Senin, 11 Maret 2013

CAHAYA CINTA -15-



Sosok cantik itu terluka… dan semua orang melihatnya, hingga semua orang turut menangis untuknya. Meskipun tentu saja tidak ada yang bisa menyelami kesedihan sosok itu. Ia terluka sedemikian dalamnya, hingga rasanya tubuhnya sudah lelah untuk bertahan.
Sekali lagi Anna memejamkan kedua mata indahnya, mencoba menahan getaran dari isak tangis yang seakan berniat mengoyak tubuhnya. Ia menetapkan hatinya dan menghela nafas panjang. Menatap lurus pada sajadahnya yang tampak buyar di pandangan matanya yang penuh air mata. Ia mengucapkan dua kalimat syahadat untuk menenangkan gemuruh hatinya, dan memulai shalat tahajudnya malam itu.
“Ya Allah, hamba sepenuhnya berserah padamu… hamba hanya seorang manusia penuh dosa. Hamba mohon ampunanmu Ya Allah, atas kedua orang tua hamba yang begitu hamba cintai, dan seluruh umat muslimin dan muslimat di dunia ini…
“Ya Allah, hamba hanya seorang wanita penuh nista, hamba melakukan banyak kesalahan. Hamba melakukan banyak kebodohan. Tapi hamba tidak memiliki tujuan lain di kehidupan ini selain berserah diri pada Mu. Ampunilah dosa-dosa hambamu ini ya Allah. Ampuni hamba…
“Hamba berserah diri pada semua takdir Mu, hamba ikhlas ya Allah… hamba Ikhlas… hamba ikhlas…”
Isakan Anna terdengar begitu memilukan, memecah keheningan malam yang dingin dan kelam, membuat seorang gadis kecil yang tengah tertidur di ranjangnya terbangun dan menghampiri sosok yang tengah berdoa di atas sajadahnya itu.
“Bunda…” bisiknya pelan. Buru-buru Anna menghapus air matanya, dan menoleh pada sosok Aisah. “Ada apa?” tanyanya.
“Tidak apa-apa sayang, kembali tidur lah. Besok kita akan segera berangkat setelah pemakaman ayah…” ujarnya lembut seraya membelai kepala gadis kecil yang langsung menegang di hadapannya, kemudian tangis itu pun pecah.
Air mata Aisah menetes perlahan, meski sang bunda terus mengatkan jangan menangis. Tapi gadis itu tetap menangis tergugu, kedua punggung tangannya menutupi matanya yang terus meneteskan air mata. Ia terus menangis pilu hingga akhirnya Anna menariknya dalam dekapannya, mencium keningnya, menghujani wajahnya dengan air matanya sendiri.
“Ayah akan baik-baik saja. Dia akan menanti kita di sana dengan sangat sabar. Ayah adalah sosok penyabar yang baik hati, sudahkah bunda bercerita tentang itu? Ia akan segera membangun sebuah istana indah di surga dan menanti kita dengan damai. Ia berbudi baik, ia akan mendapatkan tempat terindah di sisi Allah. Ia akan bahagia putriku… ia akan bahagia…”
Tangisan Aisah tidak kunjung mereda. Ia terus terisak di balik mukena yang di kenakan ibunya.
“Tapi Aisah mencintai ayah…” isaknya pilu.
“Kita semua mencintai ayah… kita semua…” Anna mencium kening putrinya penuh sayang, kemudian meletakan pipinya di kening gadis kecil itu. “Ayah juga pasti sangat mencintaimu. Bunda tau itu, tapi ini sudah jalannya sayang. Ini sudah takdirnya. Kita harus mengikhlaskannya…”
