BAB DELAPAN
Invisible Truth
Lena menatapku pilu, ia berdiri diambang pintu
kamarku, aku sedang tidak ingin berbicara dengannya, namun tidak juga sanggup
menyuruhnya pergi. “Aku ada di sini kalau kau butuh sesuatu,” ujarnya sebelum
menutup pintu kamarku. Aku tertawa perih, memandang sendu pada bingkai foto di
hadapanku. Foto kami berdua ketika berlibur di perkebunan bunga matahari
beberapa tahun yang lalu. Andai aku bisa kembali menemukan senyuman bahagia
itu.
Prang!!!!
Aku melempar bingkai foto itu dengan keras.
Berharap bisa memecahkan luka hatiku yang terdalam. Aku menangis kencang,
memegang kedua sisi kepalaku yang terasa hampir pecah. Aku benci hidup ini!! Aku benci!!!!
Namun hingga senja menjemput sosok Lena tidak
pernah hadir lagi. Tidak, tidak akan pernah lagi.
****
Audisi tahap kedua akan segera dimulai, namun
aku sudah kehilangan semangatku. Toh, seluruh sekolah juga sudah tau tentang
Ethan dan kekasihnya. Jadi untuk apa aku terus mengejar cintanya. Sejujurnya,
ini membuatku muak pada diriku sendiri. Tapi aku tidak bisa memungkiri perasaan
yang hadir di hatiku ketika tanpa sengaja mengingat perlakuannya padaku. Aku
masih menangis sesekali di tengah malam menjelang tidur, dan terbangun dengan
mata sembab ke esokan harinya. aku ingin melupakannya! Melupakan seluruh detail
tentang dirinya. Tapi aku tidak bisa… aku masih akan tersenyum ketika mengingat
senyumannya, wajahku masih akan merona ketika mengingat tatapannya, namun tentu
saja aku akan segera menangis setelah itu. memaki kebodohan diriku sendiri.
“Kau baik-baik saja?” Tanya kak Sam suatu
siang. Aku tersentak dari lamunanku. “Kau terlihat pucat,” tambahnya. Aku memutar
mataku, kemudian mengaguk.
“Baik,” jawabku singkat. Kak Sam mendesah dan
mengaguk, kemudian duduk di kursi sebelahku. Ia membuka sebuah majalah sekolah
yang sepertinya cukup usang. Aku tidak begitu peduli, pikiranku penuh oleh
sosok Ethan.
“Kau boleh pergi,” ujarnya tiba-tiba. Aku
tersentak dan menatap heran padanya. “Kau ada kegiatan di klub Cheers kan?” tanyanya
santai. Aku mendelikan mataku, mencoba mencari tau arah pembicaraannya. Ia
memang benar, namun aku sama sekali tidak mengerti kata-katanya, lagi pula aku
memang akan pergi ketika aku ingin pergi. Aku tidak pernah meminta izinnya,
karena ku rasa itu sama sekali tidak perlu. Mengingat kepergianku tidak
mengganggu keaktifanku di klub jurnalistik. Namun hati kecilku memberontak,
menuntut lebih dari sekedar kata-kata aneh dari pemuda angkuh di sampingku.
“Pergilah,” ujarnya setelah diam cukup lama. Kemudian dengan perlahan ia
beranjak dari kursinya dan berlalu pergi. Aku lagi-lagi melongo menatap
kepergiaannya. Ia adalah pria paling idiot, angkuh, dan misterius yang pernah
ku kenal.
Suasana aula siang kala itu semakin ramai jika
di bandingkan dengan audisi tahap pertama. Sebenarnya Lena sudah memintaku
untuk berhenti dari kegiatan konyol ini. Namun entah mengapa hari itu aku masih
datang ke aula. Sazkia tersenyum tipis padaku. Dan aku membalasnya dengan
sebuah anggukan.
“Kau?” Lena terlihat terkejut ketika melihatku
duduk di sampingnya. “Izz, kau tidak perlu melakukan ini,” bisiknya, ia
menatapku dengan perih. Aku tersenyum tipis.
“Apa kau sudah kehabisan bulir-bulir
penyemangat itu?” tanyaku. Ia tertunduk. “Le, aku hanya mengikuti kata hatiku,”
bisikku hampir tak bersuara. Dan senyuman itu mengembang, senyuman seorang
sahabat yang begitu tulus dan penuh kasih sayang.
“Kau tau, seluruh sisa keberadaanku hanya untuk
berdiri di sampingmu, dan menyemangatimu! Kau takkan pernah kehabisan
bulir-bulir kata semangat dariku,” aku tersenyum penuh haru. Setidaknya aku
masih memiliki gadis cantik ini sebagai penyemangatku.
****
Bruk…
Aku meringis seraya memegang bahuku yang
tertabrak seseorang. “Maaf,” katanya penuh sesal. Tubuhku langsung membeku
ketika menyadari siapa pemilik suara indah itu. aku ingin berlari! Khawatir
tidak bisa menahan air mataku. Namun tangan itu mencengkram bahuku. “Kau
baik-baik saja?” tanyanya. Siratan khawatir di nada suaranya membuatku muak.
Namun sialnya aku tidak bisa berpaling lagi. Hatiku merindukannya, melebihi
apaun yang pernah ku rasakan.
“Lepaskan aku,” kaataku dingin. Aku merasakan
tatapan Ethan menggelap. Namun tangan itu tidak juga terlepas dari kedua sisi
tubuhku. Ia masih berdiri di hadapanku, di tengah koridor sekolah yang sepi.
Hatiku mulai terasa sakit ketika kembali mengenang dirinya bersama gadis cantik
itu. “Biarkan aku pergi.” Suaraku bergetar menahan tangis. kemudian tatapan
mata itu meredup. Cengkraman tangannya perlahan mengendur. Ia mundur beberapa
langkah.
