Rabu, 20 Maret 2013

LITTLE THINGS



Aku membanting piring yang tengah ku cuci dengan kesal, kemudian membalikan tubuhku, bersidekap dengan wajah super cemberut, tidak peduli pada tetesan air dan busa di tanganku.
“Loh, kenapa nggak diterusin cuci piringnya Tiara?” Tanya ibuku. Aku memutar bola mataku padanya, dan mendengus.
“Ibu, aku belum selesai cuci piring sudah suruh sapu halaman, jemur pakaian, terus apa lagi? Kenapa aku terus yang di suruh-suruh? Itu kak Rangga dari tadi bengong nggak disuruh!” pekikku kesal. Ibu menatapku dengan kerutan di dahinya, seakan tidka mengerti bahwa baru saja putrinya marah-marah.
“Sudah sana, lanjutkan cuci piringmu, masa ditinggal seperti itu! Lalu kalau sudah menjemur pakaiannya, kamu antarkan pesanan bu Maya yah, sepedanya sudah di keluarkan,”
“Ibu!!!!” geramku sambil membelakakan mataku lebar-lebar. Bagaimana mungkin ibu tidak menyadari bahwa baru saja aku marah-marah kepadanya. Ya Tuhan…
Aku tidak mendramatisir keadan, tapi ibu memang sangat teramat kejam padaku. Ia selalu menyuruhku melakukan ini-itu-itu-ini. Semuanya! Dan membiarkan kak Rangga bersantai-santai dengan buku-bukunya. Apa jangan-jangan aku ini anak tiri?!
Bruk!
Karena terus melamun, tanpa sengaja aku menabrakan sepedaku ke mobil di hadapanku. Aku meringis ngeri. Aku tidak terluka, bahkan terjatuh pun tidak. Tapi bagian depan sepedaku sudah menggores bagian belakang mobil putih cantik itu. Ya Tuhan… coba ibu mengizinkan aku mengendarai motor!!!! Pasti aku tidak akan sampai melamun seperti ini! Makiku dalam hati.
Dan tentu saja, semuanya tampak begitu berantakan setelah itu, berantakan dan kacau hingga aku enggan untuk mengingatnya.

Sampai hari ini…

“Melamun lagi?” aku tersentak dan menoleh, tersenyum malu-malu pada sosok tampan yang kini merangkul bahuku penuh kasih.
“Itu…” ujarku sambil menunjuk goresan cukup panjang di bagian belakang mobil putih yang cantik.
“Ah…” ia mendesah dan menyapukan jemarinya ke rambutnya. “Itu adalah tanda perkenalan kita.” Ujarnya sambil tersenyum. “Aku senang hari itu kau mengunakan sepeda, bukan motor.” Ujarnya lagi. Aku mencibir sarkastis.
“Tentu saja! Karena kalau aku menggunakan motor dan menabrakmu, maka mobil ini akan langsung masuk bengkel!” tuturku. Ia tertawa dan mempererat rangkulannya.
“Bukan sayang, kalau kau mengendarai motor, kau mungkin tidak akan menghabiskan waktumu untuk melamun bodoh seperti itu, dan mungkin kita tidak akan pernah bertemu.” Ujarnya dengan tatapan penuh kasih. Aku merona dan tersenyum.
Ya… hal kecil itu memang terasa indah saat ini. Aku masih ingat bagaimana ibu selalu ‘membully’ku dengan semua pekerjaan rumah itu. Siapa yang tau jika ibu sedang mempersiapkanku untuk menjadi wanita yang mudah di cintai, istri yang sempurna, dan ibu yang baik.
Ah ibu… terima kasih, andai aku menyadari maksudmu, tentu aku akan dengan senang hati mempelajari semua hal kecil yang kau ajarkan padaku selama ini. J

0 komentar: