TIGA
BULAN DAN BINTANG
“kenapa
dokter tersenyum??!!” tanya Davela kesal. Raka hanya menggeleng. “Dokter
mengejekku karena aku berubah fikiran?? Asal dokter tau, kalau bukan karena
kakek, aku juga tidak akan pernah mau mempunyai seorang dokter pribadi seperti
anda!!” ujar Davela dari dalam mobil. Raka hanya tersenyum dan mengaguk. Ia
memang sudah mulai bertugas. Bahkan ia sudah mulai tinggal di rumah salah satu
orang terkaya tersebut untuk mengurus cucu
kesayangannya.
“Nona,
sudah sampai,” ujar Raka. Davela mengendus kesal kemudian keluar dari mobilnya.
“Nona, jangan lupa, saya jemput pukul 12 tepat,” ujarnya. Davela memicingkan
matanya kesal. Dalam hati ia merindukan mang Ujang, supir pribadinya kala itu.
“Davela!!”
panggil Lexa dan Lena. “Siapa tadi? Jangan katakan kalau dia adalah supir
pribadimu,”
“Kalau
iya memang kenapa?” tanya Davela ketus.
“Astaga
Vella, apa kau serius? Dia benar-benar tampan,” puji Lena. Davela mengendus
kesal kemudian memalingkan wajahnya. Hanya gadis bodoh yang tidak menyukainya, batinnya.
“Vell,
siapa tadi? Semua anak di perpustakaan ribut,” ujar Rasti. “apa dia pacar
barumu?”
“Bukan. supir,” ujar Davela lagi.
“Impossible, he’s too perfect,”
“Ras...
cukup!!” ujar Davela geram sebelum berlalu pergi.
***
Davela
menggeram pelan saat melihat kerumunan di depan sekolahnya. Ia tersenyum
mengejek saat melihat sosok Raka di mobilnya. Namun sedetik kemudian ia
terdiam. Wajah itu sangat berbeda dengan wajah yang ia lihat pagi tadi.
Wajahnya seakan mengeras. Terpaku pada titik yang tak pasti. Terdiam membisu
mengukir sebuah pahatan yang tak ternilai. Tampan dan angkuh, berkarisma namun
tampak sangat dingin. Namun Davela sadar dokter itu tengah ketakutan. Ketakutan
yang tak akan bisa di ucap dengan sepatah katapun.
Tanpa sadar Davela berlari. Ia mengetuk kaca
mobilnya keras. Membangunkan sang pangeran dari lamunannya. Kemudian wajah itu
mencair. Raka tersenyum lebar. Membuat seluruh gadis di tempat itu terhenyak
karena ketampanannya. Davela menunduk dalam.
“Ayo pulang,” ujar Davela dingin.
“Kita harus langsung ke rumah sakit,” ujar
Raka. Davela mengangkat bahu tak acuh kemudian kembali menatap jalanan dari
kaca mobilnya yang berdebu. “Tuan besar ingin agar nona melakukan mammografie lagi,” ujar Raka seraya
melirik Nona besarnya dari kaca spion. Davela tersenyum mengejek namun tidak
menjawab. Ia hanya terdiam. Karena saat ini rasanya diam adalah sahabat
terbaiknya. Diam... dan mati...
****
Davela terduduk di kursinya. Ia baru saja
melakukan mammografie dan saat ini
sedang menunggu hasilnya. Berkali-kali ia tersenyum mengejek dirinya sendiri
yang selalu memiliki harapan bahwa ini hanyalah mimpi. Bahkan betapa bodohnya
ia hingga mau mengikuti tes kedua kalinya untuk memastikan hal yang tidak bisa
diragukan lagi.
“Kita akan melakukan oprasi kecil, untuk mengambil
contoh jaringan sel itu dan memastikannya lagi,” tutur Raka. “Apakah nona ingin
didampingi kakek anda?” tanya Raka. Davela tertawa samar.
“Lalu apa gunanya anda di sini sebagai dokter
pribadiku? Aku tidak ingin dia kelelahan... dia sudah terlalu tua... dan
sibuk...” tutur Davela lirih. Raka menghela nafas berat sebelum mengaguk dan
berlalu pergi.
Raka menahan nafasnya sesaat. Berharap pada
keajaiban yang tak kunjung menghampiri.
