BAB DUA PULUH
The forgotten sheets
Aku tersentak dalam kegelapan yang begitu
dalam, mencekikku hingga sulit bernafas, seluruh tubuhku terasa begitu nyeri,
remuk tak berbentuk. Samar-samar aku bisa merasakan sebuah kehangatan dari
tangan yang menggenggam jemariku. Aku mendesah lega, mulai merasa nyaman dengan
kegelapan itu, sebelum akhirnya kembali kehilangan kontrol atas tubuhku lagi.
Itu kedua kalinya aku tersentak dalam ketidak
sadaranku. Tapi kini aku tersentak karena aroma yang begitu menyengat dari
sekelilingku. Aku tidak yakin itu aroma apa, tapi baunya benar-benar menyengat.
Menyesakan dadaku yang secara spontan menahan nafas. Kemudian aku mendengar
suara bising dari roda-roda besi yang bergesekkan dengan lantai, suara
dentingan dari benda-benda yang begitu familiar di telingaku. Aku memusatkan
pikiranku, mencoba menerka keadaan di sekelilingku. Namun semakin keras aku
mencoba, semakin perih kepalaku. Semuanya terasa berdenyut-denyut, aku ingin
berteriak ketika merasakan kepalaku hampir pecah karena rasa sakit. Namun
kemudian aku bisa merasakan kehangatan itu lagi. Kehangatan yang membebaskanku
dari perih dan ketakutan itu, tepat sebelum aku kembali tertidur.
Cahaya itu begitu menyilaukan, aku
menyipitkan mataku, berusaha beradaptasi dengan sekelilingku. Aku tidak terlalu
yakin, tetapi aku pikir seorang gadis cantik tengah tersenyum di hadapanku. Rambutnya
panjang sebahu, wajahnya sedikit pucat, tetapi ia jelas cantik. Tangannya
terulur kepadaku, dan tanpa keraguan sedikitpun aku membalas uluran tangannya,
menggenggam jemarinya yang membeku. Ia mengangguk dan menarik diriku kedalam
cahaya itu.
“Tidak…” bisikku pelan. Tubuh di hadapanku
terdiam. “Ada yang menungguku,” bisikku. Hatiku terpilin ketika melihat wajah
itu mendadak sedih. Aku ingin merengkuhnya, menjaganya agar tetap tersenyum.
Ia melepaskan tanganku dengan perlahan.
kemudian merengkuh wajahku dengan kedua telapak tangannya yang dingin. Aku
tersentak ketika ia mendekatkan wajahnya, kemudian dengan perlahan menempelkan
dahinya di dahiku. Menyebarkan rasa dingin yang aneh dalam kepalaku. Dingin,
dan membeku. Aku terhanyut dalam perasaan aneh yang tak bisa ku ungkapkan.
“Siapa kau?” tanyaku padanya sebelum berteriak keras karena sakit yang teramat
dalam menghujam kepalaku.
“Isabella…” suara itu menggelitik telingaku.
“Isabella,” aku mengerutkan keningku ketika mendengar kekhawatiran dalam nada
suara itu. “Isabella…” lagi-lagi nama itu yang terdengar. Kemudian aku
merasakan sesuatu menekan lenganku. Aku tersentak, dengan perlahan membuka
mataku. Mataku menyipit ketika menatap cahaya dari lampu yang menderang di
langit-langit. “Isabella… akhirnya kau sadar…” aku menarik tubuhku ketika
wanita di sampingku memelukku erat. Kemudian seorang pria tua berkacamata
mendekatiku, memeriksa mataku, mempelajari pupilku dengan senternya, membuatku
semakin linglung dengan cahaya.
“Kau bisa mendengarku Isabella?” aku
mengerutkan keningku, aku bisa mendengarnya dengan sangat jelas. Tapi siapa
Isabella, mengapa ia menatapku seperti itu?
“Siapa Isabella?” tanyaku susah payah.
Tenggorokanku perih karena kering. Wajah wanita di sampingku memucat. Ia
menatap pria tua itu dengan ketakutan yang teramat jelas. “Dimana aku?” tanyaku
sedikit panik.
“Tenanglah nak…” pria berjas putih itu
berbisik perlahan. “Kau berada di rumah sakit,” ujarnya lagi. Aku memandang
kesekeliling ruangan. Jendela besar, sebuah sofa, kulkas kecil, tv, dan
beberapa hal standar lain.
