DUA
PELANGI
PERTAMA
Davela
menatap hujan di balik jendela kamarnya. Ia masih terdiam. Menata hati yang tak
beraturan. Menatap segala kenyataan yang tak bisa ia hindari. Ia kembali
terdiam. Menatap hujan yang mengguyur raya tanpa ampun. Kemudian mulai
tersenyum menggejek dunia yang membisu.
“Davela,”
panggil Gunawan pelan. Davela tidak menoleh. Ia hanya terdiam di kursinya.
Masih menatap hujan dengan segala warna kelabuya. “Ada dokter Surya,” ujar
Gunawan lagi. Davela masih terdiam. Jemarinya mengukir beberapa sketsa di
jendelanya yang berembun.
“Davela...
boleh dokter masuk?” tanya Surya perlahan. Davela tidak menjawab. Ia tersenyum
mengejek dirinya sendiri. “Vella, banyak hal yang bisa kita lakukan sayang,
kamu tenang saja... kamu akan baik-baik saja...” ujar Surya dengan nafas
tertahan. Davela tersenyum getir. Kemudian menoleh. Memperlihatkan seluruh
kepedihan di matanya.
“Apa
yang bisa anda lakukan untuk menghentikan bom kematian seseorang dok?” tanya
Davela getir. Gunawan memalingkan wajahnya. “Tidak ada yang perlu aku lakukan,
mungkin cukup hanya mempersiapan batinku untuk melihat kematian...”
“Vella,
tapi kamu masih bisa sembuh sayang, kamu masih dalam stadium dini...” ujar
Gunawan perih.
“Apa
kata-kata itu juga yang kakek berikan pada mom dihari sebelum ia pergi???” tanya
Davela perih. Gunawan tercekat kemudian menunduk.
“Aku
hanya lelaki tua,” ujarnya seraya duduk di samping putri kecilnya. “Aku hanya
lelaki tua yang kesepian, seluruh hidupku sudah kau ambil Tuhan, lalu kenapa
aku masih bisa bernafas??? Mengapa kau tak mengambil nyawaku??? Mengapa kau
membuatku merasakan sakit ini???!!” bisiknya perih. “Aku hanya lelaki tua!!”
“Kakek...”
bisik Davela parau.
“Maafkan
kakek sayang, kakek tidak bisa menjaga kamu dengan baik, kakek tidak bisa
mempertahankan nenekmu atau bahkan ibumu, kakek tidak bisa...”
“Kakek...
maaf...” Davela berlari memeluk kakeknya yang
terisak.
Ia
hanya lelaki tua Tuhan... ia hanya lelaki tua...mengapa kau membuatnya
bersedih... mengapa Tuhan...
***
Putri
Davela Vanessa Ashlyn Geraldy adalah salah satu gadis tercantik di sekolahnya.
Kepintarannya membuat para guru menaruh harapan besar padanya. Kekayaannya membuat
setiap mata gadis yang melihatnya iri. Cantik, kaya, dan pintar namun sangat
rendah diri. Davela adalah cerminan seorang putri masa kini. Namun siapapun
tau, kehidupan putri itu tidaklah selamanya begitu, kehidupan seorang putri
tidaklah seindah itu. Sama sekali tidak.
“Kamu
masih sakit?” tanya Irene salah satu sahabatnya di sekolah. Davela tersenyum
dan menggeleng.
“Cuma
masih sedikit terpengaruh obat,” ujar Davela lirih. Irene mengangkat bahu dan
berlalu.
“Tapi
Vell, kamu keliatan pucat
banget,” ujar Rasty. Lexa dan Lena menggaguk setuju.
“I’m Ok,” ujar Davela lagi.
“Ya
udah, kalau ada
apa-apa jangan lupa bilang sama
kita ya,” ujar Lexa. Davela mengaguk. “Kamu ikut latihan cheers hari ini?”
“Ya
iya lah,” ujar Davela seriang mungkin. Ke empat sahabatnya mengaguk senang.
***
“Kakek...”
