DEJA VU.
Hari itu, kali pertama aku melihatnya. Dengan batik berwarna
merah marun yang lengannya ia gulung hingga siku. Wajahnya tampak begitu cerah,
begitu kotras dengan kelabunya warna tenda yang segelap arang. Disampingnya,
beberapa anak sebayanya tampak turut tersenyum santun. Berdiri berjejer
menunggu mempelai pria memasuki pelaminan. Aku berdiri jauh di belakang. Sibuk
membantu menyiapkan makanan ringan untuk diletakan di meja tamu.
“Re,
coba ambil kamera yang lain,” teriak ayah dari balik kerumunan orang-orang. Aku
mendongkak mencari asal suaranya. “Ayah mau kamu shoot mereka dari sudut sana,
berdiri di atas kursi,” teriak ayah lagi. aku mengaguk sekali kemudian berlari
ke arah yang ditunjuknya.
Aku memaki pelan saat
kerumunan orang benar-benar memenuhi tenda itu. Bahkan aku tidak bisa melihat
pelaminannya. Terlebih saat aku menyadari bahwa kursi yang di maksudkan ayah,
tidak dapat dipindahkan. Aku tau, dalam dunia ayah, pengabadian momen adalah
yang terpenting. Dan aku tidak ingin dianggap bodoh karena mengabaikannya.
Aku berpikir sejenak dan
akhirnya menemukan setumpuk kardus air mineral di balik meja. Ini memang tidak
akan begitu banyak membantu, namun setidaknya ini lebih baik dari pada aku
harus berkelut dengan omelan ayah. Tapi tentu saja, aku masih kurang tinggi
untuk dapat men-shootnya.
“Kamu akan jatuh,” ujar
seseorang seraya merebut kamera dari tanganku. Aku sedikit terkejut. “Turun,
biar aku yang merekam semuanya,”
ujar pria jangkung itu. Dan benar saja, ia tanpa bantuan apapun lebih baik dari
pada aku dengan segala usahaku.
Aku menatap pria jangkung
itu dengan tatapan terima kasih. Meski aku sadar, ia takkan menyadari tatapanku
karena begitu sibuk dengan kamera ayah yang masih menyala. Sekilas wajahnya
mengingatkanku pada seseorang.
Saat itu, aku baru duduk
di kelas 2 SMP, bahkan umurku belum genap 14 tahun. Dan pria jangkung di
sampingku tampaknya sudah begitu dewasa. Mungkun ia 10 tahun lebih tua dariku.
Satu hal, yang saat itu tidak ku sadari. Batik marun yang ia gunakan juga
tergulung di sekitar lengannya hingga siku.
“Re, jangan lupa PR
matematika kamu!!!” itu ibuku. Rosa Meylinda. Guru SD, yang menurutku begitu
tegas dan penuh disiplin. Aku hanya bergumam pelan untuk menjawab perintahnya.
Tentu saja aku takkan pernah lupa, ibu mengingatkanku 5 menit sekali tentang
apa saja yang harus aku bawa ke sekolah. Ibu adalah salah satu dari orang-orang yang menjunjung tinggi semboyan,
anak harus lebih dari orang tuanya. Alhasil ia mendidikku seperti robot untuk
bisa melebihinya dan ayah tentunya.
Oya, dan itu adalah
ayahku. Fandi Rahadian. Seorang photografer yang merambah menjadi dokumenter
pernikahan. Aku lebih menyukai apa yang dilakukan ayah. Semboyan lain dalam
hidup, Mengabadikan setiap moment. Adalah
semboyan yang sengaja ku kutip dari benak ayah.
“Aku berangkat!!”
teriakku seraya berlalu mengejar angin. Di ujung jalan sana seorang gadis
sebayaku melambaikan tangan. Nina Amelia. Teman sejawatku sejak aku mulai
mengenal hurup A di taman kanak-kanak.
“Aku pikir kita nggak
akan bisa ke perpustakaan lagi hari ini,” ujarnya saat aku menjajari
langkahnya. Aku menatapnya dengan tatapan ‘mengapa’. “Katanya film korea
terbarunya Lee min ho itu mau mulai hari ini,” aku mendesah. Astaga, aku lupa.
Ia adalah salah satu penggemar fanatik film-film korea. Padahal beberapa saat
yang lalu, ia sempat mengolok-olokku karena menonton film itu. Pada akhirnya ia
sendirilah yang tergila-gila saat melihat film Boys before flowers.
“Tapikan, kamu sudah
janji,” keluhku. Nina menunjukan cengiran kudanya mengutarakan kata maaf yang
selalu enggan ia katakan. Aku menyerah dan mengangkat bahu kesal.
Sekolah kami terbilang
cukup jauh dari rumah. 30 menit perjalanan jika tidak terjebak macet. Namun aku
menikmatinya. Aku suka batik kotak-kotak berwarna pink yang berbeda dari
sekolah pada umumnya. Aku suka cara pengajarannya yang tidak terlalu berpusat pada guru. Dan terlebih lagi, aku suka
perpustakaan dan ruang seninya yang luas.
“Nin, siang ini mulai
loh!!” ujar Gita. Gadis berambut panjang sebahu yang kuanggap sebagai duplikat
Nina dalam hal ‘Korea’. Tak lama kemudian mereka sibuk dalam bahasan korea
mereka. Aku duduk di kursi ke tiga bersama Vella. Gadis tercantik di kelas
kami. Nina duduk di depanku bersama duplikatnya, Gita. Sedangkan di belakangku,
cowok gendut dengan kacamata dan permen karet joroknya, Ozan. Sampai sekarang
aku masih tidak mengerti mengapa Vella tetap bersikeras memaksaku duduk
bersamanya tepat di depan si Gendut.
“Eh, kata ibu Ria, ada
anak baru di kelas kita!” teriak Mel, salah satu anak kelasku yang dicap miss
gosip. Kami menoleh tertarik kali ini dengan gosipnya. Terlebih sumber yang ia
sebutkan diawal tadi. “Pindahan dari Bandung katanya,” tambah gadis berbehel pink menyala itu lagi. aku
melirik Vella yang tersenyum tipis.
“Kamu kenal?” tanyaku
tanpa sadar. Vella hanya tersenyum misterius sepert biasa. Meski sempat
terputus, pembicaraan Nina dan duplikatnya kembali berlanjut lagi.
Kelas mendadak hening
saat langkah kaki wali kelas kami terdengar di depan kelas. Dan saat itulah aku
merasa deja vu yang pertama.
4 komentar:
kjadianny pas acara sunatan spupumu,yagh??
wohohoohhohoohoo,,,sapakh gerangan dirinya??
hehehehe bukan mba.. ini mah tulisan lamaku... tulisan awal masa kuliah deh kayanya, apa waktu smp sma, aku lupa
bagus gini kok non...
hmm makin g sabar baca kelanjutanya
lama tapi bagus...
go cherry
go cherry go cherry..
ikutan mba fathy
hhehe
Posting Komentar