“Aisah ikhlas bunda… Aisah ikhlas…” suara gadis itu begitu pelan, tertutup isakan perihnya. Baru beberapa hari yang lalu ia merasakan kebahagiaan itu. merasakan kebahagian memiliki keluarga yang utuh dan mencintainya sepenuhnya. Ia memang tidak pernah menemukan mata itu terbuka, ia bahkan tidak tau bagaimana suaranya, namun ia mencintainya, ia mencintai ayahnya sejak ia melihat cinta indah itu di mata bundanya.
“Terima kasih sayang.” Bisik Anna pelan.
***
Suasana rumah sakit pagi itu terasa begitu hening bagi Anna, meski ia bisa melihat puluhan orang-orang berlalu lalang di hadapannya. Namun di benaknya, semua itu tidak lebih dari sebuah gambar pada layar tv hitam putih yang tidak bersuara. Semuanya begitu sunyi dan mencekam. Ia mengenakan gamis tercantiknya, ia juga mengenakan sedikit make up yang sebelumnya tidak pernah tersentuh. Semua orang yang melihat sosoknya akan tercengang karena beranggapan melihat patung yang biasa di pajang di etalase-etalase toko mahal menjadi hidup.
Namun wajah itu tampak begitu kosong. Ia berjalan perlahan di samping Luna dan Aisah. Darmawan berjalan selangkah di hadapan mereka. Dan setegap apapun langkah pria itu, baik Anna maupun Luna bisa melihat getaran-getaran di punggung tuanya yang menahan isakan tangisnya.
Akhirnya itu lah saatnya. Ketika akhirnya Anna harus kembali mengantar suaminya yang tidak pernah membuka matanya itu kembali ke rumah sakit. Pada akhirnya ia harus kembali mengenakan baju operasi lagi untuk menemui suaminya di ruang oprasi. Pada akhirnya ia harus menahan isaknya lagi saat yang sebenarnya ia inginkan adalah menangis kencang di ruangan steril itu.
Anna tidak menghentikan langkahnya ketika melewati orang-orang yang tengah menunggu Raka di depan ruang operasi itu. Ia terus melangkahkan kakinya, melewati pintu ganda yang beberapa tahun yang lalu pernah di lewatinya juga. Ia mengganti sendalnya dengan sandal khusus rumah sakit.
“Anak itu tidak boleh masuk.” Ujar seorang perawat sambil menunjuk sosok Aisah yang masih sesenggukan di samping Anna. Aisah meremas tangan Anna ketakutan.
“Ia ingin melihat ayahnya untuk yang terakhir kalinya.” Ujar Anna begitu dingin, perawat itu melirik dokter yang berdiri di meja lebar di depan ruang ganti dan mengangguk. 
Seorang perawat menyerahkan pakaian steril berwarna hijau pada Darmawan, Luna, Anna dan Aisah. Anna berlutut di hadapan gadis kecil itu ketika membantu menggulung tangan bajunya yang terlalu panjang. Sebisa mungkin ia menghindari kontak mata dengan sosok Aisah di hadapannya, hingga kedua telapak tangan gadis itu merengkuh wajah bundanya. Matanya yang berwarna coklat indah menatap mata ibunya. Mencoba mengatakan bahwa bukan hanya ia yang ketakutan di sini. Tapi gadis kecil itu juga ketakutan. Mereka semua ketakutan.
“Anna…” Luna menyentuh pundak Anna perlahan, memintanya segera bergerak. Anna mengangguk dan mengikuti kakeknya yang sudah terlebih dahulu melewati pintu ganda berkaca buram sebagai batas steril di ruang operasi itu.