“Vella,
astaga, kamu siuman juga,” Gunawan memeluk cucunya erat. “Mulai sekarang kamu tidak boleh ikut kegiatan apapun,”
Davela tercekat. “Kakek tidak
mau kamu memperburuk keadaan kamu
sendiri,” ujar Gunawan tegas.
“Tapi
kek,”
“Kamu
sudah kakek carikan dokter pribadi, jadi kamu tidak bisa macam-macam lagi!!”
ujarnya ketus. Davela menghela nafas panjang.
“Kek,
bagaimana dengan teman-temanku? Apa mereka tau?” tanya Davela cemas. Gunawan menggeleng perlahan.
“Tuan
Gunawan,” panggil Surya. “Davela, kebetulan sekali kamu sudah siuman, ini
kenalkan dokter Raka yang akan mengurus kamu di rumah,” ujar Surya.
DEG...
Davela
terhenyak sesaat. Ia menatap sosok Dokter di hadapannya dengan sekasama. Dokter
jangkung dengan tatapan dingin namun menyejukan. Dokter tampan dengan senyuman
yang tampaknya akan sangat jarang terlihat. Dokter berkacamata yang begitu
menawan.
“Dokter
Raka, ini tuan Gunawan Geraldy dan cucunya Nona Davela Geraldy,” ujar Surya.
Raka menjabat tangan keduanya dengan
santun.
“Aku
nggak mau punya dokter pribadi!!”
ujar Davela tiba-tiba. Tiga pasang mata langsung menatapnya tidak mengerti.
“Tapi
sayang...”
“Kakek!!
Cukup, aku Cuma mau hidup normal, aku ga mau punya sesuatu pribadi yang
menunjukan kepada semua orang tentang keadaanku... kakek tau, ini hanya akan
membuatku semakin sedih, karena setiap saat aku akan sadar kalau aku ini sakit
dan akan mati!!!”
“Davela...
kakek tidak bermaksud begitu... kakek hanya ingin yang terbaik untukmu,”
“Terima
kasih kek, tapi please... aku Cuma
mau sendiri...” ujar gadis pewaris Geraldy Group itu pelan. Raka tercekat
kemudian menghela nafas panjang. Ia membuka kacamatanya yang sedikit berembun.
***
25 Januari
Tuhan boleh kah aku
menyebutnya sebagai catatan kematian???
Aku hanya ingin meninggalkan
sesuatu untuk kakek, agar dia tau bahwa aku sama sekali tidak ingin
meninggalkannya... aku sangat menyayanginya...
Tuhan ku mohon, jika
ini memang jalan hidupku, ku mohon buatlah ia setabah mungkin... ia sudah
terlalu sering terluka... ia sudah terlalu sering menangis...
Ia hanya lelaki tua
tuhan... ku mohon...
“Non
Davela...” panggil Laras. Davela langsung menutup bukunya.
“Ibu
masuk,”ujarnya. Laras masuk dengan senampan obat-obatan. Davela menghela nafas
panjang.
“Kata
tuan, Non minum saja dulu obatnya nanti tuan akan kesini,”
“Loh
buat apa? Bukannya kakek sedang ada tamu?”
“Tapi
kata tuan, Tuan ingin menjaga Non, Tuan ingin memantaunya sendiri, Tuan sudah
tidak percaya pada ibu, Tuan bilang, ibu terlalu memanjakan Non Davela,” Davela
tersenyum pahit kemudian memalingkan wajahnya.
“Bu,
katakan pada kakek, malam ini dia tidak usah repot repot ke kamarku, karena aku
sudah meminum obatnya, dan satu lagi... aku rasa aku butuh seorang dokter
pribadi,” ujar Davela pahit. Laras mengaguk perlahan. “Dan ibu, bisakah ibu
berhenti memanggilku Nona,” pintanya. Laras sedikit tercekat. Namun kemudian
tersenyum tipis. Ia menggaguk perlahan. Memorinya kembali berputar,
memperlihatkan gadis cantik yang selalu tersenyum manis sama seperti putrinya.
***
0 komentar:
Posting Komentar