Sabtu, 01 Desember 2012

PUTRI KELABU -24-


BAB DUA PULUH EMPAT


Tidak, ini tidak mungkin terjadi. Aku harus segera pergi! Valerina meraup tas tangannya secepat kilat. Hatinya perih mendapati dirinya masih serapuh dulu. Kata kata kakeknya kembali terngiang. Harapan lelaki tua itu akan sikap tegarnya yang menghilang sejak tiga tahun yang lalu.
Kemudian sosok semampai itu terjatuh di samping sofa putih di kamarnya. Ia menangis pelan. Ia benar-benar ingin pergi. Namun ia ingin menemui gadis itu, salah satu gadis yang menjadi masa lalunya. Tubuhnya menggigil memikirkan masa lalunya. Sebuah ketakutan kembali muncul di hatinya. Kekhawatiran, kesedihan dan semua kegelapan yang menariknya ke jurang terdalam di hidupnya. Ia ingin membuka kembali lembaran masa lalunya. Mencari berita tentang masa lalunya. Meyakinkan dirinya bahwa semuanya masih baik-baik saja!
Namun ternyata ia salah, waktu tiga tahunnya tidaklah cukup untuk membuatnya tegar dan berdiri melalui semua ini. Tidak, sama sekali tidak.
                                                ***
Keysa berdiri mematung di depan kantor Valerina. Tangannya masih menggenggam ponselnya yang baru saja bergetar. Entah mengapa air matanya perlahan tergenang seusai membaca pesan singkat dari atasan sekaligus sahabatnya itu.
“Dia sudah pergi.” Bisik Keysa. Dion menatapnya tidak percaya. ‘Sudah lah, ayo kita selesaikan semuanya sendiri,” tambahnya sedikit perih.
                                                ***
“Kau tidak bisa terus bersembunyi seperti ini,” ujar Brian. Ia menatap cucunya perih.
“Lalu apa yang harus ku lakukan kek?!” Tanya Valerina keras. “Berjalan menghampiri mereka. Mengucapkan kata hai dengan santai, seolah-olah tidak ada yang terjadi??!”
“Tapi sudah tiga tahun!! Ya Tuhan kimi…”
“Tidak, jangan panggil aku seperti itu,” pinta Valerina perih. Brian menatap Valerina yang menangis di sofa dengan pilu. Ia menyentuh pundak gadis terkasihnya perlahan. “Kau tidak bisa terus bersembunyi dan menjadi orang lain.” Ujar Brian. “Kau harus kuat menerima semua kenyataan ini. Sudah tiga tahun berlalu, dan kau tentunya sudah lebih dewasa, kau tentunya sudah bisa menerima semuanya,”
“Tapi nyatanya tidak kek!!” teriak Valerina keras. “Aku masih tidak bisa menerima semua ini. Aku tidak bisa menerima perlakuan menyakitkan itu, aku tidak bisa menerima pernihakan Luna dan Raka, aku tidak bisa menerima kalau-kalau Luna sudah…”
Brian memeluk tubuh Valerina yang bergetar kencang. Ia tampak begitu sakit dengan semua lukanya. “Aku tidak bisa menerimanya kek…” Valerina menangis lemas di pelukan kakeknya. Ia mengeluarkan semua lukanya. Mendobrak pertahanannya selama tiga tahun belakangan ini. Menumpahkan semua ketakutannya.
“Semuanya akan baik-baik saja… percayalah,” bisik Brian di telinga Valerina. “Kau hanya perlu sedikit bersabar. Kau gadis yang baik, kau akan segera menemukan kebahagiaanmu.” Ujar Brian perih. Ia mnegelus rambut cucunya penuh kasih. Andai ia bisa mengangkat semua luka itu darinya.
                                                ***
“Kakek benar,” bisik Valerina pelan. Brian mematung di sampingnya. Ini sudah hari kedua Valerina duduk diam menatap hamparan perkebunan luas di hadapannya. Dan kali pertamanya ia berbicara. “Aku seharusnya sudah berubah, sudah bisa menerima kenyataan ini. Aku seharusnya tidak lagi menjadi pengecut. Aku seharusnya sudah lebih tegar,” Air matanya menetes perlahan. “Tapi aku tidak bisa kek, aku tidak bisa membayangkan hal terburuk yang mungkin terjadi pada Luna.” Memikirkannya saja sudah membuat air mata Valerina kembali mengalir deras.
“Kau sudah lebih kuat,” bisik Brian. “Ikutlah dengan kakek pulang kembali,” Valerina menatap Brian tidak percaya. “Kita lihat sejauh mana perkembanganmu,”
“Aku tidak siap,”
“Kau tidak harus menemui mereka. Kakek hanya ingin kita tidak lagi bersembunyi di sini.” Valerina terdiam. “Kimi… kakek sudah tua, dan satu-satunya impian terakhir kakek adalah melihatmu bahagia, dan…” Brian menatap jauh ke depan. “Mati di tanah kelahiran nenekmu,” Valerina tercekat. Pandangannya kabur karena air mata. Ia menatap kakeknya tidak percaya. Nafasnya tergagap penuh luka.
“Kakek mau meninggalkanku??!” ujarnya tercekat. Brian menatapnya perih.
“Tidak, tentu saja tidak.” ujar Brian. Namun wajah ketakutan itu tidak menghilang. Ia menggeleng keras, membuat air matanya menetes ke sembarang arah.
“Kenapa kek?? Kenapa?? Kenapa kalian semua mau meninggalkanku?? Apa aku bertingkah terlalu buruk? Apa aku memang tidak pantas memiliki seseorang yang ku sayangi?” Valerina menangis meronta. Brian berusaha memeluknya. Menenangkannya, meski sesungguhnya hatinya pun tak lagi terasa tenang.
                                                ***
“Aku membutuhkan seorang psikiater untuknya,” ujar Brian petang itu. wanita di sampingnya menghela nafas panjang.
“Kau sudah melakukannya tiga tahun yang lalu. Dan kau tau, tidak ada yang bisa membantunya.” Bisik Mariana, adik ipar Brian. “Brian, hanya waktu yang bisa menyembuhkannya,”
“Tidak Marry, tidak untuk tiga tahun lagi. Dan kau lihat, semuanya tampak sia-sia sekarang. Itu bukan sebuah kesembuhan. Itu hanya semacam perpanjangan waktu sebelum akhirnya bom luka itu meledak.” Brian menatap gadis yang tengah terduduk lesu itu, dengan sedih. “Dan aku takut. Aku takut tidak memiliki cukup waktu lagi untuk menjaganya.” Mariana menatap kakak iparnya bingung. “Kita tidak pernah tau kapan Tuhan akan mengambil nyawa kita.” Tambah Brian, suaranya memenuhi keheningan yang tercipta sesaat kemudian.
“Aku mengerti,” bisik Mariana setelah diam cukup lama. “Katakanlah hal itu padanya.”
“Tapi itu akan menyakitinya,”
“Tidak ada satu hal pun yang akan membuatnya merasa lebih baik untuk saat ini Brian. Bawalah ia pulang, buatlah ia menghadapi kenyataan yang ia hindari sejak tiga tahun yang lalu.”
“Aku tidak yakin dengan responnya nanti,” Mata tuanya menatap langit yang menguning.
“Aku juga tidak tau, jadi mari kita cari tau. Bicaralah.” Mariana tersenyum dan mengaguk. Brian mendesah dan berjalan mendekati cucu terkasihnya.


