BAB
DUA PULUH DELAPAN
Pelangi
itu
“Aku
mencintaimu,” bisik pria di sampingku. Tangannya memeluk pinggangku dengan erat.
Menempelkan tubuhku ketubuhnya. “Tapi kalau kau ingin meninggalkanku sekarang,
kau boleh pergi,” ujarnya lagi. Aku mendengus. Mataku perih karena terus
menangis dan menatap layar besar di hadapanku tak berkedip. “Aku membuat film
ini untuk kado pernikahan kita,” ia terdiam. Matanya terpaku kearah tv. “Aku
ingin menunjukan seluruh cintaku semenjak kita kecil,” tambahnya.
“Semua
ini tentang diriku?” tanyaku ragu. Ia mengangguk.
“Iya,
aku sengaja membuat kehidupanmu dari sudut pandangku agar aku bisa menunjukan
betapa besar cintaku untukmu,” tubuhku membeku. Tapi kini film itu seperti
sebuah catatan documenter tentang diriku. Catatan masa laluku yang begitu
indah. “Apa kau mengingatnya?” tanyanya.
“Tidak
ada satu hal pun yang ku ingat,” bisikku. Ia terdiam. Dengan perlahan
melepaskan tangannya dari pingganggku, kemudian menegakan tubuhnya di
sampingku. Ruang tamu itu terasa mencekam dengan kebisuan kami.
“Dengar
Isabella. Aku sakit,” ia memulai. Aku masih menatap layar tv itu walaupun air
mataku mulai kembali mengalir. “Suatu saat nanti aku akan meninggalkanmu, dan
kau tau, kau akan beresiko memiliki anak yang sakit jika terus bersamaku,” aku
mendengus kesal. Ketatap wajahnya yang begitu dingin dengan geram. Entah
bagaimana hatiku tetap menyimpan cinta yang terlampau besar untuknya, meskipun
aku benar-benar ingin membencinya.
“Dengar
Sam!” ujarku tegas. Ia menatapku dengan kening berkerut. “Aku memang kehilangan
ingatanku, dan film manis mu ini sama sekali tidak membantuku untuk
mendapatkanya kembali. Tapi satu hal yang ku rasakan adalah, ini terasa seperti
déjà vu untukku. Duduk di ruang tamu rumah ini, berdebat tentang hal yang tidak
bisa kita ingkari. Rasa cinta itu.” ia menatapku dengan tatapan tidak percaya.
Aku bergerak perlahan ke atas pangkuannya. “Mungkin kau lupa.” Bisikku seraya
merengkuh wajahnya dengan kedua tanganku. Menatap matanya dalam-dalam. “Tapi
bukankah aku sudah mengatakan padamu, jika aku benar-benar mencintaimu. Aku
mencintaimu kak Sam…” bisikku tulus. Matanya terbuka lebar.
“Aku
mencintaimu dengan seluruh hatiku. Jadi berhenti beranggapan jika aku selemah
itu. Aku tau akan resiko kehidupan kita kelak. Tapi asalkan kau selalu di
sampingku, menemaniku, bersama denganku dalam setiap keadaan, semuanya pasti
akan baik-baik saja. Aku mencintaimu kak…” aku menempelkan keningku di
keningnya. Mencoba merasakan desahan nafasnya.
“Terima
kasih,” bisiknya sebelum memelukku dengan sangat erat. Aku tersenyum dan
membalas pelukannya.
“Aku
tidak perlu kata terima kasihmu,” ujarku seraya melepaskan pelukannya. Aku
menegakan tubuhku di atas pangkuannya. Ia mengernyit menatapku. “Yang ku
butuhkan adalah, kau mengembalikan cincin itu padaku,” tuturku tegas. Ia
menatapku tidak percaya, kemudian mendesah dengan wajah angkuhnya yang super
menyebalkan dan sialnya entah mengapa terlihat begitu tampan!!!!
