Senin, 11 Maret 2013

Let Me Die



“Biarkan aku mati Tuhan! Biarkan aku mati!!!” teriakku menantang maut, hembusan angin petang itu sangat kencang hingga terkadang aku berpikiran bisa saja angin-angin tak bernyawa itu menerbangkanku, menghempaskan tubuhku hingga ke awan, kemudian menjatuhkanku tepat di atas bebatuan runcing.
Itu akan mempermudah semuanya, aku tidak akan merasakan semua rasa sakit itu. Well, mungkin aku akan merasakannya, namun tidak akan lama. Batu runcing itu akan menghantam bagian belakang tubuhku, dan kepalaku. Memecahkannya dalam sekali benturan, mengoyak seluruh serabut syaraf dalam kepalaku, mematahkan tulang belulangku. Dan semuanya hanya akan terjadi dalam waktu sekejap.
Atau tidak?
Tapi bagiku sakit itu tidak lah menjadi hal yang terlalu penting lagi. Sakit dalam hatiku sudah membuat tubuhku mati rasa untuk menerima rasa sakit yang lain. Jadi, peduli setan dengan seluruh kesakitan sebelum kematian itu!
Klise memang, atau kau bisa menyebutku sebagai gadis yang terlampau berlebihan. Tapi kau juga akan merasakannya nanti, ketika kau jatuh cinta untuk yang pertama kalinya, pada sosok yang langsung memegang predikat istimewa di hatimu, pada sosok yang tidak akan pernah bisa digantikan oleh beribu pangeran tampan berkuda putih lainnya.
Ia bukan seorang pangeran, ia tidak membawa kuda putih, tidak ada kelopak mawar indah yang bertebaran di sekeliling kami ketika pertama kali kami bertemu. Kala itu hujan, dan ia tampak lusuh dengan wajah kesalnya karena hujan yang mengenai beberapa bagian pakaiannya. Ia tampak sibuk dengan upaya ‘pengeringan’ nya yang tentu saja tidak berguna. Namun, aku jatuh cinta padanya, pada pria jangkung berkemeja abu-abu itu.
Semudah itu.
Tapi jika kenyataannya cintaku hanya akan menyakitinya, aku menyerah. Dia tidak menyukaiku, aku tau. Dia membenciku, aku tau. Tapi aku yang mencintainya, itu yang tidak pernah ia tau.
Kini, ketika akhirnya aku menyerah untuk menghilangkan rasa cintaku padanya, yang sudah terlampau tumbuh berakar dalam diriku. Ku rasa hanya ada satu jalan, membunuh diriku sendiri. Memusnahkan seluruh rasa itu dari bagian terdasarnya… tubuhku… lalu jiwaku… dan rasa cinta itu pun akan memudar begitu saja…
“Tuhan… biarkan aku mati!!! Biarkan aku mati!!!!!!” teriakku pada langit. Namun bukannya menjawab do’aku, Tuhan malah menurunkan hujan yang sangat lebat. Sontak aku langsung berlari menghindar sambil mengeong.
Astaga… apa Tuhan lupa kalau kucing tidak suka hujan?  Batinku menggerutu, namun Tuhan tidak pernah lupa. Inikah jawabannya atas doaku??
“Apakah kau lupa jika dia alergi kucing?” Tanya seekor kucing di belakangku. Aku memalingkan wajahku darinya, berharap semudah itu juga memalingkan wajahku dari kenyataan itu. dan lalu mati seketika.


5 komentar:

lovelywoman1 mengatakan...

aih.. Awal't udh sedi2 T.T
Ending'y bkin ngakak :D
hahahah bgus cher..!

Fathy mengatakan...

Sila ( '⌣')人('⌣' )

Pdhl dh berkali2 baca tetep aja ngakak baca ini...

Fathy mengatakan...

Sila ( '⌣')人('⌣' )

Pdhl dh berkali2 baca tetep aja ngakak baca ini...

Fathy mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Nunaalia mengatakan...

hahahahaaaa...lagi-lagi ketipu sm kucingnya cherry!