BAB ENAM
Way of sorrow.
Aku mengerutkan keningku ketika terbangun pagi
itu. pening menghantam kepalaku, menusuk-nusuk setiap sudut tengkorakku.
Membuatku meringis kesakitan. Aku merasakan tenggorokanku perih dan kering.
Mataku panas dan tidak bisa terbuka. Aku ingin berteriak, takut akan gelap yang
seakan menghatuiku. Namun tidak ada suara yang keluar dari mulutku, semuanya
tampak kabur. Dan kemudian, aku bisa merasakan air mata meleleh di pipiku. Aku
terisak dengan mata masih tertutup. Aku terisak penuh luka. Aku ingin memberontak.
Namun tubuhku kaku.
“Izzi sedang sakit,” samar-samar aku mendengar
suara mama dari balik pintu kamarku. Namun aku enggan membuka mataku untuk
melihat mama sedang berbicara dengan siapa. Aku hanya ingin kembali tertidur
dan melupakan semua kisah itu. namun kemudian suara pintu itu mengusik
ketenanganku. Mama memasuki kamarku, duduk di samping ranjangku, membelai
lembut kepalaku. “Sayang…”Aku membuka mataku perlahan. “Kita harus kerumah
sakit,” aku menatap mama perih. “Kau sudah sakit seperti ini selama dua hari,
mama khawatir kau terkena demam berdarah,” ujar mama. Aku hanya terdiam.
“Aku baik-baik saja ma,” bisikku pelan.
“Teman-temanmu banyak yang berkunjung, ini ada
kiriman coklat lagi dari mereka,” aku melirik keranjang coklat cantik di meja
kecil samping ranjangku. Kemudian mendesah, tidak tertarik untuk membuka kartu
yang tertera disana.
“Apa Lena sudah kesini?” tanyaku. Mama terlihat
kikuk.
“Sayang…”
“Aku tau,” potongku cepat kemudian membalikan
tubuhku hingga membelakangi mama. Aku bisa mendengar isakan mama dari balik
punggungku. Ingin rasanya aku menghapus air mata itu, namun tubuhku kaku tak
bisa bergerak, bahkan untuk menghapus air mataku sendiri saja aku tidak
sanggup.
***
Beberapa siswa menyapaku ketika aku berjalan di
koridor sekolah beberapa hari kemudian. Mereka tersenyum dan menanyakan
kabarku. Aku tau mereka hanya bicara basa basi. Namun, Lena selalu mengajariku
untuk bersikap ramah. Maka dari itu aku menjawab semua pertanyaan mereka dengan
senang hati.
“Izzi,” panggil kak Lolita. Aku tersenyum
memandangnya. “Kami sangat mengkhawatirkanmu,” ujarnya. aku hanya bisa
tersenyum. “Bagaimana keadaanmu?”
“Sudah lebih baik kak, hanya demam biasa karena
hujan beberapa hari yang lalu,” jawabku. Kak Lolita tersenyum tipis. Namun
senyuman itu tidak menyentuh matanya. “Aku pergi dulu kak, sahabatku pasti
sudah menunggu,” bisikku. kak Lolita menyulurkan tangannya ingin menahanku.
Namun kemudian menariknya kembali. Aku berjalan dalam diam, meninggalkan semua
kenyataan itu di belakangku.
“Izzi…” suara merdunya membuyarkan lamunanku.
Aku menatap Lena yang berdiri di ambang pintu kelas kami. Ia terlihat lelah,
namun masih cantik seperti biasanya. “Maafkan aku soal kemarin,” aku menatapnya
perih. Aku merindukannya. Aku merindukan sahabat kecilku.
“Aku juga minta maaf,” aku berlari memeluknya.
“Aku merindukanmu,” bisikku perih. Lena membalas pelukanku. Aku menghirup dalam-dalam
aroma tubuhnya yang menenangkanku. “Aku harap kejadian seperti itu tidak pernah
terulang lagi,”
“Ya tentu… maafkan aku,” bisik Lena. Aku bisa
merasakan getaran di suaranya.
“Maaf karena aku telah meninggalkanmu,”
bisikku. Lena mendesah lelah.
“Aku yang sudah meninggalkanmu,” ujarnya. aku
menggeleng dan mempererat pelukanku, seakan dengan begitu aku tidak akan pernah
kehilangan sahabatku.