“Kau
benar-benar perusak suasana,” desisnya dingin. Aku menatapnya geram.
“Perusak
suasana??! Aku hanya meminta apa yang seharusnya menjadi milikku!” teriakku
kesal. Ia mencibir, kemudian dengan malas merogoh kantong celananya. Aku
bersidekap di pangkuannya. Menunggu dengan tidak sabar. “Mana?!” tanyaku mulai
kesal.
“Tidakkah
kau bisa bersabar?!”
“Isshh!”
aku mendesis kesal.
“Bangunlah
dulu!! sangat sulit mencarinya dengan kau duduk di pangkuanku,” ia menatapku
dengan tajam. Aku memutar bola mataku padanya, kemudia beranjak dari
pangkuannya, duduk di sampingnya dengan kesal.
Kemudian
wajah angkuh itu menyeringai. Aku mendengus tidak percaya. “Sepertinya aku
meninggalkannya di rumah,” ujarnya pelan. Aku memalingkan wajahku darinya.
Benar-benar kesal dengan apa yang ia lakukan. “Isabella…” panggilnya lembut.
Tapi aku masih tidak ingin melihat wajahnya. “Hey…” tiba-tiba ia berbaring di
sampingku. Dengan kepalanya berbantalkan pahaku. Aku terlonjak menatapnya. Ia
terkekeh pelan, kemudian meraih jemariku. Aku membulatkan mataku ketika ia
mengingatkan benang merah di jari manisku.
“Aww!”
pekikku ketika mencoba menarik jariku yang sudah terikat. Ternyata ia mengikat
jari manisnya juga dengan sisi lain benang merah itu. Ia menatapku dengan
pandangan meminta maaf, kemudian meraih tanganku, membelai lembut jari manisku
dan menciumnya.
Aku
merasakan hatiku melambung. Aku benar-benar mencintainya. Pria menyebalkan ini,
pria berwajah angkuh ini, pria yang berkali-kali membuatku menjauh darinya,
pria yang dengan dinginnya menyakitiku, adalah pria yang paling ku cintai. Pria
yang ingin ku habiskan sisa hidupku dengannya.
Aku
tersenyum manis, meraih kaca mata tak berbingkainya dan mendekatkan wajahku ke
wajahnya. Ia menatapku sejenak, kemudian dengan cepat mengangkat wajahnya.
Mataku terbelalak ketika ia mencium bibirku.
“Jangan
coba-coba untuk melakukan serangan mendadak lagi,” bisiknya. Aku menatapnya
sinis. Astaga!!!!! Pria ini benar-benar….
Ia
terkekeh pelan, dan kembali duduk di sampingku. Aku mendengus, dengan cepat ku
letakan kaca maatnya di meja dan meraih wajahnya, menciumnya tepat di bibirnya.
Ia tampak terkejut. Namun aku sama sekali tidak menghentikan ciumanku, hingga
akhirnya aku terpekik kaget ketika ia mengangkat tubuhku ke atas pangkuannya.
Ia tersenyum tipis karena keterkejutanku. Kemudian kembali menciumku dengan
lembut.
Ahh…
akhirnya aku menemukan pelangi itu…
****
Aku
tersentak dalam tidurku. Nafasku tersenggal-senggal, semilir angin berhembus
menerpa wajahku yang memucat. Aku merasakan perih memenuhi relung hatiku,
menyesakan dadaku. Ruangan itu begitu gelap, dan sepertinya diluar sana sedang
hujan, karena aku bisa mendengar tetesannya yang bising, merasakan hawa
dinginnya yang mencekam. Merasakan kegelapannya.
Aku
duduk diatas kasur, menekuk lututku dan memeluknya dengan erat. Ku katupkan
bibirku untuk menyamarkan bunyi gemeletuk gigiku. Tiba-tiba air mataku
mengalir. Hatiku semakin sesak. Aku hilang dalam kegelapan malam itu. Aku
tenggelam.
