BAB ENAM BELAS
Yang Terlewatkan
4 tahun kemudian.
Hujan masih turun dengan derasnya ketika aku
berdiri di depan rumahku. Untuk sesaat aku hanya tersenyum tipis, mengingat
semua kisah yang terukir di rumah ini. Senyum dan tangis itu. perih dan
kebahagiaan itu. cinta dan tragedy itu. sudah dua tahun berlalu, namun rumah
mungil berwarna putih itu tidaklah berbeda. Hanya ditambah beberapa tanaman
merambat di bagian depannya. Mama adalah seorang penulis, dia lebih menyukai
hal-hal yang menenangkan untuk membantunya mendapatkan suasana dalam
penulisannya.
Aku tersenyum tipis seraya menggenggam erat
payungku, sebelum akhirnya masuk kedalam rumah yang begitu ku rindukan.
“Mama…” panggilku pelan. pintu tidak terkunci,
selalu ceroboh seperti biasa. aku melangkah perlahan sambil mencari-cari
keberadaan mama. Aku sengaja tidak mengabari kedatanganku kepadanya, karena aku
ingin memberikan sebuah kejutan. Namun aku tidak menyangka jika semuanya akan
gagal hanya karena ketidak beradaan mama di rumah. Aku mendesah lelah kemudian
mengambil ponselku dari dalam tas, menghubungi nomor mama. Berkali-kali nada
sambung terdengar, namun tidak diangkat sama sekali. Lama-lama aku mulai kesal,
aku sudah merindukan mama setengah mati, dan sekarang aku malah harus menunggu
seperti orang bodoh begini. Lagi pula, kemana sih perginya mama? Ia bahkan
tidak mengunci pintu rumahnya! Bagaimana jika ada pencuri masuk??! Aku mendesah
ngeri ketika memikirkan semua hal itu. mulai mengutuki kebodohanku yang
meninggalkan sosok mama sendirian di sini.
Aku meletakan koperku di kamar, kemudian
kembali berjalan ke ruang tamu. Menghempaskan tubuhku dengan malas ke sofa
terdekat. Suasana rumah itu begitu sunyi sehingga membuat tetesan hujan di luar
sana terdengar begitu bising. Aku menatap hujan dari balik jendela ruang tamu,
mencoba menghitung tetesan itu secara acak. Kemudian perhatianku tertuju pada
tumpukan kertas di atas meja. Semuanya berantakan, beberapa buku ensiklopedia
kedokteran terbuka lebar, kertas-kertas bertebaran di mana-mana, dan laptopnya
sendiri masih menyala meskipun dalam mode log off.
Aku mulai penasaran, hm… mama pasti sedang
menulis cerita tentang orang yang memiliki penyakit aneh lagi.
“Hemofilia?” aku membaca judul dari buku yang
terbuka di hadapanku. Well, cukup unik, penyakit turunan yang sulit diditeksi
dan cukup langka. Hm, mama sepertinya mulai mencari ide-ide yang masih fresh.
Aku membuka-buka buku besar itu sesaat, mulai
menikmati kajian kedokteran di dalamnya. Kemudian keusilanku mulai muncul ketika
melihat laptop yang masih berkedap-kedip. Mama selalu tidak suka jika
tulisannya ku baca sebelum selesai semuanya. Namun kini mama sedang tidak ada,
jadi mengapa aku harus khawatir?
Aku tersenyum perih ketika selesai membaca
lemabran-lembaran terakhir novel itu. mama selalu hebat dalam menulis,
seakan-akan ia memang merasakan semua hal itu. Aku mendesah menatap hujan yang
semakin membesar. Merenungi kisah mengharukan yang mama tulis. Kisah tentang
seorang ibu yang berjuang untuk menjaga anaknya yang menderita penyakit yang
diturunkan oleh suaminya sendiri.
