EMPAT
LUKA
KEDUA
Gunawan tertawa renyah saat mendengar lelucon
dari cucu terkasihnya. Disampingnya Raka
dan Laras turut tersenyum lebar.
“Kakek...” bisiknya lemah seraya bersandar di
dada tua Gunawan. “Jika keberuntungan tidak berpihak padaku, aku ingin kakek
bertahan,” ujarnya perih seraya menatap danau di hadapan mereka. Gunawan tidak
menjawab hanya terus mengelus rambut cucu kesayangannya yang mulai rontok
karena melakukan kemoterapi. “Kakek... dunia ini sangatlah luas, tapi aku tidak
akan pernah pergi jauh dari kakek... aku akan selalu tinggal di dalam hati
kakek jika kakek mengizinkan, aku akan selalu di sini,” Davela menunjuk dada
Gunawan dengan lemah. Gunawan menatapnya perih.
“Tapi jika saatnya nanti, aku tidak ingin kakek
menangis, seperti saat kepergian mom dan nenek, aku ingin kakek tersenyum dan
mengikhlaskanku, aku ingin kakek bahagia... aku ingin kakek tetap berdiri
tegar... aku ingin melihat kakekku yang berwibawa dan tenang... aku ingin melihat
kakekku yang tabah...” Davela membenamkan wajahnya lebih dalam. Ia bisa
merasakan tetesan air mata kakeknya yang hangat.
Laras memalingkan wajahnya sebelum akhirnya
menghapus airmatanya. Keperihannyapun tidak bisa di ungkap dengan seribu
katapun. Lukanya kembali terbuka. Mengingatkannya akan lukanya bertahun-tahun
silam. Saat majikan yang sudah ia anggap sebagai saudara sendiri berucap pisah.
Tersenyum melambaikan tangan dan tak kembali. Hanya mengukir lembayung luka
mendalam.
Dan ternyata rencana Tuhan tidak berhenti
disana, sang putri... Riana Vanessa Ashlyn Giraldy harus berucap pisah juga
pada umur yang bagitu muda. Setahun setelah kepergian sang suami karena kecelakaan pesawat terbang.
Menggoreskan berjuta luka yang semakin mendalam.
Dan kini, sang kuncup terakhir dan terindah
terancam layu di tengah lukanya. Laras kembali menyeka air matanya. Mencoba
melihat sejernih mungkin. Ia tidak ingin kedua majikannya melihat luka dimata
tuanya. Namun Rasa sanyangnya pada sang putri tidak akan mampu membendung air
matanya.
“Ibu, apa ibu baik-baik saja?” tanya Raka
ketika melihat Laras mulai kehilangan keseimbangan. Laras terenyum lemah dan
mengaguk.
***
Davela sudah tidak pernah sekolah, keadaannya
mulai sedikit memburuk meskipun sudah mengikuti kemoterapi yang dianjurkan
Surya. Gadis cantik itu masih dalam pendiriannya untuk menolak pengangkatan
pada payudaranya.
Kesehariannya kini dipenuhi berbagai aktivitas
untuk mencoba keberuntungannya untuk tetap hidup. Meskipun ia sering tersenyum
mengejek dunia yang masih terus membisu.
“Apa tidak ada hal lain yang bisa dilakukan
selain pengangkatan itu dok?” tanya Davela lemah.
“Vella, ini adalah satu-satunya cara terbaik
untuk membunuh sel kanker itu,” ujar Surya. Davela menatap rembulan dari kamar
pribadinya di rumah sakit. Sedetik kemudian nafasnya terhenti. Sakit yang
mendalam mulai menusuk dadanya. Namun ia sadar ini bukan karena sel kanker itu.
Ini lebih buruk lagi.
“Nona Davela, tuan besar kecelakaan...”
DEG...
Davela terhenyak. Namun tidak bergeming. Hanya
terpaku menatap rembulan yang membisu. Setetes air mata mewakili berjuta
kepedihannya.
Kakek...
Seakan baru tersadar dari keterkejutannya ia
barulah berbalik dan berlari ke segala arah, mencari cahaya kehidupannya yang
perlahan meredup.
Tuhan ku mohon... ku mohon...
