Kamis, 13 Desember 2012

HUJAN KEMARIN -28- ending -


BAB DUA PULUH DELAPAN
Pelangi itu 



“Aku mencintaimu,” bisik pria di sampingku. Tangannya memeluk pinggangku dengan erat. Menempelkan tubuhku ketubuhnya. “Tapi kalau kau ingin meninggalkanku sekarang, kau boleh pergi,” ujarnya lagi. Aku mendengus. Mataku perih karena terus menangis dan menatap layar besar di hadapanku tak berkedip. “Aku membuat film ini untuk kado pernikahan kita,” ia terdiam. Matanya terpaku kearah tv. “Aku ingin menunjukan seluruh cintaku semenjak kita kecil,” tambahnya.
“Semua ini tentang diriku?” tanyaku ragu. Ia mengangguk.
“Iya, aku sengaja membuat kehidupanmu dari sudut pandangku agar aku bisa menunjukan betapa besar cintaku untukmu,” tubuhku membeku. Tapi kini film itu seperti sebuah catatan documenter tentang diriku. Catatan masa laluku yang begitu indah. “Apa kau mengingatnya?” tanyanya.
“Tidak ada satu hal pun yang ku ingat,” bisikku. Ia terdiam. Dengan perlahan melepaskan tangannya dari pingganggku, kemudian menegakan tubuhnya di sampingku. Ruang tamu itu terasa mencekam dengan kebisuan kami.
“Dengar Isabella. Aku sakit,” ia memulai. Aku masih menatap layar tv itu walaupun air mataku mulai kembali mengalir. “Suatu saat nanti aku akan meninggalkanmu, dan kau tau, kau akan beresiko memiliki anak yang sakit jika terus bersamaku,” aku mendengus kesal. Ketatap wajahnya yang begitu dingin dengan geram. Entah bagaimana hatiku tetap menyimpan cinta yang terlampau besar untuknya, meskipun aku benar-benar ingin membencinya.
“Dengar Sam!” ujarku tegas. Ia menatapku dengan kening berkerut. “Aku memang kehilangan ingatanku, dan film manis mu ini sama sekali tidak membantuku untuk mendapatkanya kembali. Tapi satu hal yang ku rasakan adalah, ini terasa seperti déjà vu untukku. Duduk di ruang tamu rumah ini, berdebat tentang hal yang tidak bisa kita ingkari. Rasa cinta itu.” ia menatapku dengan tatapan tidak percaya. Aku bergerak perlahan ke atas pangkuannya. “Mungkin kau lupa.” Bisikku seraya merengkuh wajahnya dengan kedua tanganku. Menatap matanya dalam-dalam. “Tapi bukankah aku sudah mengatakan padamu, jika aku benar-benar mencintaimu. Aku mencintaimu kak Sam…” bisikku tulus. Matanya terbuka lebar.
“Aku mencintaimu dengan seluruh hatiku. Jadi berhenti beranggapan jika aku selemah itu. Aku tau akan resiko kehidupan kita kelak. Tapi asalkan kau selalu di sampingku, menemaniku, bersama denganku dalam setiap keadaan, semuanya pasti akan baik-baik saja. Aku mencintaimu kak…” aku menempelkan keningku di keningnya. Mencoba merasakan desahan nafasnya.
“Terima kasih,” bisiknya sebelum memelukku dengan sangat erat. Aku tersenyum dan membalas pelukannya.
“Aku tidak perlu kata terima kasihmu,” ujarku seraya melepaskan pelukannya. Aku menegakan tubuhku di atas pangkuannya. Ia mengernyit menatapku. “Yang ku butuhkan adalah, kau mengembalikan cincin itu padaku,” tuturku tegas. Ia menatapku tidak percaya, kemudian mendesah dengan wajah angkuhnya yang super menyebalkan dan sialnya entah mengapa terlihat begitu tampan!!!!
“Kau benar-benar perusak suasana,” desisnya dingin. Aku menatapnya geram.
“Perusak suasana??! Aku hanya meminta apa yang seharusnya menjadi milikku!” teriakku kesal. Ia mencibir, kemudian dengan malas merogoh kantong celananya. Aku bersidekap di pangkuannya. Menunggu dengan tidak sabar. “Mana?!” tanyaku mulai kesal.
“Tidakkah kau bisa bersabar?!”
“Isshh!” aku mendesis kesal.
“Bangunlah dulu!! sangat sulit mencarinya dengan kau duduk di pangkuanku,” ia menatapku dengan tajam. Aku memutar bola mataku padanya, kemudia beranjak dari pangkuannya, duduk di sampingnya dengan kesal.
Kemudian wajah angkuh itu menyeringai. Aku mendengus tidak percaya. “Sepertinya aku meninggalkannya di rumah,” ujarnya pelan. Aku memalingkan wajahku darinya. Benar-benar kesal dengan apa yang ia lakukan. “Isabella…” panggilnya lembut. Tapi aku masih tidak ingin melihat wajahnya. “Hey…” tiba-tiba ia berbaring di sampingku. Dengan kepalanya berbantalkan pahaku. Aku terlonjak menatapnya. Ia terkekeh pelan, kemudian meraih jemariku. Aku membulatkan mataku ketika ia mengingatkan benang merah di jari manisku.
“Aww!” pekikku ketika mencoba menarik jariku yang sudah terikat. Ternyata ia mengikat jari manisnya juga dengan sisi lain benang merah itu. Ia menatapku dengan pandangan meminta maaf, kemudian meraih tanganku, membelai lembut jari manisku dan menciumnya.
Aku merasakan hatiku melambung. Aku benar-benar mencintainya. Pria menyebalkan ini, pria berwajah angkuh ini, pria yang berkali-kali membuatku menjauh darinya, pria yang dengan dinginnya menyakitiku, adalah pria yang paling ku cintai. Pria yang ingin ku habiskan sisa hidupku dengannya.
Aku tersenyum manis, meraih kaca mata tak berbingkainya dan mendekatkan wajahku ke wajahnya. Ia menatapku sejenak, kemudian dengan cepat mengangkat wajahnya. Mataku terbelalak ketika ia mencium bibirku.
“Jangan coba-coba untuk melakukan serangan mendadak lagi,” bisiknya. Aku menatapnya sinis. Astaga!!!!! Pria ini benar-benar….
Ia terkekeh pelan, dan kembali duduk di sampingku. Aku mendengus, dengan cepat ku letakan kaca maatnya di meja dan meraih wajahnya, menciumnya tepat di bibirnya. Ia tampak terkejut. Namun aku sama sekali tidak menghentikan ciumanku, hingga akhirnya aku terpekik kaget ketika ia mengangkat tubuhku ke atas pangkuannya. Ia tersenyum tipis karena keterkejutanku. Kemudian kembali menciumku dengan lembut.
Ahh… akhirnya aku menemukan pelangi itu…