Anna meremas kencang tangan kecil di genggamannya, namun tampaknya sosok itu sama sekali tidak merasa sakit. Karena yang kini hatinya terasa lebih sakit dari pada kulitnya tersayat-sayat pisau sekalipun. Ia menggigit bibir bawahnya untuk menahan isakannya. Dada dan tenggorokannya terasa begitu sakit karena menahan tangis.
Setelah Darmawan dan Luna, akhirnya Anna dan Aisah melangkah mendekati sosok yang terbaring lemah di ranjang kamar operasi untuk yang terakhir kalinya.
“Assalamu’alaikum kak Alan.” Anna mencium punggung tangan suaminya, begitu pula Aisah. Dan ketika mulutnya terbuka, bersiap mengatakan sesuatu, tangisnya pun pecah. Aisah menatap perih ibunya dan berjalan ke samping wajah Alan, mengecup kening ayahnya dengan penuh kasih.
“Assalamualaikum ayah. Ini Aisah…” ujarnya pelan, ia terus menggenggam erat gamisnya untuk membantunya menahan genangan air itu. “Ayah tenang saja. Eyang, nenek dan bunda baik-baik saja. Semuanya baik-baik saja, jadi ayah tidak perlu khawatir. Aisah akan menjaga semuanya. Aisah berjanji, jadi ayah tidak perlu cemas.” Aisah menyeka air matanya dengan punggung tangannya. Kemudian mengecup pipi pria itu. terasa dingin di bibirnya. “Aisah sayang ayah. Tapi kata bunda Aisah harus mengikhlaskan ayah pergi ketempat yang jauh. Bunda juga bilang, ayah akan menunggu kami di sana sambil membuatkan istana untuk kami. Tapi Aisah tidak ingin istana… Aisah hanya ingin ayah baik-baik saja di sana. Aisah akan mengirimkan doa-doa untuk ayah. Kata ummi itu adalah kado terindah untuk orang-orang yang akan pergi ke surga…
“Dan Aisah akan terus mengirimkan kado terindah itu untuk ayah. Aisah harap dengan itu ayah tau bahwa Aisah sangat mencintai ayah…” Aisah kembali mencium pipi ayahnya lebih lama, kemudian mengusap air matanya yang menempel di pipi ayahnya dengan ibu jarinya yang mungil. “Aisah sayang Ayah…”
Anna berhambur memeluk putrinya. Ia menangis penuh haru di balik pundak gadis itu. “Ayah… kami semua mengikhlaskan kepergian ayah… Eyang, nenek… aku dan bunda…” bisiknya lebih tenang. Anna mengangguk perlahan, dan melepaskan pelukannya.
“Iya kak, tenanglah di sana. Kami semua mengikhlaskanmu. Kami akan baik-baik saja di sini. Kami mencintaimu.” Anna mencium kening suaminya penuh kasih. “Aku mencintaimu kak. Alan…” bisiknya di telinga pria itu sebelum membacakan dua kalimat syahadat di telinganya. “Assalamualaikum kak, selamat tinggal.” Bisik Anna sebelum berlalu dengan keluarga kecilnya yang kini menunjukan setitik senyuman indah di wajah mereka.
“Kau tidak ingin menemui Raka dulu Ann?” Tanya Luna. Anna tersenyum dan menggeleng.
“Tidak ibu, aku harus segera pergi. Raka akan baik-baik saja, lagi pula… sudah ada gadis lain yang mengkhawatirkannya, dan akan menjaganya. Aku tidak perlu cemas akan sahabatku.” jawab Anna pelan.
Sekali lagi ia menoleh pada sosok kaku di balik pintu kaca ganda itu, dan tersenyum tipis sebelum berlalu pergi. Tanpa di sadarinya, setetes air mata tampak mengalir di kedua sisi mata yang sudah dua tahun lebih itu tidak pernah terbuka.
“Selamat tinggal suamiku, do’aku menyertaimu.” Bisiknya sebelum keluar dari ruangan operasi itu.


