangannya tidak pernah lepas dari sosok Ethan yang dengan lincahnya
kembali memasukan bola ke ring. Sorak sorai kembali terdengar kencang. “Tapi
yang ku dengar dia sedang dekat dengan salah satu anggota Cheers,” nah itu aku!! Hati kecilku bersorak
riang.
“Ah, aku masih tidak bisa terima kalau dia
menjadi milik orang lain,” tambah gadis berambut panjang yang lainnya.
“Memang sepertinya tidak ada yang cukup cantik
untuk jadi kekasihnya…” gadis berbandana pink itu mendesah. Mataku menyipit
karena kata-katanya. Kalian salah,
buktinya ia memilih aku!! “Atau mungkin kalau saja Kak Sazkia tidak
berpacaran dengan fotografer keren itu, mereka berdua cocok,” tambahnya. Mataku
melotot pada keempat gadis yang duduk di depanku. Hatiku mulai bergemuruh
kesal.
“Hey itu lihat…” pekik gadis berambut pendek
girang saat Ethan tersenyum lebar. “Ah benar-benar tampan. Dia pasti bisa
menjadi artis terkenal!!!” pekiknya. Aku mendesah, tentu saja pangeranku bisa
menjadi apapun yang ia inginkan.
“Wah kak Ethan benar-benar keren…” gadis
berambut panjang bergumam. Aku mengaguk sekali, menyetujui pendapatnya. Wajah
tampan Ethan memang selalu membuat hati orang-orang di sekelilingnya mencari.
“Hey lihat! Itu pacar barunya yah?!”
Aku sampai tersedak liurku sendiri ketika
mendengar kata-kata gadis berambut panjang itu. keempat gadis itu langsung
memusatkan pandangan mereka. aku mengikuti arah pandang mereka.
Ethan berdiri di antara anggota tim lainnya. Ia
tampak lelah, namun masih bersemangat. Dan seorang gadis cantik berdiri di
sampingnya, ia memberikan sebotol air mineral pada Ethan. Ethan menerimanya
dengan senang hati, kemudian mereka tertawa bersama.
“Benar-benar cocok,” bisik gadis berbandana
pink. Hatiku berdesir perih. Tidak!! ini
tidak boleh terjadi!! Tanpa sadar aku meremas botol air mineral di tanganku
hingga tanganku memerah. Aku merasakan hatiku terpilin perih. terlenih ketika
tawa Ethan begitu lepas dan menyenangkan.
“Aku iri…” gumam gadis berbandana pink. “Tapi mereka
memang terlihat cocok yah. Seperti memang diciptakan untuk melengkapi satu sama
lain,” air mataku mulai tergenang. Aku sudah muak dengan semua lelucon itu. aku
muak!!!
****
Lena menggeleng padaku. Matanya menatap serius
padaku. “Kau harus menyelesaikannya,” ujar Lena tegas. “Aku akan pulang
duluan.” Katanya. “Ingat, selesaikan semua masalahnya dengan kepala dingin,”
Lena menunjuk keningku dengan jari telunjuknya sebelum berlalu keluar kelas.
Aku mendesah lelah, menempelkan keningku ke meja.
“Hai,” aku tersentak ketika mendengar suaranya.
Perlahan ku angkat wajahku. “Kau baik-baik saja?” Tanya Ethan, suaranya
terdengar cemas. Aku mengaguk pelan kemudian beranjak dari kursiku, berjalan
mendahuluinya keluar kelas. “Ada apa? Kau terlihat aneh,” katanya. Aku
mengendus. Namun sama sekali tidak menoleh padanya. Mengingat sikapnya di
lapangan tadi membuat hatiku kembali panas. “Izzi…” Ethan menangkap lenganku.
Dan entah mengapa itu membuat dadaku semakin sesak. Aku menyentak tangannya
dari tanganku hingga terlepas. Ia tampak terkejut.
“Aku baik-baik saja, dan aku ingin pulang.”
Ujarku dingin.
“Oke, kita akan pulang, tapi kau tidak
baik-baik saja!” katanya tegas. Aku memutar mataku. Huh, tau apa dia tentang diriku?! “Katakan padaku ada apa?”
tanyanya melembut. Aku menendang kerikil di depanku. “Izzi…” Ethan meraih
jemariku, sontak aku langsung menariknya, sedikit meringis karena sakit akibat
meremas botol mineral tadi. Ia mengerutkan keningnya dan mulai terlihat kesal.
“Ada apa?!” tanyanya seraya menarik kembali lenganku. Mempelajari kedua telapak
tanganku yang memerah. “Apa yang terjadi?” tanyanya ketus. Aku memalingkan
wajahku. “Izzi!!”
“Cukup! Berhenti memanggil namaku! Berhenti
bertanya ada apa, apa yang terjadi dan apapun itu!!” bentakku. Wajah Ethan mengeras,
terkejut pada teriakanku.
“Izzi…”
“Kalau kau ingin bertanya, mengapa tidak kau
tanyakan saja pada gadis yang memberimu air mineral ketika di lapangan tadi??!”
aku mulai gusar. Ethan mengerutkan keningnya. “Begitu santai tertawa
bersamanya, begitu terlihat bahagia,” desisku. Ethan menegakan punggungnya,
mundur selangkah, namun tidak melepaskan pergelangan tanganku. Aku sadar
matanya tengah mempelajari wajahku. Dan kemudian air mata itu kembali
tergenang. Aku mulai mengutuki kelemahanku. “Ayo pulang,” bisiknya, namun
tubuhku membeku. “Izzi, jangan bergurau lagi. Kemarahanmu sangat tidak
beralasan,” tubuhku mengejang. Tersentak dengan kata-katanya.
“Tidak beralasan katamu??!!!” aku menyentak
tangannya. rahangnya mengeras. Mata tajamnya menyipit. “Kau pikir, menebar
pesona pada setiap gadis di lapangan itu adalah hal yang pantas?? Kalau begitu
apa gunanya aku di sini? Kenapa kau tidak pacari saja semua gadis itu??!!
mereka meneriaki namamu dengan keras, dan kau dengan ramahnya tersenyum pada
mereka. mungkin kau tidak bermaksud apa-apa, tetapi mereka selalu berharap
lebih. Dan aku jengah melihatnya! Aku muak!!” kata-kata itu meluncur begitu
saja, seiringan dengan tetesan air mataku.
“Bodoh,” desisnya singkat, tapi aku bisa
mendengar kegelian dari suaranya. “Aku lupa jika mempunyai seorang pacar yang
pencemburu,” aku membulatkan mataku padanya. Pencemburu??!
“Aku…”
“Ayo pulang,” Ethan menarik bahuku dalam
rangkulannya. Memaksaku berjalan di sampingnya. Aku masih kesal kepadanya,
namun wajahnya sama sekali tidak menunjukan permintaan maaf. Ia malah terus
tersenyum, kemudian mengecup ujung kepalaku. “pacarku yang bodoh,” bisiknya.
Aku mengerucutkan bibirku kesal kemudian mendongkak untuk melihat wajahnya.
“Aku tid…” kata-kataku terpotong ketika dengan
lembutnya Ethan mencium bibirku.
3 komentar:
Ini ending nya kapan ya... Udah sgt penasaran daku.....
hehehe secepatnya mba fika... :) :)
cherry...
lanjutannya donk
hhehe
Posting Komentar