“Apa yang terjadi? Siapa aku?” tanyaku
padanya. Wanita di sampingku menangis perlahan. Menuntut jawaban pada pria
dihadapanku.
“Kau Isabella. Kau mengalami kecelakaan dua
bulan yang lalu, dan ini adalah ibumu,” tuturnya. Aku mendelik, menilai wanita
itu dengan seksama. Ia mungkin berumur antara 40-50 tahun. Tapi ia cantik,
rambutnya dijepit ala kadarnya, wajahnya pucat dan lelah.
“Isabella, kau tidak mengingat mama?” tanyanya
serak. Hatiku terpilin, nafasku mulai tersenggal-senggal.
“Kepalaku sakit…” desisku ketika nyeri itu
menghantam setiap sudut kepalaku.
“Dok…” wanita itu menatapku dengan kecemasan
yang tidak dibuat-buat. Aku menatap sendu kearahnya sebelum kembali lepas
kendali atas kesadaranku.
Mimpi itu kembali hadir. Mimpi berada di
tengah ruangan yang menderang. Tapi kini aku sendirian di tengah kebekuan. Aku
menatap kedua telapak tanganku. Aku bisa melihatnya, tapi atu tidak bisa
merasakannya. Tubuhku mati rasa, hingga otakku menyerah untuk mengontrolnya.
Tapi kemudian aku merasakan air mataku mengalir, dan membeku seketika itu juga.
Tubuhku menggigil karena hawa dingin yang tiba-tiba berhembus kencang, kemudian
aroma itu lagi. Aroma menyengat yang menyesakan dadaku.
Aku
tersentak, seakan terbebebas dari mimpi buruk. Cahaya menyilaukan tadi telah
digantikan dengan cahaya yang lebih lembut, meski tidak kalah terangnya. Aku
menyipitkan mataku untuk menatap sosok-sosok di sekitarku. Mempelajari segala
sesuatu yang bisa ku tangkap.
“Isabella?” suara tua dokter itu membuatku
linglung, namun akhirnya penglihatanku mulai jelas. “Kau bisa melihat kami
sekarang?” tanyanya. Aku mengangguk sangat pelan. Merasa lemas untuk
menggerakan otot-ototku.
Aku tidak yakin sudah berapa lama aku
tertidur, namun rasanya semuanya tampak banyak berubah. Ruangan ini lebih luas,
yang saat ini dipenuhi oleh orang-orang asing.
“Isabella, kau bisa mengenali kami?” Tanya
dokter itu lembut. Aku menatap keempat wajah di hadapanku dengan bingung. Mencoba
membuka-buka memoriku yang terdalam, tetapi hasilnya nihil. Kepalaku terasa
sakit sampai akhirnya aku menyerah dan menggeleng pada dokter tua itu. “Tidak
apa-apa Isabella, ini hanya masalah kecil, kau akan segera mendapatkan
ingatanmu kembali,” ujarnya sambil tersenyum. “Itu ibumu,” ia menunjuk kearah
wanita yang tengah menangis. “Ayahmu, dan adikmu, Savanna.” Aku menatap wajah
yang ditunjukan oleh dokter itu dengan ragu. Kemudan mereka memelukku, kecuali
gadis cantik yang tengah berdiri membeku di ujung ranjangku.
“Maaf…” bisikku tercekat. “Tapi aku tidak
bisa mengingat apapun…”
“Tenanglah Isabella, kau akan baik-baik saja,
papa janji.” Aku ingin mengaguk, memepercayai kata-kata pria paruh baya itu.
Namun aku menemukan tubuhku membeku.
“Apa aku sudah menikah?” tanyaku ketika
menyadari sebuah benda berkilauan di jari manisku. Wanita yang mereka katakan
sebagai ibuku memucat. Ia melirik sosok-sosok lainnya dengan kikuk. Membuatku
semakin penasaran. Kemudian pria di sampingku tersenyum.
“Kau sudah bertunangan sayang, dan akan
segera menikah,” tambahnya. Aku merasakan dadaku kembali sesak. Aku sama sekali
tidak mengingat mereka, aku tidak bisa mengingat apapun, bahkan pertunangan
ini, ataupun cinta itu. Tapi aku tidak mau mengingkarinya, aku melihat cincin
itu melingkar indah di jari manisku. Tentu saja aku memiliki alasan yang kuat
untuk membiarkan cincin itu berada di sana.
“Mana dia?” tanyaku. Mulai merasa
berdebar-debar menunggu jawaban mereka. Aku tidak yakin apakah aku akan
mengenalinya atau tidak. Tapi aku yakin, ketenangan yang selama ini ku dapatkan
adalah darinya, dari pria yang mereka katakan sebagai tunanganku.
