BAB DUA
The Second Step..
“Langkah kedua, kita akan mencari tau semua
tentang Ethan.” Lena berjalan mondar-mandir di kamarku lengkap dengan pensil di
tangannya dan kaca mata ditektifnya. “Menurutmu Ethan itu suka gadis yang
seperti apa?” tanyanya. Aku mengerutkan keningku. Mana ku tahu! Bukankah ia yang selama ini selalu tampak mengetahui
segala hal, mungkin dia memang berbakat menjadi seorang cenayang. “Ah Izz, kau
yang menulis profil students of the week untuk minggu ini kan?” tanyanya. Aku
berpikir sejenak dan mengaguk. Aku memang salah satu anggota majalah sekolah.
“Profil siapa yang akan ditulis kali ini?” tanyanya.
Aku menggeleng. “Masih belum pasti antara Sonia
anak kelas 1-2 pemenang lomba puisi, Galang juara bertahan dalam perlombaan
catur antar sekolah atau Sazkia Fayadita sang ketua cheers itu.” ujarku sambil
memikirkan hasil rapat kemarin siang. “Oya, bagaimana bisa kau kenal dengan kak
Sazkia?” tanyaku baru sadar. Ia
mengerutkan keningnya, kemudian berbaring di sampingku.
“Kak Fay,” renungnya, matanya menatap
langit-langit kamarku. “Dia putri teman mamaku, aku mengenalnya sudah lama.”
Ujarnya seraya berguling, menatapku. Aku mengaguk-ngaguk mengerti. “Ah benar
juga, kita harus latihan untuk cheers,” ujarnya kembali merenung. “Tapi hal itu
bisa diatur. Sekarang bagaimana kalau kau menulis tentang Ethan?” tanyanya. Aku
tersentak kaget. “Dia kan anak baru di sekolah kita. Tentu akan banyak orang
yang tertarik pada kehidupannya.” Usul Lena. Aku mengerutkan keningku.
“Tapi itu harus atas persetujuan semua dewan,”
“Ah Izzi…. Kau salah satu dewan tertinggi di
klub tulis menulis itu!” desah Lena. Ia memang tidak terlalu suka dengan klub
jurnalistik yang ku ikuti sejak kelas satu. “Kau tentu bisa meyakinkan dewan
yang lainnya.” Aku kembali mendesah. Namun membayangkan aku mewawancarai Ethan
membuat wajahku memanas, tetapi diriku yang lain bersorak bersemangat.
“Ayolah…” Lena mulai merajuk. Wajah cantiknya memelas. Aku mendesis kesal
kemudian mengaguk. “Yeaapppyyyy!!” teriak Lena senang, dan aku terkejut ketika
hati kecilku pun bersorak girang. Sebenarnya
siapa penghianat di sini??!
***
“Ethan?” Tanya kak Sam. Aku menggigit bibir
bawahku cemas, menunggu reaksinya.
“Bagus juga,” suara merdu kak Lolita terdengar
begitu jernih seperti air, menyiram ketakutanku. “Dia anak baru, dan belum
banyak yang tau tentang pribadinya. Mungkin ini cukup menarik.” Kak Lolita
melirik kak Sam yang masih termenung. Dia adalah ketua redaksi di klub Jurnalistik,
lengkap dengan pembawaan pendiam dan kaca mata tak berbingkainya.
“Baiklah. Aku setuju.” Ujarnya. Aku mendesah
lega. “Tapi kau tau kan deadline nya sebentar lagi? Aku tidak ingin ada
keterlambatan karena kau mengubah profil kita minggu ini.” Wow nada suaranya
begitu bossy dan dingin. Kalau bukan
karena aku jatuh cinta pada Jurnalistik mungkin aku sudah keluar dari klub ini
sedari dulu. Namun aku mengaguk mantap. “Bagus. Lita, cek untuk artikel-artikel
lainnya.” Ujarnya. Kini kak Lolita yang mengaguk.
“Dion sudah mempersiapkan seluruh artikelnya,”
ujarnya santai. Kak Sam mengaguk puas.
***
Sesuai dengan dugaanku, Lena sudah menungguku
di depan kantor jurnalistik. Wajahnya sumingrah ketika melihatku keluar dari
kantor. “Bagaimana.. bagaimana??!” tanyanya antusias. Aku menatapnya nanar.
