BAB TUJUH BELAS
Pelangi Hitam Putih
“Izzi…” aku terhenyak dan langsung menoleh.
“Kau sudah kembali?”
“Hai kak,” sapaku. Kak Stefan tersenyum dan
meletakan sebuket bunga mawar di atas pusaran adiknya. “Banyak hal yang sudah
ku lewatkan,” bisikku. “Dan sekarang aku berusaha menebusnya,”
Kak Stefan tersenyum tipis, ia berjongkok di
samping nisan Lena. membelainya lembut penuh kasih. “Kau tidak marah padaku?”
tanyanya. Aku menatap jauh ketaman pemakaman itu dengan sedih.
“Aku tidak berhak untuk marah.” Bisikku. kak
Stefan mendongkak, dan tatapan kami bertemu. “Lena sangat menyayangi kakak,
bagaimana mungkin aku membenci orang yang disayanginya?” aku tersenyum tipis.
“Aku harus pergi kak, selamat tinggal.”
“Izzi…” panggilnya. “Maafkan aku,” aku
tersenyum dan mengaguk. Sudah dua tahun lamanya, dan aku mulai bisa berdiri
dengan lebih baik. Aku bisa menjadi kuat sebagaimana yang dipintanya.
****
Hujan hari ini cukup deras. Aku mengencangkan jaketku
sebelum melangkah keluar pusat pertokoan itu. Merasa sudah terlalu banyak
menghabiskan waktu untuk sekedar berteduh, dan sialnya hujan itu tak kunjung
berhenti.
“Isabella,” langkahku langsung terhenti ketika
mendengar panggilan itu. Aku menoleh perlahan, dan melihat seorang wanita
tersenyum dengan ramah kearahku.
“Kak Lolita?” tanyaku tak percaya. Kak Lolita
mengangguk, ia berjalan kearahku.
“Masih hujan, apa kau harus segera pergi?”
tanyanya. Aku menggeleng perlahan. “Mungkin kita bisa minum kopi dulu,” usul
kak Lolita. Aku tidak tau apa yang kurasakan, namun entah mengapa sesaat
kemudian aku mengaguk.
Kami berjalan beriringan menuju sebuah kedai
kopi yang cukup ramai. Aku memandang kesekeliling, meja-meja kayu dengan kursi
kayu yang sederhana namun begitu artistik, rak-rak cangkir hias dan menjadi
dinding dalam kedai itu. kak Lolita menarikku kesebuah meja kosong di sudut
ruangan.
“Aku pikir aku tidak akan bertemu denganmu
lagi,” ujarnya memecah keheningan. Aku hanya terdiam menatap cangkir kopi yang
baru saja diantarkan pelayan ke meja kami. “Sudah empat tahun…” gumamnya.
Matanya menerawang jauh kesekeliling kedai.
“Selamat,” bisikku tercekat. Kak Lolita
memiringkan kepalanya ketika mendengar suaraku. “Selamat untuk kehamilanmu,”
“Ah…” ia tersenyum. “Terima kasih,” ujarnya
seraya mengelus perutnya yang membesar. “Sudah hampir menginjak bulan
kesembilan, tapi kau tau… ayahnya masih saja tidak ingin mengetahui hasil
USGnya,” aku mengerutkan keningku tidak mengerti. “Ia selalu berharap
mendapatkan seorang putri agar terlahir cantik sepertimu,” aku membeku.
“A…aku…”
“Sudahlah, hujannya sudah reda, kalau kau punya
waktu senggang, sesekali mampirlah kerumahku. Suamiku pasti akan senang
melihatmu,” ujar kak Lolita lagi. “Oya Izzi, apa kau sudah menikah?” tanyanya.
Aku tersentak menatapnya, kemudian mengaguk perlahan. “Hm… ayo, hujan sudah
reda,” ia kembali menatap keluar jendela. Aku mengangguk dan berdiri
bersamanya, kami berjalan perlahan ke pintu kedai.