            “Anna…” tubuh lunglai Anna langsung mundur beberapa langkah ketika seorang wanita tua memeluknya dengan begitu erat. Beribu kali Aminah mengucapkan kata terima kasih dan maaf tanpa kata-kata lain yang menyertai kedua kata itu. Namun Anna sendiri tidak berharap mendengarkan kata lain. Toh kini hatinya mulai terasa kebas.
“Mana Zahra?” Tanya Anna susah payah.
“Zahra berada di panti bersama Ummi dan Amy,” jawab Arya yang berdiri tidak jauh darinya. Anna mengangguk pelan, kemudian melepaskan pelukan wanita itu.
“Ibu… sudahlah, aku ikhlas. Dan semoga Raka akan segera sadar. Aku harus segera pulang, ada banyak hal yang harus aku persiapkan.”
“Tidakkah kau menunggu hingga operasinya selesai?” Tanya Aminah sambil mengusap air matanya.
Gadis itu menggeleng perlahan. “Tidak bu, aku akan menunggu jenazah kak Alan di rumah, Assalamu’alaikum.” Air mata Anna kembali menetes ketika mengucapkan kata-kata itu, Luna merangkul pundaknya, sedangkan Darmawan memutuskan untuk pulang bersama Alan setelah operasi Raka selesai.
***
Raihan membanting pintu rumahnya dengan kasar. Wajah tampannya tampak memerah karena marah dan tangis yang tertahan. Dulu ketika umurnya lima tahun, ketika senyumannya selalu mengembang indah di wajahnya yang selalu mereka bilang lebih tampan dari Alan, ia pernah masuk dengan wajah seperti ini juga, sekuat tenaga ia menahan air matanya agar tidak dianggap cengeng oleh bocah-bocah lain yang tengah mengoloknya. Ban sepeda barunya bocor karena ulah anak-anak kampung itu, dan Raihan kecil tidak berani membalas mereka. Tubuh mereka terlampau besar, dan mereka berjumlah 4 orang, sedangkan ia hanya sendiri.
Raihan kecil begitu marah, ia meninggalkan sepedanya sambil berlari, namun ia tidak menangis, tidak sama sekali karena ia menahan air mata itu sekuat tenaga. Hingga Alan menghampirinya.
“Ada apa?” Tanya Alan.
“Mereka merusak sepeda baruku.” Ujar Raihan sambil menggigit bibir bawahnya. Alan mendesis kesal dan melirik kearah gerbang dengan marah. “Kakak mau kemana?” Tanya Raihan cemas ketika Alan keluar dari rumahnya. “Mereka berbadan besar dan mereka berempat, kakak pasti kalah.”
“Kau diamlah di rumah. Jangan katakan pada ibu aku pergi kemana. Aku akan segera kembali.” Jawab Alan sungguh-sungguh. Raihan mengangguk kecil, matanya menyiratkan ketakutan dan harapan pada sosok Alan.
Raihan menepati janjinya, ia tidak pernah mengatakan pada siapapun jika Alan berkelahi dengan bocah-bocah itu. Meski tentu saja Luna sudah mengetahuinya ketika melihat memar-memar di wajah putra sulungnya ketika ia pulang dengan menuntun sepeda baru adiknya yang sudah diperbaiki. Raihan bersorak riang dan langsung menaiki sepedanya mengitari halaman rumahnya yang luas, sejenak melupakan sosok kakaknya yang terluka di beberapa bagian wajah dan tubuhnya.
Dan selalu begitu, selalu Alan yang menjadi pelindungnya, selalu Alan yang menjadi kambing hitam dalam setiap kelakuan buruknya. Bahkan Alan pernah mengakui jika ia lah yang mencuri uang di dompet ibunya, padahal tentu saja semua orang tau Alan adalah sosok yang sangat penurut dan tidak pernah melakukan hal buruk seperti itu. Bahkan mungkin sosok Alan tidak pernah memikirkan hal seperti itu sedikitpun, dan itu membuat Raihan jengah. Menuntutnya untuk melakukan hal-hal buruk agar bisa menarik perhatian ibu dan kakeknya. Namun siapapun tau itu tidak berhasil.
Selalu Alan yang menjadi pahlawan, dan ia pencundang, selalu begitu.

