Selasa, 05 Maret 2013

CAHAYA CINTA -13-



Dunia akan selalu berputar, Anna meyakini hal itu. Ia sudah mempelajarinya sejak duduk di sekolah dasar dari setiap orang yang ditemuinya, bersabar dan bertawakal, niscaya Allah memberikan jalan. Bertahun-tahun lamanya ia meyakini hal itu, dan saat ini, ketika rasanya semua kisah itu terlalu perih untuk dijalaninya Anna merasakan mendapat sebuah cahaya lain di tengah keterpurukannya.
Sosok kecil itu, sosok Aisah yang tengah tidur di atas ranjang kecilnya, membuat hati Anna kembali mendesir. Ia tidak lagi sendiri, ia memang tidak tau apakah Alan akan sadar kembali atau tidak. Tapi ia tidak sendiri lagi, ada seorang gadis kecil yang berada di bawah tanggung jawabnya, gadis kecil yang begitu disayanginya.
Anna berjalan perlahan menuju ranjang Aisah yang berbalut seprai berwarna pink dengan motif bunga berwarna-warni, kemudian ia merebahkan tubuhnya sendiri di samping Aisah, mendekapnya erat-erat, menangis terisak di balik rambut hitamnya, menghujani kening gadis itu dengan air matanya.
“Sayang… kakak akan menjagamu, apapun yang terjadi.” Bisik Anna di telinga Aisah sebelum terlelap dalam kelelahannya.
***
Hujan itu turun dengan sangat deras, dengan petir yang saling bersahut-sahutan membuat malam semakin mencekam. Seorang gadis berkerudung abu-abu muda tampak berdiri sendiri di samping jendela kamarnya di lantai dua. Matanya terfokus menatap jalanan yang gelap dan basah, kedua tangannya terlipat di dadanya, tidak ada setetes air mata pun yang mengalir di wajahnya, begitu datar dan dingin. Tubuhnya yang kaku menghadap lurus pada lemarinya yang terbuka, menampakan kebaya cantik yang membisu dalam keheningan malam. Tidak ada suara lain yang terdengar kecuali suara hujan, petir dan detakan jarum jam yang menunjukan kesunyian di sekitar sosok cantik itu.
Mata indahnya sedikit menyipit ketika melihat sebuah mobil bergerak masuk ke pekarangan panti. Ia tidak mengenali mobil itu, namun sekilas ia bisa melihat sosok tampan yang duduk di balik kemudinya. Dengan kemeja krem dan rambut hitam yang berantakan, kedua tangannya mencengkram kemudi, matanya terpaku pada setir di hadapannya. Tampak begitu sibuk dengan segala pemikirannya.
Zahra mulai merasa perutnya melilit karena perasaan bahagianya. Raka kembali! Dan Raka kembali untuknya! Untuknya seorang!!
Dengan cepat Zahra berlari menuruni tangga, mencoba mengejar semua mimpi yang ada di hadapannya, mencoba meraih cintanya. Namun lagi-lagi ia terlambat, lima detik sebelum ia membuka pintu ganda gedung tua itu, mobil yang dikendarai Raka sudah melaju dengan sangat cepat. Meninggalkan Zahra yang mematung di ambang pintu dengan tatapan tidak percaya. Tangannya masih menggenggam handle pintu, kerudung abu-abunya masih berkibar karena udara malam yang di sertai hujan itu, bahkan dadanya masih terasa sesak karena berlari. Namun ia tetap saja terlambat. Atau mungkin ia memang tidak pernah memiliki kesempatan itu? Kesempatan untuk mendapatkan cinta yang mereka katakan indah itu?
***
“Bunda…”
Anna mengernyitkan keningnya ketika merasakan sentuhan lembut di pipinya. Dengan perlahan ia membuka kedua matanya, dan mendapati senyuman indah dari wajah polos di hadapannya. Anna tersenyum lembut dan mengecup kening gadis itu.
“Bolehkah aku memanggil kak Anna dengan sebutan itu?” tanyanya lugu. Anna melepaskan dekapannya sedikit agar bisa menatap kedua mata jernih milik Aisah.
“Tentu sayang, tentu saja…” bisiknya lembut penuh kasih, kemudian kembali mendekap sosok mungil di hadapannya. “Ayo kita shalat subuh, lalu nanti kita akan menjenguk ayah.” Ujar Anna dengan senyuman mengembang. Aisah tersenyum tipis dan mengangguk, betapa indahnya senyuman itu, tampak sangat berbeda dengan air mata yang mengalir ketika sosok cantik itu memejamkan matanya.
***
“Kau tidak bisa melakukan itu!”
“Melakukan apa ibu?”
“Menyakiti Zahra.”
Lalu hening cukup lama.
Raka yang tengah membereskan berkas-berkasnya di ruang tamu langsung tertegun. Ia meletakan kembali lembaran terakhir yang ia pegang ke atas meja, membiarkannya membaur dengan kertas-kertas polos lainnya. Kemudian menyandarkan tubuhnya ke sofa, memejamkan matanya dan memijit pangkal hidungnya. Mencoba menenangkan kerutan di antara kedua matanya.
“Ibu, aku tidak bermaksud—“
“Tapi kau sangat melukainya. Zahra mencintaimu Raka, ia sangat mencintaimu, tidakkah kau melihat itu? Tidak kah kau menyadarinya? Bagaimana mungkin kau tega melukainya. Ia sangat rentan jatuh Raka.”
“Ibu—“
“Kau harus memutuskannya Raka. Ibu sudah tau tentang kehidupan Anna. Ibu sudah tau semuanya dari Amy, dan sejujurnya ibu pun merasa kasihan kepadanya. Tapi kau sudah mengkhitbah Zahra. Kalian akan segera menikah sebulan lagi. Tidakkah kau mengerti?
“Aku—“
“Ibu tidak pernah mengharapkan kau menjadi anak yang sempurna Raka. Ibu menyayangimu dengan sepenuh hati ibu. Ibu hanya ingin yang terbaik untukmu. Hidup ini selalu memiliki pilihan, kau pun tentu mengerti hal itu. Dan terkadang pilihan yang diberikan tidaklah selalu sesuai dengan hati kita. Tapi itu jalannya Raka. Tidak selalu ada cahaya di hadapanmu, terkadang kau harus berusaha terbangun dari mimpi indahmu, meninggalkan seluruh imajinasi semumu, dan akhirnya menemukan cahaya indah yang sebenarnya.”
