Jumat, 29 Maret 2013

PELANGI HITAM PUTIH -04-


ZAHRA


AKU BERJALAN PERLAHAN menuju kamar Amy, kemudian berhenti tepat di depan pintu kamarnya. Ia tidak ada di panti, namun ia sudah memberikan kunci pintu kamarnya padaku. Tampaknya ia sudah benar-benar percaya padaku, atau mungkin ia tau jika sesekali aku akan masuk ke dalam kamarnya sekedar untuk melihat bingkai foto yang tersimpan di meja kerjanya.
Aku memasuki kamar bernuansa pink itu dengan perlahan. Ada sebuah ranjang besar di bagian pojok ruangan, menyatu dengan dinding dan meja kecil di sampingnya. Ada sebuah lemari dua pintu berada di depan ranjang, dan meja besar tempatnya menyimpan buku-buku mengajarnya berada di sebelah kiri ranjangnya. Aku berjalan perlahan hingga sampai ke depan meja itu. Cahaya rembulan yang masuk dari jendela besar di kamarnya membuatku enggan menyalakan lampu. Aku lebih senang seperti ini, terdiam sendiri dalam kegelapan.
Sebuah pigura indah menarik perhatianku. Aku meraihnya dan meraba permukaan foto itu dengan perlahan, seakan aku bisa meraba dan menyentuh sosok-sosok di dalamnya, sosok-sosok yang tengah tersenyum penuh kebahagiaan. Aku tersenyum tipis dan meletakan foto itu kembali ke atas meja, kemudian menghela nafas panjang sebelum berlalu pergi.
Cukup sudah untuk hari ini.
Sebenarnya, aku tidak pernah mengerti dengan jalan pikiranku akhir-akhir ini. Seakan-akan banyak hal yang tidak sinkron dalam benak dan hatiku. Semuanya tampak berantakan, dan membuatku semakin lelah. Aku akan sangat terluka ketika melihat foto itu, seakan-akan menyayat kulitku yang masih berdarah, namun aku tidak bisa berhenti menatapnya. Meski hanya untuk sekedar meyakinkan diri sendiri bahwa pria itu, cinta pertamaku, kini sudah merasa benar-benar bahagia dengan kekasihnya.
Well, ironis memang. Tapi begitulah kenyataannya. Aku jatuh ketika pertama kali menemukan kisah cinta pertama yang bisa membuatku berubah tiga ratus enam puluh derajat. Aku masih bisa merasakan rona bahagia ketika ia menggenggam tanganku, aku masih bisa mendengarkan suara tawanya yang renyah di telingaku, bahkan senyuman menawannya, tatapan hangatnya, dan air mata putus asa nya. Aku masih mengingat semuanya dengan sangat jelas, seakan otakku memang diprogram hanya untuk memikirkannya. Namun kini dia sudah menjadi milik orang lain, milik gadis yang lebih sempurna dari padaku. Sosok yang ku yakin akan selalu menjadi pusat dunianya.
Langkahku terhenti ketika melihat sosok bibi berdiri di depan pintu kamar Amy, ia menatapku dengan pandangan sedih. Buru-buru ku hapus sisa-sisa air mata yang sempat menetes beberapa saat yang lalu.
“Aku merindukan Amy,” ujarku mejawab pandangan sedihnya. Ia mengangguk dan berlalu begitu saja, dan itu justru membuatku merasa tidak puas. Aku merasa perlu menegaskan lagi padanya, meski ia sama sekali tidak meminta penegasan atau penjelasan apapun padaku. Tapi aku ingin ia benar-benar mengerti bahwa aku merindukan Amy, bukan merindukan sosok yang sempat menjadi pangeran hatiku, dan kini menikah dengan orang lain!
***
“Kita akan menanam apa hari ini kak?” Tanya seorang bocah berpeci hitam padaku. Aku yang masih mematung di depan ruang guru langsung tersentak kaget. Aku mengerjapkan mataku beberapa kali untuk kembali memusatkan perhatianku pada dunia nyata yang tengah ku tapaki itu.
“Kemarin pak Surya bilang tanaman apa?” ujarku balik bertanya. Bocah sepuluh tahun itu berpikir sejenak, keningnya tampak berkerut, dan matanya menyipit sambil melihat ke lantai.
“Pak Surya bilang kita tanam pohon tomat minggu ini.” Jawab seorang gadis kecil sambil berjalan menghampiri kami. Ia mencium punggung tanganku dengan santun dan tersenyum manis. Tangan kirinya membawa kantung kresek hitam yang cukup besar.
