Senin, 04 Maret 2013

LOVE RAIN part 2



10 tahun kemudian.
Hari itu hujan turun dengan begitu derasnya, menemani petir yang seakan ingin berlomba menunjukan suaranya yang paling memekakan telinga.
Aku berdiri sendiri memangdang hujan dari balik jendela kamarku yang usang. Jemariku menggenggam erat pegangan kursi yang ku duduki. Mata rabunku menatap tetesan hujan itu dengan hati perih.
“Hujan lagi,” bisik suara di belakangku. Aku tersenyum, namun tidak menoleh. Bahkan ketika ia duduk di sampingku, dan menarik tubuh tuaku ke dalam pelukannya aku hanya bisa tersenyum tipis. Mencoba menyesapi aroma tubuhnya yang membaur dengan aroma hujan. “Aku masih ingat ketika hujan kala itu, ketika aku hampir saja menyerah dan kehilanganmu,” bisiknya di telingaku. Aku tersenyum tipis dan terus menatap hujan. “Itu adalah hari yang paling buruk dalam hidupku.”
“Tapi aku sangat menyukai hujan,” bisikku di dadanya. Aku bisa melihat segores senyumannya dari balik bulu mataku. “Karena hujan mengingatkanku padamu. Pada hari pertama kedatanganmu, pada kala pertama aku melihat sosokmu mendengus di depan ruang kepala sekolah, pada luka yang juga kau berikan ketika akhirnya kau pergi untuk mengambil beasiswa itu.”
“Maafkan aku…” bisiknya tulus. Aku menggeleng di dalam dekapannya.
“Tapi toh akhirnya aku bersyukur, karena hujan jugalah aku mengalami kecelakaan itu dan membawamu kembali kepadaku.”
“Jangan berkata bodoh. Tidak ada hal baik dari kejadian yang hampir menewaskanmu itu!” ujarnya sungguh-sungguh. Aku terkikik pelan di dadanya.
“Tapi jika bukan karena itu, kau tidak akan mengakui betapa kau mencintaiku.”
“Aku mencintaimu,”
“Aku tau.”
“Aku tidak membutuhkan kejadian itu lagi untuk meyakinkan diriku betapa takutnya aku kehilanganmu.”
“Aku tau.” Balasku sambil tersenyum. Sosok itu mendekapku semakin erat.
“Ayo tidur.” Ajaknya, dan aku berjalan mengikutinya menuju ranjang yang sudah kami tempati bersama selama sepuluh tahun lamanya. Seperti biasa ia akan mendekapku dalam tidurnya, mencium keningku sepanjan malam, menghangatkanku dengan pelukannya.
“Aku mencintaimu.” Bisikku pelan. Ia tersenyum dan mengangguk dengan mata terpejam.
“Aku tau, sekarang ayo tidur.” Ujarnya.
“Aku senang kau tau, tapi kau tetap tidak akan pernah menyadari seberapa besarnya cinta itu.”
“Elena…” bisiknya menegur. “Aku tau, karena akupun memiliki rasa yang sama besarnya denganmu,” tuturnya sambil menatap kedua mataku dalam-dalam. Aku tersenyum tipis dan mengecup bibirnya perlahan.
“Terima kasih.” Bisikku kemudian membenamkan wajahku di dadanya, menghirup dalam-dalam aroma tubuhnya yang menenangkan.
Sudah sepuluh tahun lamanya sejak kejadian di rumah sakit senja berhujan kala itu, dan semuanya tampak terus membaik. Aku memiliki keluarga kecil yang sangat manis. Dengan Clara dan Sara sebagai buah hati kami. Aku benar-benar bahagia, dan tidak membutuhkan lain untuk hidupku.

Saat itu, aku pikir aku yang akan meninggalkannya terlebih dahulu. Dan kami akan terpisah begitu saja, namun ketika aku membuka mataku pagi itu, aku sadar, aku tidak akan pernah bisa meninggalkannya sebenci apapun aku padanya. Selalu ia yang meninggalkanku, seperti saat ini. Ketika dengan tenang wajahnya terpejam di sampingku, aku mulai merasakan kedinginan dan kekosongan dalam hatiku. Namun melihat wajahnya yang begitu tenang, yang bisa ku lakukan hanya tersenyum tipis, kemudian mencium keningnya perlahan. Mengucapkan selamat pagi dan selamat tinggal – untuk yang terkahir kalinya.
Ya, pada akhirnya selalu ia yang meninggalkanku, namun kali ini aku tidak merasakan keperihan sama sekali. Karena ketika hujan itu datang, aku masih tetap bisa merasakan kehangatannya seperti dulu.
***
“Moma…” bisik putri cantik di sampingku. “Sebentar lagi hujan, sebaiknya kita segera pulang.” Ujarnya lagi. Aku mendongkak untuk melihat langit yang mendung kemudian mengangguk padanya. Tanpa ia sadari aku memang menunggu hujan itu datang, karena hanya dengan kehadirannya lah aku bisa merasakan kehadiran pria terbaikku.
“Tapi—“
“Moma, Clara sudah menunggu di mobil. Kalisa sudah mengamuk.” Tegur Sara dengan senyuman kikuknya. Aku terkekeh pelan. Ah Danis, kau lihat, semuanya tampak begitu indah bukan?
Sara memiliki dua mata indah sama seperti matamu, dan Clara mewarisi struktur wajahmu yang sempurna, dan bahkan sekarang cucu kecil kita, Kalisa, juga mewarisi bibir indahmu. Kau harus berbahagia di sana, karena aku juga bahagia di sini, dan aku tidak ingin mendengar keluhanmu akan hujan kala itu lagi.
Aku mencintai hujan. Kau tau itu. Seperti aku mencintaimu, dulu, sekarang dan selamanya.

THE END

6 komentar:

Unknown mengatakan...

Aku terenyuh bgt baca kisahnya sist...

Unknown mengatakan...

Ceritanya berlanjut ya mbak dari cerpen cerpen di bawaaaah . Huuh hebaaaaaat :D
tapi sedih yang refrain dari part satu sampai dua , apa lagi yang terakhi .

zhuzhy mengatakan...

bagus mbakkkk.....
sukaaaaaa......

lovelywoman1 mengatakan...

cher ini kisah nyata apa fiksi???
Ato terinspirasi dr kisah nyata yg di kembangin??? Ato hanya skdar fiksi imajinasi qmu?? crta yg bgussss...!

Ah bner2 ngena di hati..
Thanks cherry ;)

Unknown mengatakan...

wahhh aku merasa sangat tersanjung...
terima kasih semuanya yang udh mau baca coretan asalku ini... :) :)

mba Ashia Shila, mba Ara, mba Zuzhy.. makasii yahh :) :)

iya mba Ara, tapi tadinya mau di buat kisah potongan2 aja, jadi nulisnya klo lagi mud doang, hihihi

mba Sila, ini kisah fiksi...
kalo kisah nyata, ga yakin deh bisa sesabar itu... *nangis di pojokan*
makasi juga mba sila.. :*

Fathy mengatakan...

( '́⌣'̀)/(´._.`) cherry, sila, ara, ashia, zuzhy, msh butuh tissue?? :)


Ending Чªήğ bagus cherry sayang keep writing yah cantik...