Aku mendesah lelah ketika pelajaran hari itu
selesai. Lena menyeringai lebar di sampingku. Hari ini ia akan membantuku
latihan cheers. Oh tuhan, apakah ini hal
yang harus aku bayar untuk mempertahankan persahabatan kami???
“Bagaimana kabar kak Stefan?” tanyaku sore itu
ketika kami berjalan beriringan ke aula yang kosong di sore hari. Lena
mengangkat wajahnya, menatapku sejenak kemudian tersenyum lebar.
“Dia baik-baik saja, dia ingin bertemu
denganmu!” ujar Lena riang. “Kau tau, dia mengajakku bermain game bersama
kemarin malam, dan coba tebak!! Aku mengalahkannya!” Lena terus bercerita
tentang kak Stefan di sepanjang sore itu. sesekali aku terkikik geli mendengar
ceritanya, dan benar-benar bersyukur karena akhirnya dia lupa sejenak akan
latihan cheers yang begitu menakutkan dimataku.
“Bagaimana perasaanmu tentang Andrew?” tanyaku
hati-hati. Dan wajah itu membeku. Ia menerawang cahaya senja dari balik jendela
besar aula itu. “Maaf, aku tidak bermaksud mengungkitnya,” bisikku. Lena
tersentak, seakan baru tersadar dari lamunannya.
“Tidak apa,” katanya riang, namun matanya
terlihat perih. “Ayo kita latihan!!!” Lena bersorak riang. Aku menepuk keningku
perlahan. Astaga!!!!
****
“Wow!!!” pekik Lena kagum ketika melihat
keranjang coklat di kamarku. Ia duduk di tepi ranjangku sambil mengagumi
keranjang cantik itu. “Semoga kau cepat sembuh.” Bacanya. Aku mengangkat bahu,
memandangnya dari cermin. “Kau yakin ini bukan dari Ethan?” desaknya. Aku duduk
di samping Lena setelah mengganti bajuku dengan t-shirt dan celana pendek.
“Aku tidak tau Le,” ujarku gemas. Aku sudah
mengatakan hal itu ratusan kali kepadanya. “Mama yang menerimanya, dan dia sama
sekali tidak ingat seperti apa wajah orang yang memberikan ini,” tuturku. Lena
mendesah dan mengerutkan keningnya. Ia merebahkan tubuhnya di kasur, kembali
memandang langit-langit.
“Kalau begitu kita akan melanjutkan perjuangan
cinta ini!” ujar Lena penuh semangat seperti biasa. aku menatapnya ngeri. “Kau
jatuh cinta padanya kan?? Jangan jawab!” aku mendelikan mataku. “Aku bisa
melihatnya, kau benar benar benar dan benar mencintainya.” Aku terkikik, ia
mulai berlebihan. “Kita akan cari tau pengirim keranjang coklat ini!” matanya
mulai bersinar-sinar penuh semangat lagi. “Dan aku yakin bahwa pengirimnya
adalah Ethan!!!” wajahku memerah mendengar kata-katanya. “Lihat kan, dia sudah
jatuh cinta padamu!!!”
“Le…” aku mendesah pelan. “Kurasa kita tidak
bisa menebak seperti itu,” tambahku, meskipun dalam hati aku merasa begitu
tersanjung mendengar kata-katanya.
“Kalau begitu, kita akan melakukan penyelidikan
mulai besok,” ujarnya. aku meringis ngeri pada semangatnya yang menggebu-gebu.
***
Aku memiringkan wajahku ketika mendengar suara
familiar dari balik rak buku di perpustakaan sekolah siang itu.
“Oke, terima kasih,” ujarnya lagi kemudian
menutup teleponnya. Aku mendesis ketika menyadari suara itu. aku harus sembunyi! Hati kecilku
berteriak. Mataku memandang kesekeliling, mencari tempat persembunyian. Namun
tampaknya aku terlambat, karena sosok jangkung yang super angkuh itu kini
berdiri di belakangku. “Issabela,” bisiknya, suaranya terdengar terkejut. Aku
membalikan wajahku dan menatapnya. “A…Aku dengar kau sakit,” tambahnya, kini
terdengar kikuk. Aku mendesah. Benar-benar ketua yang sempurna! Desisku dalam
hati.
“Ya, tapi sekarang sudah baik.” Jawabku dingin.