Senin ini, karena ada rapat dewan guru maka murid-murid madrasah dan SMP dilliburkan. Itu adalah satu kesempatan bagus untuk bermain bersama mereka, karena belakangan aku memang tidak memiliki waktu libur bersama mereka. Setiap pulang ke bandung, aku pasti harus bertemu dengan anak-anak panti di dalam kelas, dan melakukan kegiatan belajar-mengajar yang cukup membosankan, sedang sorenya mereka harus mengikuti kegiatan mengaji bersama ummi dan pengajar yang lainnya.
Sejak satu bulan yang lalu aku sudah menerapkan sebuah komunitas baru di panti. Komunitas green corner yang bergerak dalam bidang penghijauan panti. Well, sebenarnya kawasan panti sudah cukup asri, namun aku merasa sangat bahagia ketika melihat bocah-bocah itu tertawa dan sejenak melepaskan penat mereka dengan bermain tanah dan air yang juga bermanfaat. Kami sudah menanam bibit cabai rawit untuk keperluan panti, beberapa bibit sawo, mangga dan manggis yang sampai saat ini masih belum mengalami perubahan, bunga melati, mawar, dan sebuah pohon kenanga yang mulai tumbuh tinggi. Dengan bantuan pak Surya sebagai guru IPA di SMP, semuanya terasa semakin mudah. Sayangnya, sejak sibuk melanjutkan kuliah S2 ku di ciputat, aku mulai kehilangan hari jum’atku yang berharga bersama mereka. Jadi ketika kebetulan senin ini libur, aku sangat bersemangat untuk kembali meninjau kebun kecil kami.
Panti asuhan Naura Jannah ini memiliki tiga gedung utama, yang jika di lihat-lihat posisinya menyerupai leter U. Gedung utama yang juga merupakan gedung kantor, kamar para pengurus panti, dan ruangan ummi berada di bagian tengah. Gedung sebelah kanan ditempatkan oleh anak-anak putri, perpustakaan mini, dan dapur. Sedangkan gedung sebelah kiri meliputi tempat anak-anak putra, madrasah (yang kini sudah dialokasikan ke tempat lain atas bantuan pak Darmawan, dan diganti dengan ruang mengaji), dan ruang seni.
Tidak ada yang istimewa dari bangunan tua itu, di tengah-tengah ketiga bangunan itu terdapat sebuah lapangan tanah yang akan menjadi kobangan lumpur ketika hujan, namun anak-anak panti bersama Raka dan Arya sudah membuat jalan setapak mengunakan kerikil untuk menghubungkan ketiga gedung dengan jalan utama. Ada sebuah pohon jati yang cukup rindang di depan gedung putri, yang di sekelilingnya di tumbuhi rerumputan pendek yang indah. Atas inisiatif Amy, akhirnya mereka menanami rumpun mawar di sekeliling pohon itu, membuat suasana panti yang teduh semakin tampak manis.
Di bagian belakang panti terdapat sebuah lahan kosong yang sebelumnya hanya digunakan untuk tempat pembakaran sampah dan sisanya dibiarkan merumput tinggi. Atas persetujuan ummi kami mengubahnya menjadi green corner kami, dan Alhamdulillah hasilnya memuaskan.
“Baiklah, kalau begitu sekarang kita akan menanam pohon tomat!” seruku bersemangat. Kedua bocah kelas enam SD itu tersenyum lebar. Gadis kecil yang kerap dipanggil Anisa itu langsung menggandeng tanganku, sedangkan bocah berpeci hitam itu mengambil alih tugas Anisa untuk membawakan bibit tomat yang Anisa ambil dari gudang. Aku terkekeh pelan melihat tingkah manis yang tampaknya tidak mereka sadari.
Ketika sampai ke bagian belakang panti, tampaknya aku terlambat, semua anak tampak asyik dengan tanaman-tanaman mereka. Beberapa dari merek tampak tengah mengamati tanamanan cabai yang mulai berbunga, beberpa gadis kecil berjongkok melingkari rimbunan bunga melati, memunguti melati-melati yang sudah jatuh dari pohonnya, dua gadis berkerudung hijau dan biru tampak asyik memandang bunga-bunga mawar yang mulai bermekaran. Sedangkan remaja-remaja putra yang kini duduk di kursi SMP dan SMA tampak sibuk memaculi tanah untuk lahan tanaman kami yang selanjutnya.
Pak Surya tersenyum ramah ketika melihatku datang bersama Anisa dan Rafli. “Assalamua’alaikum pak,” sapaku. Bapak paruh baya itu tersenyum dan membalas salamku. “Bapak tidak ikut rapat?” tanyaku.