Seluruh
kisah itu sepeti mimpi. Atau memang hanya sebuah mimpi? Bukankah selama ini aku
memiliki masalah dengan psikologi dan batasan antara dunia nyataku dan alam
bawah sadarku? Bukankah itu sebuah hal yang nyata?
Aku
mulai terisak. Aku mencintainya. Aku merindukannya. Dan yang bisa ku lakukan
hanya bermimpi tentangnya. Memimpikan hal yang tidak bisa ku sentuh. Tapi mimpi
itu sungguh nyata. Aku masih bisa merasakan kebahagiaan ketika ia memelukku,
ketika ia menciumku, ketika ia seolah-olah mencintaiku sebagaimana aku
mencintainya.
“Isabella…”
suara itu seperti lonceng yang begitu nyaring. Aku terpaku dengan mata yang
masih basah karena air mataku. Tiba-tiba sebuah tangan merangkulku, kemudian
seseorang memelukku. “Ada apa sayang?” tanyanya lembut. Nafasku tercekat karena
syok. “Apa kau mimpi buruk?” tanyanya lagi. Aku terisak.
Aku
tidak bermimpi buruk. aku bermimpi sangat indah, dan aku takut akan terbangun kemudian
kehilangan semua mimpi itu. Aku ingin terus bermimpi.
“Isabella,
tenanglah… ceritakan padaku tentang mimpimu,” pintanya. Suaranya terdengar
begitu khawatir. Aku memeluk tubuhny erat-erat.
“Kau,”
bisikku perih. Tubuh dipelukkanku membeku. Terdiam untuk beberapa saat,
kemudian mencium puncak kepalaku. Ia masih terdiam hingga ku pikir ia kembali
tertidur. Atau pergi. Namun detakan jantungnya membuatku merasakan
keberadaannya. Membuat hatiku sedikit tenang.
“Aku
bukan mimpi,” bisiknya begitu pelan. “Ini adalah kenyataan Isabella,”
“Berjanjilah
padaku,” pintaku lirih. Ia terdiam dalam gelap. menunggu kata-kataku. “Berjanjilah
kau tidak akan pernah pergi lagi,” bisikku.
“Aku
tidak pernah pergi. Selalu kau yang meninggalkanku,” ia tersenyum tipis.
“Kalau
begitu berjanjilah untuk tetap menjagaku disisimu apapun yang akan terjadi
kelak,” tubuh itu membeku. Matanya menerawang jauh, pikirannya mungkin
melayang-layang entah dimana. Bibirnya terkatup rapat. Aku meneteskan air mata
lagi ketika menyadari tidak adanya jawaban akan pertanyaanku. Dan pertanyaan
malam itu tidak pernah terjawab.
****
“Aku
pikir kau kau tidak akan pernah meninggalkanku?” tudingku keesokan paginya
ketika melihat sosoknya sudah rapih dengan stelan kasualnya. Ia menatap cairan
hitam di cangkirnya.
“Aku hanya
akan pergi sebentar,” bisiknya.
“Kemana?”
tanyaku, berdiri mematung di ambang pintu kamar. Ia tersenyum ramah.
“Untuk
memenuhi janjiku padamu, aku harus menjaga diriku dengan baik.” Tuturnya. Ia meletakan
cangkir kopinya di meja kemudian berjalan kearahku. “Aku akan kerumah sakit,
mungkin melakukan beberapa check up, lalu kembali pulang kepelukanmu,” ia
mencium keningku dengan sangat lembut. Aku mendesah. “Aku sakit Isabella…”
bisiknya tercekat.