“ANNA!!” teriak Raihan, suaranya begitu lantang hingga rasanya mampu meruntuhkan rumah itu dengan hanya sekali teriakan lagi. Sosok kecil Aisah mengintip dari balik tangga. “Mana Anna?!” Tanya Raihan pada gadis itu, namun Aisah hanya terdiam, menatap takut kepadanya.
“Tuan muda, tidak baik berbicara membentak seperti itu pada anak kecil,” ujar bik Sumi pembantu rumah tangga mereka.
“Ah, persetan! Mana Anna?!” geramnya marah.
“Bibi tidak tau, mungkin ada di kamarnya.” Ujar bik Sumi seraya melirik pada sosok Aisah dan menyuruhnya pergi dengan gerakan tangannya. Namun gadis itu tidak bergeming, ia tetap berdiri di sana sambil mencengkram pembatas tangga. Matanya membulat penuh ketakutan, namun jelas tidak ingin berpaling. Beberapa orang yang tengah mempersiapkan kedatangan Alan tampak melirik iba pada sosok Raihan.
“Anna!!!” panggilnya lebih kencang.
“Raihan…” Luna berdiri di depan pintu kamarnya di lantai satu. Mata tuanya menyiratkan luka yang amat mendalam. “Ada apa? Mengapa kau mencari Anna? Ibu ada di sini jika kau perlu bicara.”
“Aku tidak perlu bicara pada ibu! Tidak ada gunanya!! Tidak ada gunanya berbicara pada seorang ibu yang membiarkan anaknya mati!!” pekiknya kesal. Wajahnya semakin memerah.
“Astagfirullah Raihan…” Luna menutup mulutnya yang terbuka dengan kedua tangannya. Hatinya begitu perih mendengar perkataan putra bungsunya itu. “Raihan, ibu—“
“Jangan menyangkal!!! Kalau bukan karena Anna yang menangis siang malam di sisi kak Alan, ibu pasti sudah membiarkan kakek menyuruh dokter untuk memberikannya suntikan mati kan?!”
“Raihan!!!” pekik Luna tidak percaya dengan apa yang ia dengar.
“Kalian semua mengharapkan kak Alan pergi. Kalian semua!! Bahkan si kakek busuk itu!!!” Raihan menendang salah satu guci porselen yang terdapat di sisi ruang tamu hingga pecah berantakan. Kemudian dengan masih menggenggam kemarahan itu ia naik ke lantai atas. Ia sudah muak dengan segala kisah klise di hadapannya. Ia sudah muak dengan scenario busuk yang di buat orang-orang sekelilingnya.
Aisah menatap sosok jangkung Raihan sambil mencengkram mukenanya ketika pemuda itu berjalan tergesa melewatinya. “Bunda sedang shalat,” bisik Aisah. Namun Raihan tidak peduli, dengan keras di bantingnya pintu kamar Anna.
Gadis itu duduk di atas sajadahnya, dengan dua tangan mengadah ke atas, wajahnya yang cantik tersembunyi di balik mukenanya yang sedikit basah. Samar-samar terdengar tasbih yang tiada putusnya ia lafalkan. Begitu pelan, begitu lembut, dan menyayat hati. Ketika mendengar pintu kamarnya di buka dengan sangat keras, ia menoleh perlahan. Matanya yang indah tampak basah.
“Apa jenazah suamiku sudah datang?” tanyanya pelan.
Bruk.
Raihan menjatuhkan tubuhnya di ambang pintu, duduk berlutut, kehilangan seluruh kekuatannya. Dengan perlahan ia menunduk, membiarkan tetesan air matanya mengalir. “Mengapa selalu ia yang menjadi pahlawan di setiap kesalahanku? Mengapa selalu dia?! Dia tidak bersalah. Aku yang bersalah, aku yang bersalah. Namun kenapa dia yang berkorban. Kenapa dia yang memilih mati?!”
Anna menatap adik iparnya penuh kesedihan, namun yang ia khawatirkan adalah sosok Aisah yang tampak terguncang di belakang pemuda itu. “Harusnya aku yang bertanggung jawab atas semua kesalahanku. Harusnya aku! Harusnya aku yang di rumah sakit, bukan kak Alan. Tapi kenapa lagi-lagi dia?!”
“Karena Alan tau… ibu tidak akan pernah bisa kehilanganmu.” Bisik Luna pelan. “Alan tau betapa besarnya cinta ibu untukmu, hingga ia selalu ingin melindungimu, ia ingin selalu membahagiaakan ibu dengan menjagamu, meski itu artinya dia akan mempertaruhkan dirinya sendiri…”
“Ibu tidak pernah mencintaiku! Ibu selalu mengatakan kalau ibu mencintai satu-satunya putra ibu, dan itu kak Alan!”
“Alan bukan putra kandung ibu, kaulah satu-satunya putra ibu.” Raihan terpaku menatap sosok ibunya. “Tapi ibu tidak pernah tau bagaimana caranya untuk menjelaskan semua itu padamu. Ibu mencintai kalian berdua. Kalian adalah harta ibu yang paling berharga, kalian adalah semesta dalam kehidupan ibu. Ibu sangat menyayangi kalian, ibu mencintaimu. Tapi kau selalu menghindar, kau selalu menutup mata akan kenyataan itu, kau selalu beranggapan jika Alan adalah segalanya, padahal kau salah. Kau dan Alan adalah satu kesatuan yang tak bisa dipisahkan. Dan demi Allah putraku, ibu tidak pernah menginginkan kepergian Alan. Ibu juga mencintainya… ibu sangat mencintainya, namun ketika Allah ingin mengambil lagi apa yang telah Dia titipkan pada kita makhluknya, apa yang bisa kita lakukan lagi selain mengikhlaskannya?
“Raihan… hidup dan kematian seseorang itu sepenuhnya ada di tangan Allah. Bagaimanapun caranya, kapanpun… dan bahkan di manapun, semuanya sudah digariskan. Kita hanya makhlukNya yang buta, yang bisa saja diambil kembali oleh-Nya sewaktu-waktu. Yang bisa kita lakukan hanya bertawakal dan berserah diri, melakukan kebaikan selagi kita sempat, menyiapkan bekal hingga akhirnya waktu kita tiba…
“Begitu pula dengan Alan. Ibu juga merasakan kepedihan yang sama dengan kalian semua, tapi apa lagi yang bisa ibu lakukan? Apa nak? Ibu hanya bisa mendoakan putra ibu, hanya itu yang bisa dilakukan seorang ibu.” Luna menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya ketika tangis itu pecah. Hatinya begitu perih. Ia mencintai Alan, namun ia tidak bisa melakukan apapun untuk mempertahankan putranya ketika sang pencipta memutuskan untuk mengambilnya kembali.
“Ibu… maafkan aku…” bisik Raihan seraya memeluk ibunya.