“Aku mengerti ibu,” ujar Raka pelan, wajahnya masih tertunduk menatap huruf-huruf yang tertulis di lembaran putih di hadapannya.
***
            Aisah mencium punggung tangan pria yang masih terbujur lemah itu dengan perlahan. Ia tidak mengenalnya, belum, namun hatinya terasa begitu pedih ketika melihat tatapan sendu Anna yang kini duduk di samping ranjangnya.
“Assalamua’alaikum papa…” bisiknya pelan. Segores senyuman manis terukir di wajahnya yang mungil. Luna yang berdiri di belakang Anna tampak terhanyut oleh pemandangan itu. Kini ia baru menyadari betapa semunya kehidupan mereka di rumah itu, betapa kelamnya. Dan kehadiran sosok mungil Aisah seakan menjadi lentera untuk mereka semua.
Anna tersenyum tipis pada putri kecilnya, mata indahnya tampak basah oleh air mata haru, dengan perlahan ia melirik sosok mertuanya yang juga turut tersenyum menatap sosok Aisah.
“Ayah, hari ini Aisah dan bunda memetik beberapa bunga mawar. Ayah pasti suka, warnanya putih dan pink. Aisah tidak pernah memetik bunga itu sebelumnya, di panti semua bunga dibiarkan melayu sendiri di pohonnya. Tapi di sini begitu banyak bunga yang indah. Aisah juga suka bunga yang berwarna ungu dari kebun nenek, semuanya harum.” Tutur Aisah sambil terus tersenyum. Air mata Luna perlahan menetes ketika mendengar kisah dari mulut mungil gadis itu. Direngkuhnya wajah Aisah secara tiba-tiba, membuat gadis kecil itu langsung menghentikan ceritanya dan menatap Luna penuh Tanya.
“Apa Aisah tidak boleh memetik bunga itu nek?” tanyanya takut.
“Tidak sayang. Kau boleh memetiknya sesukamu. Kau boleh melakukan apapun yang kau inginkan. Semua itu milikmu.” Ujarnya dengan senyuman dan air mata di saat yang sama. Wajah mungil Aisah kembali tersenyum, hilang sudah kerutan ketakutan yang sempat terukir di wajahnya.
“Kalau begitu Aisah akan memetikan beberapa bunga lagi untuk ayah.” Katanya riang sambil turun dari ranjang Alan. Tangan kecilnya merapihkan gamis putih yang sedikit kusut di bagian pahanya.
“Boleh eyang ikut denganmu?” Tanya Darmawan yang tiba-tiba sudah berdiri di ambang pintu kamar putranya. “Eyang bisa membantumu membersihkan duri-duri mawarnya, kalau tidak keberatan.” Tambah Darmawan sedikit kikuk. Anna menatap sedih lelaki tua itu. baru kali ini ia melihat sosoknya yang tegas tampak lebih hidup. Mata tuanya tampak berbinar indah.
“Hm, sebenarnya Aisah tidak ingin memetik mawar,” ujar Aisah sambil mengangkat bahu kecilnya. “Aisah ingin memetik bunga lily,” tambahnya membuat sosok tua Darmawan tersenyum tipis dan mengangguk. “Tapi kalau eyang mau, eyang bisa membantu Aisah membawanya.” Ujar Aisah dengan senyuman yang mampu membius siapapun yang melihatnya untuk turut tersenyum.
“Eyang mau.” Ujar Darmawan cepat.
“Kalau begitu ayo! Siang nanti Aisah masih memiliki banyak janji,” ia meraih jemari tua Darmawan dengan penuh sayang.
“Janji?” Tanya Darmawan geli.
“Iya, Aisah akan menemui Anisa dip anti. Iya kan bun?” wajah kecilnya kembali menoleh pada Anna yang langsung menangguk sambil tersenyum.
“Iya sayang…” jawabnya lembut.
Kemudian dengan senyum yang masih mengembang Aisah menarik tangan tua Darmawan keluar kamar yang bernuansa biru itu. Ia berjalan satu langkah di hadapan Darmawan, sebisa mungkin menyembunyikan air mata yang perlahan menetes dari mata indahnya.
***
“Aisah!!!” teriak Anisa ketika melihat sosok gadis kecil bergamis putih itu berlari-lari kecil di pekarangan panti. Hari itu adalah hari jum’at, waktunya seluruh sahabat panti libur sekolah dan melakukan kerja bakti bersama untuk membersihkan panti. Ummi Aisah yang tengah menyapu halaman dengan beberapa gadis lain langsung menoleh dan tersenyum pada Anna yang berjalan di belakang sosok mungil Aisah.
“Assalamua’alaikum Ummi, mana Amy dan Arya?” Tanya Anna sambil mengedarkan pandangannya ke sekeliling panti.
“Walaikum salam Anna. Arya sedang mengantarkan Amy ke kampus. Ada yang harus diselesaikan lagi.” Jawab ummi seraya meletakan sapunya di samping pohon belimbing yang cukup besar. “Bagaimana kabar suamimu?”
Anna tersenyum tipis kemudian menatap sosok Aisah yang tampak tengah berbincang seru dengan sahabatnya. “Apa Anisa benar-benar tidak bisa pergi dari sini Ummi?” tanyanya pelan.
“Ibunya berjanji akan kembali mengambil Anisa di usianya yang ke sepuluh.” Jawab Ummi seraya turut menatap kedua gadis itu. Anna menghela nafas perlahan dan mengangguk.
“Kak Alan masih baik-baik saja Ummi, tapi saat ini aku tidak lagi memikirkan tentang hal itu. Bukan berarti aku tidak lagi memikirkan suamiku, bukan seperti itu. Hanya saja, sekarang aku memiliki Aisah yang harus ku jaga baik-baik. Aku berencana membawanya pergi ke Kairo. Aku ingin meneruskan studiku, dan aku tidak ingin meninggalkannya sendiri.”
Ummi tersenyum tipis penuh pengertian. “Ummi mengerti Anna.” Bisiknya begitu lembut dan keibuan.
“Tapi mungkin Aisah akan sangat sedih jika harus berpisah dengan sahabatnya.” Pandangan Anna kembali menerawang jauh.
“Anna…”
Anna menolehkan kepalanya ketika mendengar panggilan itu. Matanya menyipit dengan pandangan tidak percaya. Namun dengan perlahan senyumannya mulai mengembang. “Ibu…” bisiknya pelan seraya berlari memeluk sosok tua Aminah yang datang bersama putranya.
Aminah mencium puncak kepala gadis itu berkali-kali, memeluk erat tubuhnya dan menangis di balik pundaknya, membuat sepasang mata lain tampak basah penuh air mata kecewa.


