BAB EMPAT
Ice and Fire
Malam itu aku tidak bisa memejamkan mataku.
Senyuman konyol terus menghiasi wajahku. Membayangkan tatapannya, suaranya,
genggamannya, dan semua tentangnya. Ah, aku tidak tau bagaimana menjalankan
sisa hidupku dengan bayang-bayangnya seperti ini. Konyol memang, dan sangat
teramat berlebihan, tetapi aku rasa ini lah yang di sebut dengan cinta masa
SMA, Cinta yang masih dipenuhi oleh hormone remaja.
Aku jadi teringat kisah cinta Lena beberapa
tahun yang lalu, ketika kami sama-sama duduk di kelas satu SMA. Lena jatuh
cinta pada seorang senior yang –padahal- pada saat ospek menyiksa kami dengan
keras. Aku membencinya setengah mati karena beranggapan Lena terlalu berlebihan
dengan rasa cintanya. Well, kak Andrew memang tampan dan keren, tapi sosok
angkuhnya membuatku muak. Dan entah mengapa membuat Lena tergila-gila setengah
mati. Karena masalah itu pula hubungan kami sempat merenggang. Padahal aku
sangat menyayanginya, ia adalah sahabat kecilku, ketika kami baru sama-sama
mengenal hurup A di taman kanak-kanak.
Tapi tentu saja, perseteruan itu tidak
berlangsung lama, akhirnya aku bisa menerima hubungan Lena dan kak Andrew. Dan,
well… aku mau tidak mau mulai mengakui sikap manis kak Andrew pada Lena. Ia
tampaknya cukup menyukai sahabatku, namun tetap saja aku masih tidak begitu
menyukai Lena yang terlampau tergila-gila padanya. Dan kini, aku memandang
diriku sendiri di cermin. Mengutuki rasa cintaku yang terlampau besar pada
pangeran tampan itu. astaga…
Aku mencoba menyembunyikan senyumku sebisa
mungkin, namun entah mengapa senyuman konyol itu malah semakin melebar ketika
aku melihat sosok Lena di depan rumahku, mengunggu dengan senyumannya. Matanya
tampak lapar akan sesuatu, mulutnya berkedut, tersenyum miring penuh misteri.
Aku meringis menatapnya, namun masih dengan senyuman lebarku. Sejenak aku lupa
pada deretan kejadian konyol yang ku lakukan kemarin sore. Yang ku ingat saat ini
hanyalah kebahagiaanku yang terlampau memenuhi paru-paruku.
“Astaga…” desis Lena tidak percaya ketika
akhirnya aku menceritakan kisah kemarin malam padanya pada jam istirahat hari
itu. Ia menatapku dengan kebahagiaan yang tidak di buat-buat. Mata indahnya
membulat berbinar indah. Aku sendiri menatapnya penuh kebahagiaan. “Ini
benar-benar keren!!! Kau akan segera mendapatkannya!” teriak Lena kencang. Aku
mendelikan mataku. Melirik kikuk kesekeliling kantin, khawatir ada yang
mendengar pembicaraan kami. Namun tampaknya semuanya sibuk dengan urusan mereka
masing-masing. “Oke, sekarang kita hanya perlu berlatih cheers,” ujarnya. Aku
mendesah. Nafasku terasa mulai sesak ketika mendengar kata-katanya.
“Le… aku benar-benar…”
“Ssttt…” Lena melotot padaku. “Selama aku di
sini, jangan katakan kau tidak mampu. Kau bisa melakukannya. Kau tau itu! dan
kita akan berlatih. Buang perasaan khawatirmu!” ia menekankan seluruk
kata-katanya. Membuatku terpaku bagai terhipnotis kemudian mengaguk. Lena
menyeringai lebar.
“Izzi!” panggil seseorang ketika aku baru saja
keluar dari perpustakaan sore itu. aku menoleh dan mendapati kak Sam berjalan
mendekatiku. Hatiku mencelos ketakutan. Astaga…
bagaimana ini??
“Ya kak?” jawabku ketika ia berhenti tepat di
depanku. Ia membetulkan letak kaca matanya. Kemudian mata tajam itu menatapku,
seperti menusuk-nusuk wajahku. Tanpa sadar aku meringis.
“Profil students of week akan ditulis oleh
Alina,” ujarnya. Aku tersentak, menatapnya bingung. “Kau bantu Lita saja
menyelesaikan beberapa artikel lain.” Tambahnya. Aku menatapnya tidak mengerti.
ia memainkan bingkai kaca matanya sesaat, menatap jauh ke depan. “Waktunya
sudah tidak sempat lagi, jadi lebih baik kau membantu Lita,” aku mengendus
kesal. Entah mengapa hatiku terasa sedikit sakit. Jadi semua ini hanyalah
karena keraguannya pada kemampuanku dalam melakukan pekerjaan itu?
“Kau tidak perlu khawatir, aku akan
menyelesaikannya tepat waktu.” Ujarku dingin. Dan sepertinya ia sedikit
terkejut mendengar kata-kataku. Aku sendiri sedikit ngeri mendengarnya. “Aku
akan menyelesaikannya.” Ujarku tegas. Wajah kak Sam mengeras. Matanya tepat
menatap mataku. Tapi aku tidak ingin mundur lagi, keraguannya sudah melukai
egoku.
“Kau tidak bisa…” desisnya. Aku menaikan
wajahku.
“Aku bisa!” balasku tercekat. Kemudian ia
memalingkan wajahnya, menyisir rambutnya dengan jemarinya dan berlalu pergi.
Aku menatapnya tidak percaya, dan kemudian tetesan air mata itu mengalir begitu
saja. Menumpahkan seluruh kesedihan yang sesungguhnya aku sendiri tidak terlalu
yakin disebabkan oleh apa.