***
“tuan Giraldy koma, dia mendapatkan benturan
keras di kepalanya,” ujar salah satu dokter di rumah sakit itu. Davela
menatapnya lemah. Berkali-kali ia pingsan dan menangis. Berharap sang kakek
akan menatapnya iba kemudian terbangun dan mengatakan bahwa semuanya akan
baik-baik saja. Namun ia sadar itu adalah harapan yang terlalu jauh dari
kenyataan yang ada.
“Aku pikir, aku yang akan segera meninggalkan
kakek, tapi ternyata Tuhan mempunyai rencana lain,” ujar Davela saat Raka
memasuki kamarnya.
“Kakek... please... jangan pergi... please...
kakek... kumohon... aku janji, aku akan melakukan apapun untuk membuatku hidup
lebih lama... kakek please...” pinta Davela lirih. Raka menyentuh pundaknya
perlahan. “Kakek, lihat aku sudah menandatangani persetujuan untuk pengangkatan
kanker ini... kakek lihat, ini semua hanya untuk kakek... kakek... please...”
“Nona...”
“Dokter, katakan padanya kalau aku baik-baik
saja dan akan segera sembuh... katakan padanya dok...”
“Nona...” Raka memeluk tubuh Davela yang
bergetar. “Ayo kita menghirup udara segar,” ujarnya lirih.
***
Davela tidak bergeming saat Raka membawakannya
sebotol minuman kesukaannya. Ia hanya terpaku menatap guguran dedaunan di
hadapannya. Raka terhenyak saat melihat sobekan kertas di hadapan Davela.
“Mengapa nona melakukan ini?” tanya Raka dengan
nafas tercekat.
“Berhenti memanggilku nona!” ujar Davela
dingin.
“Oke, tapi bisakah kau menjelaskan semua ini?”
tanya Raka geram. Davela tertawa mengejek.
“Apa kau
belum mengerti juga hah??!! Ini adalah jalan yang diberikan oleh Tuhan, ini
adalah jalannya. Ia sungguh baik karena tidak membiarkan kakek bersedih dalam
kesendiriannya, lalu apakah aku akan mengambil jalan yang sengaja kakek
lewati??” Rakak tercekat.
“Apa maksudmu!?”
“Dokter, tujuan hidupku sudah meredup, atau
bahkan sudah padam. Aku tau, jika bukan karena berjuta alat bantu di tubuhnya
mungkin kakek sudah tidak bisa bernafas lagi... lalu untuk apa aku masih
bertahan pada harapan yang aku sendiri tidak miliki?”
“Tidakkah kau memiliki tujuan hidup yang lain?”
“Hahahaha... apa lagi yang bisa ku harapkan
dari kehidupan ini, kalaupun aku selamat dari kanker ini mungkin aku akan
segera mati karena kesendirianku, dokter pikir pria mana yang akan menikahi
wanita tidak sempurna sepertiku??” Davela menyeka air matanya perlahan. “Hanya pria
bodoh yang mau menerimaku, dan aku tidak ingin mati dalam kesendirian, aku
tidak ingin mati dalam kesepianku sendiri...” ujarnya sedikit histeris. Raka
terdiam seribu bahasa.
“Lagi pula, walaupun ada... mungkin aku tidak
akan pernah bisa jatuh cinta lagi... mungkin hatiku sudah mati... dan aku tidak
ingin merasakan cinta itu lagi dok... aku lelah mencintai, aku lelah melihat
harapan-harapan semu itu... aku hanya ingin sendiri, menjaga kakek sampai
waktunya... dan setelah itu... pergi bersamanya... hanya itu...”
Raka terdiam. Ia tersenyum pahit sebelum
berbalik.
“Rencana yang sempurna...” bisiknya pelan
sebelum berlalu.
***
Tuhan, hatiku hancur.... hidupku bahkan tak
bisa ku raba lagi... Tuhan... inikah yang kau inginkan dariku??? Tuhan... aku
sakit... aku sakit... dan aku ingin semua rasa ini segera pergi... sungguh...
Tuhan... maaf...tapi aku lelah... aku lelah
dengan semua luka ini...
***
0 komentar:
Posting Komentar