Kemudian pintu ruangan itu perlahan terbuka,
semua mata langsung menoleh padanya. Tetapi pemuda tampan itu hanya menatapku,
mengunci pandanganku. Wajahnya menyimpan berjuta emosi, namun aku tidak bisa
membacanya. Ia seperti sedang bahagia, sedih, kecewa, ragu, dan entahlah, aku
tidak yakin akan semua itu. Tapi ia disana, berdiri diambang pintu dengan
sebuket bunga mawar putih di tangan kirinya. Rambutnya berantakan, wajahnya
tampak lelah. Ia mengenakan t-shirt putih dengan jeasn, begitu santai dan apa
adanya.
Hatiku bergetar, mataku memanas ingin
menangis, kupegang erat cincin yang melingkar dijariku dengan tanganku yang
bebas. Seakan menuntut sesuatu dari cincin yang membisu itu. Menuntut sebuah
penjelasan, menuntut sebuah memori, menuntut keberadaan cinta itu.
Air mataku menetes kerika ia memelukku. “Kau
sudah siuman?” ia terdengar begitu lega, namun masih diliputi sedikit
ketakutan. Aku membeku dalam pelukannya. Merasa hambar dalam diriku. “Sayang…
lihatlah aku, apa kau mengenaliku?” tanyanya, ia merengkuh wajahku dengan kedua
tangannya.
Aku bisa melihatnya, tapi aku tidak mengenalinya.
“Sst…” ia menghapus air mataku yang menetes.
“Tenanglah sayang, kau tidak harus mengingatku. Kita bisa memulainya dari awal
lagi… aku janji,” bisiknya lembut. Aku ingin mengiyakan kata-katanya, namun
tenggorokanku tercekat. Hatiku perih dengan alasan yang tak bisa ku ungkapkann.
****
Aku masih merasa begitu baru dengan segala
sesuatu di sekelilingku. Wanita bernama Diandra yang menjadi ibuku; Harris sang
pengusaha sukses yang menjadi ayahku; Savanna, adikku yang berbeda 2 tahun
dariku; dokter harun; dan tunanganku. Semuanya begitu asing. Tapi aku
bersumpah, aku ingin mengingat mereka, mengingat kembali kehidupanku. Karena
sesuatu dalam masa lalu itulah yang menjagaku tetap berada di dunia ini.
Aku bernama Isabella Haris, putri pertama
dari keluarga Haris; seorang wanita berumur 23 tahun yang –sebelum kecelakaan
itu- bekerja di perusahan papa; dan bertunangan dengan seorang pria tampan yang
kini tidak pernah meninggalkan diriku walau sejenak.
Itu adalah sebuah cerita singkat tentang
kehidupanku yang ku dengar dari mama. Aku tidak memiliki satu memoripun tentang
masa laluku, dan dokter Harun dengan gamblang mengatakan bahwa kemungkinan
besar aku akan kehilangan memoriku untuk waktu yang lama, atau mungkin
selamanya. Tapi stidaknya aku bersyukur karena masih memiliki orang-orang yang
ku sayangi.
Well, mungkin kata-kata tunanganku tentang
memori itu memang benar adanya. Aku tidak harus mengingat masa laluku, aku bisa
mengingatnya dari awal.
“Ma, apa hobiku?” tanyaku suatu pagi. Mama
yang tengah mengupas apel di sampingku langsung terdiam.
“Kau menyukai banyak hal… banyak sekali…”
ujarnya lembut. “Kau suka membaca, menulis, bernyanyi,” aku tersenyum tipis
mendengar jawaban mama. Ia tampak lebih segar meskipun tetap terlihat sedih.
Ya, kesedihan di matanya itu sedikit mengusikku. Aku memang belum terlalu
mengenalnya –atau mengingatnya- tapi aku bisa melihat kesedihan di matanya.
Kesedihan yang jelas tak bisa ia sembunyikan.
“Ma…” aku menyentuh tangannya yang bergetar.
Aku sangat jarang mendapatkan waktu berduan dengannya. Terkadang hampir selalu
ada tiga atau lebih pengunjung di kamarku. “Apa ada yang mama sembunyikan?” tanyaku lembut. Mama
tertegun sejenak, namun ia jelas terlihat terkejut atas pertanyaanku.