Krekk…
Pintu tiba-tiba terbuka. Aku sampai terlonjak
kaget karenanya. “Mama…”desisku. Mama menatapku tidak percaya.
“Isabella?” tanyanya ragu. Aku mengaguk dan
langsung berlari memeluknya.
“Aku rindu mama,” aku menangis di pelukannya.
Mama menarik tubuhku menjauh.
“Mengapa kau tidak mengatakan kalau kau akan
pulang hari ini?!” mama berteriak. Aku menatapnya dengan seringai jahil.
“Suprize…” bisikku.
“Anak nakal!” mama menarik tubuhku lagi ke dalam
pelukan hangatnya. Ia mencium puncak kepalaku dengan sayang. “Mama sangat
merindukanmu…” mama mencium pipi kiriku.
“Aku juga…” bisikku. untuk sesaat kami hanya
berpelukan seperti itu. meresapi keberadaan masing-masing. “Papa titip salam
untuk mama, dan aku sudah mengurus semua kepindahanku kembali,” ujarku setelah diam beberapa saat. Mama tersenyum dan mengaguk.
“Hm, putriku… sudah dua tahun berlalu dan kini
kau sudah terlihat sangat dewasa,” aku memerah mendengar kata-kata mama.
Apa-apaan sih mama berbicara seperti itu padaku??? Batinku. Mama tersenyum
manis. Ia membelai wajahku. “Kau bahkan terlihat begitu cantik…”
“Mama!!!” aku berteriak risih. Mama tertawa
kecil kemudian pergi ke dapur. Aku berjalan mengikutinya.
“Kemarin mama membuat ini,” ujar mama seraya
mengeluarkan seloyang pudding coklat. Aku menjerit kegirangan. Pudding coklat
adalah salah satu makanan kesukaanku dan kak Sam sewaktu kami kecil. Ah…
mengingatnya membuatku kembali termenung. “Ada apa? Apa rasanya tidak enak?”
Tanya mama. Aku menggeleng cepat. Ini sangat lezat seperti biasa.
“Mama menulis cerita baru?” tanyaku. Mama
tertegun sejenak.
“Mama hanya ingin menuliskan perjuangan seorang
ibu yang mengurus anaknya,”
“Mengapa mama tidak menulis kisah tentang kita
kalau begitu?”
“Kisah kehidupan kita terlalu panjang sayang.
Dan mama tidak ingin menebak apa yang akan terjadi di masa depan nanti,”
“Tapi kita bisa berharap,”
“Ya selalu ada harapan,” bisik mama.
****
Untuk sesaat aku ingin melupakan kehidupanku.
Keluar dari ruang lingkupku. Bukan, bukan untuk melanjutkan hidupku ke haluan
yang lebih baik lagi. Atau, mungkin ya. Tapi kali ini aku ingin pergi tanpa
membawa masa laluku. Aku ingin menjadi pribadi yang baru. Meninggallan semua
masa laluku, semuanya! Aku ingin melupakannya. Memulai lembar baru, menjadi
pribadi yang baru di tanah asing dan orang-orang yang berbeda.
Aku mendesah menatap hujan. Sudah empat tahun
sejak kejadian itu. dan semuanya tampak begitu berbeda. Hanya satu hal yang
sama, hujan hari ini dan hujan kemarin.
Dan rasanya hati ini sudah mulai bisa lebih
dewasa lagi. Ya, aku tentu bisa menghalau perasaan masa mudaku dulu. Lagi pula
itu dulu, luka hari yang lalu. Aku tidak mungkin menangis karena luka yang
sama. Aku akan baik-baik saja.
“Isabella,” suara itu terdengar begitu indah di
telingaku. Membuatku ingin memejamkan mata untuk meresapinya. Namun tetesan
gerimis memaksaku untuk menoleh. Dan ia disana, berdiri dengan ketampanannya.
Jeans gelap, T-shirt putih dan jas abu-abu. Aku tersenyum, seakan pernah lupa
akan ketampanannya. Kemudian melambaikan tanganku perlahan.