Anna duduk di samping Aminah, dengan kedua tangan wanita tua itu terus menggenggam tangannya. Mereka tidak lagi berkata-kata, hanya saling memandang, menumpahkan seluruh kerinduannya selama ini. Raka duduk tidak jauh dari tempat duduk Anna dengan ibunya. Berkali-kali ia memalingkan wajahnya dengan perih, merasa hatinya mulai kembali luluh melihat pemandangan itu. Di hadapannya, sosok Zahra tampak tegang dengan mata yang sedikit sembab.
“Maaf, mungkin sebaiknya aku pergi.” Ujar Anna.
“Tidak sayang, tidak. Kau tidak harus pergi. Ini juga tentangmu.” Ujar Aminah. Baik Raka, Zahra maupun Anna sendiri langsung menatapnya penuh Tanya. Ummi yang sedari tadi hanya terdiam ikut menghela nafas panjang.
“Ibu…” tegur Raka pelan.
“Raka, ibu sudah memutuskan. Kalau nak Zahra tidak keberatan ibu ingin Raka menikahi Anna juga.” Ujarnya.
Deg…
Mata indah Zahra langsung terbelalak. Kedua tangannya jatuh begitu saja di sisi tubuhnya, mulutnya ternyanga lebar dengan pandangan yang menyiratkan ketidak percayaannya.
“Ibu!” Raka menatap ibunya tak berkedip.
“Maafkan ibu,” bisiknya pada putranya sambil meremas jemari Anna yang membeku di sampingnya.
Dengan perlahan Zahra menyandarkan punggungnya yang tegang ke sandaran sofa. Ia memalingkan wajahnya ketika tetesan air mata itu mengalir di pipinya. Hatinya hancur berkeping, penuh kekecewaan dan luka. Ia menggeleng-geleng perlahan sambil meremas rok panjangnya. Ia sudah memperkirakan kemungkinan ini akan terjadi, ia hanya kurang menyiapkan dirinya sendiri ketika akhirnya jatuh terhantam pada kepahitan itu.