Aku membanting bukuku kesal. Kejadian di depan
perpustakaan tadi masih terbayang-bayang di ingatanku. Dan aku semakin muak
ketika mengingatnya. Aku benar-benar membenci kak Sam dan semua sikap
angkuhnya. Tapi sialnya aku benar-benar mencintai bidang jurnalistik. Aku mendesah,
mencoba berpikir untuk mundur saja dan masuk lagi setelah ia lulus tahun ini. Namun
egoku terlalu tinggi. Aku tidak ingin ia tersenyum, merasa menang akan situasi
ini. Aku merasakan dadaku sakit menahan tangis. tapi aku tidak ingin menangis
lagi. Tidak untuk kemenangan pemuda dingin yang menyebalkan itu.
Aku menatap anak-anak yang tengah berolah raga
di lapangan. duduk di belakang gedung perpustakaan seperti hanya ku lakukan ketika
aku sedang ingin menyendiri, dan mengindari Lena. Aku tidak tau harus berkata
apa pada gadis itu. ia pasti akan marah besar, dan mengingat sikap nekatnya, ia
bisa saja mendatangi kak Sam. Dan ini akan semakin buruk. Tapi aku masih belum
siap menyembunyikan apapun darinya. Ia tentu akan dengan mudah membaca suasana
hatiku.
“Kau disini.” Aku terperanjat kaget dan
menoleh. Ethan berdiri dengan nafasnya yang tersenggal-senggal sehabis berlari.
“Aku mencarimu,” tambahnya lagi. Dengan santainya ia duduk di sampingku. Ikut menatap
lapangan sepak bola di hadapan kami. “Aku mengirimu pesan,” aku masih
menatapnya dengan tatapan bingung lengkap dengan wajah konyolku. “Kau tidak
membalasku, jadi aku mulai khawatir,” ujarnya, suaranya terkesan sedikit
malu-malu. “Kau baik-baik saja?” tanyanya cemas ketika melihatku masih terpaku
menatapnya tak bergerak sama sekali. “Kau habis menangis?” ia meletakan kedua
tangannya di kedua sisi wajahku. Meneliti mataku. “Ada apa?” nada khawatir di
suaranya entah mengapa membuat hatiku meleleh, air mata itu kembali tergenang.
“Hey, tenanglah,” kemudian secepat kilat ia
memelukku erat. Aku menggigit bibir bawahku menahan isakan yang menyakitkan
itu. merasa konyol pada reaksiku yang terlampau berlebihan atas kejadian di
perpustakaan tadi. “Menangislah,” bisiknya di atas kepalaku. Dan kata-kata itu
seperti perintah yang begitu lembut. Membuatku spontan mengeluarkan seluruh
lukaku. Menangis keras di dadanya yang bidang.
Wajah Ethan mengeras ketika aku menceritakan
kejadian tadi padanya di tengah isakanku. Tangannya mengepal. “Aku akan
menemuinya,” bisik Ethan. Aku tercekat, dan langsung menggeleng. Membayangkan ia
berhadapan dengan kak Sam sama sekali bukan hal yang ku harapkan. Meskipun aku
merasa tersanjung karena sikap pembelaannya.
“Tidak, ku mohon… aku tidak ingin memperburuk
keadaan,” aku menyentuh kepalan tangannya ragu-ragu. Kemudian wajah tampan itu
mencair. Menoleh kepadaku dan mengaguk, tetapi aku masih melihat emosi itu di
wajahnya.
“Kalau begitu kita akan menyelesaikan penulisan
profil students of the week sialan itu secepatnya!” ujar Ethan. Aku menunduk
lelah. “Kita akan menyelesaikannya hari ini juga.”
“Tidak usah memaksakan. Aku tidak ingin menyusahkanmu,
lagi pula mungkin kak Sam benar, aku memang tidak memiliki waktu yang cukup.”
“Izzi, aku disini dan aku akan membantumu,”
ujarnya menenangkanku. Aku menggigit bibir bawahku. Entah mengapa air mata
sialan itu kembali tergenang, dan menetes ketika aku mengaguk padanya.
Kak Lolita menatapku heran ketika aku memasuki
kantor jurnalistik. Ia dan dewan senior lainnya masih melakukan beberapa
penyesuaian akhir untuk majalah mingguan sekolah kami. “Kau belum pulang?” Tanya
kak Lolita lembut. Aku tersenyum tipis padanya. Saat ini sudah pukul 6 lewat
dan memang sedikit aneh melihat murid junior sepertiku masih berkeliaran di
sekolah.
“Aku ingin menyerahkan ini,” ujarku padanya. Kak
Lolita menatap kertas yang ku berikan. Ia kemudian melirik kikuk padaku.
“Terima kasih, tapi seharusnya kau tidak perlu
memaksakan diri,” ujarnya, aku tersenyum tipis dan menggeleng. Kemudian aku
mendengar langkah-langkah tegap dari dalam ruangan lain di kantor. Kak Sam
menatap kami secara bergantian.
“Sudah larut, aku akan menagntarmu pulang,”
ujar kak Sam dingin. Aku tersentak ingin menolak.
“Tidak perlu, ia akan pulang bersamaku,” ujar
Ethan tiba-tiba. Aku terperanjat kaget, ketika ia muncul di balik pintu masuk. Wajah
kak Sam mengeras angkuh. Ia melirik sinis padaku kemudian mengangkat bahu tak
acuh. “Ayo,” Ethan menarik lenganku keluar dari kantor yang mendadak terasa
mencekam itu.
“Terima kasih,” bisikku. pemuda di sampingku
tersenyum, namun tidak menoleh padaku. Ia hanya menatap malam yang menemani
perjalanan pulang kami.
0 komentar:
Posting Komentar