BAB
DUA BELAS
The Secret
Aku
tersenyum ketika melihat Lena berjalan dengan anggunnya ke arahku. Rambut
panjang sebahunya ia biarkan terurai begitu saja. namun, sekali lagi, hal
sederhana itu bisa memancarkan aura cantiknya. “Bagaimana dengan artikelmu?”
tanyanya ketika duduk di sampingku. Aku mengaguk pelan. ia mengehela nafas
dalam-dalam kemudian mengeluarkannya sambil tersenyum. “Kau terlihat pucat,”
katanya, aku menyentuh kedua pipiku, meletakan kedua tanganku yang membeku.
“Kau baik-baik saja?” tanyanya.
“Apa
aku terlihat buruk?” aku balik bertanya. Lena terdiam sejenak, kemudian
menggeleng. “Ini pasti hanya karena aku harus bangun lebih pagi untuk
mengumpulkan artikel sialan itu.” tuturku. Lena tidak menanggapi perkataanku.
Ia hanya terdiam dan menyibukan dirinya dengan buku dan segala sesuatu di dalam
tasnya. Aku pun tidak repot-repot untuk memulai sebuah percakapan lagi. Entah
mengapa aku mulai sedikit lelah.
****
Aku
mendelikan mataku ketika melihat sosok Galang di depan madding sekolah. Kedua
telapak tangannya tersebunyi di dalam kantong celananya. Ia berdeham pelan
ketika membaca beberapa tulisan yang ditempel di sana. Mading itu hanya
berjarak dua kelas dari kelasnya dan kak Sam, berdiri tepat di samping tangga
kelantai satu.
Aku
mencengkram botol air mineral yang baru saja ku cuci di toilet. Keingin
tahuanku tentang tatapan kebenciannya kembali menggelitikku. Dengan perlahan
aku mendekatinya.
“Aku
tidak tau kalau kau juga suka membaca,” kataku. Ia sedikit tersentak dan
langsung berbalik menghadapku. Wajah tirusnya membentuk sebuah ekspresi yang
tak terbaca. “Hai,” sapaku, mencoba mencairkan keterkejutannya.
“Hai,”
suaranya kaku, ia mundur beberapa langkah, seakan-akan menghindariku
perlahan-lahan. Mata coklat tuanya mulai mencair, keterkejutannya kini
menghilang, dan tatapannya begitu hangat. Otakku memberontak, memerintah mataku
untuk kembali menyelidiki tatapan pemuda di hadapanku, merasa tidak yakin
dengan tatapan hangat itu. namun kemudian, tidak ada yang berubah darinya. Ia
tetep menatapku dengan tatapan hangatnya.
“Hai,”
balasnya lembut. Aku menggeleng tidak percaya ketika melihat segores luka di
matanya. “Bagaimana kabarmu?” tanyanya.
“A…Aku
baik…” jawabku kikuk. Ia tersenyum tipis.
“Izzi,
ada yang ingin ku katakan padamu,” bisik Galang, pandangannya berpaling dariku.
“Mungkin sudah terlambat, namun aku tidak bisa menahannya lagi,” ujarnya,
suaranya parau. Ia mengangkat bahunya seolah tidak peduli pada keadaan. “Dengar,”
ia kembali menatapku. “Kau harus tau…”
“Issabela,”
aku tersentak kaget ketika mendengar suara dingin itu. dan sepertinya Galang
juga terkejut. Ia mundur beberapa langkah, wajahnya menegang ketika menatap
sosok kak Sam yang berdiri beberapa meter dari kami. Galang mengendus muak
kemudian berlalu pergi. Aku menatap mereka bergantian.
“Tunggu
dulu, apa yang ingin kau katakan??!” panggilku. Galang mengangkat tangannya
tanpa berbalik.
“Sudahlah,
itu tidak penting.” Ujarnya sambil lalu.
“Sedang
apa kau di sini?” Tanya Kak Sam dingin, ia sudah berdiri tepat disampingku. Aku
menatapnya ngeri kemudian mundur beberapa langkah, namun lengan kekarnya sudah
menangkap tanganku, menjagaku agar tetap dekat dengannya. Ia mendekatkan
wajahnya padaku, hingga aku bisa melihat sorotan tajam dari balik kaca matanya.
“Apa yang kau lakukan disini?” ulangnya, kini jelas terdengar marah. Tapi sungguh,
aku sama sekali tidak mengerti penyebab kemarahannya. Aku sudah menyelesaikan
seluruh tugasku di klub jurnal, dan aku disini hanya untuk pergi ke toilet, Karena
toilet di gedung kelasku rusak, apa itu masuk akal dengan kemarahannya?
Aku
mencoba untuk melepaskan cengkramannya, namun semakin kuat aku mencoba, semakin
keras ia mencengkramku.