****

Aku tersentak dalam tidurku. Nafasku tersenggal-senggal, semilir angin berhembus menerpa wajahku yang memucat. Aku merasakan perih memenuhi relung hatiku, menyesakan dadaku. Ruangan itu begitu gelap, dan sepertinya diluar sana sedang hujan, karena aku bisa mendengar tetesannya yang bising, merasakan hawa dinginnya yang mencekam. Merasakan kegelapannya.
Aku duduk diatas kasur, menekuk lututku dan memeluknya dengan erat. Ku katupkan bibirku untuk menyamarkan bunyi gemeletuk gigiku. Tiba-tiba air mataku mengalir. Hatiku semakin sesak. Aku hilang dalam kegelapan malam itu. Aku tenggelam.
Seluruh kisah itu sepeti mimpi. Atau memang hanya sebuah mimpi? Bukankah selama ini aku memiliki masalah dengan psikologi dan batasan antara dunia nyataku dan alam bawah sadarku? Bukankah itu sebuah hal yang nyata?
Aku mulai terisak. Aku mencintainya. Aku merindukannya. Dan yang bisa ku lakukan hanya bermimpi tentangnya. Memimpikan hal yang tidak bisa ku sentuh. Tapi mimpi itu sungguh nyata. Aku masih bisa merasakan kebahagiaan ketika ia memelukku, ketika ia menciumku, ketika ia seolah-olah mencintaiku sebagaimana aku mencintainya.
“Isabella…” suara itu seperti lonceng yang begitu nyaring. Aku terpaku dengan mata yang masih basah karena air mataku. Tiba-tiba sebuah tangan merangkulku, kemudian seseorang memelukku. “Ada apa sayang?” tanyanya lembut. Nafasku tercekat karena syok. “Apa kau mimpi buruk?” tanyanya lagi. Aku terisak.
Aku tidak bermimpi buruk. aku bermimpi sangat indah, dan aku takut akan terbangun kemudian kehilangan semua mimpi itu. Aku ingin terus bermimpi.
“Isabella, tenanglah… ceritakan padaku tentang mimpimu,” pintanya. Suaranya terdengar begitu khawatir. Aku memeluk tubuhny erat-erat.
“Kau,” bisikku perih. Tubuh dipelukkanku membeku. Terdiam untuk beberapa saat, kemudian mencium puncak kepalaku. Ia masih terdiam hingga ku pikir ia kembali tertidur. Atau pergi. Namun detakan jantungnya membuatku merasakan keberadaannya. Membuat hatiku sedikit tenang.
“Aku bukan mimpi,” bisiknya begitu pelan. “Ini adalah kenyataan Isabella,”
“Berjanjilah padaku,” pintaku lirih. Ia terdiam dalam gelap. menunggu kata-kataku. “Berjanjilah kau tidak akan pernah pergi lagi,” bisikku.
“Aku tidak pernah pergi. Selalu kau yang meninggalkanku,” ia tersenyum tipis.
“Kalau begitu berjanjilah untuk tetap menjagaku disisimu apapun yang akan terjadi kelak,” tubuh itu membeku. Matanya menerawang jauh, pikirannya mungkin melayang-layang entah dimana. Bibirnya terkatup rapat. Aku meneteskan air mata lagi ketika menyadari tidak adanya jawaban akan pertanyaanku. Dan pertanyaan malam itu tidak pernah terjawab.

