BAB DUA PULUH EMPAT
Tidak, ini tidak mungkin terjadi. Aku harus segera
pergi! Valerina meraup tas tangannya
secepat kilat. Hatinya perih mendapati dirinya masih serapuh dulu. Kata kata
kakeknya kembali terngiang. Harapan lelaki tua itu akan sikap tegarnya yang
menghilang sejak tiga tahun yang lalu.
Kemudian
sosok semampai itu terjatuh di samping sofa putih di kamarnya. Ia menangis
pelan. Ia benar-benar ingin pergi. Namun ia ingin menemui gadis itu, salah satu
gadis yang menjadi masa lalunya. Tubuhnya menggigil memikirkan masa lalunya.
Sebuah ketakutan kembali muncul di hatinya. Kekhawatiran, kesedihan dan semua
kegelapan yang menariknya ke jurang terdalam di hidupnya. Ia ingin membuka
kembali lembaran masa lalunya. Mencari berita tentang masa lalunya. Meyakinkan
dirinya bahwa semuanya masih baik-baik saja!
Namun
ternyata ia salah, waktu tiga tahunnya tidaklah cukup untuk membuatnya tegar
dan berdiri melalui semua ini. Tidak, sama sekali tidak.
***
Keysa
berdiri mematung di depan kantor Valerina. Tangannya masih menggenggam
ponselnya yang baru saja bergetar. Entah mengapa air matanya perlahan tergenang
seusai membaca pesan singkat dari atasan sekaligus sahabatnya itu.
“Dia sudah
pergi.” Bisik Keysa. Dion menatapnya tidak percaya. ‘Sudah lah, ayo kita
selesaikan semuanya sendiri,” tambahnya sedikit perih.
***
“Kau tidak
bisa terus bersembunyi seperti ini,” ujar Brian. Ia menatap cucunya perih.
“Lalu apa
yang harus ku lakukan kek?!” Tanya Valerina keras. “Berjalan menghampiri
mereka. Mengucapkan kata hai dengan santai, seolah-olah tidak ada yang
terjadi??!”
“Tapi sudah
tiga tahun!! Ya Tuhan kimi…”
“Tidak,
jangan panggil aku seperti itu,” pinta Valerina perih. Brian menatap Valerina
yang menangis di sofa dengan pilu. Ia menyentuh pundak gadis terkasihnya
perlahan. “Kau tidak bisa terus bersembunyi dan menjadi orang lain.” Ujar
Brian. “Kau harus kuat menerima semua kenyataan ini. Sudah tiga tahun berlalu, dan
kau tentunya sudah lebih dewasa, kau tentunya sudah bisa menerima semuanya,”
“Tapi
nyatanya tidak kek!!” teriak Valerina keras. “Aku masih tidak bisa menerima
semua ini. Aku tidak bisa menerima perlakuan menyakitkan itu, aku tidak bisa
menerima pernihakan Luna dan Raka, aku tidak bisa menerima kalau-kalau Luna
sudah…”
Brian
memeluk tubuh Valerina yang bergetar kencang. Ia tampak begitu sakit dengan
semua lukanya. “Aku tidak bisa menerimanya kek…” Valerina menangis lemas di pelukan
kakeknya. Ia mengeluarkan semua lukanya. Mendobrak pertahanannya selama tiga tahun
belakangan ini. Menumpahkan semua ketakutannya.
“Semuanya
akan baik-baik saja… percayalah,” bisik Brian di telinga Valerina. “Kau hanya
perlu sedikit bersabar. Kau gadis yang baik, kau akan segera menemukan kebahagiaanmu.”
Ujar Brian perih. Ia mnegelus rambut cucunya penuh kasih. Andai ia bisa
mengangkat semua luka itu darinya.
***
“Kakek
benar,” bisik Valerina pelan. Brian mematung di sampingnya. Ini sudah hari
kedua Valerina duduk diam menatap hamparan perkebunan luas di hadapannya. Dan
kali pertamanya ia berbicara. “Aku seharusnya sudah berubah, sudah bisa
menerima kenyataan ini. Aku seharusnya tidak lagi menjadi pengecut. Aku
seharusnya sudah lebih tegar,” Air matanya menetes perlahan. “Tapi aku tidak bisa
kek, aku tidak bisa membayangkan hal terburuk yang mungkin terjadi pada Luna.”
Memikirkannya saja sudah membuat air mata Valerina kembali mengalir deras.
“Kau sudah
lebih kuat,” bisik Brian. “Ikutlah dengan kakek pulang kembali,” Valerina
menatap Brian tidak percaya. “Kita lihat sejauh mana perkembanganmu,”
“Aku tidak
siap,”
“Kau tidak
harus menemui mereka. Kakek hanya ingin kita tidak lagi bersembunyi di sini.”
Valerina terdiam. “Kimi… kakek sudah tua, dan satu-satunya impian terakhir
kakek adalah melihatmu bahagia, dan…” Brian menatap jauh ke depan. “Mati di
tanah kelahiran nenekmu,” Valerina tercekat. Pandangannya kabur karena air
mata. Ia menatap kakeknya tidak percaya. Nafasnya tergagap penuh luka.