Aku tau…. Aku tau akan seperti ini jadinya, aku hanya merasa belum bisa menahan sakitnya.
Ya Allah… mereka bilang kau penguasa segala hati di dunia ini, ku mohon, ku mohon… butakan lah hatiku untuk kali ini saja, karena rasanya aku sudah tidak bisa menahan luka itu. ku mohon…

6 komentar:

Unknown mengatakan...

Sdih bgt..:'(
Ksian..
Jgn dong..:'(
Anna sma alan aj
Raka n zahra..:'(

Unknown mengatakan...

Mbak.. Ak mnta ijin bwt ambil kata2 yg "if u r not the one" boleh?
Bwt iseng2 ak truh d blog..:D
Kata2ny pas bgt sma prasaanku.. Hiks..:'(

Unknown mengatakan...

wahh... mba lagi galau yah... hehehehe
if u are not the one... hm.. aku lupa deh yg mana, hihihihi atau yg lagu itu yah,

silakan mba, ambil aja yang di suka... :) *serasa jualan, hehehehehe

Unknown mengatakan...

@mbak cherry : mksih..:D.. Iya nih.. Lgi galau bgt..:p

Unknown mengatakan...

ziaaaaa,,,,kasian Zahra,,,
Hmm,,tapi smuanya t'gantung Authorny sih,,,
Hehhheheee

Fathy mengatakan...

Zia sayang º°˚˚°º♏:)ª:)K:)ª:)§:)Ǐ:)♓º°˚˚°º Ɣª CC nya dh di post ampe 3, aku belom baca, baru sempet baca...

Good story dear,,,
Rangkaian indah dr kata2,,

Keep writing Ɣª cantik....