“Tidak ada sayang…” bisiknya setelah terdiam
cukup lama. “Kau adalah dirimu, mama bersumpah akan hal itu. Kau juga sangat
mencintai tunanganmu,”
“Tapi ma, aku merasa sepertinya mama tidak
terbiasa dengan namaku,”
“Isabella, kau adalah putriku. Putri yang
paling kusayangi… setelah ini, setelah keadaanmu cukup baik, kita akan segera
pergi dari tempat ini nak, kita akan memulai kehidupan yang baru,”
“Tapi ma… Apa kita akan pergi dari sini?
Maksudku, apa kita akan pergi jauh?” tanyaku ragu. Mama mengaguk.
“Mama dan papa sudah memutuskan untuk
membawamu keluar Indonesia,”
“Tapi masa laluku di sini ma, kalau aku mau
mengingat masa laluku, aku harus berada dekat dengan hal-hal yang berkaitan
dengan itu,”
“Tidak ada yang perlu kau ingat nak,” bisik
mama tanpa melihat kearahku. “Kita akan memulai hidup baru yang lebih baik
lagi. Kau bisa menemukan hal baru yang ingin kau kerjakan, kau bisa
memulainya…”
“Ma…” aku menggeleng perlahan. “Aku ingin
meneruskan kahidupanku, bukan memulai hal baru.”
“Tapi kau sudah kehilangan semua ingatanmu
Isabella. Mengingatnya hanya akan membuatmu semakin sakit, mama tidak mau
mengambil resiko itu. Mama tidak mau kehilanganmu lagi…”
“Mama tidak akan pernah kehilanganku,”
bisikku perih. Mama memelukku erat, menumpahkan semua luka yang dirasakannya.
Aku pernah belajar mengenai asal usul hujan.
Mempelajari bagaimana hujan itu tercipta, dan bagaimana siklus penguapannya.
Namun dari sekian banyak hal yang –mungkin- dulu pernah ku pelajari, kini
semuanya menguap. Menghilang tanpa jejak. Aku seperti kehilangan jati diriku.
Lupa akan segala sesuatu tentang kehidupanku, bahkan hal-hal istimewa dalam
dalam kehidupanku yang seharusnya tak bisa ku lupakan.
Tapi mama benar, semakin keras usaha ku untuk mengingat semua
masa laluku, semakin perih kepalaku, dan semuanya akan semakin membaur. Seperti
menggenggam pasir, semakin erat kau menggenggamnya, maka semakin sedikit yang
kau dapatkan.
“Ini…” aku menoleh ketika Savanna menyodorkan
segelas jus berwarna putih. Aku tersenyum tipis dan menerimanya, kemudian
kembali menatap hujan yang terus mengguyur raya yang gersang.
Kamarku berada di lantai tiga, menghadap
lurus taman rumah sakit yang tertata rapih. Ada sebuah air terjun buatan di
bawah sana, dan meski dengan jelas terdapat anjuran untuk tidak bermain di
sana, tetapi beberapa bocah kecil tampak asyik menonton ikan-ikan keemasan dari
kolam itu. Aku mendesah, mulai kembali merasa perih dalam hatiku karena lupa
akan masa kecilku.
“Bagaimana masa kecil kita?” tanyaku pada
Savanna yang masih berdiri menemaniku menatap hujan. Ia terdiam lama, matanya
menerawang jauh. Suasana kamarku saat itu cukup sepi. Aku tidak akan bisa
menanyakan masa laluku jika ada banyak orang di sekelilingku. Konyol memang,
namun aku merasa mereka memang sengaja menjauhkanku dari masa laluku. Oke,
mungkin aku bisa mengerti jika pada akhirnya mereka berasalan, ini semua demi
kebaikanku, kesembuhan cara kerja otakku, tapi satu hal yang tidak ku mengerti
adalah pandangan aneh mereka. Pandangan yang seakan menunjukan peperangan batin
yang sedang mereka rasakan dalam diri mereka sendiri.
Mataku melebar saat melihat seorang bocal
kecil jatuh terjungkal karena tersandung kakinya sendiri. Bocah itu jelas
kesakitan, namun ketika seorang gadis kecil menghampirinya, ia langsung
mengangkat wajahnya, menunjukan bahwa ia tidak apa-apa. Aku tersenyum melihat
drama kecil itu, begitu lucunya tingkah si bocah, dan betapa bodohnya gadis
kecil itu. Tidak bisakah ia melihat bocah itu meringis kesakitan sesaat yang
lalu??