Kemudian wajah antusias itu menghilang. Ia merangkul pundakku. “Hm, kita bisa
melakukan cara lain,” ujarnya menyemangati. Aku tidak tahan melihat wajah
sendunya. Kemudian tawaku meledak. Ia menatapku heran.
“Aku berhasil.”
“Astaga… kau!!” teriaknya. Aku tertawa keras
dan berlari menghindari amuknya.
***
“Jadi, aku sudah punya alasan untuk
mendekatinya. Tidakkah acara Cheers itu kita batalkan saja?” tanyaku. Lena yang
tengah mengeruput jusnya menatapku geram. Tentu saja itu pertanda tidak dengan penekanan yang luar biasa.
Aku mendesah. “Le, aku tidak bisa menari. Aku bahkan tidak bisa menyeimbangkan
diriku dengan baik. Aku tidak akan bisa mengikuti klub Cheers, dan itu hanya
akan mempermalukan kita berdua.”
“Izzi… apa kau tidak bisa santai sedikit
saja??” ia mendesah. Menatap lurus matakku. “Kau akan berhasil. Percayalah,”
aku ingin percaya. Tetapi hati kecilku merasa sedikit takut. Entah mengapa hati
kecilku mulai ingin menjauhi semua ini.
Aku menghela nafas panjang dan mengaguk ragu.
Lena tersenyum lebar. “Sekarang kau hanya perlu menyiapkan petanyaan-pertanyaan
itu.” ujarnya.
“Le, aku harus mengikuti prosedur,” ujarku
mengingatkan. “Aku hanya bisa menuliskan hal-hal yang tidak terlalu pribadi.”
Tambahku. Lena mendesah.
“Tapi kau tidak perlu memberi tahu Ethan
tentang ini bukan?! Dia toh tidak tau tentang peraturannya. Dia anak baru Izz,
dia akan menjawab semua pertanyaanmu. Percayalah.” Lagi-lagi gadis ini
memintaku untuk percaya. Dia pikir aku mempunyai berapa banyak bulir-bulir
kepercayaan?? Namun aku sedikit kaget ketika kepalaku mengaguk. Apa aku percaya padanya?
Sialnya, ya,
aku percaya.
***
Aku membulak-balik majalah sekolahku dengan lesu.
Aku benar-benar tidak punya ide tentang Ethan. Aku tidak tau dia siapa, apa
kesukaannya, apa prestasinya, apa hobinya, apa latar belakangnya, dan masih
banyak ‘apa-apa’ lainnya dalam benakku. Mungkin Lena benar kali ini aku harus
mencari tahunya sendiri. Ah Tuhan….
“Selamat Pagi bu,” sapaku ketika memasuki ruang
tata usaha.
“Ah Isabella, masuklah.” Ujar bu.Rina, selalu
ramah seperti biasa. “Ada yang bisa ibu bantu?” tanyanya. Aku tersenyum sopan.
“Oh, ya tentu saja… kau mau menulis profil Students of the week kan? Jadi siapa
yang beruntung kali ini?” tanyanya lagi. Aku mendesah sebelum menyebutkan
namanya.
“Ethan bu. Anak baru di kelas 3.” Jawabku
setenang mungkin.
“Ah iya, anak baru itu.” ujar bu.Rena seakan
baru tersadar. Ia membuka lemari arsipnya. Berfikir sebentar kemudian menarik sebuah
berkas. “Maafkan ibu nak, sepertinya dia belum menyumpulkan seluruh
administrasinya.” Ujar bu.Rena, seakan berbicara pada dirinya sendiri. Aku
mengerutkan kening heran. Bukankah sekolahku terkenal dengan segala macam
aturan ketatnya. Bagaimana mungkin seorang Ethan bisa lolos begitu saja? “Dia
kerabat dari bu.Pertiwi.” ujar bu.Rena. aku mendesah, ah tentu saja jika siswa
itu adalah kerabat kepala sekolahku. Ia tentu mendapatkan hak istimewa. Astaga,
jadi di sekolahku juga sudah mulai terjangkit virus KKN??
“Tidakkah ada informasi umumnya bu?” tanyaku
penasaran. Bu. Rena membuka arsipnya perlahan kemudian mengaguk.