****

“Aku pikir kau kau tidak akan pernah meninggalkanku?” tudingku keesokan paginya ketika melihat sosoknya sudah rapih dengan stelan kasualnya. Ia menatap cairan hitam di cangkirnya.
“Aku hanya akan pergi sebentar,” bisiknya.
“Kemana?” tanyaku, berdiri mematung di ambang pintu kamar. Ia tersenyum ramah.
“Untuk memenuhi janjiku padamu, aku harus menjaga diriku dengan baik.” Tuturnya. Ia meletakan cangkir kopinya di meja kemudian berjalan kearahku. “Aku akan kerumah sakit, mungkin melakukan beberapa check up, lalu kembali pulang kepelukanmu,” ia mencium keningku dengan sangat lembut. Aku mendesah. “Aku sakit Isabella…” bisiknya tercekat.
Aku menggigit bibir bawahku untuk menguatkan diriku. “Kalau begitu aku ikut,” ia mengerutkan keningnya padaku. “Aku adalah seorang dokter, dulunya.” Tambahku. “Dan bukankah kita sudah berjanji untuk menghadapinya bersama-sama apapun hasilnya nanti?” kak Sam tidak menjawab. Namun aku bisa melihat pancaran kepedihan dari matanya. “Kau tidak perlu khawatir, aku bukan lagi gadis lugu yang rapuh. Aku sudah banyak berubah. Dan aku bersumpah untuk berdiri setegar mungkin untuk melihat kejutan yang dibawa oleh masa depan,”
“Berjanjilah padaku kau tidak akan menangis ketika akhirnya aku meninggalkanmu,”
Aku tidak bisa menjawabnya. Aku tidak ingin.
“Karena jika saat itu tiba. Aku tidak akan bisa menyeka air matamu lagi.” Ia merengkuh kedua sisi wajahku. Menatapku dari balik kaca matanya. “Tapi aku ingin kau tersenyum ketika mengantarku ketempat peristirahatan terakhirku,” air mataku menetes. Namun bibirku masih terkatup rapat. Khawatir jika aku membuka mulutku sedikit saja, isakan itu akan menerobos keluar. “Berjanjilah padaku Isabella…” pintanya lirih. Aku tidak tau harus mengatakan apa. Aku sendiri ragu atas permintaannya. Bagaimana mungkin aku bisa berdiri tegar ketika ia pergi kelak?? Memikirkannya saja membuat dadaku sesak.
Jika sampai waktunya nanti. Aku bersumpah akan membunuh diriku sendiri!!! Kau pikir sekuat apa diriku tanpa dirimu?
“Aku berjanji,” bisikku parau. Air matanya menetes perlahan, kemudian ia memelukku erat.
“Terima kasih,” bisiknya. “Isabella,” ia melepaskan pelukannya dan berlutut di hadapanku. “Maukah kau menikah denganku. Menjadi pendamping hidupku. Menemaniku dalam setiap langkahku. Menyongsong hari esok bersamaku. Maukah kau menerima cintaku?” aku menutup mulutku yang terbuka karena terkejut dengan kedua tanganku.
Pria ini Tuhan… pria inilah yang selalu ku inginkan…
“Ya.” Satu kata, dan aku pikir itu semua bisa mewakili seluruh perasaanku padanya. Karena kemudian aku melihatnya tersenyum, ia memasangkan cincin indah itu di jari manisku. Mengecupnya penuh kasih dan berdiri memelukku. Menenangkan gemuruh hatiku.
Aku mencintainya. Melebihi apapun dalam hidupku. Ialah yang ku inginkan, dalam dekapannyalah tempatku. Untuk inilah aku tercipta. Untuk dirinya. Untuk mencintainya. Pria dinginku yang tampan. Pria dinginku yang angkuh. Pria tercintaku yang begitu indah.
Ku mohon Tuhan, jika sampai waktunya kelak. Jagalah ia tetap bahagia di sisimu, karena hanya dengan cara itulah aku bisa memenuhi janjiku untuk tersenyum tanpanya.

Meskipun itu hal yang sulit, tentu saja

Tapi setidaknya, untuk saat ini dia bersamaku.  Mencintaiku. 


-the end-

10 komentar:

christinee mengatakan...

Hore..akhirnya...:-):-) thank you Cher..

Unknown mengatakan...

ur welcome christine...
*peluk erat*
ya finally, hehe... selesai sudah..

Fathy mengatakan...

bagus2....
tapi rasanya aku mau jitakin sam hehehe

ditunggu karya yg laennya....

Fathy mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Shin Haido mengatakan...

lagi...lagi...lagi... i want moaree.....

Shin Haido mengatakan...

wah sist fathy nyampah nih sampe 2 post yg sama :pura-pura galak:

Fathy mengatakan...

waduh maaf mba shin sumpah g nyadar ampe dua gitu....


diprotes, apus ah yg satu hehehe

Shin Haido mengatakan...

hiheiehiehieie

Unknown mengatakan...

huhuh keren :)

Vie mengatakan...

Ini yg udh di edit khn Cher??
Ampeeee ngalirrr aer matany bc yg inihh...
Keyeeeennnn....