Kemudian seorang perawat meneriaki mereka
–sepertinya- karena aku tidak bisa mendengar mereka dari kamarku di lantai tiga
ini. Namun dari bahasa tubuh yang ku angkat sepertinya suster itu memarahi
kedua bocah berpayung mungil itu.
“Kita tidak memiliki masa kecil,” bisik
Savanna, mengingatkanku tentang keberadaannya di sampingku. Aku memundurkan
tubuhku, kembali menyandarkan punggungku di kursi rodaku. Sebenarnya aku sudah
bisa berjalan sejak dua hari yang lalu –atau mungkin aku memang tidak memiliki
masalah dengan system motorikku- tapi
mereka semua memaksaku untuk beristirahat total, memanjakan tubuhku yang kaku.
Ku letakan gelas jus itu di meja kecil di
sampingku, kemudian berdiri. Secara spontan Savanna langsung mengulurkan
tangannya untuk membantuku. Aku menatapnya dan menggeleng, mengatakan bahwa aku
baik-baik saja.
Aku berjalan dengan mudah menuju ranjangku.
Sudah tidak ada alat-alat berat si sana, tidak seperti pertama kali aku membuka
mata. Bahkan dokter sudah melepas selang infusanku sejak tadi pagi. Aku menatap
kesekeliling ruangan rawat inapku. Hanya ada satu ranjang di sini, satu lemari
kecil yang berisi berbagai barang, sebuah tv yang sangat jarang ku lihat, namun
jarang juga di matikan, seakan sengaja dinyalakan untuk mengisi kekosongan di
ruangan ini. Sebuah sofa panjang berada tidak jauh dari ranjangku. Aku berjalan
perlahan dan duduk disana, mencoba merasakan kehangatan orang-orang yang
sebelumnya pernah duduk disana –menungguku-. Aku membelai lembut permukaan sofa
berwarna biru itu, mencoba mengorek sedikit keterangan darinya. Namun seperti
benda-benda mati lainnya, ia masih tetap membisu.
Mama dan papa sudah bulat dengan keputusan
mereka untuk membawaku keluar negri. Dengan alasan yang sangat tidak masuk
akal; ingin mengintensifkan penyembuhanku –yang sejujurnya saat ini aku merasa
sangat baik-baik saja-. Selain kepalaku yang masih berdenyut-denyut ketika
terlalu keras berpikir, secara keseluruhan tubuhku baik-baik saja. semuanya
normal. Namun mama dan papa bersikeras untuk membawaku pergi. Sejujurnya, semua
lelucon ini membuatku mual.
Tiba-tiba pintu terbuka. “Isabella,” mama
terdengar sedikit terkejut melihatku duduk di sofa bukannya berbaring di ranjang. Aku menatapnya
dengan sebuah senyuman yang sama sekali tidak menyentuh mataku.
“Aku sudah sembuh ma…” bisikku merajuk. Mama
mendesah dan duduk di sampingku, memberlai lembut kepalaku seakan aku hanyalah
gadis kecil yang merengek meminta permen. “Ma, aku tidak ingin pergi kemanapun,
aku ingin tinggal di rumah,” pintaku. Mama kembali membelai kepalaku, kamudian
turun kepunggungku. Sentuhannya terasa lembut namun jelas menyimpan kelelahan. “Ma…”
bisikku, mencoba mengembalikannya ke dunia nyata. Mama mendesah dan menoleh
padaku. Tersenyum lembut penuh kasih.
“Isabella…” desahnya pelan. Tidak sekalipun
matanya menatap mataku. “Kita…”
“Kita akan pulang kerumah jika itu yang kau
inginkan,” aku dan mama langsung terdiam ketika tiba-tiba suara itu memotong
perkataan mama. Kami menoleh ke pintu kamarku yang sudah terbuka. Aku bisa
melihat wajah mama berubah, sedikit ketakutan sepertinya. Tapi aku tidak tau
mengapa. Semuanya begitu membutakan bagiku. Tapi aku tetap tersenyum atas
pernyataan tunanganku.
“Terima kasih Ethan…” bisikku tulus.
4 komentar:
Wah makin penasaraan neh cherry ..koq ethan bisa ngaku tunangannya??trs sam nya kmn seh??
Hah?ethan?ih si sam mana?km slh ketik y cher? *maksa
hehehehehe nnti jawabannya di bab bab selanjutnya yahhh :) :)
mba Rena, aku nggak salah ketik... hihihihi
makin penasaran.
hehehe
Posting Komentar