“Kakek mau
meninggalkanku??!” ujarnya tercekat. Brian menatapnya perih.
“Tidak,
tentu saja tidak.” ujar Brian. Namun wajah ketakutan itu tidak menghilang. Ia
menggeleng keras, membuat air matanya menetes ke sembarang arah.
“Kenapa
kek?? Kenapa?? Kenapa kalian semua mau meninggalkanku?? Apa aku bertingkah
terlalu buruk? Apa aku memang tidak pantas memiliki seseorang yang ku sayangi?”
Valerina menangis meronta. Brian berusaha memeluknya. Menenangkannya, meski
sesungguhnya hatinya pun tak lagi terasa tenang.
***
“Aku membutuhkan seorang psikiater untuknya,” ujar
Brian petang itu. wanita di sampingnya menghela nafas panjang.
“Kau sudah melakukannya tiga tahun yang lalu. Dan kau
tau, tidak ada yang bisa membantunya.” Bisik Mariana, adik ipar Brian. “Brian,
hanya waktu yang bisa menyembuhkannya,”
“Tidak Marry, tidak untuk tiga tahun lagi. Dan kau
lihat, semuanya tampak sia-sia sekarang. Itu bukan sebuah kesembuhan. Itu hanya
semacam perpanjangan waktu sebelum akhirnya bom luka itu meledak.” Brian
menatap gadis yang tengah terduduk lesu itu, dengan sedih. “Dan aku takut. Aku
takut tidak memiliki cukup waktu lagi untuk menjaganya.” Mariana menatap kakak
iparnya bingung. “Kita tidak pernah tau kapan Tuhan akan mengambil nyawa kita.”
Tambah Brian, suaranya memenuhi keheningan yang tercipta sesaat kemudian.
“Aku mengerti,” bisik Mariana setelah diam cukup lama.
“Katakanlah hal itu padanya.”
“Tapi itu akan menyakitinya,”
“Tidak ada satu hal pun yang akan membuatnya merasa
lebih baik untuk saat ini Brian. Bawalah ia pulang, buatlah ia menghadapi
kenyataan yang ia hindari sejak tiga tahun yang lalu.”
“Aku tidak yakin dengan responnya nanti,” Mata tuanya
menatap langit yang menguning.
“Aku juga tidak tau, jadi mari kita cari tau.
Bicaralah.” Mariana tersenyum dan mengaguk. Brian mendesah dan berjalan
mendekati cucu terkasihnya.
Brian
membelai lembut rambut kusut Valerina. Kini ia sudah tau reaksinya, dan itu
tidak merasanya menjadi lebih baik. Namun, Mariana benar, ia memang tidak
memiliki hal lain yang mampu membuat gadis kecilnya kembali membaik.
***
“Kakek,”
panggil Valerina malam itu. wajahnya sudah lebih segar seusai mandi. Ia
mengenakan jeans dan t-shirt santai. Rambut basahnya tergerai hingga membuat
bulatan basah di bahu t-shirtnya. Brian yang tengah berbincang dengan Mariana
dan Harri langsung menoleh. Sedikit terkejut dengan wajah sendu cucunya. Lily
yang sedari tadi sibuk dengan kue keringnya di dapur langsung melirik ingin
tahu. Suara Sepupunya tampak begitu berbeda.
“Ada apa
sayang?” Tanya Mariana penuh kasih. Untuk kali pertamanya ia tersenyum begitu
indah, lembut dan… normal. Lily menggeleng tidak percaya. Gadis yang selama ini
selalu tampak kaku dan formal di hari biasa, bisa tersenyum seindah itu.
“Aku sudah
siap pulang.” Ujarnya berupa bisikan. Ke empat pasang mata di hadapannya
membulat tidak percaya. Kemudian Mariana yang pertama kali tersadar dari
keterkejutannya bergerak memeluk gadis itu. entah mengapa ia menangis begitu
sedihnya. Tentu saja ia tidak ingin keponakannya itu pergi, namun ia rasa
inilah yang terbaik untuk menghapus semua luka itu. ya, menghadapinya.
Lily
menyeka air mata yang perlahan mengalir. Ia sendiri bingung mengapa ia
menangis. Harri dan Brian tersenyum tipis.
“Kau tau
pintu rumah ini akan selalu terbuka untukmu,” bisik Mariana. Valerina mengaguk
pelan. “Lily!” bentak Mariana tiba-tiba. Mereka semua terlonjak kaget. Lily
menatap ibunya gelagapan. “Kuemu! Hangus!” ujarnya. Lily melongo ketika
menyadari bau hangus yang sudah memenuhi ruangan itu.
“Astaga…
itukan kue valentineku!!!!!” runtuknya.
4 komentar:
mbak , ini ndak ada cerita kelanjutannya kah????
Penasaran u,u
Ada mba Mut, hehehe...
kirim email ke aku aja yah, cherryvhaniella@ymail.com
:)
ternyata 3 thn belum ckp utk menyembuhkan luka cinta kimi... tp utglah kimi ttp mau kembali, fighting kimi! eh skrg val ya..
Posting Komentar