“Ah, kan sudah banyak yang mewakilkan, bapak lebih senang berada di sini.” Ujar pak. Surya sambil memandang ke sekelilingnya. Aku tersenyum tipis dan turut memandang ke sekitar. “Andai kita bisa mendapatkan lahan itu,” gumam pak Surya seraya memandang lapangan tak terurus di luar kompleks panti yang hanya di batasi oleh pagar bambu ala kadarnya. Aku mendesah pelan. “Sepertinya antusiasme anak-anak ini pada tumbuhan sangat besar,” ujarnya, kembali tersenyum tipis sambil melihat bocah-bocah kecil yang berada di sampingnya, tampak asyik dengan bibit baru mereka.
“Tapi lahan itu milik perusahan besar di Jakarta, aku tidak yakin kita bisa dengan mudah mendapatkannya.” Gumamku.
“Pernahkah kau membicarakan hal ini pada pak Darmawan? Mungkin beliau bisa membantu.”
Aku mengailhkan pandanganku pada tiga remaja putri yang duduk di kelas satu SMP, mereka tampak sibuk mencatat sesuatu di depan sebuah tumbuhan yang tidak ku kenali, salah satu dari mereka tampak tertawa renyah ketika melihat temannya menginjak lumpur yang belum mengering dari hujan kemarin.
“Aku tidak ingin merepotkan pak Darmawan lagi,” bisikku begitu pelan, bahkan berharap pria berumur 40 tahunan itu tidak mendengar. Dan sepertinya harapanku terwujud, pak Surya, yang merasa aku enggan menjawab atau karena  melihatku tengah sibuk dengan pemikiranku sendiri, akhirnya kembali mengalihkan fokusnya pada sosok bocah-bocah kecil yang tengah menggali lubang kecil untuk bibit tomat.
“Beri jarak sedikit.” Ujarnya pada Bagas, bocah kelas 6 SD yang sudah hafal juz ke-30. Aku memperhatikan mereka untuk sesaat, kemudian ikut berjongkok di samping Anisa yang tengah menggali dua lubang untuk bibit tomatnya.
“Mengapa kau menggali dua lubang?” tanyaku.
“Satu untukku, dan yang satunya untuk Aisah,” katanya sambil terus menggali. Aku tertegun sejenak, kemudian membantunya menggali tanah itu. Wajah Anisa sedikit mengkerut jijik ketika melihat cacing kecil di dalam lubang yang ia gali. Aku terkekeh pelan.
  “Tidak apa-apa, ia akan membantu menyuburkan tanaman kita,” ujarku menenangkan. Anisa menatapku dengan pandangan yang sedikit tidak percaya.
“Kak Zahra benar,” ujar pak Surya dengan lembut pada kami. Ia melongok sedikit pada lubang yang dibuat Anisa dan mengangguk-ngangguk, sebelum menjelaskan kegunaan cacing untuk tanaman kami.
“Kak Zahra!” aku menoleh ketika mendengar seseorang memanggilku. “Ada yang mencari kakak.” Kata Arini, seorang gadis berumur 14 tahun yang baru dua tahun ini menjadi anggota keluarga panti. Aku mengerutkan keningku, namun tidak melontarkan pertanyaan apapun kepadanya.
“Terima kasih Arin,” kataku, dan ia mengangguk lalu kembali berlari dengan buku di dekapannya. Aku menoleh pada pak Surya yang tengah menatapku, ia mengangguk seakan mengerti dengan apa yang akan ku katakan.
“Kakak pergi dulu ya Anisa,” ujarku pada Anisa yang mulai memasukan benihnya ke dalam lubang dengan bantuan Bagas.
“Iya kak,” jawab Anisa.
Aku beranjak dari lahan yang di beri nama ‘benih tomat baru’ melewati rumpun bebungaan, dan tanaman-tanaman obat-obatan. Sambil mencuci tanganku di keran air yang berada di samping pintu belakang panti, aku kembali memikirkan siapa gerangan yang mencariku. Hm, ini terasa sedikit aneh karena biasanya yang bertugas menemui tamu adalah ummi atau Amy, namun karena Ummi sedang pergi mengikuti rapat, dan Amy masih belum pulang dari perjalanan panjangnya bersama Teuku Arya Pratama, teman pantiku yang juga kekasih Amy (meski sampai saat ini mereka hanya bilang teman biasa), ke kediaman keluarga besar Arya di Aceh.
Bibirku sedikit tertarik, membentuk senyuman simpul ketika mengingat kedua sahabatku itu, Amy dan Arya, entah apa yang sedang mereka lakukan sekarang. dan rasanya aku ingin sekali menyerbu Amy dengan ribuan pertanyaan mengenai hubungan mereka. Gadis itu selalu menolak jika dikatakan memiliki hubunan khusus dengan Arya, tapi lihat kan, dia sama sekali tidak menolak ketika Arya membawanya menemui keluarga besarnya. Ya Allah… sepertinya aku akan segera mendapatkan undangan baru. Aku kembali tersenyum pada pemikiran itu.