“Kau benar,” bisiknya. “Seharusnya aku tidak
pernah melakukan ini,” aku mengerutkan keningku tidak mengerti. Ethan terlihat
begitu kacau. Ia terus menunduk, memandang ujung-ujung sepatu ketsnya. Hatiku
terpilin melihatnya, sedikit khawatir. Aku ingin menenangkannya. Namun sosok
itu terus mundur kebelakang. “Aku seharusnya membiarkanmu pergi sejak awal,” ia
seakan berbicara pada dirinya sendiri.
“Ethan, kau baik-baik saja?” tanyaku ragu-ragu.
Aku menyentuh lengannya perlahan. Kemudian mata itu menatapku. Aku tersentak
kaget karena wajahnya yang aneh dan penuh luka. Hati kecilku berteriak untuk
segera berlari meninggalkannya. Namun kakiku membeku di sana.
“Maafkan aku,” bisiknya perih. Aku menggeleng
pelan. entah mengapa aku ingin memeluknya. Mengatakan padanya bahwa aku baik-baik
saja. tapi aku malah meneteskan air mataku. “Ku mohon jangan menangis,” ia
menyeka air mata di pipiku. “Ku mohon,” kemudian tubuh itu jatuh berlutut di
hadapanku. Aku tersentak mundur beberapa langkah. “Maaf telah membuatmu
berharap lebih.” Jadi dia menyadari hal
itu? “Tapi ku mohon, pergilah… kau tidak pantas untukku,”
Deg…
Aku merasa tubuhku terhantam ke atas batu
besar. seketika itu juga jantungku terasa berhenti berdetak. Tubuhku membeku
tak bergerak, namun air mataku dengan mudahnya mengalir di kedua pipiku. Ethan
mengangkat wajahnya dan menatapku. Aku merasa muak pada diriku sendiri karena
masih tetap mencintainya, karena masih menaggumi wajah tampannya, karena masih
ingin bersamanya. Tidak peduli berapa banyak duri yang ia tebar di hatiku. Tapi
aku ingin memeluknya. Mengatakan bahwa aku tidak peduli jika memang ia tidak
mencintaiku. Aku akan melakukan apapun agar tetap berada di sampingnya.
“Kumohon pergilah,” kata-katanya menyadarkanku.
Aku tertawa pelan di antara tangisanku. Kemudian melangkah mundur perlahan,
sampai akhirnya aku berlari menjauh. Tidak peduli pada uluran tangannya yang
seakan-akan ingin menghentikanku.
****
Aku masih mengutuki diriku di hari-hari
selanjutnya. Mengutuki isak tangisku untuk pemuda yang jelas-jelas menolakku
sebelum aku kembali melangkah. Aku masih sering mencuri-curi pandang padanya
ketika melewati deretan kelas tiga. Aku masih mencari-cari kesempatan untuk
dapat melihatnya. Di lapangan, di kelas, bahkan di kantin. Aku masih melakukan
hal konyol itu. dan sialnya aku menyukai hal itu. aku merasa otakku mulai tidak
berjalan seiringan dengan hatiku. Semua yang ku lakukan hanyalah untuk
mengagumi sosok Ethan dari jauh, sedangkan dengan gamblang otakku kembali
memutar penolakannya berkali-kali untuk menyadarkanku. Dan tentu saja
berkali-kali pula aku menutup mata dan telingaku dari kenyataan menyakitkan
itu.
Berkali-kali aku memutar film you are the apple
of my eyes pemberiannya. Keranjang coklat cantik itu pun selalu menghiasi meja
belajarku. Meskipun tentu saja misteri pengirimnya belum terpecahkan. Tetapi hatiku
–secara sepihak- sudah menetapkan bahwa dialah pengirimnya. Lena benar, mungkin
aku sudah gila. Tapi aku menikmati kegilaanku ini.
Hingga suatu pagi di hari minggu yang cerah,
aku melihat sosok gadis cantik itu ketika bersepeda di taman. Gadis itu pun
tampaknya tengah berolah raga. Ia mengenakan pakaian olah raga yang begitu pas
di tubuhnya. Rambut panjangnya dikuncir menyerupai ekor kuda yang halus dan
indah. Ia sangat cantik. Aku memandangnya untuk beberapa saat. Melihatnya menggerak-gerakan
tubuhnya ke kiri dan kanan, menghirup udara pagi dengan senyumannya. Namun kemudian
wajahku memanas ketika seorang pemuda menghampirinya. Pemuda itu lebih tinggi
dan tegap. Rambutnya sedikit panjang dan berantakan. Aku tidak mengenalnya,
namun senyuman gadis itu membuatku gerah.
Tanpa sadar aku berjalan perlahan menghampiri
mereka. Meninggalkan sepeda ku di belakang. Aku tidak peduli dengan apapun
lagi. Yang kini ingin ku lakukan adalah menampar gadis itu, berani-beraninya
dia menghianati pangeranku…
****
Lena menatapku tidak percaya. Kerutan keningnya
semakin dalam ketika aku menyelesaikan kejadian di minggu pagi itu. wajah
cantiknya termenung sejenak, memikirkan perkataanku. Kemudian wajahnya kembali
hidup penuh tekad.
“Kalau begitu kita akan melakukan cara
terakhir,” ujarnya sungguh-sungguh. Aku terdiam kaku di sampingnya. Merasa tidak
yakin dengan semua itu.
“Kau yakin?” tanyaku kaku. Lena menatapku tajam.
Wajahnya mengeras dan ia mengaguk.
“Teramat yakin.” Bisiknya mantap.
****
0 komentar:
Posting Komentar