Brian membelai lembut rambut kusut Valerina. Kini ia sudah tau reaksinya, dan itu tidak merasanya menjadi lebih baik. Namun, Mariana benar, ia memang tidak memiliki hal lain yang mampu membuat gadis kecilnya kembali membaik.
                                                ***
“Kakek,” panggil Valerina malam itu. wajahnya sudah lebih segar seusai mandi. Ia mengenakan jeans dan t-shirt santai. Rambut basahnya tergerai hingga membuat bulatan basah di bahu t-shirtnya. Brian yang tengah berbincang dengan Mariana dan Harri langsung menoleh. Sedikit terkejut dengan wajah sendu cucunya. Lily yang sedari tadi sibuk dengan kue keringnya di dapur langsung melirik ingin tahu. Suara Sepupunya tampak begitu berbeda.
“Ada apa sayang?” Tanya Mariana penuh kasih. Untuk kali pertamanya ia tersenyum begitu indah, lembut dan… normal. Lily menggeleng tidak percaya. Gadis yang selama ini selalu tampak kaku dan formal di hari biasa, bisa tersenyum seindah itu.
“Aku sudah siap pulang.” Ujarnya berupa bisikan. Ke empat pasang mata di hadapannya membulat tidak percaya. Kemudian Mariana yang pertama kali tersadar dari keterkejutannya bergerak memeluk gadis itu. entah mengapa ia menangis begitu sedihnya. Tentu saja ia tidak ingin keponakannya itu pergi, namun ia rasa inilah yang terbaik untuk menghapus semua luka itu. ya, menghadapinya.
Lily menyeka air mata yang perlahan mengalir. Ia sendiri bingung mengapa ia menangis. Harri dan Brian tersenyum tipis.
“Kau tau pintu rumah ini akan selalu terbuka untukmu,” bisik Mariana. Valerina mengaguk pelan. “Lily!” bentak Mariana tiba-tiba. Mereka semua terlonjak kaget. Lily menatap ibunya gelagapan. “Kuemu! Hangus!” ujarnya. Lily melongo ketika menyadari bau hangus yang sudah memenuhi ruangan itu.
“Astaga… itukan kue valentineku!!!!!” runtuknya.



4 komentar:

Unknown mengatakan...

mbak , ini ndak ada cerita kelanjutannya kah????
Penasaran u,u

Unknown mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Unknown mengatakan...

Ada mba Mut, hehehe...
kirim email ke aku aja yah, cherryvhaniella@ymail.com
:)

Nunaalia mengatakan...

ternyata 3 thn belum ckp utk menyembuhkan luka cinta kimi... tp utglah kimi ttp mau kembali, fighting kimi! eh skrg val ya..