Dia sahabat lamaku, teman SMA ku, lalu kenapa
aku harus merasa ragu? Ku langkahkan kakiku ke kafe tempatnya berdiri. Kafe itu
begitu putih dan bersih, penuh dengan nuansa alam dan pastel. Aku menyukainya,
karena begitu sesuai dengan sosok tampan pemuda itu.
“Hai,” aku menjabat tangannya. Begitu besar dan
hangat. Aku hampir saja tersentak ketika perasaan itu sekilas menghantui
pikiranku. “Bagaimana kabarmu?” tanyaku. “Well, kau tampai baik.” Aku buru-buru
menjawab pertanyaanku sendiri. Ia tersenyum tipis, kemudian duduk di beranda
kafe yang menghadap ke jalanan. Aku mengikutinya. Turut memandang hujan dari
balik bulu mataku.
“Aku minta maaf tentang masalah itu,” bisiknya.
Aku tersenyum dan menggeleng.
“Tidak, kau tidak perlu minta maaf. Atau mungkin
aku yang seharusnya minta maaf,” bisikku. Ia menoleh menatapku, namun aku tidak
ingin balas menatapnya, tidak untuk kali ini.
“Aku melakukan banyak kesalahan padamu. Aku…”
“Sudahlah Ethan, itu masa lalu. Semuanya
baik-baik saja sekarang.” Ujarku penuh keyakinann. Ethan tampak sedikit
terkejut di sampingku. Kemudian ia tersenyum senang.
“Jadi selama ini bisa kita anggap sebagai
kesalah pahaman?” tanyanya. Aku mengangkat bahu, masih dengan senyuman di
wajahku. “Kalau begitu bisakah kita kembali seperti dulu? aku benar-benar
menyayangimu.” katanya. Aku menatapnya ragu, kemudian menggeleng.
“Ethan, aku memang sudah memaafkanmu. Aku sudah
melupakan semua itu. tapi tidakkah kau mengerti hujan kemarin selalu
meninggalkan bekas.” Tuturku. Ethan menatapku tidak mengerti. Namun aku bisa
melihat kekhawatiran di mata indahnya. Ah… mata indah itu… “Aku memang sudah
melupakan semua sakit hatiku. Tapi bukan berarti aku akan kembali jatuh di
lubang yang sama. Stidaknya aku tidak ingin itu terjadi.” Ujarku kemudian berdiri, tersenyum sekilas
dan berbalik pergi.
“Isabella, tapi hujan hari itu bisa saja
membawa pelangi,” katanya, aku menghentikan langkahku. Mendesah dan menggeleng.
“Sayangnya hujan kemarin hanya meninggalkan
lumpur. Dan aku tidak ingin terjatuh di lumpur yang sama, maaf.” Setetes air
mata membasahi pipiku. Aku tidak mengusapnya, hanya membiarkannya membaur
dengan gerimis yang mengiringi langkahku menjauh. Ya inilah yang tertinggal
dari hujan kemarin. Lumpur darinya dan pelangi dari mentari yang lain…
****
Hembusan angin dengan hujan rintik-rintik
menerpa wajahku. Namun aku tidak peduli. Aku ingin merasakan setiap tetesan
itu. aku ingin mengenang setiap tekanan kecil darinya. Seperti aku mengenang
semua keperihan dalam hati ini.
Kutatap pusaran itu dengan sedih, kemudian
meletakan bunga mawar segar dekat batu nisannya. Aku tau aku sudah terlambat,
namun aku tidak bisa menahan diri untuk tidak menemuinya. Aku mencintainya
sejak kecil. Menyayanginya setulus hati. Namun kini aku telah kehilangannya,
kehilangan sosok yang paling ku kasihi.
1 komentar:
love it so much cher,,,,
semakin penasaran trus sama ceritanya...
Posting Komentar