Ketika mematikan keran, buku-buku jariku sudah hampir memutih karena terlalu lama berada di bawah guyuran air, aku mengibaskan jemariku hingga menyipratkan air ke berbagai arah. Kemudian berjalan perlahan menuju gedung utama. Langkahku langsung terhenti ketika melihat sebuah mobil hitam terparkir di depan gedung utama panti, mataku mulai terasa memanas, sekuat tenaga ku tahan semua gemuruh yang mendadak memenuhi relung hatiku. Sejujurnya, aku tidak menginginkan semua rasa ini menyerbuku, namun sungguh, aku lelah. Aku lelah pada semua kata cinta yang palsu itu.
Sosok itu berdiri membelakangiku, tangan kirinya tersembunyi di dalam saku, sedangkan tangan kanannya menempelkan ponselnya di telinga, berbicara dengan suara tegas yang bernada memerintah.
Aku berdiri di belakangnya selama beberapa detik, mataku terus menatap punggungnya yang bidang. Aku sama sekali tidak bisa menangkap apa yang ia bicarakan di telepon, namun ia jelas tampak sedikit gusar pada lawan bicaranya.
“LAKUKAN!” teriakan itu menghentakku. Aku mengerjapkan mataku beberapa kali, menyadarkanku pada dunia nyata lagi, dan ketika tersadar, hal yang ku inginkan adalah pergi secepatnya dari tempat itu. kemarin ia hampir saja membunuhku, dan hari ini mungkin dia akan benar-benar membunuhku, mencekikku sampai mati, dan menunjukan sisi ‘indah’ dari kata cintanya.
Fakta itu membuat tubuhku bergetar karena ketakutan, dengan cepat aku memutar kakiku, bersiap untuk berlalu secepat mungkin.
“Kak Zahra aku sudah berhasil!!” teriak Anisa sambil mengangkat dua tangannya yang kotor karena tanah. Aku meringis kepadanya, namun sebisa mungkin tetap tersenyum dan mengangguk. Setelah puas menyeringai padaku gadis kecil itu kembali pergi memasuki gerbang halaman belakang, mungkin ia hendak mencuci tangannya atau apa, aku sudah tidak peduli. Yang kini menarik perhatianku adalah perubahan atmosfir di sekelilingku yang tiba-tiba. Dalam hati aku mulai menghitung sampai ia memanggilku, namun hingga hitungan ke tujuh, tidak ada panggilan apapun. Aku mulai bertanya-tanya apakah Raihan tidak menyadari keberadaanku atau dia memang sudah pergi?
“Zahra.” Panggilnya pada hitunganku yang ke dua puluh tiga. Aku melirik sedikit ke belakang. “Aku mencarimu.”
“Aku tidak ingin menemuimu,” jawabku ketus.
“Aku tidak memintamu menemuiku,” katanya, mataku menyipit.
“Oke kalau begitu, aku akan segera pergi!” pekikku kesal, namun ketika hendak berlalu, tangannya menahan tanganku, mencengkram pergelangn tanganku dengan sangat erat. Aku menatap sinis padanya. Apa yang sebenarnya pria ini inginkan?!
“Sampai kapan kau akan sadar, jika kau tidak bisa pergi dariku.”
Aku mendengus jijik, namun cengkramannya terlalu keras hingga sekuat apapun aku berusaha, aku tidak akan bisa melepaskannya. Tapi kemudian, ketika teriakan gadis kecil itu menggema di antara kami, cengkramannya mengendur, aku melirik sosoknya yang tampak menegang, wajahnya tak terbaca, hanya tersirat sekelebat bayangan lega dan cemas dalam waktu yang bersamaan.
“Om Raihan!!” teriakan itu kembali terdengar, kali ini membuatku menoleh kearah gerbang panti, mataku menyipit untuk memastikan siapa yang datang. dan ketika mobil itu berhenti di depan gerbang, aku bisa merasakan air mataku tergenang. “Kak Zahra!!!” teriak seorang gadis kecil berjilbab ungu dari dalam mobil.
Dan air mata itu pun menetes.

3 komentar:

Unknown mengatakan...

wew yang datang Raka Aisyah Anna kan *ok sok tau hhe

Unknown mengatakan...

Yach.. Putus, Raka sma anna Ɣªήğ dtg ya.. Sabar Zahra ya. Mudh2n Raihan bsa mbantu mlupakn rsa cinta mu sma Raka.

Unknown mengatakan...

Hmmm .. pasti si raihan cemburu tuh..