Aku
menggigit bibir bawahku untuk menguatkan diriku. “Kalau begitu aku ikut,” ia
mengerutkan keningnya padaku. “Aku adalah seorang dokter, dulunya.” Tambahku. “Dan bukankah kita sudah berjanji untuk
menghadapinya bersama-sama apapun hasilnya nanti?” kak Sam tidak menjawab. Namun
aku bisa melihat pancaran kepedihan dari matanya. “Kau tidak perlu khawatir,
aku bukan lagi gadis lugu yang rapuh. Aku sudah banyak berubah. Dan aku
bersumpah untuk berdiri setegar mungkin untuk melihat kejutan yang dibawa oleh
masa depan,”
“Berjanjilah
padaku kau tidak akan menangis ketika akhirnya aku meninggalkanmu,”
Aku tidak
bisa menjawabnya. Aku tidak ingin.
“Karena
jika saat itu tiba. Aku tidak akan bisa menyeka air matamu lagi.” Ia merengkuh
kedua sisi wajahku. Menatapku dari balik kaca matanya. “Tapi aku ingin kau
tersenyum ketika mengantarku ketempat peristirahatan terakhirku,” air mataku
menetes. Namun bibirku masih terkatup rapat. Khawatir jika aku membuka mulutku
sedikit saja, isakan itu akan menerobos keluar. “Berjanjilah padaku Isabella…”
pintanya lirih. Aku tidak tau harus mengatakan apa. Aku sendiri ragu atas
permintaannya. Bagaimana mungkin aku bisa berdiri tegar ketika ia pergi kelak??
Memikirkannya saja membuat dadaku sesak.
Jika sampai waktunya nanti. Aku bersumpah
akan membunuh diriku sendiri!!! Kau pikir sekuat apa diriku tanpa dirimu?
“Aku
berjanji,” bisikku parau. Air matanya menetes perlahan, kemudian ia memelukku
erat.
“Terima
kasih,” bisiknya. “Isabella,” ia melepaskan pelukannya dan berlutut di
hadapanku. “Maukah kau menikah denganku. Menjadi pendamping hidupku. Menemaniku
dalam setiap langkahku. Menyongsong hari esok bersamaku. Maukah kau menerima
cintaku?” aku menutup mulutku yang terbuka karena terkejut dengan kedua
tanganku.
Pria ini
Tuhan… pria inilah yang selalu ku inginkan…
“Ya.” Satu
kata, dan aku pikir itu semua bisa mewakili seluruh perasaanku padanya. Karena kemudian
aku melihatnya tersenyum, ia memasangkan cincin indah itu di jari manisku. Mengecupnya
penuh kasih dan berdiri memelukku. Menenangkan gemuruh hatiku.
Aku
mencintainya. Melebihi apapun dalam hidupku. Ialah yang ku inginkan, dalam
dekapannyalah tempatku. Untuk inilah aku tercipta. Untuk dirinya. Untuk mencintainya.
Pria dinginku yang tampan. Pria dinginku yang angkuh. Pria tercintaku yang
begitu indah.
Ku mohon
Tuhan, jika sampai waktunya kelak. Jagalah ia tetap bahagia di sisimu, karena
hanya dengan cara itulah aku bisa memenuhi janjiku untuk tersenyum tanpanya.
Meskipun
itu hal yang sulit, tentu saja.
Tapi setidaknya,
untuk saat ini dia bersamaku. Mencintaiku.
-the end-
10 komentar:
Hore..akhirnya...:-):-) thank you Cher..
ur welcome christine...
*peluk erat*
ya finally, hehe... selesai sudah..
bagus2....
tapi rasanya aku mau jitakin sam hehehe
ditunggu karya yg laennya....
lagi...lagi...lagi... i want moaree.....
wah sist fathy nyampah nih sampe 2 post yg sama :pura-pura galak:
waduh maaf mba shin sumpah g nyadar ampe dua gitu....
diprotes, apus ah yg satu hehehe
hiheiehiehieie
huhuh keren :)
Ini yg udh di edit khn Cher??
Ampeeee ngalirrr aer matany bc yg inihh...
Keyeeeennnn....
Posting Komentar