“Hai Sam,” sapa kak Lolita. Hampir saja aku
terpeleset karena terkejut mendengar sapaan kak Lolita, namun kemudian sebuah
lengan kekar meraih tanganku dan menahan bobot tubuhku. Aku terhenyak untuk
beberapa saat. Menatap lurus mata coklat muda itu dengan rindu.
“Maaf,” bisiknya seraya membantuku berdiri.
Kami terdiam untuk beberapa saat, hingga akhirnya ia menatap kak Lolita
kemudian turun ke perutnya. “Ayo sayang, sudah waktunya kau check up,”
“Sam…” kak Lolita merajuk. Aku memalingkan
wajahku, merasa jengah menatap drama suami istri di depanku.
“Lita!” tegur kak Sam sedikit keras. Kak Lolita
menatapnya marah kemudian berlalu masuk kemobilnya tanpa berkata apapun lagi
padaku. Aku merasa air mataku mulai tergenang ketika kak Sam berdeham. “Kami
harus pergi, senang bertemu denganmu… lagi…” bisiknya. Kucoba untuk tersenyum
senormal mungkin, setidaknya inilah yang bisa ku lakukan sebelum akhirnya
mereka berdua pergi.
****
Aku menghela nafas panjang ketika keluar dari
ruang oprasi, lagi-lagi oprasi otak yang memakan waktu kurang lebih 9 jam.
“Dok, ada yang mencari anda,” ujar seorang
perawat. Aku mengerutkan keningku dan mengangguk. Setelah mengganti baju oprasi
dengan baju biasa aku keluar dari ruang oprasi. Tatapanku tertuju pada sosok
bertubuh besar yang duduk di depan ruang tunggu kamar oprasi. Ia mengenakan kaos
putih dengan jins.
“Anda mencari saya?” tanyaku. Pria itu
mengangkat wajahnya. “Galang…” desisku ketika melihat wajah tirus yang kini
tampak lebih dewasa. Galang berdiri dan berjalan menghampiriku. Tanpa
mengatakan apapun ia langsung menarik lenganku. Aku yang saat itu masih syok
dengan keberadaannya sama sekali tidak bisa melakukan apapun. “Apa yang kau
lakukan?” tanyaku ketika ia mendorongku masuk ke mobilnya.
“Diam,” desis Galang, suaranya seperti seorang
pembunuh yang tengah menagncam korbannya. Sontak saja aku langsung berpikir
tentang sejuta cara untuk kabur dari dalam mobilnya. Namun Galang memacu
mobilnya terlalu cepat, hingga tidak mungkkin jika aku melompat keluar dengan
kondisi yang baik-baik saja.
“Kita mau kemana?” tanyaku setenang mungkin.
Wajah pria disampingku mengeras. Matanya penuh kemarahan, dan sejujurnya itu
membuat perutku bergejolak karena ketakutan. Aku ingin menangis, dan mulai
mengutuki diri sendiri, aku bahkan aku tidak sempat membawa ponsel pribadiku,
yang kubawa justru ponsel untuk urusan rumah sakit. “Galang, bisakah kau
pelankan mobilnya?” tanyaku mulai merasa ngeri dengan kecepatan itu. Galang
menggeram di sampingku, membuat tubuhku spontan menciut. Ya Tuhan, sebenarnya
apa yang sedang terjadi??
Setelah perjalanan panjang yang cukup singkat,
akhirnya Galang menepikan mobilnya di depan sebuah bangunan besar yang ku
anggap sebagai rumah. Halamannya tertata rapih dan minimalis dengan rumput yang
dipotong secara teratur. Rumah itu memiliki dua lantai, dengan pintu ganda yang
cukup besar dan berat. Tiang-tiang penopang didepan rumah itu di ukir
sedemikian rupa hingga menyerupai ukiran-ukiran indah yang tak ternilai. Aku
mulai bertanya-tanya, apakah ini sebuah museum atau rumah seni??