“Kau
menyakitinya, lepaskan dia.” suara itu terdengar dari belakang tubuhku. Kami menoleh
bersamaan. Aku merasakan tangan kak Sam menegang, namun ia tidak melepaskan
tanganku. “Ku bilang lepaskan dia.” Suaranya kini seperti geraman. Aku menatap
ngeri kedua pemuda yang tengah bersitatap di hadapanku.
“Kau
juga sudah menyakitinya.” Desis kak Sam. Aku mendelikan mataku tidak mengerti. wajah
tampan Ethan mengeras, aku bisa mendengar suara kemarahannya. Namun kemudian ia
tersenyum sinis.
“Sammuel,”
katanya santai. “Aku tidak menyakitinya, dia adalah pacarku.” Ujar Ethan sambil
berjalan mendekat. Meski samar, aku merasakan kak Sam menarik tubuhku sedikit
kebelakangnya, atau dia yang maju selangkah? Seakan-akan tengah melindungiku.
“Lepaskan
dia,” kini senyuman itu benar-benar menghilang dari wajahnya. Ethan maju
selangkah. Mereka berhadap-hadapan dengan dagu terangkat. Aku menatap mereka
dengan tatapan kesal. Aku tidak suka melihat pertengkaran, apapun alasannya,
terlebih jika semua ini disebabkan oleh diriku. Astaga!!! Apa mereka sudah gila???
Kejadian
selanjutnya terasa begitu cepat, semua pukulan telak itu, dorongan itu, hingga
cipratan darah itu. aku melotot ketika melihat sosok kak Sam sudah terjatuh di
belakangku. Tangannya mencengkram hidungnya, kaca matanya pecah berantakan. Aku
tersentak ketika Ethan kembali maju. Tubuhku spontan menghadangnya.
“Cukup,”
desisku. Aku merasa kehilangan sosok Ethan yang menyenangkan. Wajahnya jelas
ditutupi kemarahan. Matanya gelap tak terbaca.
“Ya
Tuhan Sam!!” teriakan itu mengguncang kami. Kak Lolita berlari tertatih
menghampiri kak Sam. Wajahnya pucat.
“Biarkan
dia,” suara tertatih di belakangku membuatku semakin muak. Aku berbalik dan
menatap sosoknya yang masih meringis di lantai.
“Berhenti!
Berhenti berpura-pura kau sedang melindungiku!! Berhenti berpura-pura kau
memperdulikanku!!! Aku tidak perlu perlindungan siapapun! Aku bisa berdiri
sendiri!!!” teriakan itu terlontar begitu saja tanpa kompromi. Air mataku
menetes seketika itu juga. Aku bisa melihat kesedihan di wajah kak Sam dan kak
Lolita. Kemudian aku merasakan perih teramat dalam ketika tatapan kak Sam
berpaling. “Maafkan aku, aku keluar dari klub,” bisikku sebelum berlalu pergi
meninggalkan kekecewaan diriku sendiri.
****
“Izz…”
tangan Lena terulur padaku. Aku menggeleng perlahan.
“Please,
aku ingin sendiri,” bisikku. aku bisa melihat Lena masih terdiam disana selama
beberapa saat, hingga akhirnya ia mundur beberapa langkah dan duduk di kursi
belakang. Saat itu kelas sudah kosong, hanya aku dan Lena yang masih tinggal di
kelas. Sejujurnya yang ingin ku lakukan saat ini adalah pergi berlari, menjauh.
Namun kakiku membeku tak bisa bergerak.
Aku
tidak yakin apa yang sebenarnya membuatku menangis seperti ini. Hanya saja
hatiku mulai lelah. hatiku perih mendengar semua jerit dalam kepalaku. Hatiku perih
karenanya… dan di sini, aku menangis bersama tetesan air hujan yang perlahan
menghampiri.
****
Keesokan
harinya aku sengaja menghindari Ethan. Aku tidak yakin mengapa, namun rasanya
aku hanya ingin menyendiri sejenak. Memikirkan kembali seluruh masalah yang tak
tersurat namun jelas terasa di dalam hatiku.
Aku
sudah membereskan seluruh artikel yang menjadi tugasku. Rencananya hari ini aku
akan menyerahkan semua artikel itu dan meninggalkan klub jurnal. Hatiku kembali
perih ketika mengingat hal itu. namun aku tidak bisa kembali memasuki ruangan
itu. Bukannya aku ingin menghindari kak Sam, tetapi aku hanya ingin berhenti
sejenak.