“Positif, stadium 2,” ujar seorang ahli
patologi anatomi. Raka memejamkan matanya perlahan. “Dokter Raka, saya rasa
kita harus sesegera mungkin melakukan pengangkatan,” ujarnya lagi. Raka menatap
dokter tua di sampingnya. Surya menggeleng lelah. “Jika beruntung kita bisa
mengangkat seluruh sel kankernya, lagi pula, sel kankernya masih belum menyebar
sampai kelenjar getah bening, mungkin setelah melakukan penyinaran semuanya
akan kembali normal,”
Raka terdiam.
“Biar aku yang membicarakan ini pada tuan
Gunawan,” ujar Surya. Raka hanya mengaguk lemah kemudian berlalu pergi. Ia
membetulkan letak kacamatnya sebelum menghampiri sang putri yang masih terdiam.
“Bagaimana, sudah ada keajaiban?” tanya Davela
sinis. Kemudian tertawa hambar. “Bodoh, kenapa aku masih bertanya, padahal
jawabannya sudah ku ketahui!!” ujarnya perih.
“Saya antar Nona pulang,” ujar Raka santun.
Davela menatapnya geram.
“Anda tidak menceritakan hasilnya?” tanya
Davela tidak percaya. Raka menatapnya lelah.
“Apa yang ingin nona ketahui?” tanya Raka
pahit.
“Semuanya!! Semuanya tentang penyakit kanker
sialan ini, berapa lama lagi hidupku? Berapa persen tingkat kesembuhanku?
Berapa lama lagi sampai semuanya berakhir?” tanya Davela histeris. Raka
menggeleng perlahan kemudian merangkulnya lembut.
“Tidak nona, nona akan baik-baik saja, nona
akan selamat, kami akan melakukan hal terbaik untuk nona, nona akan baik-baik
saja... aku berjanji...”
ujar Raka seraya memeluk Davela yang masih terisak. “Aku berjanji...” ujarnya lagi.
***
“Dokter,” panggil Davela pelan malam itu. Raka
sedikit terhenyak, baru kali ini ia
melihat sang putri menghampirinya. “Apa anda sedang sibuk?” tanya Davela seraya
melirik tumpukan buku di hadapan Raka. Raka langsung menggeleng dan menutup
semua bukunya.
“Ada yang bisa ku
bantu?” tanya Raka.
“Bisa kita bicara sebentar, ada yang ingin aku
tanyakan pada anda,” ujar Davela lemah. Raka mengaguk dan berjalan mengikuti
Davela ke taman belakang.
“Dokter, aku sudah membaca beberapa artikel
tentang kanker payudara, apakah aku masih berada di stadium dini?” tanya Davela
pelan. Raka terdiam. Ia tersenyum tipis saat mendenga kata-kata sang putri,
semua ke angkuhannya selama ini mulai menghilang. Dan kembali menampakan putri
terindah yang pernah ada.
“Nona mengidap kanker stadium 2, dan
kemungkinan sembuhnya masih 30-40%, itu semua tergantung luas penyebarannya,
dilihat dari pemeriksaan kemarin, sel-sel kanker nona masih belum menyebar
luas, bahkan belum sampai menyebar ke dalam kelenjar getah bening,”
“Apakah itu kabar baik?” tanya Davela palan.
Raka terhenyak kemudian tersenyum lebar. “Dokter tahu, rembulan itu tidak seindah
yang kita pandang dari sini, dia tidak seindah itu, tapi dia selalu akan bahagia,
dia memiliki berjuta bintang yang akan menemaninya, dia akan selalu bahagia,
akan selalu...
“Aku ingin kakek seperti rembulan, selalu
bahagia... selalu bahagia sepanjang hidupnya... namun aku tidak bisa menjadi
bintang yang selalu menemaninya, aku tidak bisa... aku tidak bisa...
“Dalam hidupku, aku tidak pernah mengharapkan
apapun, bahkan untuk menjadi seorang putripun tidak, hanya satu yang ku
inginkan, membuatnya tersenyum selebar mungkin, ia sudah terlalu tua dok, dia
sudah terlalu tua untuk merasakan sakit ini... dia sudah terlalu merasakan
berjuta kesakitan, aku tidak ingin kembali menyakitinya, aku ingin selalu
bersamanya, menemaninya di hari tuanya...
“Ku mohon dok... lakukan apa saja untuk
membuatku dapat menemaninya lebih lama lagi... ku mohon... ku mohon... aku
tidak ingin membuatnya menangis lagi... aku tidak ingin meninggalkannya seperti
yang di lakukan nenek dan ibuku, aku ingin menemaninya...” Davela menatap Raka
penuh harap. Raka menganguk dan memeluk gadis itu erat.
“Bukankah aku sudah berjanji,” ujarnya parau.
***
0 komentar:
Posting Komentar