Lagi-lagi Galang menarik tanganku, kini ia
tampak lebih tidak sabar. Ia membuka pintu ganda itu dengan mudah dan
mendorongku masuk. Pada awalnya kupikir ia akan membawaku ke rumah atau gedung
kosong, mengikatku di sebuah kursi dan mengancam akan membunuhku jika aku
berteriak. Namun kemudian mataku terbelalak ketika melihat isi dari bangunan
indah itu. Ruangan besar yang lebih pantas di sebut dengan studio. Tak ada
furniture untuk rumah pada umumnya. Hanya sebuah sofa putih panjang dengan meja
kopi kecil yang penuh oleh tumpukan kertas. Ruangan itu sama sekali tidak memiliki pintu yang menunjukan
adanya kamar. Semuanya terbuka begitu saja seperti sebuah aula besar. sebuah
rak buku besar berdiri kokoh di sisi kanannya, di sampingnya sebuah grand piano
berwarna putih tampak sedikit berdebu. Namun semua barang-barang itu sama
sekali tidak mengejutkan jika di bandingkan sengan puluhan kanvas bergambarkan
wajahku.
“Apa ini?” tanyaku tercekat. Galang berjalan
perlahan kemeja kopi. Ia mengambil sebuah buku dan memberikannya padaku.
“Ingat ini?” tanyanya. Aku mendelikan mataku
ketika melihat buku bersampul coklat itu. Isi buku itu sepenuhnya adalah puisi
yang sangat indah. Aku mengerutkan keningku ketika mengingat potongan puisi
yang dulu ku temukan di buku pelajaranku.
“Kau??” tanyaku tidak percaya.
“Ini semua milik Sam,” bisik Galang. Aku
menatapnya tidak percaya. Kemudian Galang menunjukan namanya di belakang buku
yang sedang ku pegang. Sammuel Mahardika, tertulis dengan tinta biru yang mulai
memudar.
“Tapi ini semua tentangku,” bisikku seraya
mengedarkan pandanganku kesekeliling ruangan itu. Seluruh ekpresi wajahku
terlukis dengan sempurna. Tawaku, tangisku, kemarahanku, bahkan kekonyolanku.
“Ya, ini semua memang tentangmu,” gumam Galang
di sampingku. “Menakjubkan bukan?” bisiknya. Air mataku menetes perlahan.
“Tidakkah kau lihat betapa ia sangat mencintaimu?” tanyanya. Aku menggeleng
perlahan.
“Tapi kak Sam sudah menikah dengan kak Lolita,”
bisikku perih. Galang mendesah frustasi di sampingku, kemudian ia meraih
bahuku, menatapku dengan sangat serius.
“Dengar Izzi, seharusnya aku mengatakan ini
sejak dulu, sejak kita masih duduk di kursi SMA sialan itu, saat kau
memergokiku membaca madding sekolah, sebelum akhirnya perkelahian konyol itu
terjadi,” Galang berhenti sejenak. “Sammuel, sahabatku yang paling idiot itu,
jatuh cinta padamu!” aku terhenyak, hatiku terasa sakit. “Dia mencintaimu sejak
dulu Izzi, tapi dia terlalu angkuh untuk mengakuinya, dia terlalu takut akan
kehilanganmu, dia takut kau akan menolaknya,”
Air mataku menetes perlahan. Memoriku kembali
berputar tentang sosok angkuh yang selalu menatap sinis padaku. “Dia selalu ingin
melindungimu,” Galang memalingkan wajahnya untuk sesaat. “Dan soal Lita, aku
adalah suaminya, bukan Sam,” aku terhenyak, pusing dengan semua pengakuan
Galang.
“Tidak, ini tidak mungkin. Untuk apa kak Sam
melakukan ini semua?” aku memegang mundur beberapa langkah sambil terus
menggeleng. Tiba-tiba ponselku bergetar. Aku mengerutkan keningku ketika
melihat nomor ruang oprasi yang tertera di layarnya.
“Dokter oprasinya akan segera dilaksanakan,
anda dimana?” suara suster Mel terdengar sedikit panik. Aku melirik jam
tanganku.
“Ada apa?” Tanya Galang sedikit cemas.