Entah mengapa aku lelah bersikap baik padanya. Kak Sam mengangkat bahunya tak
acuh.
“Baguslah!” ujarnya. aku sedikit terkejut
mendengar nada kelegaan dari suaranya. “Kau tau, masih banyak artikel yang
harus kau buat,” tambahnya. Aku mencibir dalam hati. Ah tentu saja, itu adalah alasan yang sangat tepat untuk perasaan
leganya! Aku merasa sedikit bodoh karena sempat tertipu dengan nada
suaranya beberapa saat yang lalu.
“Aku harus pergi,” ujarku. “Aku masih memiliki
banyak tugas,” tambahku, kemudian berjalan tanpa menunggu jawabannya.
“Issabela,” panggilnya tiba-tiba. Aku menoleh.
“Ah tidak apa,” ujar Sam setelah diam sejenak. Aku mengangkat bahuku tidak
peduli, kemudian berlalu pergi.
***
Aku mengerutkan keningku ketika selembar kertas
putih terjatuh begitu saja dari pertengahan buku Matematikaku. Aku mengambilnya
dan mengerutkan kening ketika membaca tulisan aneh di kertas itu.
‘Dan ketika malam tak berbintang, aku
mengenangmu, seakan kaupun tengah mengenangku. Hatiku sakit melihatmu terluka,
segeralah kembali bersinar matahariku…’
Aku membulak-balik kertas itu, mencoba mencari
tanda pengenal dari pemilik kertas aneh itu. namun ketika aku sama sekali tidak
menemukan apapun, aku membuang kertas itu. well, beberapa saat yang lalu aku
memang sempat tersanjung ketika memikirkan kata-kata secret admirer. Namun entah mengapa sesaat kemudian aku malah
membuang kertas itu. tidak adil memang, namun aku merasa sesuatu tengah
mengincarku, sesuatu yang menyedihkan dan menuntutku menyiapkan air mata sialan
itu.
14 komentar:
cherry... makasih udah d posin... bsk y aq berkomentar... coz mlm ini g sanggup baca'y....
hihihi sip mba riri... :) :)
Cherryyy ini belum tamat kan? aku tadi koment di sini tp komentku ga bisa muncul huhuhuhu ;'(
*peluk2*
pantesan komentku tadi ga keluar, krn aku posting koment di bab 7 tp meriksa nya di bab 6 hihihi maafkan akuuu...
*peluk mba*
hihihi... aku suka berjalan2 ke tempat mba...
walau abisan itu pasti aku bakal tambah galau, blog mba isinya buat aku mereenung terus, hehehe
Zia,,,, aq nebakny si Izzi bakal jadi ama si Sammuel,,, iya kan????
*spoilerny donk say,,,,
Zia,,,, aq nebakny si Izzi bakal jadi ama si Sammuel,,, iya kan????
*spoilerny donk say,,,,
Hehehe aku juga masih belum tau mba Riska...
masih bingung, akhrnya sama siapa yah... *merenung sendiri*
waaaa iya setuju sama mba eriska, pasti sama samuel ini ahkirnya...heeee blog-ku memang auranya galau yah hihihi,,, padahal udah kuselipin cerita2 lucu lho :D *peluk erat cherry*
jangan galau adeku sayang, ingat disini ada mbak-mbak mu yang selalu setia menemanimu hihihihi
huhuhuhu yang ganteng itu kan Ethan!!! aku mau ama dia.... *loh loh ko jadi aku yang mau (?)*
tapi aku klo baca tulisan mba bawaannya serius, walaupun akhirnya lucu dan ga terduga pasti tetep merenung. heheheh
hihihi iya... makasii mba mba ku sayang... :) :) :)
iyaa adekku cintakuu
lhooo pengarangnya udah milih yang ganteng duluan nih berbahaya hehehe
aku ga sabar nih nunggu bab berikutnya, kabarin yah kalo dah ada cherryy :D
eh bahaya yah??? *melongo sambil mikirin Ethan dan sam* padahal sam itu kan cuma cameo ceritanya....
sip sip mbaku.... :) :)
Iyaa... Stuju sm mba eriska Izzi sm samuel aja haha.. *Ngarep*
ko sama sam sih???
sam kan jutek mba Fika...
lagian gantengan Ethan, seriusan deh...
*menatap serius dan meyakinkan*
Posting Komentar