“Tapi hanya ini. Tidak lebih.” Aku membaca
kertas yang di berikan bu.Rena. benar-benar informasi umum yang sangat standar;
nama, tempat tanggal lahir, alamat –itupun tidak tertulis lengkap-, agama dan
jumlah saudara. Aku mendesah putus asa dan mengembalikan kertas itu.
“Terima kasih bu, kalau begitu aku akan
mewawancarainya,” ujarku. Tubuhku sedikit merinding mendengar kata-kata
terakhirku.
“Semoga berhasil.” Ujar bu.Rena dengan
senyumannya. Aku balas tersenyum dan berlalu pergi. Aku membutuhkan lebih
banyak informasi jika ingin menuliskan profilnya di majalah sekolah. Dan lagi
pula orang seangkuh kak Sam tidak akan mau menerima sedikit kekuranganpun.
Untuk kesekian kalinya aku menyesali keikut sertaanku pada proyek perjuangan
cinta Lena.
***
Aku menguatkan diriku ketika memasuki gudang
klub olahraga. Beberapa saat yang lalu aku memang melihat Ethan memasuki
ruangan itu. astaga, bahkan tanganku terasa begitu dingin. Tapi aku harus
melakukannya atau kak Sam akan membunuhku detik ini juga. Mengingat tatapan
dingin kak Sam tubuhku kembali mengigil. Tuhan… kuatkanlah aku untuk kali ini
saja…
Aku mematung di pintu masuk. Astaga, ternyata
mereka semua memang sedang berkumpul disini. Aku mendesah, malu setengah mati.
Tapi aku tidak bisa berbalik. Kakiku kaku. Kemudian salah satu diantara mereka
menoleh menatapku sekilas.
“Man, ada yang mencarimu, sepertinya dia mau
meminta tanda tanganmu.” Ujarnya seraya melirik buku yang ku bawa. Mataku
membulat. Astaga!! Wajahku terasa
begitu panas. Aku ingin menangis. Namun kemudian pangeran tampan itu menoleh,
menatapku sekilas kemudian tersenyum manis. Membuat nafasku tercekat.
“Kau mencariku?” tanyanya. Aku mengaguk kaku.
Ia berjalan mendekatiku dan aku mundur beberapa langkah. “Ada apa?” tanyanya
bingung. Aku tidak tau harus berkata apa, lidahku kelu. Namun kemudian aku
menuliskan sesuatu di buku yang ku bawa. Ia membacanya.
“Wawancara?” tanyanya. Aku mengaguk lagi.
Kemudian menulis lagi. “Untuk profil student of the week?” aku mengaguk,
menatap penuh harap padanya. Ia berpikir sejenak kemudian mengaguk setuju. Aku
nyaris saja berteriak kegirangan. “Tentu, dengan senang hati, dimana? Kapan?”
tanyanya lagi. Ia membungkukan tubuhnya kearahku. Oh astaga… aku bisa mencium
aroma segarnya. “Hei?” ia membuyarkan lamunanku. Membuatku kembali tersadar.
Dengan tergesa aku menuliskan beberapa kata lagi di bukuku. Ia tersenyum
membacanya kemudian mengaguk. “Sore ini aku hanya mempunyai rencana untuk pergi
ke toko dvd. Mungkin kita bisa berjalan pulang bersama dan kau bisa menanyakan
apapun yang kau perlukan,” ujarnya. Wajahku kembali memerah. Bahkan rasanya
kini hatiku jatuh menggelinding begitu saja. “Bagaimana?” tanyanya lagi. Aku
mengaguk kaku dan ia tertawa kemudian berlalu pergi. Oh…. My….
“Pulang bersama??!!!” pekik Lena. Sesuai
dugaanku ia akan begitu senang mendengar kabar itu. “Itu akan sangat…” Lena
tampak kebingungan untuk memilih kata-katanya. “Perfect!!” desisnya akhirnya.
“Kau harus mendapatkan nomer handphonenya.” Aku mendelikan mataku. Itu tidak
diperlukan dalam penulisan profil ini. “Izzi…” geram Lena. “Kau harus bisa
menghubunginya, kau harus bisa mendekatinya dalam setiap jalur,”
“Tapi Le…”
“Sst… cukup lakukan apa yang ku katakana oke!”
ujarnya. Aku mendesah dan mengaguk.
0 komentar:
Posting Komentar