11 komentar:

Unknown mengatakan...

zia kau bwtq galau

Wong Ndablek mengatakan...

Wah cerita yang sangat bagus dan mengharukan...thanks Gan...

Unknown mengatakan...

cup cup mba shima,
*sstt entah mengapa pas nulis bab ini aku pun sampai menitikan air mata.. serasa ga terima. wkwkwkw

makassi om (eh apa mba yah.. hehe)
:) :)

lovelywoman1 mengatakan...

cher tanggung jawab! Aq nangis tengah mlem T.T
Hiks hiks.. Alan mati??? G' ikhlas... :'(

Unknown mengatakan...

aduh sedih lagi, nangis lagi Kasihan Alan Mksh Cherry :-)

Unknown mengatakan...

aku ngga tau awalnya huhu dulu antara Anna Alan Raka .
sebenarnya Anna cintanya sama Raka apa Alan ?
apa duaduanya ?

Unknown mengatakan...

Ziaaaaaaaaa...kw m'buatku menangis dikantor,,,
Tanggung Tanya !

Lanjutanny pliiis Ziaaaa....

Fathy mengatakan...

Zia cantik,,,,

º°˚˚°º♏:)ª:)K:)ª:)§:)Ǐ:)♓º°˚˚°º Ɣª sayang....
Msh boleh berharap ƍäªk kl Alan hidup?
Biar aja Raka y∂n6 mati. Zahra nikah sama Raihan. Cos kaya'a Raihan suka ma Zahra #sotoy....

Kata2'a indah sayang,,, jd mau bs bikin crta kaya Zia...

Once again keep writting cantik...

Unknown mengatakan...

Slm kenal cherry... Cerita Πγª bagus ngt dn sedih smpe nangis dsiang bolong..

Nunaalia mengatakan...

@cherry; yg baca aja nangis, apalagi yg nulis

Nunaalia mengatakan...

setelah bab ini ngeliat kesedihan raihan jadi berpikir gmn kalo anna sm raihan aja *emosi udh diaduk2 niy jadi berubah pikiran deh hehe...