“Galang, aku akan memikirkan hal ini nanti,
tapi sekarang bisakah kau membawaku kembali kerumah sakit? Aku harus
menggantikan salah satu dokter untuk melakukan oprasi sepuluh menit lagi,”
tuturku. Galang mengangguk dan langsung meraih kunci mobilnya.
Di sepanjang perjalanan aku terus berdoa agar
Galang tidak salah mengambil jalur, karena dengan kecepatan seperti ini,
mustahil kami akan selamat jika tersenggol satu kendaraanpun. Lima belas menit
kemudian kami sudah sampai di rumah sakit. Meskipun sedikit mual namun aku
tetap langsung berlari keruang oprasi yang terletak tepat dibelakang ruang UGD.
“Dokter Harun,” desisku ketika melihat sosok
dokter tua itu sedang membaca sebuah berkas. Ia sudah siap dengan pakaian
oprasinya. “Aku pikir dokter tidak akan masuk, jadi siapa yang akan menangani
pasien apendik itu?” tanyaku, mulai merasa kesal dengan panggilannya. Aku bahkan
mempertaruhkan nyawaku untuk sampai kesisni dengan cara menyetir Galang yang
diluar batas normal.
“Pasien itu sudah ditangani oleh dokter Siska,”
ujar dokter Harun sambil terus menatap berkas-berkas di tangannya. Aku melongo.
Kalau memang ada banyak dokter jaga hari ini mengapa aku dipanggil seperti
tadi?!
“Dokter Isabella, sekarang lebih baik kau
bersiap-siap, kita akan melakukan oprasi pada korban kecelakaan,” ujarnya. Aku
terhenyak. “Dia menaglami robek pada tendon lengan kirinya,” tutur dokter tua
itu. Aku mengernyit, hanya sobek tendon lengan dan wajahnya sampai sekhawatir
itu. “Suster, ambilkan lagi kantung darahnya, mungkin lima atau enam,” aku
menatapnya tidak percaya.
“Dokter!” potongku cepat.
“Isabella, pasien ini menderita hemophilia,”
terang dokter tua itu. Tubuhku membeku seketika. “Kau tau betapa beresikonya
semua ini,” aku mengaguk perlahan. Dan sesaat kemudian sebuah ranjang didorong
masuk keruang oprasi.
Deg…
Aku tersentak. Tubuhku membeku ketika melihat
wajah pucat itu terbaring lemah dihadapanku. Air mataku menetes perlahan. Darah
terus menetes dari lengan kirinya yang sudah di perban. Tubuhku melemas ketika
sosok itu dibawa kedalam ruang steril. Aku ingin menggapainya, menahannya agai
selalu ada bersamaku.
“Isabella,” dokter Harun menyentuh pundakku. Wajahnya
terlihat cemas.
“Dokter, ini tidak mungkin,” isakku.
“Dengar nak, kau seorang dokter. Semuda apapun
dirimu, kau tetap seorang dokter, kau tentu tau resikonya. Kau tentu mengerti tingkat
keberhasilan oprasi ini. Tapi kita semua akan mencoba sebaik mungkin. Aku bersumpah.
Tapi saat ini aku membutuhkanmu nak, aku butuh bantuanmu,” bahuku terguncang
karena tangis yang tertahan. “Isabella, aku tidak tau apa hubunganmu dengannya,
tapi ku mohon, tetaplah bersamaku,”
“Dokter Harun, biar saya yang menggantikan
Isabella untuk oprasi ini, pasien apendik sudah mulai stabil, suster Maria akan
menyelesaikan penutupannya.” Ujar dokter Siska yang sudah berganti pakaian
steril yang baru.
“Aku akan ikut,” bisikku pelan.
5 komentar:
waduh siapa itu?? sam kah??
makin banyak teka teki di cerita ini,,,
tapi tetep suka, lanjtkan cher :)
penasaran...
hehehehe.... sudah selesai yah ceritanya... silakan baca bab selanjutnya,,,,
see...???? da bakat nigh aq jadi ahli cenayang...*sambil tersenyum tipis*
iya mba riska emang paling tau... hehehehe
Posting Komentar