“Dion,”
panggilku ketika secara tidak sengaja bertemu dengan salah satu anggota klub
jurnal di koridor depan kelasku. Ia menoleh. “Aku ingin menitipkan ini padamu,”
aku menyerahkan seluruh artikel itu. setidaknya dengan ini aku tidak perlu
repot-repot menguatkan hatiku untuk bertemu kak Sam. Dion terlihat ragu-ragu. “Ada
apa?” tanyaku penasaran. Dion mengangkat wajahnya, menatapku sesaat kemudian
memalingkan pandangannya.
“Kau
benar-benar akan keluar?” Tanya kak Lolita yang tiba-tiba berada di belakang Dion.
Aku membuka mulutku, ingin menjawabnya, namun hingga beberapa saat kemudian
otakku kosong. Kak Lolita mengambil tumpukan kertas di tangan Dion. “Aku
mengerti,” bisiknya. Kini terdengar begitu sedih. “Aku mengerti,” ulangnya
sebelum berlalu pergi dari hadapan kami. Meski samar, tapi aku bisa melihat
gerakannya ketika mengusap air matanya.
Dan
ketika aku berbalik, Dion sudah menghilang.
Itu
adalah kala terakhir aku bertemu dengan sosok kak Lolita di sekolah. Setelahnya
kami tidak pernah bertemu lagi, bahkan meski dalam konsep ketidak sengajaan. Seakan
aku dan dia memang berusaha sebisa mungkin saling menghindar. Dan kak Sam, ia
juga tidak pernah ku temui. Well, perih memang, namun rasanya semua anggota
klub Jurnal seakan menjauhiku, menghindar dariku. Terlebih karena kompetisi
akhir klub Cheers semakin dekat.
Sebisa
mungkin aku melupakan kejadian berdarah di koridor kala itu. aku begitu
membenci wajah-wajah penuh amarah ketika itu. Termasuk wajah pemuda tampan yang
kini terus berada di sampingku. Sejujurnya aku memang tidak memiliki alasan
untuk marah kepadanya. Toh, bukankah harusnya aku tersanjung karena sikapnya
jelas-jelas menunjukan kecemburuannya? Namun tetap saja, butuh tiga hari lamanya
untukku kembali siap mendengar suaranya lagi, menerima permintaan maafnya.
Ethan
menggenggam erat jemariku ketika kami sampai di depan rumahku. “Masuklah,”
ujarnya. aku menatapnya sesaat. Wajah tampan itu sudah kembali normal. Ia tersenyum
tipis dan mengacak rambutku dengan gemas. “Aku akan meneleponmu ketika sampai
di rumah,” katanya. Aku mengaguk dan berjalan perlahan ke pekarangan rumahku.
“Ethan,”
panggilku pelan ketika berbalik setelah mengunci gerbang. Ethan yang berada di
belakangku tidak menyahut. Namun aku tau ia mendengar panggilanku. Aku menarik
nafas dalam-dalam sebelum mengangkat wajahku. Aku sengaja memilih cara ini
untuk bertahan. Ia tidak bisa melihatku, dan kami terpisah gerbang rumahku,
jadi aku tidak memiliki alasan untuk takut.
“Ada
apa?” tanyanya santai. Aku masih membelakanginya, menghadap lurus pintu masuk
rumahku.
“Ada
yang ingin ku tanyakan,” bisikku pelan. “Apa kau menyembunyikan sesuatu dariku?”
tanyaku pelan. Aku bisa merasakan tubuh Ethan menegang di belakangku.
“Tidak,”
bisiknya setelah diam cukup lama. Aku tersenyum tipis.
“Terima
kasih, hanya itu yang ingin ku dengar,” jawabku. “Sampai jumpa,” tambahku
seraya berjalan lurus kedepan. Perlahan namun pasti aku bisa melihat sosok
Ethan berjalan menjauh.
Aku
tertawa sinis. Bukan kah dia sudah bilang tidak? apa lagi yang kau tangisi?! Teriak
batinku. Aku menyandarkan kepalaku di balik pintu rumahku yang kosong. Membiarkan
tetesan air mata itu mengalir perlahan. Aku menggeleng, mencoba mengusir semua
kenyataan pahit itu. menyembunyikannya bagai rahasia besar di dalam diriku
sendiri.
4 komentar:
cher,galau bgt.mpe brp bab y? posting lg dunk lnjtannya,pnasaran :)
blum tentu sampai berapa babnya mba...
sip klo udh selesai ku tulis langsung ku post... :) :)
ough,,,
Kapan nih slesainy, Zia???
Aq harus baca dari awal,,,untuk nyari maksudny,,,
*lupa aq klo dagh mpe bab brapa yg q baca,,,
Btw,knpa pengaturan jamny beda yagh???
sebentar lagiiii mbaaa...
ini aku sudah menulis bab terakhir2nya... :) :)
hah iya???? xixixiix ko bisa eror gini yahh????
hihihihihi
Posting Komentar